Berbuat Baik Kepada Tetangga

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا

Artinya : “…….dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.

(QS. An-Nisa [04]:36)

Suatu ketika, saat sedang lahapnya menyantap makan siang, tiba-tiba ada pengemis datang menghampiri. Apa yang akan kita lakukan? Apakah membiarkan pengemis tersebut menadahkan tangan disertai dengan rintihan suara meminta. Ataukah langsung memberi pengemis, tetapi dengan memperhitungkan jumlah uang yang akan diberikan. Ataukah langsung memberinya, tanpa mementingkan  nominal uang yang diberikan kepada pengemis tersebut. Dari ketiga opsi di atas, manakah yang menggambarkan diri kita?

 

Seberapa besar rasa peduli kita terhadap sesama manusia? Seberapa besar manfaat diri kita untuk orang lain? Serta berapa berartinya diri kita bagi orang lain? Dengan analogi di atas dan pertanyaan ini, bisa kita jadikan tolok ukur untuk mengetahui sejauh mana kepedulian, kemanfaatan dan keberartian diri kita terhadap orang lain. Untuk menguji hal tersebut, yaitu bisa diukur dari hal yang terkecil, misalnya dengan tetangga.

 

Siapakah yang dimaksud dengan tetangga? Tetangga adalah orang yg tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan; orang terdekat dalam kehidupan setelah keluarga. Tidaklah kita keluar dari rumah melainkan  melewati rumah-rumah tetangga. Di saat kita  membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil, maka tetanggalah orang pertama yang kita ketuk pintunya. Bahkan di saat kita tertimpa musibah, misalanya salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia. Maka secara otomatis, tetangga itu akan datang untuk membantu dan mengurusi ini dan itu. Saat ini, seberapa dekatkah kita dengan tetangga?

 

Kedudukan tetangga di mata Islam sangat tinggi. Bahkan Rasulullah mengaitkan kesempurnaan keimanan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir dengan sikap memuliakan tetangga, Rasulullah bersabda: “Siapasaja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tetangganya.” (HR. al-Bukhari no. 6019, dari sahabat Abu Syuraih radhiyallahu ‘anhu)

 

Sungguh mulia dan besar kedudukan tetangga.  Allah memasukkannya di dalam sepuluh hak yang harus dipenuhi oleh seorang hamba sebagaimana firman Allah , artinya: “….. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa` [04]:36).

 

Berbagi dengan Tetangga 

Dalam keseharian beraktifitas tentu tidak terlepas dari tetangga. Entah itu untuk bertegur sapa, ngobrol atau bahkan meminjam barang yang tidak kita miliki, misalnya cangkul atau lain sebagainya. Dalam hal pinjam meminjam dalam kehidupan bertetangga merupakan hal yang lumrah, apalagi untuk meminjam barang tersebut dengan tujuan untuk  mengambil manfaat dari barang tersebut.

 

Bisa dibayangkan apabila tetangga yang kita kurang dermawan alias pelit. Jika kita perhatikan hadits Rasululullah : Dari Abu Zar , katanya: “Rasulullah bersabda: “Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu – untuk saling beri-memberikan”. (HR Muslim)

 

Dari hadits di atas jelaslah, bahwa adab dalam bertetangga adalah saling memberi. Dermawan serta tidak perhitungan ketika memberikan pertolongan terhadap tetangga yang membutuhkan. Mungkin disekeliling kita terdapat tetangga yang demikian, tetapi sebagai tetangga yang baik dan mengerti betul akan adab bertetangga tentu tidak selayaknya untuk membenci apalagi membuat merasa tidak nyaman untuknya, melainkan terus mengingatkan secara santun dan cara yang baik pula.

 

Dari hadits di atas, jelas kita dianjurkan untuk berbagi dengan tetangga, saling memberi makanan dan lain sebagainya. Selain itu, berbagi makanan dapat menambah akrab serta eratnya tali silaturahmi antar tetangga. Untuk itu ketika memiliki makanan yang lebih dianjurkan untuk berbagi dengan tetangga yang lebih dekat pintunya.

 

Dengan berbagi, itu menandakan bahwa kita peduli serta menjaga tali silaturahmi dengan tetangga. Rukun dalam bertetangga itu sangat dianjurkan seperti dalam sebuah syair tanpo waton (tanpa judul) : Kelawan konco, dulur lan tonggo, Kang padha rukun ojo dursilo…. Iku sunnahe rasul kang mulyo, nabi Muhammad panutan kito…”. 

 

Memberikan Kenyamanan 

Menyakiti tetangga adalah sebuah kejahatan yang sangat diharamkan dalam Islam. Diriwayatkan oleh Abu Syuraih, dari Rasulullah , “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman. Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapa orang itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya.” (HR. Bukhari)

 

Memberi perlindungan bagi tetangga yang lain dari sesuatu hal, misalnya saja pencurian, penipuan dan lain sebagainya adalah anjuran Islam. Sudah jelas bahwa Rasulullah mengulang kalimatnya sampai tiga kali bagi siapa yang membuat rasa ketidaknyamanan bagi tetangganya. Untuk itu, ketika kita mengendari mobil, motor bahkan menyetel musik sebaiknya sekedarnya saja, bisa jadi ada tetangga yang merasa terganggu dengan suara gaduh tersebut.

 

Dikisahkan ada seorang âbid yang mempunyai tetangga non-muslim. Sang tetangga memiliki kamar mandi di atas rumahnya, dan bocor.  Sehingga air merembes masuk ke dalam rumah muslim tersebut. Setiap hari Ia selalu menadahi air yang berasal dari kamar mandi tetangganya dengan ember. Suatu ketika seorang âbid ini sakit parah, dan tetangga non-muslim pun menjenguknya. Ketika sang tetangga ini memasuki rumahnya, sang tetangga tahu bahwa air yang menetes itu berasal dari kamar mandinya. Ia pun bertanya, “air dari manakah ini”? sang  âbid pun mencoba mengalihkan pembicaraannya. Tetapi sang tetangga terus bertanya, air dari manakah ini yang anda tampung? Akhirnya  Ia menjawab, “Bahwa air itu adalah air rembesan dari kamar mandi Anda”.

 

Sang tetangga terus bertanya, “Berapa lama Anda menampungnya”?  sudah 18 tahun, jawab sang ‘abid. Kenapa anda tidak megadukannya padaku? Sang âbid menjawab : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya, anda adalah tetangga saya maka kewajiban saya adalah memuliakan anda“. Betapa terkejutnya sang tetangga itu, Ia merasa takjub dan akhirnya sang tetangga non-muslim tersebut masuk Islam. 

 

Penutup 

Dalam pergaulan sehari-hari tentu peran tetangga sangat penting, baik sebagai teman ngobrol, teman berbagi serta ladang untuk menuai pahala dari Allah . Beruntung jika memiliki tetangga yang baik, karena tetangga yang baik itu lebih mahal dari harga rumah atau tanah yang kita tempati, tetangga yang baik tidak ternilai harganya.

 

Rasulullah menganjurkan kita berdoa agar terhindar dari tetangga yang jahat. Karena memiliki tetangga yang jahat bisa menjadikan rasa tidak aman, bahkan seluruh kampung tersebut akan terkena dampaknya. Untuk itu maka ketika mencari rumah baru, yang harus diutamakan adalah mencari lingkungan (tetangga) yang baik lebih dahulu, atau dengan kata lain memilih tetangga sebelum memilih rumah.

 

Menjalani kehidupan bertetangga dengan baik dan saling menunaikan hak masing-masing merupakan suatu kebahagiaan dan tanda kebaikan sebuah masyarakat. Rasulullah   bersabda, “Ada empat perkara yang termasuk dari kebahagiaan: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan ada empat perkara yang termasuk dari kesengsaraan; tetangga yang jelek, istri yang jahat (tidak shalihah), tunggangan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban)

 

Dalam hadits lain rasulullah bersabda,“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang terbaik kepada tetangganya.”(HR. at-Tirmidzi) Marilah kita berbuat baik terhadap tetangga, serta memberikan hak-hak atasnya. Sebelum memasuki Bulan Ramadhan, mari cek kembali bagaimana hubungan kita dengan tetangga sekitar. Jika belum baik, tidak ada salahnya untuk diperbaiki. Jika sudah baik, silakan dipertahankan dan terus dijaga. Semoga kita termasuk orang-orang yang memuliakan tetangga. Amīn []

Amir

Belajar di UII

Mutiara Hikmah

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.” (Adabud Dunyaa wad Diin, karya Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, hal.48)

ISLAM DAN KHAZANAH KEILMUAN

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

(QS. al-Mujâdilah [58]: 11)

Kata ilmu dalam bahasa arab berasal dari kataع-ل-م (‘ain-lam-mim) yang mana Ibnu Faris memaknainya dengan dampak sesuatu yang dapat membedakan dari yang lain. Tidak jauh berbeda dengannya, Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa ilmu adalah mengetahui hakikat akan sesuatu. Dalam al-Quran, dengan berbagai derivasinya kata ilmu terulang sebanyak 854 kali. Adapun derivasi tersebut dalam bentuk sebagai berikut; ‘alima , ya‘lamu, i‘lam , ‘allama , yu‘allimu, yata’allamu, ‘ilmun, ‘alim, a’lam, ma‘lum, ‘alamin, ‘alamat, ‘aliim, ‘allam dan mu‘allam. Namun, jika kita mengkhususkan pada kata “ilmu” dalam al-Qur’an ia terulang sebanyak 105 kali. Dengan jumlah sekian banyak menandakan bahwa al-Qur’an sangat mengutamakan kedudukan ilmu di dalamnya.

Dalam surat al-Zumâr ayat 9 Allah  telah membedakan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar [39] : 9).

Dari ayat di atas jelas disebutkan bahwa orang-orang yang mengetahui (berilmu) tidak sama dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Perbedaan antara keduannya akan sangat berpengaruh dalam tindakan sehari-hari. Akan terlihat jelas bagaimana cara orang-orang cerdas menyelesaikan masalah sangat berbeda dengan mereka yang ceroboh, tidak memikirkan implikasi dari apa yang telah dilakukannya. Orang yang berilmu tentu lebih futuristik dan visioner, yang telah memikirkan dampak dari perbuatan yang dilakukannya.

Keilmuan senantiasa akan membawa umat manusia kepada ketenteraman, akan membebaskannya dari keterbelengguan hidup karena ilmu sejatinya akan menyelesaikan permasalahan dengan bijak. Sebaliknya, kebodohan merupakan petaka terbesar bagi umat manusia. Ia akan merumitkan permasalahan yang ada karena ketidakcerdasan dalam menghadapinya.

Di lain tempat, Allah  juga mengangkat derajat orang-orang berilmu baik di bumi maupun di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mujadilah ayat 11 di atas.

Dari ayat ini juga sangat terang dikatakan bahwa orang-orang berilmu senantiasa memiliki derajat yang tinggi disisi Allah . Orang-orang berilmu menjadi orang yang terpandang didunia karena keilmuannya, mereka juga mendapat tempat tempat yang layak disisi Allah di akhirat kelak. Nabi juga bersabda: “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (HR. Muslim).

Sangat banyak dalil keagamaan yang yang menyatakan tentang keutamaan ilmu karena ia merupakan poros peradaban dan pusat kemajuan suatu umat. Hakikat ilmu sesungguhnya terletak pada solving problem-nya, ketika ilmu itu tidak bisa menyelesaikan problem umat dan problem kemanusiaan, maka ilmu tersebut tidak bisa dikatakan bermanfaat. Karena Allah menganugerahkan ilmu kepada manusia sebagai perangkat solving problem, agar manusia bisa menepis semua permasalahan yang menghambat kehidupannya.

Jika kita merenungi wahyu pertama (surah al-Alaq) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , maka kita ketahui bahwa ayat tersebut berbicara tentang khazanah keilmuan. Sebagai wahyu pertama, khazanah keilmuan merupakan syarat mutlak untuk menguasai peradaban dunia. Dalam ayat ini Nabi Muhammad diperintahkan untuk belajar baca-tulis (iqra’ – qalam) sebelum menjadikan peradaban Islam yang menggetarkan dunia. Dengan keilmuan, Nabi Muhammad kemudian mencetak generasi sahabat sebagai generasi terbaik dalam sejarah yang ada dalam peradaban Islam. Tentunya ilmu di sini berkaitan erat dengan moralitas dan akhlaq karimah. Islam tidak memisahkan antara intelektualitas dan spiritualitas, karena keduanya saling berkaitan (intergrated-interconnected), saling menunjang satu dengan yang lainnya.

Ilmu juga dapat mengekalkan amal, pahalanya akan terus mengalir walaupun jasad telah dikubur karena selain sedekah jariyah dan anak yang shalih, ilmu yang bermanfaat juga termasuk dalam kategori amal yang pahalanya tidak terputus walau seseorang telah meninggal dunia. Dari pernyataan tersebut juga dapat dilihat bahwa ilmu tidak saja bermanfaat di dunia, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Dengan ilmu yang pernah diajarkan kepada orang lain, seseorang akan selalu memperoleh keuntungan darinya, selama ilmu itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, walaupun tidak lagi berada di alam dunia ini. Pahala-pahala kebaikan ini akan terus mengalir sebagai  pendongkrak amal kebaikan.

Dengan demikian, Islam adalah agama ilmu, ilmu kemaslahatan hidup di dunia maupun keselamatan akhirat. Namun seiring dengan pergeseran tujuan hidup manusia, motivasi menuntut ilmu pun mulai bergeser. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia mulai condong kepada ilmu duniawi dan menomor duakan, bahkan melupakan ilmu dien (agama). Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. al-Rûm [30]: 7).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dien Islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428). Syaikh Abdurrahman ibn Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya.”

Maka dari itu, seorang Muslim hendaknya mampu menyeimbangkan proses belajar mereka akan ilmu-ilmu duniawi dan ilmu-ilmu akhirat, dan keduanya pun harus dijalani dengan penuh ketekunan dan kesungguhan. Maka, ingatlah apa yang difirmankan oleh Allah : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qashshash [28]: 77).

Fadhli Espece
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta