UTAMAKAN KEWAJIBAN, PENGHARGAAN DATANG KEMUDIAN

وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ # لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ
(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)


“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn
 

Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan cinta dalam ridha-Nya.

Akad nikah berjalan dengan lancar. Ijab qabul dilafalkan dalam bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallahu laka, Mas…”

Bagi saya, menghadiri pernikahan ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga, dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.

 

Wajib Dulu, “Harga” Belakangan

Apa yang disampaikan sang kiayi dalam acara tersebut adalah resep dimaksud. Berumah tangga itu pasti tujuannya untuk meraih kebahagiaan, katanya mengawali taushiah. Resep bahagia berumah tangga sebenarnya sama dengan resep bahagia dalam hidup secara universal. Ringkasnya, bagaimana masing-masing mengupayakan pemenuhan kewajiban. Bukan sebaliknya, selalu menuntut hak sementara kewajiban tiada ditunaikan.

Andai saja,” kata Syeikh Mushthafa al-Ghalayainiy, “semua manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya.” Lalu apa konsekuensinya? “Niscaya mereka—di dunia ini—seolah-olah berada dalam keabadian surga,” lanjutnya. Ungkapan “pengandaian” tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang tidak mengerti apa yang menjadi kewajibannya. Ada pula yang sudah mengerti namun berpura-pura tidak paham.

Tidak kalah sedikit yang belum apa-apa sudah bertanya, “Bagian saya berapa persennya?” Itu memang tidak salah bila diikuti dengan kerja yang sungguh-sungguh. Masalahnya, andai hak diminta seluruhnya namun kewajiban ditunaikan seadanya? Bila demikian kondisinya berarti dia telah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan benar-benar haknya. Kalau begitu, bukan “keabadian surga” yang didapatkan di dunia ini. Namun api neraka yang mulai dinyalakan.

Rumah tangga bahagia selaiknya mengikuti pola atau resep dari untaian hikmah di atas. Logikanya begini, suami melakukan kewajibannya tanpa menuntut hak. Kewajiban suami adalah hak isteri dan hak suami adalah kewajiban isteri. Di saat yang sama, isteri fokus pada kewajiban dan sama sekali tidak meminta hak. Kewajiban isteri adalah hak suami dan hak isteri adalah kewajiban suami. Bila demikian maka akan nyambung bukan?

Uraiannya adalah sebagai berikut. Katakanlah kewajiban suami mencari nafkah. Kewajiban isteri yaitu melayani suami dengan baik. Keduanya—sekali lagi—konsentrasi pada kewajiban masing-masing. Dengan begitu, otomatis keduanya mendapatkan haknya masing-masing pula. Suami mendapatkan haknya, dilayani dengan baik oleh isterinya. Isteri pun mendapatkan haknya, dicukupi kebutuhannya oleh sang suami.

Ilustrasi lainnya. Hubungan antara pekerja dengan bos. Pekerja fokus pada pemenuhan kewajibannya dengan bekerja sebaik mungkin tanpa menuntut haknya. Si bos menunaikan kewajibannya, dengan memberikan upah yang layak. Lebih baik lagi bila upah diberikan qabla keringnya keringat pekerja. Masing-masing komitmen dengan kewajiban, akhirnya masing-masing mendapatkan haknya. Pekerja mendapatkan bayaran yang pantas, bos puas dengan pekerjaan yang total.

Pola yang demikian ini juga sama ketika ditarik dalam konteks hubungan hamba dengan Sang Pencipta. Ketika hamba konsisten menjalankan kewajiban maka tidak perlu lagi khawatir dan cemas. Pasalnya, Allah l akan menunaikan “kewajiban”-Nya dengan memberikan perlindungan dan ganjaran kepada hamba tersebut. Ibadah seorang hamba memang bukan hak Allah namun dengan beribadah menjadi alasan bagi hamba untuk lebih akrab dengan-Nya.

Tatkala pola tersebut dilakukan dengan baik maka kehidupan dunia ini ibarat surga keabadian. Namun sekali lagi hal tersebut belum menjadi kesadaran bersama. Dalam rumah tangga misalnya, suami selalu menuntut ini dan itu padahal dia belum menunaikan kewajiban secara penuh. Isteri meminta dibelikan ini dan itu sementara pekerjaan rumah tidak pernah beres. Ini karena masing-masing terus memikirkan hak tetapi melupakan kewajiban.

Dalam masalah penyebutan, biasanya “hak” disebut dahulu baru kemudian “kewajiban”. “Antara hak dan kewajiban,” biasa kita membaca dan menuliskannya. Sementara kalau dipahami dengan seksama yang ideal adalah “kewajiban” baru “hak”. Jadi, bukan “hak dan kewajiban” namun “kewajiban dan hak”. Memang aneh dan rancu namun perlu terus disosialisasikan. Ending-nya, kita menjadi tersadarkan untuk lebih dahulu fokus pada kewajiban dan bukan sebaliknya.

Itulah mengapa, kata dosen saya yang turut memberi taushiah dalam akad nikah sahabat saya tadi. Sepatu atau sendal hak tinggi itu haknya selalu di belakang. Bayangkan kalau ada wanita pakai sepatu hak tinggi dan haknya di depan. Tentu akan kerepotan dan bisa-bisa terjatuh tidak bisa jalan. Itulah filosofi bahwa hak (“harga”) itu adanya belakangan atau di belakang. Di depan itu ada kewajiban dan bila sudah ditunaikan maka yang belakang (hak) akan turut serta.

“Pengertian”

Kesadaran untuk lebih mendahulukan kewajiban pada purnanya akan sampai pada sikap saling pengertian. Dalam konteks rumah tangga, ketika ada yang kurang pas tidak lantas buru-buru menyalahkan pasangan. Ketika pelayanan isteri tidak maksimal suami paham bahwa isteri sedang belajar dan terus memperbaiki diri. Saat nafkah lahir tidak stabil, isteri sadar bahwa rejeki tidak selalu berwujud materi. Hal ini karena isteri juga tahu suaminya telah berupaya keras.

Masih melanjutkan nasihat sang kiayi. Ketika suami isteri sudah komitmen dengan kewajibannya masing-masing. Keduanya sudah saling memahami dan memaklumi. Ketika—misalnya—masakan isteri keasinan harus bersyukur karena sayurnya awet. Bila nasinya agak keras, bersyukur, sebab rasa kenyang akan tahan lama. Kalau nasinya lembek, bersyukur, mudah untuk mengunyahnya. Jadi, berumah tangga isinya ialah kebahagiaan karena dibangun di atas “pengertian”.

Sungguh indah bila berkaca pada pribadi Rasulullah `. Dia tidak pernah mencela makanan sama sekali. Kalau dia senang (arāda, isytaha) dengan makanan tersebut dia akan memakannya. Bila tidak suka (kariha) dia akan meninggalkannya, tanpa mencelanya. Bahkan suatu hari Rasulullah ` pernah disuguhi cuka, hanya cuka. Dahsyatnya, Rasulullah ` justru mengatakan sebaik-baik teman bersantap adalah cuka. Itulah Rasulullah. Kalau kita?

Sikap Rasulullah ` tersebut sepantasnya menjadi teladan kita. Ketika makanan yang disuguhkan tidak sesuai selera boleh jadi kita kecewa. Namun perlu diingat, membuat makanan itu kewajiban isteri. Isteri berhak mendapat apresiasi atas kewajibannya. Tidak terbayangkan ketika ternyata bukan apresiasi yang didapatkan namun justru umpatan. Rasulullah ` mengajarkan akhlak yang luar biasa. Kalau tidak suka tinggalkan tapi jangan sekali-kali mencela.

Suatu pagi saya mendapatkan kiriman hikmah via BBM. “Berteman dengan kawan yang berilmu pengertian lebih enak daripada yang berilmu pengetahuan…” Ilmu pengetahuan itu penting namun ilmu pengertian tidak kalah penting. Bahkan dalam situasi tertentu boleh jadi yang terpenting adalah ilmu pengertian. Ilmu pengetahuan mudah dicari dan dipelajari. Sementara ilmu pengertian itu praktik di lapangan, prosesnya panjang, tanpa batasan SKS yang pasti.

Kondisi tersebut tetap harus dibangun di atas kesadaran bahwa kewajiban itu utama. Saat kita tahu orang lain melakukan kewajibannya secara maksimal, kita mudah memakluminya saat hasilnya tidak maksimal. Kala kita menunaikan kewajiban secara total, orang lain juga gampang menyadari bila hasilnya tidaklah total. Kuncinya, pertama-tama tetap mengupayakan pemenuhan kewajiban sebaik mungkin. “Pengertian” dari orang lain itu adalah bagian dari hak setelah kewajiban.

Nasihat yang mengawali tulisan ini menggunakan kata andai (lau…). Sebagai menusia yang dianugerahi kesempatan belajar tidak sepantasnya kita ikut berandai-andai pula. “Andai saya dapat mendahulukan kewajiban… Andai saya dapat lebih menghargai dan mengerti keadaan orang lain… Andai saya tidak terlalu menuntut balasan… Dan seterusnya…” Tidak, bukan itu yang diharapkan. Kita mesti memulai langkah nyata untuk fokus pada kewajiban. Semoga Allah merahmati kita. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam (Syari’ah) UII,
Mahasiswa S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah
Dari Abu Hurairah a berkata, Rasulullah ` bersabda: “Janganlah seorang suami mukmin membenci seorang istri yang beriman, jika ia tidak menyukai satu perangai istrinya maka ia akan suka dengan perangainya yang lain” (HR Muslim)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *