MENDIDIK BUAH HATI SECARA BIJAK

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. al-Nisâ [4]: 9)

Setiap anak muslim adalah aset dakwah bagi tegaknya kalimat Allah di muka bumi di masa mendatang, sekaligus penopang bagi maju atau mundurnya peradaban suatu bangsa. Dari itulah, orangtua harus mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan generasi yang kuat agar mendatangkan kebaikan dan barakah di zamannya. Minimnya informasi untuk menjadi orangtua yang baik kerapkali dialami oleh sebagian besar orangtua. Menjadi orangtua juga tidak ada sekolah formalnya. Berangkat dari hal di atas penulis, berusaha untuk memberikan sedikit informasi yang semoga bermanfaat bagi para orangtua maupun para calon orangtua.

Pada dasarnya setiap anak terlahir dengan dua dimensi yang ada pada dirinya. Kedua dimensi tersebut adalah jasmani dan ruhani. Kedua dimensi tersebut memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara seimbang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Namun, sebagian orangtua lebih lebih mengutamakan kebutuhan jasmani daripada kebutuhan ruhani. Banyak dari orangtua yang cenderung mengabaikan pemenuhan kebutuhan ruhani yang sifatnya abstrak. Padahal Rasululah sudah mengajarkan cara-cara mendidik anak agar pemenuhan kebutuhan dua dimensi tersebut dapat seimbang.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah menganjurkan kepada para orangtua untuk mengajari anaknya berenang, memanah, dan berkuda. Ditilik dari sudut pandang jasmani, ketiga aktivitas olahraga tersebut yang jika dilakukan secara rutin tentu akan berimbas kepada kekuatan dan kesehatan anak. Apabila kesehatan dan kekuatan fisik anak tidak diperhatikan sejak dini, maka mereka akan tumbuh menjadi pemuda yang lemah. Jika sebuah generasi adalah generasi yang lemah, maka suatu bangsa akan sulit untuk menjadi bangsa yang kuat dan tangguh. Pun dalam hal kesehatan, apabila kesehatan generasi kecil tidak diperhatikan, maka bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang lemah.

Selain bermanfaat bagi kesehatan dan kekuatan fisik, manfaat dibiasakannya ketiga olahraga di atas juga sangat baik untuk mengembangkan mental dan ruhani yang kuat, seperti kepercayaan diri, keberanian dan kemampuan konsentrasi. Adapun manfaat lebih detail dari ketiga olahraga tersebut, terutama pembentukan psikis dan mental, adalah sebagai berikut:

  1. Berenang

    Olahraga ini melatih kekuatan bernafas anak, dengan demikian asupan oksigen di dalamnya otaknya senantiasa tercukupi yang mana akan memacu kecerdasan bagi anak. Dia akan tumbuh menjadi pembelajar ulung, memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar terhadap segala sesuatu yang dianggapnya baru dan belum pernah diketahui oleh anak sebelumnya.

  2. Memanah

    Kepercayaan diri akan tumbuh dalam jiwa anak, sosok pemimpin juga akan terbentuk pada pribadi anak. Latihan memanah juga mendidik anak untuk memiliki pandangan jauh ke depan dan tetap fokus pada tujuan yang hendak dicapai. Dalam pengambilan suatu keputusan, kejernihan pikiran akan mampu mereka hadirkan meskipun berhadapan dengan permasalahan yang genting sekalipun.

  3. Berkuda

    Banyak sekali sikap yang dapat dibentuk dari olahraga ini. Berkuda mengajarkan kepada anak akan kepercayaan diri, ketangkasan, keberanian, pengendalian diri, dan jiwa kepemimpinan. Meskipun orang yang dipimpinnya nanti adalah orang yang lebih mahir, lebih kuat, serta memiliki banyak kelebihan dibandingkan dirinya, ia tidak akan gentar dan ragu, karena ia tidak takut terhadap suatu apapun kecuali hanya kepada Rabb-Nya.

Setiap anak terlahir dengan fitrah yang melekat padanya berupa dorongan untuk senantiasa berbuat kebaikan dan cenderung memiliki kekuatan untuk dekat dengan Rabb-Nya. Ia mencintai kebaikan dan nalurinya menolak untuk melakukan suatu keburukan. Namun, ketika mereka terlahir di dunia, sejak kelahiran hingga masa kanak-kanak (sebelum baligh) kemampuan kognitif mereka masih sangat terbatas, sehingga mereka belum memiliki cukup bekal untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka peran orangtua sangatlah besar dalam upaya mengarahkannya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa masih banyak ditemukan anak yang cenderung menimbulkan kerusakan, berbuat onar, dan membuat masalah bagi lingkungannya? Pihak pertama yang perlu untuk diperiksa adalah orangtua. Bisa jadi orangtua merekalah yang menjadi penyebab rusaknya fitrah anak. Namun seringkali, kebanyakan orangtua menganggap sumber dari semua permasalahan adalah berasal dari anak itu sendiri. Ketika anak berbuat salah, selalu yang disalahkan dan dijatuhkan harga dirinya adalah si anak, baik saat di rumah maupun di luar rumah.

Bahkan ada orangtua yang tidak segan menggunakan kekerasan fisik terhadap anak. Tamparan keras sering didaratkan ke pipinya yang lembut. Pukulan demi pukulan sering dihujamkan pada tubuhnya yang mungil. Rintih kesakitan kerapkali terdengar karena cubitan orangtua. Bentakan keras menggelegar diseruakkan ketika anak tak mau mengikuti titah orangtua. Inilah penyebab dari rusaknya fitrah anak yang selalu cenderung pada kebaikan. Alih-alih kenyamanan yang mereka dapatkan di rumah, justru kebencian yang akan didapatkan keluarga. Akhirnya anak akan mencari kenyamanan dari orang dan tempat lain. Itu artinya bukan orang tuanya dan bukan pula rumah yang akan ditujunya.

Maka, pola asuh orangtua yang salah menjadi salah satu penyebab dari rusaknya fitrah anak. Pendapat bahwa mendidik anak harus disesuaikan dengan zamannya memang benar adanya. Ketika zaman dahulu orangtua mengajarkan kakak untuk selalu mengalah demi kebaikan adiknya, maka saat ini pola asuh tersebut sudah tak tepat dan tak layak untuk diterapkan. Karena anak akan menemukan ketidakadilan di dalam rumah. Kebenaran hanya ditentukan oleh faktor usia sehingga tiap kemauan dan keinginan adik dianggap sebagai kebenaran mutlak dan harus dituruti.

Maka, ada tiga karunia, yang harus diamalkan dan diterapkan oleh orangtua ketika menghadapi perilaku anak yang buruk dan menyimpang, yaitu:

  1. Karunia Belajar
  2. Orangtua harus belajar sebagaimana anaknya belajar. Kebanyakan orangtua zaman sekarang beranggapan bahwa belajar selalu erat dengan unsur tenang menghadap ke meja belajar dengan buku pelajaran di depan mata. Belajar dibatasi dengan ruang. Dinamakan belajar apabila anak berada di kelas atau di meja belajar. Sedang di alam bebas, orangtua mengatakan bahwa mereka tidak sedang belajar. Anak dikatakan belajar apabila mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung. Lain dari aktivitas tersebut, orangtua mengatakan bahwa anak tidak sedang belajar.

    Padahal banyak pembelajaran yang didapatkan anak ketika melakukan aktivitas selain “belajar” tersebut. Ketika anak sedang bermain kelereng, di situlah anak belajar untuk memimpin dan dipimpin. Disitulah anak belajar tentang pentingnya menaati suatu peraturan. Sebab, apabila dia berbuat seenaknya dan mau menang sendiri, tentu tak ada satupun anak yang ingin bermain kelereng dengannya. Ketika anak bermain sepak bola, maka disitulah anak belajar tentang strategi  dan bekerjasama dalam tim. Pemahaman makna belajar inilah yang harus direvisi oleh para orangtua.

  3. Karunia Konsistensi
  4. Konsistensi dalam mengikuti aturan dalam rumah harus ditegakkan. Apabila orangtua berkata “tidak” maka seluruh anggota keluarga, termasuk orangtua sendiri harus konsisten untuk “tidak”. Konsistensi akan mengajarkan kepada anak adanya batasan dalam berperilaku. Mengajarkan adanya sebab-akibat dalam setiap tindakan yang diperbuat. Konsistensi pula yang akan membuat anak menjadi lebih bijak dalam mengambil setiap keputusan.

    Kesalahan yang sering terjadi adalah, saat orangtua telah membuat sebuah peraturan, orangtua merasa iba dan membolehkan permintaan sang anak saat anak merengek-rengek. Kadangkala pula, tidak ada kesepahaman antara ayah dan ibu dalam menghadapai permintaan anak, ayah mengatakan “iya”, dan ibu mengatakan “tidak”. Kesalahan yang amat besar pula, apabila orangtua menganggap aturan ini hanya berlaku untuk anaknya saja, tidak untuk orangtua .

    Apabila orangtua memelihara ketidakkonsistenan hingga anak menjadi dewasa, maka anak akan belajar bahwa aturan hanyalah sebatas aturan dan tak perlu untuk ditaati. Anak akan belajar bahwa perkataan tak harus selaras dengan perbuatan. Mereka akan belajar dari sikap orangtua yang kerapkali tak sesuai antara apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat. Dalam hal ini, kesabaran dan ketahanan orangtua harus dijaga demi pembentukan karakter anaknya yang lebih baik.

  5. Karunia Kiblat
  6. Allah menganugerahi kita karunia kiblat. Dengan karunia ini, kita dapat fokus terhadap arah ataupun tujuan yang hendak dituju dan dicapai. Arah dan tujuan tersebut tentunya adalah yang sifatnya baik. Meninggalkan hal-hal buruk dengan terus melakukan introspeksi demi memperbaiki apa yang kurang dan mempertahankan atau meningkatkan apa yang baik. Menjadikan masa lalu yang buruk sebagai suatu pelajaran supaya lebih berhati-hati dalam bertindak.

Orangtua, ayah atau ibu, yang baik adalah yang belajar dari kesalahan anaknya kemudian memberusaha merangkul dan menuntun anaknya supaya tak melakukan kesalahan yang sama. Dengan memberikan dorongan dan motivasi untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang gigih. Dia berani mengakui setiap kesalahan yang dilakukannya dan bangkit untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ringkasnya, orangtua harus membiasakan diri untuk fokus terhadap perilaku baik anak, bukan pada perilaku buruknya. Fokus pada kelebihan anak bukan pada kekurangannya. Fokus pada solusi penyelesaian kesalahan yang diperbuat anak. Bukan fokus pada masalah yang muncul akibat kesalahannya.

Akhīran, anak merupakan suatu anugerah yang telah diberikan oleh Allah . Anugerah yang merupakan bukti bahwa Allah mempercayai kita, bahwa kita mampu mendidik anak sesuai dengan fitrah yang melekat padanya. Bagi pasangan yang sudah dikarunia anak, semoga dapat menjalankan tugas  sebagai orangtua dengan baik, sehingga anak-anak yang dikaruniakan oleh Allah menjadi anak yang shalih-shalihah. Karena anak yang shalih-shalihah adalah investasi dunia-akhirat yang layak untuk dijaga dan diperjuangkan. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Zeda Shaliha
Mahasiswi PAI FIAI UII

 

Mutiara Hikmah
Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.”
(HR. Bukhari)

CARA ALLAH MEMBERI REZEKI

تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”
(QS al-‘Imran [3]:27)

Saudaraku, bicara soal rezeki, sebenarnya mencakup banyak sisi yang sangat luas. Rezeki tidak melulu bicara tentang harta saja, melainkan apapun jenis ni’mat yang Allah l berikan adalah rezeki. Ilmu pengetahuan, kesehatan, kebahagian dan lain sebagainya adalah bagian dari rezeki yang Allah l berikan.
Ingatlah bahwa rezeki tidaklah sebatas harta dunia. Ilmu yang bermanfaat adalah rezeki, kemudahan untuk beramal shalih adalah rezeki, istri yang shalihah adalah rezeki, anak-anak juga termasuk rezeki. Kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang Allah berikan. Bahkan rezeki yang hakiki adalah rezeki yang dapat menegakkan agama kita sehingga mengantarkan kita selamat di akherat. Inilah rezeki yang sesungguhnya. Rezeki yang hanya Allah l berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Sebenarnya Allah l telah menentukan cara memperoleh rezeki dan telah mengkategorikan rezeki berdasarkan tingkatannya, mulai dari yang terendah dalam arti rezeki yang telah (dijamin) oleh Allah l kepada semua makhluk-Nya hingga rezeki paling tinggi tingkatannya (rezeki untuk orang beriman dan bertaqwa).

Rezeki Tingkat Pertama (yang dijamin oleh Allah).
Allah l berfirman,

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS Hûd [11]: 6).

Inilah tingkatan rezeki yang pertama yaitu rezeki yang sudah dijamin oleh Allah untuk semua makhluk-Nya. Artinya Allah akan memberi kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Dari manusia bahkan hingga makhluk terkecil yang tak tampak oleh mata sekalipun. Pada tingkatan ini adalah tingkatan rezeki yang paling rendah.
Allah menegaskan tingkatan rezeki yang pertama ini dalam ayat yang lain Allah l berfirman,

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Ankabût [29] : 60)

Rezeki Tingkat Kedua
Allah l berfirman,

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS al-Najm [53]: 39)

Allah l akan memberi rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya, jika ia bekerja dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat lebih banyak. Tidak memandang apakah dia itu muslim atau kafir.
Banyak orang yang bertanya kenapa Allah l menjadikan orang-orang non muslim itu kaya?. coba kita lihat kembali pada diri kita masing-masing sudah usaha kita melebihi mereka, sudah kita bekerja lebih keras dua kali lipat dari mereka. Jika belum, rubahlah karena untuk urusan riziqi Allah l berikan sesuai apa yang diusahakannya. Namun ada catatan penting dalam firman Allah l yang harus kita pahami,

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.(QS al-Baqarah [2] : 212)

Allah l mengetahui apa yang kita kerjakan, Allah l melihat bagaiman hamba-Nya bekerja dan berusaha. Jika kita hanya duduk santai, tak berusaha lebih keras maka jangan harap Allah l akan memberi hasil yang lebih pula. Memang, urusan rezeki itu ditangan Allah l, tapi apabila kita tak meraihnya maka rezeki itu tak akan sampai pada kita.

Rezeki Tingkat Ketiga
Allah l berfirman,

“….. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat-ku), jika kamu mengingkari(nikmat-ku), maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih” (QS Ibrahîm [14]: 7)

Di kategori tingkatan rezeki yang ketiga, inilah rezeki yang disayang Allah l. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah l dan mendapat rezeki yang lebih banyak. Itulah janji Allah l, orang yang pandai bersyukurlah yang dapat hidup bahagia sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah l tambhakan selalu.
Sebesar apapun rezeki yang Allah l berikan, jika kita terima dengan penuh rasa syukur maka akan Allah l tambah. Permasalahannya adalah banyak orang yang kufur akan nikmat tersbut. Selalu mengeluh padahal Allah l sudah berikan rezeki kepadanya. Maka selalu memohon dan berdoalah agar kita digolongkan sebagai hamba yang penuh syukur, karena hidup tidak melulu bicara soal seberapa harta yang kita punya, tapi bagaimana kita merasa bahagia (bersyukur) atas apa yang kita miliki.
Prihal bersyukur pun disinggung dalam ayat lain,

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.(QS al-Baqarah [2]: 172).

Rezeki Tingkat Keempat (untuk orang-orang beriman dan bertaqwa)
Allah l berfirman, “…Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS al-Thalaq [65]: 2-3)
Peringatan rezeki yang keempat ini adalah yang paling istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Orang-orang istimewa itu adalah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah l (Muttaqun). Allah l sudah menjamin dalam firmannya dalam urusan rezeki untuk orang yang taat kepada perintah-Nya.
Maka sebagai Muslim, tentu kita harus sadari betul hal ini. Meski pun Allah telah menjamin rezeki kepada semua makhluknya, namun porsi seberapa besar yang akan kita terima adalah sesuai apa yang kita usahakan. Jika kita berusaha lebih, berdoa lebih, maka hasilnya pun akan lebih pula.
Jangan mau hidup miskin, padahal Tuhan kita (Allah) Maha Kaya. Jangan pernah mau hidup kekurangan rezeki padahal rezeki Allah begitu luas. Jika ada tingkatan rezeki yang paling tinggi (rezeki untuk orang-orang bertaqwa), kenapa kita harus memilih tingkatan yang paling rendah.

Rezeki telah Ditentukan
Dalam tulisannya Ustadz Adika Mianoki menyebutkan (http://muslim.or.id/ aqidah/memahami-dua-jenis-rezeki.html), bahwa seluruh rezeki bagi makhluk telah Allah tentukan. Kaya dan miskin, sakit dan sehat, senang dan susah, termasuk juga ilmu dan amal shalih seseorang pun telah ditentukan.
Rasulullah ` bersabda,

“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqah (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata: Rezeki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”(HR Bukhari, No. 3208 dan HR Muslim No. 2643)

Dengan mengetahui hal ini, bukan berrati kita pasarah dan tidak berusaha mencari rezeki. Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami hal ini. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalah yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa, termasuk dalam mencari rezeki, karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu Nabi ` bersabda,

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan:’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qaddarullahu wa mâ sya’a fa’ala” (HR Muslim, No. 2664). Wallahu a’lam.[]

 

Muhammad Mukhlas
Pendidikan Bahasa Inggris 2013

Mutiara Hikmah
Ucapan apabila tertimpa sesuatu yang tidak disenangi

قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.

“Allah sudah mentakdirkan sesuatu yang dikehendaki dan dilakukan.” (HR Muslim, No. 4/2052)

GELAR

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(QS al-Furqan [25]: 74)

Ketika mengikuti perkuliahan di kampus, banyak karakter dosen pemberi mata kuliah yang berbeda-beda. Dosen A seperti ini, dosen B beda dari A, bahkan dosen C berbeda dari A dan B. Banyak sekali karakater perbedaanya, terutama cara mengajar dan menyampaikan materi yang diajarkan dan ketika ngobrol di luar kelas.
Dari sekian banyak dosen yang mengajar di kelas, tidak sedikit yang sudah sampai menempuh gelar doktor, dengan kata lain sudah dan sedang menempuh strata tiga (S3). Kenapa harus ada gelar yang dijadikan acuan dan tolak ukur seorang dosen. Sebab gelar itu merupakan pencapaian tertinggi yang pernah ditempuh ketika menjalani studinya.
Tak heran jika suatu ketika ada dosen yang jelas-jelas mengatakan bahwa penulisan, peletakan, gelar untuk dirinya tidak boleh salah. Sebab kalau salah maka nilai Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS) tidak akan keluar. Tentu saja, sebagian mahasiswa merasa takut dan manut saja, toh gelar itu memang buah kerja keras, tidak salahnya kita menghargai kerja keras tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang (mesti tidak semuanya) ketika memilih melanjutkan ke jenjang perkuliahan yang pertama kali dicari yaitu untuk mendapatkan gelar. Perjuangan untuk mendapatkan gelar itu tidak mudah, butuh waktu, perjuangan dan konsentrasi tingkat tinggi.
Oleh karenanya, maka gelar tersebut adalah reward atau hadiah dari kerja keras yang sudah ditempuh selama bertahun-tahun. Tidak salah memang ketika ada dosen yang meminta dan begitu mempersoalkan gelar yang sudah diraihnya tersebut. Kerja keras yang sudah dijalaninya harus dihargai dan diapresiasi.
Dalam kisah lain, tapi masih seputar tentang dosen juga. Cerita singkatanya kurang lebih seperti ini. Kala itu salah seorang sahabat (boleh disebut teman dekatlah) yang meminta bantuan untuk dibuatkan desain sertifikat acara pelatihan. Kebetulan sahabat ini juga sebagai panitia inti dalam acara tersebut.
Setelah desain dibuat dan dikirim, sahabat tadi mengirimkan balasan. Inti tulisannya adalah meminta supaya gelar dosen yang menjadi pimpinan di kantornya tersebut meminta dihapus. Padahal gelar yang sudah dituliskan tidak bermasalah dan sesuai dengan semestinya. Ketika dikonfirmasi langsung, “katanya buat apa sih pake gelar-gelar segala, tidak terlalu penting”. Demikian jawaban yang saya terima dari salah seorang sahabat.

Gelar Sesungguhnya
Komarudin Hidayat (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) pernah menyampaikan dalam tausiahnya, bahwa sebuah kesuksesan itu sebetulnya bukan terletak pada sesuatu yang dimiliki. Sebab sesuatu yang dimiliki itu menyangkut kepada sesuatu yang melekat. Sesuatu yang melekat itu tidak selamanya bisa kita bawa, dalam artian suatu saat akan kita lepaskan.
Pada hakikatnya sesuatu yang saat ini kita miliki bukanlah sebuah kesuksesan. Jabatan, gelar, dan apapun itu hanyalah tempelan semata. Kelak itu akan kita tinggalkan kala jasad dengan ruh telah berpisah. Gelar keduniaan tidak lagi menjadi berarti, tetapi gelar akhiratlah yang paling dicari.
Husnul khatimah (meninggal dalam keadaan baik) adalah harapan kita, terutama bagi seluruh umat Islam (Muslimin). Hanya saja, ketika mengikuti peroses penjelajahan menapaki husnul kahtimah, banyak sekali duri, naik turun, tikungan tajam dan lain sebagainya. Sehingga banyak yang akhirnya tersesat bahkan salah jalan.
Perangkap yang ada di dalamnya begitu sulit untuk dibedakan. Jalan kebaikan terasa begitu berat dan susah untuk dijalani ketimbang jalan keburukan yang terkesan lebih mudah dan terbuka lebar. Akhirnya banyak yang memilih jalan keburukan, karena terasa lebih nyaman, enak, dan ada juga karena sudah terlajur jatuh di dalamnya.
Ketika sudah di batas penghujung jatah kehidupan, banyak yang menyesal dan ingin mengubah jalan hidupnya. Kata-kata penyesalan tak lagi berarti, sebab maut sudah datang di depan mata, waktu tak bisa bergulir lagi mengulang masa lalu. Semua keluarga sudah berkumpul dan tak sedikit menangisi. Tetangga berkumpul untuk berta’ziah dan siap mengantakan ke liang lahat. Saat itulah gelar almarhum/ah telah sah kita dapatkan –gelar tradisi Indonesia-
Tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah gelar almarum/ah itu mendapatkan indeks prestasi cumlaude atau tidak? Ketika semasa hidupnya banyak melaksanakan amal shalih maka predikat cumlaude bisa diterimanya. Tetapi jika sebaliknya, banyak bolosnya, indeks prestasinya hanya 2,0 predikat itupun belum bisa diraihnya.

Taqwa
Suatu ketika dalam sebuah kelas, seorang sahabat bertanya dengan lantang di depan teman-teman yang lainnya. Siapa yang tau gelar paling tinggi di atas orang yang bertaqwa? Semua teman-teman terdiam dan tak ada yang memberikan jawaban. Salah seorang teman yang duduk di belakang menjawab tidak ada gelar yang paling tertinggi di atas ketaqwaan.
Karena hanya satu orang yang merespon, akhirnya sahabat ini pun menjelaskan kepada teman-teman yang lainnya. Sebetulnya gelar yang paling tinggi di atas orang yang bertaqwa adalah imamnya orang yang bertaqwa. Sebagaimana dalam bait doa yang sering kita memohon kepada Allah l.

Rabbanā hablanā min azwajinā wa durriyatinā qurrata’ayun waj;alnā lil muttaqina imamā “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS al-Furqan [25] : 74)

Taqwa itu menjalankan segala perintah Allah l dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah makna taqwa yang sudah sangat kita dengar ketika khutbah jum’at. Tapi secara aplikasinya belum tentu bisa dengan mudah. Butuh perjuangan dan tantangan, untuk bisa mencapai tingkatan taqwa yang sebenarnya. Ketaqwaan seseorang terhadap tuhannya tidak bisa ditawar-tawar. Tapi bagi siapa yang betul-betul bertaqwa maka ia balasannya adalah pahala surga dan rizqinya tidak akan pernah putus.
Makna taqwa yang menurut Sayyidina ‘Ali a lebih spesifik. Takut akan Allah, Menjalankan isi al-Qur’an. Qana’ah dengan rizqi meskipun sedikit, dan yang terakhir adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan masa depan yang lebih kekal (akhirat). Dari keempatnya ini manakah yang sudah betul-betul kita amalakan?

Ihtitam
Banyak yang dibuai oleh gemerlap dunia. Matanya silau dan tak mampu membedakan mana yang betul-betul baik untuk dirinya hingga jangka panjang atau hanya sesaat saja. Dunia ini membuatnya menjadi terbalik dan orientasinya sudah berubah 180 derajat dibandingkan ketika ia masih duduk di bangku pesantren.
Status seseorang bukan jaminan untuk menjadikannya baik atau malah sebaliknya. Banyak yang awalnya baik, taat dan begitu haus dengan keagamaan, tetapi ketika sudah jatuh kedalam masalah keduniaan semuanya lepas begitu saja. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Tak sedikit pula yang awalnya menentang, menolak bahkan terang-terangan menghina agama, nyatanya kini ia menjadi seorang muslim yang taat.
Gelar manusia yang diberikan oleh Allah l adalah khalifah/pemimpin yang dipasrahi alam dunia untuk dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Tapi dengan gelar itu pula ternyata mansuia merusak dan mengeksploitasi anamat yang sudah Allah l berikan. Gelar khalifah yang sudah Allah l berikan jelas-jelas disalahgunakan, apalagi gelar yang hanya disematkan oleh manusia. Makhluk tempatnya salah dan lupa.
Oleh karena itu, gelar yang disematkan oleh manusia jika dioptimalkan dengan baik dan digunakan untuk menjalankan, mentaati dan mengimani gelar yang sudah Allah l berikan maka bukan tidak mungkin predikat cumlaude itu akan didapatkan. Allahu’alam.

Hamzah
Santri PPUII

Mutiara Hikmah

عن أَبَي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.

Dari Abu Hurairah a, bahwasanya Rasulullah ` bersabda, “Apabila kamu pada hari Jum’at berkata kepada temanmu, ‘Diamlah,’ padahal imam sedang berkhutbah, maka sungguh sia-sia (shalat Jum’at) mu.” (HR al-Bukhari pada Kitabul Jum’ah Bab Diam Pada Hari Jum’at Saat Imam Sedang Berkhutbah, no. 934)