UTAMAKAN KEWAJIBAN, PENGHARGAAN DATANG KEMUDIAN

وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ # لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ
(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)


“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn
 

Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan cinta dalam ridha-Nya.

Akad nikah berjalan dengan lancar. Ijab qabul dilafalkan dalam bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallahu laka, Mas…”

Bagi saya, menghadiri pernikahan ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga, dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.

 

Wajib Dulu, “Harga” Belakangan

Apa yang disampaikan sang kiayi dalam acara tersebut adalah resep dimaksud. Berumah tangga itu pasti tujuannya untuk meraih kebahagiaan, katanya mengawali taushiah. Resep bahagia berumah tangga sebenarnya sama dengan resep bahagia dalam hidup secara universal. Ringkasnya, bagaimana masing-masing mengupayakan pemenuhan kewajiban. Bukan sebaliknya, selalu menuntut hak sementara kewajiban tiada ditunaikan.

Andai saja,” kata Syeikh Mushthafa al-Ghalayainiy, “semua manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya.” Lalu apa konsekuensinya? “Niscaya mereka—di dunia ini—seolah-olah berada dalam keabadian surga,” lanjutnya. Ungkapan “pengandaian” tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang tidak mengerti apa yang menjadi kewajibannya. Ada pula yang sudah mengerti namun berpura-pura tidak paham.

Tidak kalah sedikit yang belum apa-apa sudah bertanya, “Bagian saya berapa persennya?” Itu memang tidak salah bila diikuti dengan kerja yang sungguh-sungguh. Masalahnya, andai hak diminta seluruhnya namun kewajiban ditunaikan seadanya? Bila demikian kondisinya berarti dia telah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan benar-benar haknya. Kalau begitu, bukan “keabadian surga” yang didapatkan di dunia ini. Namun api neraka yang mulai dinyalakan.

Rumah tangga bahagia selaiknya mengikuti pola atau resep dari untaian hikmah di atas. Logikanya begini, suami melakukan kewajibannya tanpa menuntut hak. Kewajiban suami adalah hak isteri dan hak suami adalah kewajiban isteri. Di saat yang sama, isteri fokus pada kewajiban dan sama sekali tidak meminta hak. Kewajiban isteri adalah hak suami dan hak isteri adalah kewajiban suami. Bila demikian maka akan nyambung bukan?

Uraiannya adalah sebagai berikut. Katakanlah kewajiban suami mencari nafkah. Kewajiban isteri yaitu melayani suami dengan baik. Keduanya—sekali lagi—konsentrasi pada kewajiban masing-masing. Dengan begitu, otomatis keduanya mendapatkan haknya masing-masing pula. Suami mendapatkan haknya, dilayani dengan baik oleh isterinya. Isteri pun mendapatkan haknya, dicukupi kebutuhannya oleh sang suami.

Ilustrasi lainnya. Hubungan antara pekerja dengan bos. Pekerja fokus pada pemenuhan kewajibannya dengan bekerja sebaik mungkin tanpa menuntut haknya. Si bos menunaikan kewajibannya, dengan memberikan upah yang layak. Lebih baik lagi bila upah diberikan qabla keringnya keringat pekerja. Masing-masing komitmen dengan kewajiban, akhirnya masing-masing mendapatkan haknya. Pekerja mendapatkan bayaran yang pantas, bos puas dengan pekerjaan yang total.

Pola yang demikian ini juga sama ketika ditarik dalam konteks hubungan hamba dengan Sang Pencipta. Ketika hamba konsisten menjalankan kewajiban maka tidak perlu lagi khawatir dan cemas. Pasalnya, Allah l akan menunaikan “kewajiban”-Nya dengan memberikan perlindungan dan ganjaran kepada hamba tersebut. Ibadah seorang hamba memang bukan hak Allah namun dengan beribadah menjadi alasan bagi hamba untuk lebih akrab dengan-Nya.

Tatkala pola tersebut dilakukan dengan baik maka kehidupan dunia ini ibarat surga keabadian. Namun sekali lagi hal tersebut belum menjadi kesadaran bersama. Dalam rumah tangga misalnya, suami selalu menuntut ini dan itu padahal dia belum menunaikan kewajiban secara penuh. Isteri meminta dibelikan ini dan itu sementara pekerjaan rumah tidak pernah beres. Ini karena masing-masing terus memikirkan hak tetapi melupakan kewajiban.

Dalam masalah penyebutan, biasanya “hak” disebut dahulu baru kemudian “kewajiban”. “Antara hak dan kewajiban,” biasa kita membaca dan menuliskannya. Sementara kalau dipahami dengan seksama yang ideal adalah “kewajiban” baru “hak”. Jadi, bukan “hak dan kewajiban” namun “kewajiban dan hak”. Memang aneh dan rancu namun perlu terus disosialisasikan. Ending-nya, kita menjadi tersadarkan untuk lebih dahulu fokus pada kewajiban dan bukan sebaliknya.

Itulah mengapa, kata dosen saya yang turut memberi taushiah dalam akad nikah sahabat saya tadi. Sepatu atau sendal hak tinggi itu haknya selalu di belakang. Bayangkan kalau ada wanita pakai sepatu hak tinggi dan haknya di depan. Tentu akan kerepotan dan bisa-bisa terjatuh tidak bisa jalan. Itulah filosofi bahwa hak (“harga”) itu adanya belakangan atau di belakang. Di depan itu ada kewajiban dan bila sudah ditunaikan maka yang belakang (hak) akan turut serta.

“Pengertian”

Kesadaran untuk lebih mendahulukan kewajiban pada purnanya akan sampai pada sikap saling pengertian. Dalam konteks rumah tangga, ketika ada yang kurang pas tidak lantas buru-buru menyalahkan pasangan. Ketika pelayanan isteri tidak maksimal suami paham bahwa isteri sedang belajar dan terus memperbaiki diri. Saat nafkah lahir tidak stabil, isteri sadar bahwa rejeki tidak selalu berwujud materi. Hal ini karena isteri juga tahu suaminya telah berupaya keras.

Masih melanjutkan nasihat sang kiayi. Ketika suami isteri sudah komitmen dengan kewajibannya masing-masing. Keduanya sudah saling memahami dan memaklumi. Ketika—misalnya—masakan isteri keasinan harus bersyukur karena sayurnya awet. Bila nasinya agak keras, bersyukur, sebab rasa kenyang akan tahan lama. Kalau nasinya lembek, bersyukur, mudah untuk mengunyahnya. Jadi, berumah tangga isinya ialah kebahagiaan karena dibangun di atas “pengertian”.

Sungguh indah bila berkaca pada pribadi Rasulullah `. Dia tidak pernah mencela makanan sama sekali. Kalau dia senang (arāda, isytaha) dengan makanan tersebut dia akan memakannya. Bila tidak suka (kariha) dia akan meninggalkannya, tanpa mencelanya. Bahkan suatu hari Rasulullah ` pernah disuguhi cuka, hanya cuka. Dahsyatnya, Rasulullah ` justru mengatakan sebaik-baik teman bersantap adalah cuka. Itulah Rasulullah. Kalau kita?

Sikap Rasulullah ` tersebut sepantasnya menjadi teladan kita. Ketika makanan yang disuguhkan tidak sesuai selera boleh jadi kita kecewa. Namun perlu diingat, membuat makanan itu kewajiban isteri. Isteri berhak mendapat apresiasi atas kewajibannya. Tidak terbayangkan ketika ternyata bukan apresiasi yang didapatkan namun justru umpatan. Rasulullah ` mengajarkan akhlak yang luar biasa. Kalau tidak suka tinggalkan tapi jangan sekali-kali mencela.

Suatu pagi saya mendapatkan kiriman hikmah via BBM. “Berteman dengan kawan yang berilmu pengertian lebih enak daripada yang berilmu pengetahuan…” Ilmu pengetahuan itu penting namun ilmu pengertian tidak kalah penting. Bahkan dalam situasi tertentu boleh jadi yang terpenting adalah ilmu pengertian. Ilmu pengetahuan mudah dicari dan dipelajari. Sementara ilmu pengertian itu praktik di lapangan, prosesnya panjang, tanpa batasan SKS yang pasti.

Kondisi tersebut tetap harus dibangun di atas kesadaran bahwa kewajiban itu utama. Saat kita tahu orang lain melakukan kewajibannya secara maksimal, kita mudah memakluminya saat hasilnya tidak maksimal. Kala kita menunaikan kewajiban secara total, orang lain juga gampang menyadari bila hasilnya tidaklah total. Kuncinya, pertama-tama tetap mengupayakan pemenuhan kewajiban sebaik mungkin. “Pengertian” dari orang lain itu adalah bagian dari hak setelah kewajiban.

Nasihat yang mengawali tulisan ini menggunakan kata andai (lau…). Sebagai menusia yang dianugerahi kesempatan belajar tidak sepantasnya kita ikut berandai-andai pula. “Andai saya dapat mendahulukan kewajiban… Andai saya dapat lebih menghargai dan mengerti keadaan orang lain… Andai saya tidak terlalu menuntut balasan… Dan seterusnya…” Tidak, bukan itu yang diharapkan. Kita mesti memulai langkah nyata untuk fokus pada kewajiban. Semoga Allah merahmati kita. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam (Syari’ah) UII,
Mahasiswa S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah
Dari Abu Hurairah a berkata, Rasulullah ` bersabda: “Janganlah seorang suami mukmin membenci seorang istri yang beriman, jika ia tidak menyukai satu perangai istrinya maka ia akan suka dengan perangainya yang lain” (HR Muslim)

JANGAN MENCELA HUJAN!

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنَّكَ تَرَى ٱلۡأَرۡضَ خَٰشِعَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡۚ إِنَّ ٱلَّذِيٓ أَحۡيَاهَا لَمُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰٓۚ إِنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٣٩

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Fushshilat [41]: 39).

Hujan merupakan nikmat yang sangat besar yang diturunkan Allah l dan merupakan salah satu tanda kebesaran-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah l, surah Fushshilat ayat 39. Hujan itu nikmat, hujan itu menyenangkan, hujan itu asyik.  

Mari kita simak firman Allah l  pada ayat yang lain dalam al-Qur’an yang artinya, “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS al-Waqi’ah [56]: 68-69). Tanpa nikmat Allah ini (hujan), bumi akan menjadi kering dan tandus. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Maka janganlah kita mencela nikmat yang sangat luar biasa dari Allah l, hanya orang-orang yang tidak sempurna keimanannya keluar dari lisannya celaan terhadap air hujan.

Bersamaan dengan turunnya hujan, Allah juga memberikan beberapa keutamaan padanya. Diantaranya adalah waktu turunnya hujan adalah salah satu waktu mustajabnya do’a. Nabi ` bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam al-Umm dan al-Baihaqi dalam al-Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat hadits no. 1026 pada Shahihul Jami’).

Selain itu, Rasulullah ` mengajarkan kita untuk mengambil berkah dari hujan. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Anas a berkata, “Kami bersama Rasulullah ` pernah kehujanan. Lalu Rasulullah ` menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?’ Kemudian Rasulullah ` bersabda, “Karena dia baru saja Allah ciptakan.” (HR Muslim no. 2120). Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan makna hadits ini adalah bahwasanya hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah l, maka Nabi ` bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.

Akan tetapi, sebagian besar manusia hanya mensyukuri nikmat hujan ini pada awal turunnya saja (yakni pada awal musim hujan). Selanjutnya akan kita dengar banyak sekali celaan yang dilontarkan sebagian besar manusia kepada hujan. “Aduuh! Lagi-lagi hujan, lagi-lagi hujan…” atau perkataan mereka “gara-gara hujan saya jadi gak berangkat kerja” dan sebagainya. Bahkan bukan hanya itu, manusia juga sering mengumpat dan mencaci maki hujan.

Agama kita yang mulia melarang kita mencela hujan karena hujan merupakan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Maka mencaci maki hujan sama saja mencaci maki Dzat yang menciptakan dan mengatur hujan.

Ingat! Hujan diturunkan bukan hanya untuk kita melainkan untuk semua makhluk. Jangan sampai karena keegoisan kita dan memikirkan diri kita sendiri lantas kita mencela rahmat Allah ini. Boleh jadi hujan menyebabkan kita tidak bias beraktivitas akan tetapi bagi makhluk lain justru menjadi berkah tak terkira.

Bahaya Mencela Hujan
Tidakkah kita menyadari bahaya dari mencela air hujan? Perhatikanlah hadits qudsi berikut ini, Nabi ` bersabda, “Allah l berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), pdahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti’.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan lain, Nabi ` bersabda, “Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shahih).

Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak bisa berbuat apa-apa (termasuk hujan) adalah terlarang. Hal ini bahkan bisa mencapai derajat syirik akbar jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi.

Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan adanya pencipta selain Allah l. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah  sedangkan makhluk makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya menjadi sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman akan tetapi tidak sampai kepada derajat syirik. Maka dari itu wahai saudaraku, janganlah engkau mencela nikmat hujan yang Allah l berikan kepada kita.

Sikap Kita, Ketika Hujan?
Sungguh Nabi ` kita yang mulia telah mengajarkan kita untuk menyikapi hujan mulai ketika berkumpulnya awan (mendung) hingga selesai hujan.

  1. Ketika berkumpulnya awan
  2. Dari Aisyah x, beliau berkata, “Rasulullah ` apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, penj.) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya  kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, penj.). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shayyiban nafi’an” (Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat).”

  3. Ketika hujan lebat
  4. Ketika hujan turun dengan lebat, Nabi ` berdo’a “Allahumma hâwalaina wa lâ ’alaina. Allahumma ’alal âkami wal jibâli, wazh zhirâbi, wa buthunil awdiyati, wa manâbitisy syajari (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan).”

  5. Ketika selesai hujan
  6. Nabi ` mengajarkan kita untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rahmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah).

Inilah beberapa hal penting yang diajarkan Nabi ` kita ketika hujan turun yang dapat saya sebutkan pada kesempatan kali ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu mensyukuri nikmat hujan dan semoga kita dijauhkan dari sifat orang-orang yang suka mencela hujan dan semoga Allah jadikan untuk kita hujan yang bermanfaat dan bukan hujan yang menimbulkan bencana. âmîn

Ibnu Adi
Farmasi Angkatan 2012

Mutiara Hikmah
Doa Apabila Melihat Permulaan Buah: “Ya Allah! Berilah berkah buah-buahan kami, berilah berkah kota kami, berilah berkah gantangan kami (sehingga di antara kami tidak sering mengurangi timbangan) dan berilah berkah mud kami.” (HR Muslim, No. 2/1000)

BERCERMINLAH!

Wahai tubuh,
seperti apakah isi gerangan hatimu?
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu,
atau sebagus daki yang melekat ditubuhmu?
Apakah hatimu seindah penampilanmu
atau sebusuk kotoranmu?
(catatan seorang sahabat)

Benda yang satu ini sangat familiar, sering dijual di toko bangunan, bahkan di pinggir jalan. Tetapi sadar atau pun tidak, benda ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bayangkan, bagaimana rasanya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu kita tidak akan pernah tahu akan rupa diri kita sendiri. Bahkan bagi sebagian perempuan, keberadaan cermin itu tidak bisa lepas dalam aktivitas keseharian, kemana-mana biasanya cermin itu selalu dibawa.

Misalnya saja, untuk membetulkan kerudung yang kurang pas, mereka (perempuan) tak segan untuk izin ke kamar kecil. Padahal tujuannya cukup simple, ya hanya untuk membetulkan kerudungnya. Tanpa ada bantuan cermin rasanya terkesan ribet. Bagi sebagian wanita yang senang dandan tentu cermin kecil selalu menemani kemana pun mereka pergi.

Ketika make-upnya dirasa sudah luntur, alisnya mulai tipis, lurus dan lain-lain, tak segan mereka mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas mungilnya. Sebetulnya, tak jauh berbeda juga dengan laki-laki yang senang dengan fashion. Hanya saja laki-laki biasanya cukup bercermin di rumah, atau malah lebih berani, apapun yang bisa memantul bisa dijadikan cermin.

Inilah fenomena kecil yang sering kita jumpai, yang begitu penting dalam kehidupan sehari-hari dan tak bisa dipisahkan dari hidup kita. Apa jadinya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu rasanya ada sesuatu yang hilang. Penulis sempat merasakan pengalaman yang luar biasa dan tidak mengenakkan.

Salah seorang teman pernah mengalami hal ini. Kala itu selama sepuluh hari Ia ditugaskan untuk menjalankan salah satu program dari kantornya. Ia ditempatkan di desa terpencil dan di puncak sebuah bukit yang diapit oleh dua gunung menjulang ke langit. Karena berada di atas ketinggian, rasa dingin adalah santapan setiap hari, tak peduli siang maupun malam hari.

Karena mengalami kondisi alam yang berbeda, banyak sekali perjuangan yang harus dihadapi. Harus terbiasa dengan cuaca dingin, jarang mandi (sehari cukup satu kali, itu pun mandinya dilakukan pada siang hari). Perjuangan yang lain yaitu tidak menemukan cermin, hanya ingin sekedar melihat wajah atau melihat keadaan rambut. Maklum karena akses ke kota lumayan jauh dan jalannya yang rawan.

Ada rasa rindu dan kangen dengan wajah. Bagaimana bentuk dan perubahan, apa saja yang sudah terjadi selama ini. Rasa keingintahuan itu luar biasa muncul. Alangkah kaget bukan kepalang ketika ia bercermin, ternyata wajahnya mengelupas seperti kulit ular, ada sisik-sisiknya juga. Setelah dicek, ternyata hanya faktor air dan iklim saja, sehingga menyebabkan wajahnya demikian.

Cermin Diri
Itulah pentingnya cermin. Selain untuk mengetahui perubahan dan perkembangan yang ada pada manusia. Cermin juga sering digunakan untuk aktivitas lain, dan pekerjaan itu sangat simple. Merias wajah misalnya, dan ini kebiasaan perempuan. Kalau laki-laki paling mencukur kumis, dan janggut. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw agar selalu merawat diri, salah satunya ilah mencukur rambut, kumis dan lain-lain.
Jika pekerjaan yang satu ini tidak dibantu dengan cermin, tentu harus menggunakan jasa orang lain. Bayangkan jika pengerjaan yang sederhana ini harus dilakukan oleh dua orang saja, terkesan ribet bukan? Dengan adanya cermin, pengerjaannya bisa lebih mudah dan ringan, karena tidak perlu dilakukan dengan banyak orang.

Makna bercermin yang dimaksud adalah cermin yang bermakna hakiki (hakikat), yaitu cermin yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun bercermin yang bermakna majazi (majas) adalah cermin diri. Cermin ini sering diartikan sebagai introspeksi diri (bercermin ke diri sendiri, setelah melihat/membandingkan ke orang lain yang lebih baik).

Tujuannya ialah membandingkan diri dengan orang lain, apakah yang kita lakukan itu sudah seperti mereka ataukah belum (dalam hal ini terkait kebaikan). Sehingga dengan adanya cermin diri ini, memacu seseorang untuk menjadi lebih baik lagi. Sebagaimana perintah Rasulullah untuk memiliki prinsip, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin…”
Cermin adalah benda yang paling jujur sedunia. Apa yang ada didepannya ditampilkan secara utuh. Tidak ada manipulasi, atau disembunyikan darinya. Dan yang paling penting adalah, cermin tidak pernah sekalipun memberikan komentar tentang apa yang didepannya. Keistimewaan inilah yang dimiliki oleh sebuah cermin. Apa jadinya jika cermin itu bisa berbicara dan mampu memberikan penilaian bagi siapapun yang ada di depannya?.

Bercerminlah !
Nu’man bin Muqrin berkata: “Bahwasannya ada seorang laki-laki mencaci orang lain disisi Nabi, kemudian orang yang dicaci mengatakan: “Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu.” Lalu Nabi bersabda:

“Ketahuilah bahwasannya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu; setiap kali orang ini mencacimu. Malaikat itu berkata kepadanya: “Tetapi engkau, engkaulah yang lebih berhak terhadap cacian itu; dan jika engkau mengatakan: “Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu”, maka malaikat itu berkata: “Tidak, tetapi engkau, engkaulah yang berhak terhadapnya.” (HR Ahmad)

Sebelum mengeluarkan ucapan kepada orang lain, apalgi mencaci, silakan bercermin kepada diri sendiri. Sudah betul-betul baik atu masih belajar baik? Untuk itu menjaga lisan dari seuatu yang dapat mengotorinya adalah tugas kita besama masing-masing. Jika ada yang salah, silakan ingatkan dengan cara dan ucapan yang baik.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu; Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal siapa tuhannya. Ini adalah salah satu cermin diri yang baik. Mengetahui dirinya sendiri dalam rangka mengetahui siapa sang penciptanya. Dengan mengetahui kekurangn diri, maka akan semangkin merasa lemah dan tidak berdayannya diri.

Mengenal Diri, itulah suluk. Suluk adalah fase-fase perjalanan hidup untuk pada akhirnya mengalami realitas sejati. Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq. Hanya dengan menyadari ia hina, maka ia mengerti Allah Maha Tinggi.
Hanya dengan mengenal jati diri, maka makhluq mengenal Khaliq. Dengan menyadari ia najis, maka ia mengerti Allah Maha Suci. Hanya dengan mengaku telah berbuat salah dan dosa, serta bertobat, maka manusia akan mengerti bahwa Allah Maha Pengampun. Luasnya rahmat Allah membentang tak terhingga. Oleh karena itu, sungguh sangat merugi bagi kita yang tidak menyadari atas karunia yang telah Allah anugerahkan pada kita semua. Allâhul Musta’an.

Ihtitām
Orang yang bahagia yaitu orang yang ‘ngaca’ terhadap dirinya. Dai sejuta umat, KH Zainudin MZ rahimahullâh pernah menyampaikan tausiah tentang ciri-ciri orang yang bahagia.

  1. Pertama, ingat akan kesalahan yang pernah diperbuat. Mengingat kesalahan dan dosa untuk menjadi lebih baik, baru kemarin berbuat dosa, ini nambah lagi.
  2. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah dilakukan (merasa kebaikannya belum cukup). Ia merasa belum pernah berbuat baik, sehingga merasa rugi kalau tidak berbuat baik
  3. Ketiga, dalam urusan dunia melihat kebawah. Artinya timbul rasa syukur. Masih banyak yang sengsara dari dirinya, ketika menemui kesulitan, ia berpikir masih banyak yang merasakan kesulitan dibandingkan dengannya.
  4. Keempat, dalam urusan akhirat ia melihat ke atas. Si Pulan bisa puasa sunah, kenapa saya tidak. Dia bisa ngaji, kok saya enggak. Iri terhadap dunia dilarang, iri dalam kebaikan sangat dianjurkan.

Untuk itu mari bersama-sama kita bercermin, tentunya dengan menggunakan cermin yang baik. Jika selama ini cermin yang kita gunakan itu belum baik, mari mulai detik ini juga diubah dan perlahan untuk meninggalkannya. Semoga kita diberikan kemudahan dan kekuatan oleh Allah  untuk selalu berada di jalan yang lurus, wa ihdinsshiratha al-mustaqîm.[]

Hamzah
Ngaji di UII

Mutiara Hikmah
Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain. Nabi bersabda,

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR Muslim, No. 1017)