POLIGAMI: Dalam Islam dan Kehidupan Modern

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. An-Nisa: 3).

Dari ayat di atas, Quraish Shihab menjelasakan ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami:
Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya. Para ahli fikih menetapkan ijmâ’ (konsensus) bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya.
Namun, larangan itu hanya terbatas pada tataran etika keagamaan yang tidak masuk dalam larangan di bawah hukum peradilan. Alasannya, pertama, bersikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kedua, kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu. Ukurannya sesuai dengan pribadi masing-masing. Ketiga, sikap zalim atau tidak mampu memberi nafkah berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi kemudian.
Kesahihan sebuah akad tidak bisa didasarkan pada prediksi, tetapi harus didasarkan pada hal-hal yang nyata. Kadang-kadang seorang yang zalim bisa menjadi adil, dan seorang yang kekurangan harta pada suatu saat akan mampu memberi nafkah. (https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-3#tafsir-quraish-shihab).
Kemudian ditekankan lagi oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat yang sama pada ayat 129:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayan (An-Nisa: 129).

Ahli tafsir Modern berkomentar pada ayat di atas, ia mengatakan bersikap adil terhadap istri dengan selalu mencintainya dan selalu saling memberi, adalah sesuatu yang tidak selamanya dapat dicapai. Begitu juga bersikap adil kepada istri-istri, kalau suami memiliki lebih dari satu istri, tidak selamanya dapat dicapai. Tetapi, apabila kalian tetap ingin memiliki lebih dari satu istri, maka jangan menyakiti salah seorang istri dengan lebih cenderung kepada yang lain. Jangan biarkan dirinya “menggantung”: tidak bersuami dan juga tidak dicerai. Kalian berkewajiban memperbaiki diri, membangun rumah tangga atas dasar perbaikan, bukan perusakan, dan bertakwa kepada Allah. Allah tentu akan mengampuni dosa kalian dan akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-129#tafsir-quraish-shihab).
Lalu bagaimanakah dengan kehidupan modern saat ini, apakah kemungkinan besar poligami akan terjadi? Apakah harus ada undang-undang larangan poligami? Atau apakah harus ada undang-undang suami harus poligami minimal 2 dan maksimal 4?
Seperti yang kita ketahui, Al-Qur’an hanya memberikan perkecualian saja untuk poligami dan bukan kebiasan atau kewajiban. Orang-orang muslim yang memiliki istri dua, tiga, dan empat bukan berarti mereka lebih baik dari orang-orang muslim yang memiliki istri satu. Seabliknya juga, orang-orang muslim yang memiliki istri satu bukan berarti tidak nyunnah atau bukan berarti mereka tidak mampu bahkan tidak lebih baik dari pada orang muslim yang memiliki satu istri.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *