MENGGAPAI KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI

MENGGAPAI KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI

Oleh: Hana Nabila, S.E.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ketaatan di Bulan Haram

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah ﷻ, Rajab adalah bulan yang dimuliakan Allah. Allah memberitahukan didalam firman-Nya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka jangan kamu menganiaya diri kamu dalam bulan empat itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Q.S. at-Taubah [9]: 36).

Bulan haram adalah bulan-bulan tertentu yang dijelaskan Rasulullah n sebagaimana disampaikan dari Abu Bakrah Nafi’ bin Harits dalam hadits shahih, “Sesungguhnya zaman ini telah berjalan, sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang berurutan, yaitu Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Muharam. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban.” (H.R. Bukhari: 4406, Muslim: 1679 dan Abu Daud:1947).

Melakukan ketaatan dan memperbarui taubat (bermuhasabah) kepada Allah di bulan haram sangat dianjurkan. Muhasabah disini diartikan dengan menilai diri sendiri, mengevaluasi segala tindakan yang sudah dilakukan tentunya mengacu pada al-Qur’an dan hadits sebagai dasar penilaian bukan berdasarkan penilaian yang dikehendaki sendiri. Bermuhasabah menjadi salah satu cara untuk memperbaiki, melatih dan menyucikan hati kita.

Bahkan Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bermuhasabah, dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 18 yang menjelaskan agar manusia menghisab dirinya sendiri sebelum dihisab oleh Allah ﷻ dan perbuatan amal shalih yang dilakukan selama ini semata-mata akan dijadikan saksi saat menghadap Allah, maka bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah mengetahui segala perkara yang diperbuat manusia, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya baik itu perkara kecil maupun besar[1].

Kebahagiaan Palsu

Di zaman modern ini banyak sekali fenomena yang memperlihatkan begitu diperbudaknya manusia dengan urusan dunia, mencari kekayaan dan popularitas sampai mengorbankan kebahagiaan fisik dan jiwanya sendiri, bahkan menggadaikan ketakwaannya kepada Allah ﷻ, na’ûdzubillâh. Kehidupan modern membuat manusia lupa dan lalai akan perhitungan ke atas dirinya, mereka seolah-olah tertipu oleh keindahan dunia. Sedangkan setiap apa yang dilakukan manusia akan diperhitungkan oleh Allah ﷻ. Dengan begitu manusia dihadapkan pada persoalan, di antaranya yaitu tentang pencarian makna kebahagiaan.

Paradigma kehidupan yang begitu hedonis menjadikan tatanan kehidupan manusia zaman modern dihadapkan dengan idealitas yang samar dan kosong, hanya karena menginginkan kesenangan duniawi semata. Sehingga banyak manusia seperti berada dalam keseimbangan yang ‘palsu’. Kepalsuan ini yang menipu manusia dan memasukkannya ke dalam jurang keringnya nilai spiritual dan tak mampu mencapai tahapan kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan yang mereka kejar lebih pada kebahagiaan palsu.

Lalu apakah kita tidak boleh melakukan kesibukan? Tentu saja boleh. Manusia yang menyibukkan dunia dengan sesuatu yang bermanfaat untuk membantu ketaatan kepada Allah, mereka adalah orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun akhirat. Beruntung di dunia karena menyibukkan diri dalam amal kebaikan. Begitupun di akhirat karena telah membekali diri dengan berbagai amal shalih. Kebahagiaan juga akan dapat diraih apabila dekat dengan pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah ﷻ.

Macam Kebahagiaan

Imam al-Ghazali, menyebut bahwa kebahagiaan terbagi dua, yaitu kebahagiaan majazi dan kebahagia hakiki. Kebahagiaan majazi merupakan kebahagiaan duniawi yang hanya bersifat fana, sedangkan kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan rohani yang mengantarkan kita pada kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan duniawi bisa didapatkan oleh semua orang baik yang beriman maupun tidak beriman, namun kebahagiaan rohani hanya didapatkan oleh orang yang beriman sedang berilmu dan berakal. Kebahagiaan hakiki (rohani) dapat diraih karena adanya koneksi dengan Allah dengan keimanan dan ketaqwaan.

Di dalam kitab ‘Kimiya al-Sa’adah’ karangan Imam al-Ghazali terdapat cara untuk mengenal sang pencipta dan membangkitkan keimanan serta ketaqwaan sebagai langkah untuk bermuhasabah di bulan Rajab mubarak ini, diantaranya yaitu[2] :

  1. Mengenal Diri (ma’rifah al-Nafs).

Salah satu cara seseorang dapat menemukan kebahagiaannya adalah dengan memahami siapa dirinya. Memahami diri sendiri dengan sebenar-benarnya sampai pada titik kesadaran dan pengetahuan tertinggi tentang bagaimana dirinya menjadikan ia dengan mudah mengenal Tuhannya.

Dalam pandangan Imam al-Ghazali, manusia di dalam dirinya memiliki tiga sifat yaitu hewan, setan dan malaikat. Dengan penjelasan apabila dalam kehidupan kita hanya melakukan aktivitas seperti makan tidur dan kawin saja maka sifat kehewanan tersebut lebih dominan, apabila dalam kehidupan manusia lebih mengarah pada sifat suka menghasut, menjelek-jelekkan orang, berbuat kejahatan maka sifat setan lebih dominan, dan apabila dalam kehidupan manusia menjalani kehidupannya dengan taat, berbuat kebaikan maka sifat malaikat lebih dominan.

  1. Mengenal Allah (Ma’rifatullah)

Menurut al-Husayn bin Mansur al-allaj (w. 921 m) ma’rifat yaitu apabila manusia sudah mencapai tingkatan ma’rifat, maka pikiran-pikiran yang dihadirkan menjadi sarana ilham sehingga memunculkan kearifan dan juga kebijaksanaan yang tinggi, serta dikarunia hikmah yang luas yang menjadikan manusia tersebut memiliki ketentraman hati[3]. Konsep pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) didapatkan melalui perenungan dan pendalaman pikiran terhadap wahyu Allah dan akal untuk memahami alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga pengenalan tersebut dapat mengantarkan pada kesadaran pikiran dan iman terhadap Allah sehingga menimbulkan rasa cinta ibadah kepada-Nya seperti shalat, mengamalkan amalan-amalan masyru’, dan menghadirkan rasa takut kepada Allah.

  1. Spiritualitas dan Dzikir,

Menurut al-Gḥazālī, spiritualitas yaitu bergabungnya fungsi secara tepat al-rūḥ, al-qalb, al-nafs, al-‘aql dalam diri manusia. Spiritualitas merupakan kekuatan dari mengenal diri dan mengenal Allah sehingga seseorang berkemampuan mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritual, memiliki hasrat untuk hidup bermakna yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup dan mendambakan hidup bermakna.

Sedangkan dzikir ditinjau dari segi bahasa adalah menginat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah[4]. Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang berdzikir adalah orang yang selalu ingat bahwa Allah mengawasi dan melihat seluruh tindakan dan pikirannya baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Sedangkan manusia hanya mampu melihat yang terindra. Karenanya, manusia yang mempercayai pengawasan Allah atas dirinya pasti dapat melatih jasad dan batinnya sekaligus sehingga muncul kebahagian rohani.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam bermuhasabah sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allah tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

Mutiara Hikmah

Allah berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28).

MARÂJI’

* Alumnus Ekonomi Islam FIAI UII

[1]Arif Rahman Hakim dkk. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10. Surakarta: Insan Kamil. 2015. hal. 77

[2]Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Kimiya al-Saadah al-Risalah al-Laduniyyah.

[3]Hasbiyallah, and Ihsan, M. N. Konsep Pengenalan Allah (Ma’Rifatullah) Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam’.Jurnal Perspektif. 2019.  3(1), p. 1. doi: 10.15575/jp.v3i1.37.

[4]Ismail Nawawi. Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilau Lahir & Batin dalam Perspektif tasawuf. Surabaya: Karya Agung surabaya.2008.hal.244

Download Buletin klik disini

FAKTOR PEMBATAL KEISLAMAN

FAKTOR PEMBATAL KEISLAMAN 

Oleh: Nanang Qosim

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam Agama yang Sempurna

            Islam adalah agama yang sangat sempurna dari berbagai sisi, tidak diragukan lagi kesempurnaan Islam sebagai agama yang wajib diyakini oleh seluruh makhluk Allah, baik itu manusia dan jin. Tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban kita sebagai makhluk-Nya  adalah ikhlas dan ittiba’. Allah l telah berfirman “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 3)

Imam Ibnu Katsir v berkata, “Ini merupakan kenikmatan Allah l yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah l telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya. Dan (tidak pula membutuhkan) nabi selain nabi mereka; oleh karena itu, Allah l menjadikannya (Nabi Muhammad n) sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau syari’atkan, dan setiap apa yang beliau beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya.” (Tafsir al-Qur‘ânil Azhîm 3/23)

Karena Islam telah sempurna, dan telah dijelaskan oleh salafush shalih dalam kalam-kalam (kutub) mereka. Tidak diragukan lagi jika ada seseorang melakukan penambahan,  pengurangan bahkan tidak menyakini sebagian syari’at atau seluruhnya maka dia bisa dipastikan telah batal keislamannya. Fenomena ini telah banyak bermunculan di zaman kita ini. Adanya budaya syirik yang dibungkus dengan kearifan budaya lokal, munculnya nabi-nabi baru yang disertai dengan syariat baru, dan tersebarnya pemikiran-pemikiran sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.

Fenomena ini secara sadar ataupun tidak sadar telah menghancurkan bangunan Islam yang kokoh dari diri seseorang. Ada banyak faktor kenapa fenomena ini muncul. Berikut kita kaji bersama faktor-faktor munculnya pembatal keislaman yang pada akhirnya seseorang melakukan perbuatan pembatal-pembatal keislaman, baik secara sadar ataupun tanpa sadar. Semoga Allah membimbing kita diatas hidayah taufiq-Nya.

    1. Iman yang Lemah (dha’îful îmân)

Iman dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan di dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Asy-Syâfi’î v berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena (melakukan) kemaksiatan”. Kemudian ia (Asy-Syâfi’î) membaca ayat ini, “Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya’ (Q.S. al-Mudatstsir [74]: 31)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ’, 9/114-115; Dârul-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1409).

Ibnul Qayyim v dalam ungkapannya menyampaikan, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat–tingkat (Ighâtsatu al-Lahafân 2/142).

    1. Tidak adanya majelis ilmu.

Majelis ilmu menjadi sebab terbesar bertambahnya keimanan, begitu pula perbuatan maksiat dan dosa karena sebab kebodohan. Kebodohan muncul karena sebab tidak adanya majelis ilmu dan penyeru (da’i) yang menyeru kepada jalan yang haq. Perbuatan jahil menjadi faktor penyebab perbuatan maksiat dan dosa menjadi hal yang lumrah karena hilangnya majelis ilmu dan penyeru (da’i) yang shalih. Disinilah pentingnya majelis ilmu karena akan mengantarkan pelakunya pada keimanan yang  kokoh. Salah satu hilangnya majelis ilmu adalah dicabutnya ilmu dengan diwafatkannya para ulama.

Syaikh Ali Hasan berkata, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu, syetan masuk kepada orang- orang yang cetek ilmunya, ia menghiasi ‘kebatilan’ dengan hal yang indah-indah, sehingga mereka terjerumus dalam perangkapnya, maka ilmu yang bermanfaat merupakan kunci bagi segala kebaikan dan penolak segala kejahatan.” (Mawarid al-Amân, hlm.412,  footnote no.1)

    1. Menjalarnya penyakit syubhat dan syahwat (ikhtaraqa al-maradh asy-syubhat wa syahwat)

Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya selain penyakit syubhat dan syahwat. Jika penyakit ini sudah menjalar dan mengakar, maka tidak bisa diobati kecuali hidayah Allah datang menyapa. Allah l berfirman, “Didalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 10).

Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullâhu ta’âlâ menjelaskan yang dimaksud penyakit dalam ayat ini adalah penyakit syubhat dan syahwat.  Syubhat artinya keraguan, samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat ini misalnya kufur, kemunafikan, kekafiran, kebid’ahan dan kesesatan lainnya. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusak ilmu dan keyakinannya.

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Penyakit syahwat adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Penyakit syahwat ini misalnya zina, mencuri, minum khamr, ghibah, namimah, riya, rakus terhadap harta, mengharapkan kekuasaan atau jabatan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Penyakit syahwat akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini. (Durus min al-Qur’ân al-Karîm oleh Dr. Shalih bin Fauzan, hlm. 86-87, cet. Dâr al-Âshimah –dengan sedikit tambahan)

    1. Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratubissu’).

Nafsu kita ketengahkan menjadi salah satu faktor penyebab seseorang melakukan pembatal keislaman karena nafsu itu menyeru kepada perbuatan maksiat, dosa, sikap durhaka dan mendahulukan dunia. Sedangkan Allah l menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsunya. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman, “Adapun orang yang durhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka surgalah tempat tinggalnya.” (Q.S. an-Nazi’ât [79]: 37-41)

Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan. Dalam khutbah hajah Rasulullah n mengajarkan kepada para sahabat untuk berlindung dari kejahatan nafsu, “Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita.”

    1. Adanya dukungan kearifan budaya lokal

Islam tidak melarang adat dan budaya setempat, selama adat istiadat dan budaya itu tidak menyalahi syariat. Namun kaum muslimin kadang tidak bisa membedakan antara sunnah dan bid’ah, tauhid dan syirik, haq dan bathil. Ketidaktahuan inilah yang menjadi penyebab seseorang melestarikan budaya lokal yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam. Adat istiadat dan budaya yang mengandung kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan kebanyakan masyarakat sampai saat sekarang ini tidak saja dilakukan secara tertutup dan tersembunyi oleh orang perorang, tetapi malah dilakukan secara demonstratif dan terbuka dengan cara berjama’ah serta dijadikan agenda khusus oleh pemerintah daerah setempat  dengan dalih kearifan budaya lokal dan untuk menarik kunjungan wisata. Sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya. Ya Allah ampuilah dosa kami, dan tetapkanlah kami diatas hidayah-Mu. []

Mutiara Hikmah

Dari ‘Ali a, ia berkata, “Rasulullah n bersabda kepadaku:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي ، وَسَدِّدْنِي

 “Ya Allah, berilah aku hidayah dan berilah aku kebenaran”

Dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الهُدَى وَالسَّدَادَ

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu hidayah dan kebenaran”

(HR. Muslim, no. 2725)

KEISTIQAMAHAN KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

KEISTIQAMAHAN KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

Oleh: Azizaturrohmah*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Kata istiqamah sudah tidak asing lagi bagi telinga seorang muslim. Kata ini sering muncul ketika kita mengikuti pengajian atau acara lain yang sejenisnya. Selain itu, sering juga muncul keitka kita senang membutuhkan motivasi untuk kesuksesan kita. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi?

 

Arti Istiqamah

Pengertian istiqamah dalam Mu’jam Mufradãt al-Faẓi Alqurãn merupakan jalan menuju kebenaran contohnya dalam (Q.S. al-Fatihah [1]: 6) yang berbunyi اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ yang artinya “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” bahwa Istiqamah menguatkan seseorang keapada jalan yang lurus, yaitu tetap berusaha dalam kebenaran walaupun dengan berbagai rintangan yang dihadapi.[i]

Secara bahasa istiqamah diartikan secara luas yaitu teguh, tetap, sedangkan secara istilah adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk tetap teguuh pada jalan yang lurus atau jalan kebenaran tanpa ada kebengkokan terhadapnya. Kata istiqamah ini selalu diartikan dalam arti positif. Menurut Al-Jauẓiyah istiqamah adalah kata Jãmi’ (memiliki arti yang banyak) yang dapat diafilikasikan pada setiap aspek kehidupan pada setiap ajaran Islam.[ii]

Kata istiqamah sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk dikerjakan. Namun, dalam menjalankan istiqamah tidak mudah. Kita harus selalu sabar dan taat kapada Allah l secara terus-menerus sehingga apa yang kita inginkan dapat diraih atas izin Allah l.

 

Istiqamah Untuk Mendapatkan Hasil Terbaik

Istiqamah dalam urusan dunia bisa dicontohkan dengan konsisten belajar. Belajar adalah hal yang sangat penting dan utama dalam usaha untuk meraih cita-cita atau impian. Misalkan kita mengharapkan untuk bisa melanjutkan ke universitas terbaik di Indonesia, tidak hanya butuh ucapan saja, namun harus dengan belajar secara konsisten. Belajar saja tidak cukup, namun juga harus konsisten. Dengan cara belajar secara terus-menerus, materi yang telah dipelajari tidak akan terlupakan, dan juga dalam menghadapi soal atau semacamnya menjadi lihai karena sudah terbiasa. Hal tersebut juga akan berdampak baik untuk hasil akhirnya, yaitu mendapatkan hasil yang terbaik dan akan dengan mudah mencapai apa yang kita harapkan sebelumnya.

Selain urusan dunia, istiqamah juga perlu diterapkan dalam urusan akhirat. Seperti contohnya dalam menghafal al-Qur’an. Orang yang berhasil menyelesaikan hafalan Qur’an sampai 30 juz, mereka tidak semua orang yang pintar, cerdas, maupun jenius. Hal yang mereka terapkan adalah keistiqamahan. Istiqamah dalam menyetor hafalan, dan juga memuroja’ahnya. Banyak orang pintar dan cepat dalam menghafal, namun tidak istiqamah dalam menjaga hafalannya, maka ayat yang telah dihafal akhirnya perlahan-lahan memudar. Hal ini menyebabkan proses dalam menghafal al-Qur’an menjadi lama dan juga dapat menciptakan dosa karena telah melupakan ayat al-Qur’an yang sudah dihafalkan. Maka dari itu, untuk seorang yang sedang berjuang untuk menjadi hafidz Qur’an hendaklah menjaga hafalannya dengan cara istiqamah dalam muraja’ah. Setelah menjadi hafidz karena selalu istiqomah dalam menghafal dan menjaganya, maka di akhirat nanti ayat-ayat Al-Qur;an yang telah dihafal dapat menolong para penghafalnya atau menjadi syafa’at kelak di hari akhir nanti.

 

Agar Dapat Istiqamah

Istiqamah akan sangat sulit dilakukan jika sebelumnya tidak pernah melakukannya. Maka dari itu, istiqamah dilakukan dengan berproses atau perlahan-lahan. Pada awalnya memang sangat memerlukan kerja keras atau paksaan dari diri sendiri, namun seiring berjalannya waktu paksaan itu akan hilang karena sudah merasakan kenikmatan dalam sebuah kegiatan yang dilakukan dengan istiqomah.

Seseorang yang ingin istiqamah dalam suatu kegiatan, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah niat. Niat yang lurus dan tidak menyimpang. Niatkan juga melakukan sesuatu tersebut hanya karena mengharap ridho dari Allah l. Dengan itu, ketika kita menjalankan suatu kegiatan tersebut akan dinilai ibadah dan juga akan dimudahkan jalannya oleh Allah l dalam meraihnya.

Selain usaha dari diri sendiri dalam melakukan istiqamah, langkah kedua adalah faktor yang datang dari luar diri kita, yaitu lingkungan. Kita harus bisa mencari lingkungan yang baik dan orang-orang yang baik juga. Hal itu sangat penting karena mereka akan mendukung usaha kita. Jika kita bergaul di lingkungan dan orang-orang kurang baik, kita akan kesulitan dalam menjalankan istiqamah tersebut. Cara ini sangat diperlukan karena orang-orang yang baik akan memiliki toleransi yang tinggi terhadap kegiatan yang kita lakukan, mereka pastinya juga akan lebih mendukung dan membrerikan semangat kepada kita.

Hal ketiga yang tak kalah penting dilakukan oleh orang yang berusaha istiqamah adalah do’a dan dzikir kepada Allah l. Kita sebagai seorang muslim dan manusia biasa yang lemah tidak berdaya selain dengan kekuatan Allah, maka harus sepatutnya kita selalu berdo’a dan mengingat Allah l kapan saja dan dimana saja. Seberapapun usaha keras yang kita lakukan, jika kita tidak mengingat Allah l di dalamnya dan tidak mau berdo’a, maka usaha itu terbilang isa-sia-sia. Allah l yang punya segalanya, maka dari itu kita juga harus meminta segalanya kepada Allah l. Sejatinya semua kegiatan atau apapun itu jika tidak dalam kendali dan kehendak Allah l, maka tidak akan pernah terjadi. Kita harus meminta pertolongan kepada-Nya agar selalu diberikan hati yang bersih dan dapat melakukan kegiatan yang baik secara istiqomah.

 

Keutamaan Istiqamah

Istiqamah mempunyai banyak keutamaan, seperti menjadikana jiwa tenang karena hati yang selalu terpaut kepada Allah l, merupakan amalan yang terpuji dan dicintai Allah  l yang tentunya jika dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah l, wujud bersyukur atas nikmat Allah dengan menggerakkan mengoperasikan anggota tubuh, hati, dan pikiran kita untuk selalu dalam jalan kebenaran, serta mendapat jalan yang lurus dari Allah l. Di lihat dari keutamaan tersebut, sampai ada pepatah arab yang berbunyi:

اَلْإِسْـتِقَـامَةِ خَيْرٌ مِـنْ اَلْفِ كَــرَامَةٍ # ثُبُــوْتُ الْكـَـرَامَةِ بـِدَوَامِ الْإِسْـتِقـَـامَةِ

“Istiqamah lebih utama dari seribu karomah, dan tumbuhnya karomah dengan menjaga istiqamah.”

Kita tahu bahwa karomah itu sulit digapai. Dan di sini dijelaskan bahwasanya istiqomah lebih baik daripada seribu karomah. Artinya, keutamaan seseorang yang menjaga ibadah dan amalnya dengan istiqomah akan mendapatkan keutamaan berlipat-lipat.

Dalam usaha untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat, maka kita harus percaya dan yakin kepada Allah l, bahwa suatu saat nanti kesuksesan tersebut akan bisa kita peroleh. Selain yakin, kita juga harus terus berdo’a dan berusaha. Usaha tersebut dilakukan secara konsisten. Seseorang yang melakukan usaha dengan istiqamah tidak akan pernah merasakan rugi waktu dan lainnya, namun kenikmatan dan pahala yang terus mengalir yang akan mereka dapatkan. Semoga kita selalu dapat mejalankan usaha untuk meraih keinginan dan impian kita dengan istiqamah secara benar, sehingga terdapat keberkahan dan dan pahala nantinya. Aamiin allahumma aamiin. Wa Allâhu a’lam bi ash-shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Allah l  berfirman:

 

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Hud [11]: 112)

Marâji’:

*  Mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam FIAI UII

[i] Hasibuan R. M., Penafsiran Ibn Kasir Tentang Ayar-Ayat Istiqamah, dalam Jurnal Al-I’jaz Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2020, hal. 6.

[ii] Hasibuan R. M., Penafsiran Ibn Kasir Tentang Ayar-Ayat Istiqamah, dalam Jurnal Al-I’jaz Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2020, hal. 8-9.

 

File Lengkapnya bisa diakses pada link berikut ini

https://drive.google.com/file/d/1QduVBMdlDIItRdIYb-CLaQxhhO0i2wiy/view?usp=sharing

 

 

 

 

 

 

MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN

MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN

Oleh: Nurul Syifa Azzahra*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Penyebutan ilmu matematika secara khsusus dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tersurat, namun disebutkan secara tersirat. Sebagaimana penyebutan bilangan-bilangan (angka) yang merupakan sebuah dasar dari matematika. Penyebutan angka-angka ini menunjukkan perhatian al-Qur’an terhadap bidang ilmu, khususnya matematika. Juga bukanlah secara kebetulan atau asal bunyi.  Semuanya telah ditetapkan dengan komposisi yang jelas dan akurat. Tidak ada  kesalahan sedikitpun. “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 2).

Al-Qur’an ini mencakup segala tata aturan kehidupan, dan selalu dijadikan hujjah bagi segala hal yang berkaitan dengan ibadah ataupun yang lainnya. Al-Qur’an yang tiada keraguan didalamnya adalah petunjuk bagi manusia khususnya mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah l. Al Qur’an sebuah kitab suci agama Islam sebagai sumber pokok ajaran agama. Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi setiap insan untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat.

 

Sumber Ilmu

Dalam al-Qur’an terdapat pentunjuk bagaimana manusia cara memperoleh ilmu pengetahuan. Ditemukan banyak ayat yang memberi isyarat kebenaran ilmu pengetahuan dan hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu ada dua  sumber, yaitu pertama ayat al-Matluwah (yang dapat dibaca) yakni al-Qur’an dan kedua ayat al-Majluwah (yang dapat dilihat) yakni alam semesta. Keduanya bersumber dari Allah l ayat al-Matluwah adalah firmannya dan ayat al-Majluwah adalah ciptaannya. Inilah hakikat ilmu pegetahuan yang tak terbatas.

Al-Qur’an dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia secara langsung, sebagaimana diberikan kepada para Nabi dan Rasul. Allah l memberikan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan para Nabi dan Rasul melalui proses  pembelajaran dan aktualisasi potensi akal dan qalbu serta indera yang telah Allah l anugerahkan kepada manusia sejak lahir. Maka ilmu pengetahuan hendaknya di abadikan untuk Allah l, yaitu ketika seseorang yang berilmu maka seharusnya semakin bertambah ilmunya semakin bertambah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah l.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an memberikan petunjuk dan dorongan agar manusia menggunakan akal pikiran, hati, indera mata, telinga untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan. Hakikat ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran, maupun intuisi, serta mengandung nilai-nilai logika, estetika, hikmah, rahmah dan petunjuk bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di kemudian hari. al-Qur’an banyak mengandung nilai-nilai empirik serta isyarat yang diberikan pengetahuan baik melalui ayat-ayat tertulis yaitu al-Qur’an, maupun ayat-ayat yang terbentang luas dialam semesta beserta isinya.

 

Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Allah l telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an. Manusia hanya tinggal menggali dan mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada. Antara ilmu pengetahuan dan al-Qur’an terdapat kaitan erat. Akan tetapi keterkaitan antara keduanya disesuaikan dengan porsi yang sesuai.

Al-Qur’an ini digunakan untuk mengembangkan matematika, misalnya dalam al-Qur’an terdapat bahwa al-Qur’an berbicara mengenai kelompok, golongan, atau kumpulan. Dalam al-Qur’an surat Fathir [35]: 1 dan surat An-Nur [24]: 45. Berdasarkan dua ayat tersebut terdapat dua konsep yang terkandung di dalamnya dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Pertama, konsep mengenai kelompok atau kumpulan objek-objek dengan sifat tertentu yang disebut dengan himpunan. Kedua, konsep bilangan yang dalam masing-masing ayat tersebut dinyatakan dalam banyak sayap dan banyak kaki. Itu merupakan konsep yang berkaitan dengan himpunan. Himpunan adalah kumpulan objek-objek yang terdefinisi dengan jelas.[1]

 

Keajaiban Statistik

Al-Qur’an sendiri telah memberikan bukti konkret tentang statistika. Dalam al-Qur’an terdapat keajaiban statistik (statistical miracle) dalam penyebutan kata. Dalam masalah mengumpulkan data matematika yaitu mencatat atau membukukan data, al-Qur’an juga membicarakannya.[2]

Matematika digunakan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah l yang termuat dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, Matematika digunakan dalam konteks fikih, yaitu penentuan ukuran dua kulah, shalat, puasa, zakat, haji, dan pembagian harta waris (faraid). Matematikawan Muslim terdahulu mempelajari Matematika terutama untuk masalah faraid, pembuatan kalender, penentuan arah kiblat, perhitungan waktu shalat, penentuan nilai zakat, dan untuk muamalah lainnya. Matematika diajarkan dengan tujuan untuk digunakan dalam melaksanakan tugas penghambaan sekaligus tugas kekhalifahan.

Matematika diajarkan dalam rangka mengembangkan potensi intelektual sekaligus potensi spiritual. Penyebutan  اَفَلَا تَتَفَكَّرُوْنَ  (apakah tidak berpikir), اَفَلاَ تَعْقِلُونَ  (apakah tidak bernalar), dan اَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ  (apakah tidak belajar) mendorong manusia untuk mengembangkan potensi intelektualnya. Potensi intelektual tidak cukup karena al-Qur’an juga menyebutkan potensi spiritual untuk dikembangkan, misalnya pada Q.S Ali Imrân [3]: 13, Q.S. al-A’râf [7] :179, dan Q.S. al-Hajj [22]: 46. Otak (head/kognitif) dan hati (heart/afektif) dikembangkan melalui pembelajaran Matematika untuk menghasilkan amal saleh (hand/psikomotorik).

 

Matematika dan Kandungan Nilai-Nilai al-Qur’an

Matematika dikaitkan dengan kandungan nilai-nilai al-Qur’an. Matematika dilandasi nilai-nilai al-Qur’an untuk mengembangkan akhlaqul karimah dalam rangka mencipta manusia menjadi khairaummah yang diliputi ‘amilushshalihah. Nilai-nilai al-Qur’an diinternalisasi melalui Matematika. Kajian terkait internalisasi nilai Islami dalam Matematika telah dilakukan. Dilakukan internalisasi nilai-nilai al-Qur’an melalui materi aljabar. Strategi internalisasi yang dilakukan adalah; infusi (menekankan aspek nilai al-Qur’an yang ada dalam materi), analogi (melakukan analogi nilai kebaikan), uswah hasanah (menunjukkan perilaku yang patut dicontoh terkait matematika misalnya kejujuran, kesungguhan, ketepatan, ketaatan, dan ketelitian).[3]

Matematika merupakan ilmu yang berkembang sehingga pada zaman dahulu hanya ditemukan dasar-dasarnya saja tidak seperti zaman sekarang. Sejarah Matematika juga tidak banyak orang yang tahu sehingga sebagian orang menganggap Matematika bukan ilmu yang harus dipelajari oleh umat Islam, padahal pada masa kejayaan Islam, Matematika merupakan kajian yang sangat penting. Mengenai sejarah Matematika dapat dilihat bahwa para ilmuwan Muslim ikut berkontribusi dalam mempelajari dan mengembangkan Matematika. Salah satu ilmuwan yang paling terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia dijuluki dengan gelar “bapak Aljabar” karena dia menemukan dasar Matematika dengan konsep yang mudah, penemu angka nol, dan penemu ilmu tertinggi dalam Matematika yaitu logaritma.

Matematika termasuk ilmu yang datang dari Allah l. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan Matematika, yaitu mengenai bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional. Matematika sangat bermanfaat karena dapat membantu manusia dalam beribadah, yaitu salat, zikir, dan masalah faraid. al-Qur’an banyak menunjukkan fenomena “ketelitian” dan bukti untuk semua makhluk cerdas di alam semesta. Bukti bahwa al-Qur’an tidak tercampur oleh keinginan manusia. Sifat manusia dari Nabi Muhammad n tidak dapat menginterfensi al-Qur’an. Wa Allâhu a’lam bi ash shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Ibnu Mas’ud a, Rasulullah n bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الدِّينَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ، فَمَنْ أَعْطَاهُ اللهُ الدِّينَ، فَقَدْ أَحَبَّه.

Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada hamba yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Namun Allah tidak memberi (ilmu) agama kecuali kepada orang yang Dia cintai. Karena itu, siapa yang Allah beri (ilmu) agama, berarti Allah mencintainya.” (H.R. Ahmad 3672, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 34545)

 

Marâji’:

* Mahasiswi Prodi Ilmu Kimia FMIPA

[1] Bush & Young, 1873: 2 Buku Digital

[2] Salah satunya disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi [18]: 49

[3] Abdussakir dan Rosimanidar. T.t. Model integrasi Matematika dan Alquran serta praktik pembelajarannya. Buku Digital

 

File lengkapnya dapat di wonload pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/10QT-ttKnIaEU-_mHl88M2SziCXxV5-SU

HIKMAH KEHIDUPAN

HIKMAH KEHIDUPAN

Oleh: Muhammad Khusnul Khuluq Talijiwa[1]

 

Makna Hikmah

Hikmah terambil dari kata “hakama” yang pada mulanya yang berarti menghalangi. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantarkan kepada yang baik dan menghindarkan yang buruk.[2] Hikmah juga diartikan sebagai manfaat yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dalam berbagai hal. Sebut saja hikmah kehidupan yang artinya adalah manfaat dari berbagai macam kejadian di kehidupan yang menimpa kita dan kemudian kita bisa mengambil pelajaran atas terjadinya kejadian-kejadian tersebut. Menilik dari sebuah pepatah Arab yang berbunyi.

مَنْ عَرَفَ اللّٰهَ أَزَالَ التُّهْمَةَ # وَقَالَ كُلُّ فِعْلِهِ بِالحِكْمَةِ

Barang siapa mengenal Allah, pasti ia menghilangkan buruk sangka pada-Nya. Dan Ia berkata bahwa di setiap perbuatan-Nya selalu disertai dengan hikmah”.

Disini dapat kita artikan bahwa di setiap kejadian pasti ada pelajaran yang terkandung didalamnya, dan tidak semua orang akan sadar akan hikmah tersebut karena hikmah memiliki makna yang sangat dalam.

Saya akan beri sebuah permisalan agar kita sama-sama mengerti dan dapat memahami. Di suatu pagi ada seorang anak yang terlambat bangun untuk pergi ke sekolah, kemudian ia menyalahkan ibunya karena tidak membangunkannya karena memang ia tinggal seorang diri dengan ibunya dan ayahnya telah lama meninggal. Sesampainya di kelas, spontan gurunya langsung menyuruhnya untuk pulang ke rumah tanpa mengikuti pembelajaran di sekolah. Mungkin sekilas anak itu marah hebat kepada ibunya dan ingin mencacinya sepulang sekolah, tetapi ternyata ia terkejut ketika hendak memasuki kamarnya. Ibunya yang sudah tua tergeletak di dapur karena terpeleset, lantas ia memanggil warga sekitar dan melarikannya di rumah sakit. Sekarang apa hikmah yang terkandung dalam cerita singkat tersebut? Sudah pasti apabila ia datang ke sekolah tepat waktu dan mengikuti pembelajaran sekolah hingga usai, ibunya tidak segera ditolong dan kemungkinan terburuknya bisa saja ibunya meninggal seketika.

 

Jangan Berandai-Andai  

Maka dari itu, kurangilah kata-kata yang menunjukkan bahwa kita sedang berandai-andai terhadap sesuatu karena itu menunjukkan bahwa kita tidak bersyukur terhadap pemberian dari Allah l yang secara tidak langsung akan menjadikan-Nya murka kepada kita. Ada satu hadits nabi yang menceritakan tentang pengandai-andaian ini. Rasulullah n bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan”.(H.R. Muslim)[3]

Sebenarnya kata pengandaian disini memiliki hukum yang bermacam-macam tergantung kepada tujuan dari pengandaian tersebut. Apabila kita mengandai-andai terhadap musibah yang Allah l berikan, atau mengandai-andai bukan untuk kebaikan kita akan mendapatkan dosa dari pengandai-andaian tersebut. Tetapi apabila pengandai-andaian kita bertujuan untuk mendapatkan kebaikan maka kita akan mendapatkan ganjaran pahala dari pengandai-andaian tersebut. Dan yang banyak kita lakukan sebagai manusia adalah pengandai-andaian terhadap takdir Allah l yang diberikan kepada kita terkhusunya terkait dengan musibah.

Apakah kita menyadarinya? Mungkin terkadang kita tidak sadar ketika mengatakannya karena terlalu larut dalam kesedihan. Seperti kecelakaan yang terjadi, baik itu kecelakaan kecil maupun besar. Tiba-tiba sempat terbesit dalam benak kita “Andai saja tadi saya tidak pergi ke pasar”, memang perkataan ini remeh tetapi dapat menimbulkan murka Allah l. Karena secara tidak langsung kita protes terhadap takdir yang diberikan oleh Allah l, apa salahnya kita mensyukuri musibah tersebut dengan selalu mengambil pelajaran di setiap kejadian kehidupan ini. Tidak mungkin keadaan berubah setelah kita berandai-andai justru dengan itu kita bisa mendapatkan dosa besar. Cukuplah untuk selalu percaya bahwa Allah l akan mengganti kesyukuran kita dengan hal yang lebih baik, entah di dunia ataupun kelak di akhirat.

 

Ucapan Orang Munafik

Bahkan telah diceritakan dalam al-Qur’an tentang orang-orang munafik yang berandai-andai dalam tragedi perang Uhud. Sebagaimana firman Allah l dalam surah Ali ‘Imrân ayat 168 yang berbunyi: Orang-orang (munafik) yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar”.(Q.S. Ali’Imrân [3]:168)

Ada cerita unik ketika terjadinya peperangan Uhud yang berkisah tentang mereka (orang-orang munafik) yang berandai-andai jikalau saudara mereka tidak ikut berperang bersama nabi Muhammad n tentu mereka tidak akan terbunuh di medan perang sebagaimana kenyataan yang terjadi. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki sifat suka mengeluh terhadap hal-hal yang tidak mereka sukai, itu memang fitrah manusia.

Bahkan Allah l sudah menceritakan semua itu dalam al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam surah al-Ma’ârij ayat 19-25 yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.(Q.S. al-Ma’ârij [70]: 19-25)

Allah l telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa manusia memang diciptakan dengan sifat suka mengeluh ketika ditimpa musibah tetapi pelit setelah mendapat kebaikan. Kecuali mereka yang senantiasa menjaga sholatnya dan memberikan hartanya kepada yang berhak. Lagi-lagi disini sholat sangat berperan penting untuk menjaga kebiasaan manusia yaitu mengeluh, karena mereka yang selalu sholat pasti tahu dan sadar apabila Allah l senantiasa berada di dekat mereka sehingga meskipun mereka ditimpa musibah dan keburukan, tetap saja bersyukur kepada-Nya.

 

Hikmah Kehidupan

Kembali ke hikmah kehidupan, sebenarnya pelajaran-pelajaran yang dapat kita ambil dari berbagai macam kejadian bisa kita jadikan sebagai acuan dasar untuk bertindak dalam keseharian. Bahkan musibah yang didapat oleh tetangga juga bisa kita jadikan pelajaran, seperti ketika mereka kemalingan. Pada akhirnya kita bisa antisipasi agar tidak terjadi hal serupa tersebut di rumah kita. Dan dari sini juga kita bisa menjadi pribadi yang bijak dalam menentukan tindakan sehari-hari, kita menjadi lebih berhati-hati lagi dan tidak ceroboh.

Sekian panjang lebar terkait Islam dan kepribadian para pemeluknya, kemudian saya akan melanjutkan pembahasan seputar segala sistem kehidupan yang beredar di sekitar kita yang tentunya kita akan berfikir tentang bagaimana jika sistem-sistem tersebut kita rubah dengan sistem yang diajarkan oleh Islam.

 

Mutiara Hikmah

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash c berkata: ‘Aku telah mendengar n bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.

 “Allah telah menuliskan takdir makhluk-makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. (H.R. Muslim)

Marâji:

[1] Mahasiswa Prodi Arsitektur FTSP UII

[2] Muhammad Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. Vol I. Jakarta: Lentera Hati, 2002. hal.327

[3] أبي معاذ طارق بن عوض الله بن محمد، جامع المسائل الحديثية، طارق 5 (القاهرة : دار ابن عفان، 2006)، 308

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1EyIbOfGHD7gUFyqzsLeVbeUnHPFherbP

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

Oleh: Uun Zahrotunnisa[i]

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Allah l merupakan dzat Yang Maha Kekal, berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya yang bersifat fana (sementara). Semua yang hidup tentu akan mati silih berganti. Siklus yang biasa terjadi, namun masih banyak orang yang tidak siap jika apa yang dimiliki akan diminta kembali oleh sang Ilahi Rabbi bahkan raganya sendiri. Ketika lisan manusia mudah untuk mengatakan “segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya” tetapi tidak demikian dengan hati. Rasa takut kerap menyelimuti tiap kali seseorang dihadapkan pada sebuah kematiaan hal ini dikarenakan semasa hidup manusia lengah oleh tipu daya setan yang menyuguhkan gemerlap keduniawian dan membuat lupa akan esensi hidup yang sebenarnya yaitu beribadah. Setelah dicabutnya ruh dari raga maka fase selanjutnya adalah manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas umur yang digunakan selama hidup di dunia, habis karena hal yang bermanfaat atau sia-sia begitu saja. Jika amal ibadahnya selama di dunia hanya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan menganggap perbuatan tersebut baik maka orang itu termasuk kedalam golongan orang-orang yang merugi seperti halnya firman Allah l di dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 103-104.[i]

 

Luruskan Niat

Menurut kutipan ayat diatas kita dapat direlevansikan dengan keadaan saat ini dimana setiap kesibukan yang dilakukan oleh manusia belum tentu juga memberikan manfaat bagi kehidupan di akhirat. Kita tentu sering mendengar di dalam forum baik diskusi, kajian sampai khutbah bahwa asal dari semua perbuatan itu adalah niat. Niat melakukan sesuatu jika pada awalnya disandarkan pada kehidupan dunia saja, niscaya kesuksesan dan kebahagiaan hanya akan diperoleh di dunia. Berbeda halnya jika perbuatan yang diniatkan untuk dunia serta akhirat, maka Insya Allah akan mendapat kebahagiaan kedua-duanya. Sebab jika kita lihat lebih dekat tentang amalan-amalan yang dikerjakan oleh seseorang selama hidup pada akhirnya setelah kematian hanya ada tiga perkara yang tidak terputus yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak sholeh. Usaha dan kerja keras yang dilakukan selama duni demi mengumpulkan pundi-pundi uang dan harta berharga tidaklah dibawa mati. Oleh sebab itu perkara amal jariyah merupakan salah satu urgensi yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing pribadi, bukan berarti perkara yang lain luput dari perhatian melainkan tetap memiliki peranan penting untuk selalu diingat untuk bekal kehidupan selanjutnya.

 

Kiat-kiat Masuk Surga

Semua orang tentu berharap masuk surga, namun perlu diingat harapan tidak sekedar keinginan semata tanpa adanya usaha nyata. Contohnya jika ada seorang mahasiswa yang ingin lulus dengan predikat cumlaude maka artinya mahasiswa tersebut harus bekerja keras dan pantang menyerah dalam belajar agar bisa mewujudkan cita-cita tersebut. Sama halnya dengan urusan akhirat, seorang muslim jika ingin masuk surga dan mendapatkan ridha dari Allah l. Maka ia harus senantiasa taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perbuatan sederhana yang menjadi amal shalih bagi seseorang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak harus menunggu waktu luang dan rezeki yang lapang adalah sebagai berikut:

  1. Taat kepada Allah l.

Derajat seseorang tidak ditentukan oleh harta, pangkat dan jabatan selama di dunia, melainkan ketakwaaannya kepada Allah l. Sebagai zat yang Maha Agung. Allah l. Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi pada diri hamba-Nya bahkan yang tidak terlihat sekalipun. Seharusnya hal ini memberikan keyakinan kepada diri kita untuk selalu

bermuhasabah dan berusaha melaksanaan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takut kepada Allah l, juga memberikan dorongan kepada manusia untuk selalu mengerjakan amal shalih. Dalam Q.S. Ali Imran [3]: 136 dijelaskan orang yang termasuk dalam kategori takwa adalah sebagai berikut:

  1. Selalu memohon ampun kepada Allah l.
  2. Bershadaqah ketika lapang maupun sempit.
  3. Mampu menahan amarah.
  4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.

 

  1. Tolong menolong sesama manusia

Saling membantu sesama makhluk hidup khususnya manusia merupakan salah satu dari sekian banyak amal shalih yang dianjurkan oleh agama Islam, bahkan Allah l firman,  “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S. Mâ’idah [5]: 2)[i]

Dewasa ini sikap tolong-menolong harus lebih sering dibiasakan sebab dengan perubahan zaman yang semakin modern mengharuskan seseorang untuk tanggap terhadap kemajuan teknologi yang merubah pola perilaku manusia berpotensi memiliki sikap apatis. Esensi tolong menolong terkikis seiring perubahan zaman mendorong kita untuk terus melestarikan rasa kepedulian terhadap sesama. Selain itu dari kutipan ayat diatas Allah l. menyeru kepada seluruh makhluknya untuk tolong- menolong dalam kebaikan, karena dengan kebaikan Allah l  akan menurunkan Ridha-Nya.[ii]

 

  1. Memuliakan Orang Tua

Berbuat baik kepada orang tua dan memuliakannya merupakan kewajiban seorang anak. Sebab orang tua merupakan wasilah Allah l. menumbuhkan seorang anak untuk menjadi dewasa dan dapat mengenal Allah l. kemudian beribadah kepada Nya. Birr al-Walidain menjadi tanggung jawab seumur hidup bagi seorang anak kepada orang tua sebab, kasih sayang dan segala sesuatu yang dibutuhkan seorang anak yang telah diberikan orang tua tidak akan pernah terbayarkan.[iii] Sehingga memperlakukan orang tua dengan berbuat baik merupakan keniscayaan seorang anak, setelah beriman kepada Allah l. Perintah berbuat baik kepada orang tua dipertegas dalam surat Luqman ayat 14, Allah l berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (Q.S. Luqman [31]: 14)

Memuliakan orang tua tidak hanya dilakukan selama mereka masih hidup di dunia, melainkan ketika mereka sudah meninggal dunia. Wujud memuliakan orang tua ketika sudah meninggal adalah dengan membacakan al-Qur’an serta mendo’akan keduanya.

 

Mutiara Hikmah 

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang ituhanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya…” (H.R. Bukhari, kitab Bad’i al-Wahyi, hadits no. 1, kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689 & H. R Muslim, kitab al-Imarah, hadits no. 1907)

[i] Mahasiswi Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII angkatan 2019

[i] K. A. RI, Alqur’an Terjemahan dan Tajwid. Bandung: Yayasan Darul Qur’an Nusantara, 2014.

[ii] S. Delvia, “Mengulas Tolong Menolong Dalam Perspektif Islam,” PPKn dan Huk., vol. 14, no. 2, hal. 113, 2019.

[iii] N. I’anah, “Birr al-Walidain Konsep Relasi Orang Tua dan Anak dalam Islam,” Bul. Psikol., vol. 25, no. 2, hal. 114–123, 2017, doi: 10.22146/buletinpsikologi.27302.

[i] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1zpc9k3pqnJ5ggzjlL7eMNvqeyPNWFECh

MANFAAT DZIKRULLÂH

MANFAAT DZIKRULLÂH

Oleh: Umi Sholehah

Alumnus Program Studi Pendidikan Agama Islam FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Pengertian Dzikir

Sahabat yang dirahmati oleh Allah l, dzikir sebagaimana shalat merupakan media berkomunikasi dengan Allah l. Secara etimologi, dzikir berasal dari bahasa Arab yakni “dzakara-yadzkuru-dzikran” yang memiliki arti menyebut, mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal, dan mengerti.[1] Dzikir merupakan gerbang utama dalam muraqabatullah.

Dari pengertian tersebut terdapat dua pengertian dzikir yang perlu digaris bawahi. Pertama, dzikir dapat diartikan sebagai “ingat”. Ingat disini merujuk pada ingat kepada Allah l,  pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Kedua, dzikir dapat diartikan sebagai “menyebut nama Allah”. Arti dzikir sebagai “ingat” telah dijelaskan dalam salah satu ayat dalam al-Quran yaitu, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscahya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152).

Seseorang dapat disebut berdizkir manakala ia dalam kondisi ingat kepada Allah l  meskipun tidak duduk bersila maupun menghadap kiblat seperti dzikir setelah shalat. Pada prakteknya dzikir dalam arti “ingat” tidak terbatas ruang, waktu dan tata cara tertentu. Oleh sebab itu, dimanapun dan bagaimanapun kondisinya kita dapat merasakan kehadiran-Nya. Tidak seperti shalat yang terikat dengan ketentuan waktu, dzikir dapat dilakukan dimanapun, kapanpun dan dalam keadaaan bagaimanapun juga. Maka, dzikir dalam arti “ingat” dapat dikatakan sebagai kesadaran berketuhanan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas manusia.

Dzikir dalam pengertian kedua yakni “menyebut nama Allah” telah dijelaskan dalam al-Quran yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya.”(Q.S. Al-Ahzab [33] : 41).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan dzikir adalah upaya menghubungkan diri secara langsung kepada Allah l dalam situasi, kondisi, dan tidak terbatas waktu dengan cara mengingat dan menyebutkan nama-nama Allah maupun memadukan keduanya secara simfoni.

Pembagian Dzikir

Menurut Usman Said Sarqawi, terdapat dua macam dzikir yaitu dzikir dengan lisan dan dzikir dengan hati (mengingat Allah dengan hati), terutama ketika seseorang mendekati maksiat.[2] Dzikir lisan dapat dipahami sebagai dzikir yang dilakukan dengan lidah dan bersuara keras (jahr). Sedangkan dzikir hati dilakukan dengan tidak bersuara (khafi) yakni mengingat sepenuhnya kepada Allah l dengan hati yang selalu mengucap atau menyebut nama Allah di manapun berada.[3]

Dzikir hati lebih utama dibandingkan dengan dzikir lisan. Pernyataan tersebut didasarkan pada hadits Nabi Muhammad n, “Sebaik-baik dzikir adalah yang khafi (hati) dan sebaik-baik rezeki adalah yang mencukupi.”[4] Selain itu terdapat pula sabda Nabi Muhammad  n,,“Dzikir yang tidak didengar oleh orang-orang yang mengintai mengungguli dzikir yang dapat didengar oleh orang-orang yang mengintai dengan tujuh kali lipat.”[5] Melalui penjelasan tersebut dzikir khafi atau dizkir dengan hati dapat lebih mulia karena terhindar dari riya’.

Disisi lain dzikir lisan lebih utama seperti membaca al-Quran, karena membaca al-Qur’an  termasuk dzikirullah yang mulia. Nabi n bersabda, “Keutamaan kalam Allah dibandingkan ucapan yang lain, seperti keutamaan Allah dibandingkan makluk-Nya.” (H.R. Turmudzi 3176 dan ad-Darimi 3419).

Manfaat Dzikir

Implikasi dari dzikir ialah timbulnya suatu kesadaran jiwa yang mengingat adanya dan hadirnya Allah dalam diri manusia sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan kehidupan. Dzikir diharapkan mampu menyentuh seluruh aspek kehidupan. Sebab kondisi kesimbangan jiwa dan rohani dalam hal iman seseorang selalu mengalami fluktuasi. Maka untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan keimanannya, dibutuhkan suatu media untuk selalu mengingat Allah n yakni dengan cara berdzikir.

Pengaruh yang ditimbulkan dari konsistensi berdzikir akan mampu mengontrol kehidupan sehari-hari. Orang  yang berdzikir akan mengalami ketenangan batin dalam hatinya, merasa bersyukur terhadap segala kenikmatan duniawi yang telah diberikan oleh Allah l. Selain itu, urgensi dzikir bagi seorang muslim ialah mendatangkan kebahagiaan, mewujudkan prasangka baik kepada Allah l, memelihara diri dari kecemasan dan  membentengi diri dari perbuatan dosa, memperoleh  penjagaan malaikat, mendapatkan ampunan  dan ridha dari Allah l, mencapai derajat yang  tinggi di sisi Allah l, menghasilkan kemuliaan dan kehormatan, serta dikasihi oleh para nabi dan para mujahidin.[6]

Berdzikir merupakan kelezatan bagi orang-orang benar-benar mengenal Allah. Allah l  berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28)

Ada keutamaan berdzikir saat orang-orang itu lalai. Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.”[7] Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.[8]

Pelarian seseorang ketika sedang merasa hampa, sedih, sendiri dan tidak mengetahui arah  ialah dengan berdizkir. Tujuannya ialah untuk menuju suatu rahmat serta mendapat hidayah-Nya. Rahmat dan hidayah Allah hanya dapat dirasakan oleh mereka yang dibukakan cahaya dalam sanubarinya. Pembuka cahaya tersebut ialah dengan banyak berdzikir dalam situasi, kondisi dan waktu yang tidak terbatas.

Tunas yang tumbuh apabila tidak diberi pupuk maka akan layu. Demikian pula tunas hidayah yang harus terus dipupuk dan disirami dengan dzikir agar tumbuh dengan terarah serta memiliki iman yang kokoh. Iman yang kokoh tidak akan membuat seseorang menjadi goyah meski berhadapan dengan realitas kehidupan bermasyarakat  maupun menghadapi kemelut dalam dirinya sendiri. Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriqWallahu a’lam.

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Aisyah x berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah n selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737)

 

Marâji:

[1] M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf bagi Manusia Modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 116

[2] Usman Said Sarqawi, Zikrullah : Urgensinya dalam Kehidupan,terj. Cecep Alba, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2013), hal. 11

[3] Rizki Joko Sukomono, Psikologi Zikir, (Jakarta: Sri Gunting, 2008), hal. 12

[4] Hadits riwayat Imam Ahmad dan Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqashra

[5] Hadits riwayat al-Baihaqi dari ‘Aisyahra.

[6] Ash-shiddiqi, T.M.H. Pedoman Dzikir dan Doa, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hal. 34

[7] Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524

[8]  Sumber https://rumaysho.com/25391-inilah-manfaat-dzikir-yang-luar-biasa-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-50.html

CINTA YANG PALSU

Oleh: Nailis Sa’dah, S.Hub.Int*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat yang dirahmati Allah ﷻ. Kalian pasti pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini, “Apakah kalian mencintai Allah?” Tentu jawabnya bilang “iya”. Pada realitanya jawaban “iya” merupakan jawaban klasik yang seakan menjadi jawaban formalitas dan menjadi jawaban wajib bagi umat Islam. Jawaban tersebut hanya sekedar ucapan dari mulut saja, tapi hati dan perasaan belum sepenuhnya mencintai Allah. Banyak orang yang mengaku cinta Allah, tetapi tingkah laku jauh dari hal-hal yang dicintai Allah. Lantas, bagaimana mungkin mengaku cinta Allah, tapi secara terang-terangan masih berbuat maksiat? Bagaimana mungkin mengaku mencintai Allah, tapi perintah dan laranganya masih diabaikan?

 

Cinta Kepada Allah ﷻ

Cinta (mahabbah) adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang menyenangkan. Apabila merujuk pada cinta manusia kepada Tuhannya, maka Harun Nasution mendefinisikan cinta sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah dan membenci sikap yang melawan-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi dan mengkosongkan hati dari segala hal kecuali dari yang dikasihi, yaitu Allahﷻ. Pengertian di atas dapat dirangkum bahwa cinta adalah mengikuti perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya, dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah  dengan ketulusan hati.[1] Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, Ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 31)

Berdasarkan penjelasan dari tafsir Al-Misbah, ayat diatas mengandung makna “Katakanlah, wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang merasa mencintai Allah; jika kamu mencintai Allah, maka ikutlah aku, yakni laksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepadanya serta meningkatkan pengalaman kewajiban dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu, semua itu karena Alah Maha Pengampun terhadap siapapun yang mengikuti Rasul dan lagi Maha Penyayang.”[2]

Jika memang cinta kita sejati, niscaya kita akan taat kepada-Nya, sebab orang yang cinta terhadap yang dicintai akan selalu patuh. Dengan demikian ukuran cinta adalah ketaatan kepada Allah, yaitu ketaatan yang tidak boleh ditunda, tidak juga dipikirkan apakah perintah itu perlu dipenuhi atau tidak.[3]

 

Pengakuan Palsu

Imam Hatim al-Asham radhiyallahu’anhu berkata, “Barang siapa mengaku cinta empat hal tanpa empat hal, maka pengakuan (cinta)nya itu palsu. Yaitu, mengaku cinta Allah, tapi selalu melakukan larangan-larangannya; mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir dan miskin; mengaku cinta surga tapi tidak jujur; mengaku takut api neraka tapi tidak berhenti berbuat dosa.”[4]

            Pertama, banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tapi masih saja berbuat maksiat. Istilah familiarnya yaitu “Shalat terus, maksiat jalan terus”. Padahal shalat adalah ibadah yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah;

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-Ankabut [29]:45). Shalat dapat mencegah dari kemungkaran, jika shalat tersebut dilakukan degan sempurna. Banyak orang muslim yang hatiya tidak berubah dan masih melakukan perbuatan keji dan mungkar meskipun sudah melaksanakan shalat, dikarenakan shalat yang dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban bukan menjadi suatu kebutuhan.[5]

            Kedua, Mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir miskin. Nabi Muhammad diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia, bukan hanya fisiknya tapi juga akhlaknya. Sangat wajar jika banyak sahabat dan umatnya yang mengidolakan dan mencintai Rasulullah . Namun sayangnya, banyak orang yang mengaku cinta tanpa tahu bagaimana cara mencintai Rasul dengan tulus. Salah satu indikator ketulusan cinta kepada Rasulullah adalah seberapa besar kecintaan kepada kaum fakir miskin. Rasulullah memang terkenal senang bergaul dengan para fakir miskin. Sikap beliau ini diikuti oleh para sahabat, karena ada satu hadits Qudsi mengatakan, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.” Sehingga dalam satu hadits Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah mencintai anak yatim dan orang-orang miskin.” (H.R Ibnu Hiban)[6]

            Ketiga, Mengaku cinta surga tapi tidak jujur. Setiap umat muslim pasti memiliki cita-cita masuk surga. Gambaran surga terdapat dalam surah Muhammad ayat 15: “Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka. Samakah mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih, sehingga ususnya terpotong-potong?” (Q.S. Muhammad [47]: 15)

Meskipun diiming-imingi dengan kenikamatan surga, masih banyak orang yang enggan meraihnya. Justru mereka tertipu dengan kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara, bahkan rela menghalalkan segala cara meskipun didapatkan dengan tidak jujur. Sebagaimana para koruptor yang tidak jujur dengan amanah yang diembannya.

            Keempat, Mengaku takut neraka, tapi masih berbuat dosa. Mendengar kata neraka yang terlintas adalah siksaan, tempat yang panas, dan mengerikan. Allah telah memberikan gambaran neraka terhadap orang Islam, yang telah tertuang dalam surah al-Hajj ayat 20-22: “Dengan (air mendidih) itu akan dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka”. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (kepada mereka dikatakan),”Rasakan azab yang membakar ini!” (Q.S. al-Hajj [22]: 20-22)

 

Cinta adalah Fitrah

Dengan demikian, cinta adalah fitrah yang diberikan oleh Allah ﷻ. Cinta itu sejatinya suci dan sejauh-jauhnya kita melupakan Allah ﷻ dengan melakukan maksiat, pasti terbesit perasaan rindu untuk kembali kepada Allah ﷻ. Namun jika hati kita tidak memiliki kerinduan untuk kembali kepada Allah ﷻ, sungguh kita telah sersesat sejauh-jauhnya. Perbuatan maksiat yang kita lakukan telah membelenggu dan mengotori mata hati, sehingga sulit melihat dan menerima hidayah Allah ﷻ. Andai hal tersebut memang benar-benar terjadi dan kita tidak merasa ingin kembali dan bertobat kepada Allah, sungguh hal ini sebuah kehinaan.[7]

Oleh karena itu, marilah saling berintrospeksi diri, memperbaiki iman, dan memperbaiki pemahaman terkait nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga dapat melahirkan kesadaran baru dalam beragama.[]

 

Mutiara Hikmah

 

حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ

“Kecintaan kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli” (Hadits mauquf dari Abu Ad Darda a)

* Alumnus Hubungungan Internasional FPSB UII

[1] Mustafa, Mujetaba. Konsep Mahabbah dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Maudhu’i). Jurnal al-Asas, Vol. IV No. 1, April 2020

[2] Sulhadi, Asep. Cinta dalam Al-Qur’an: Sebuah kajian Tafsir Tematik. Jurnal Samawat. Volume 04 Nomor 01 Tahun 2020

[3] Ibid.

[4] Jauhari, Muhammad Idris. Pengakuan Palsu. https://al-amien.ac.id/pengakuan-palsu/. 2012

[5] Tuasikal, Muhammad Abduh. Benarkah Shalat dapat Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?. https://rumaysho.com/3773-benarkah-shalat-dapat-mencegah-dari-perbuatan-keji-dan-mungkar.html. 2013.

[6] Jauhari, Muhammad Idris, Pengakuan Palsu.

[7] Shobur, Abdush & Haifa Zahra Anggawie. Sungguh, Allah Sangat Merindukan Kita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2014.

 

Download Buletin klik disini

MENGAMALKAN KEBIASAAN MASYARAKAT DALAM KACAMATA ISLAM

Oleh:  Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Pembaca yang budiman, setiap manusia tentunya hidup dalam lingkungan yang memiliki kebiasaan berbeda-beda. Sebagai agama yang sempurna, syariat Islam telah mengatur hal tersebut. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah (non-ibadah). Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum asal semua perkara selain ibadah. Mengapa hal ini penting? Karena hal tersebut memiliki konsekuensi hukum halal dan haram. Sebuah hadits menyebutkan, “Kemudian Allah Ta’ala  mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya, serta menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan maka hukumnya dimaafkan.” (H.R. Abu Daud).

Sehingga hukum asal semua perkara selain ibadah (seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan muamalat) adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya dalam masalah pakaian, hukum asalnya mubah, seperti bolehnya memakai baju kemeja karena tidak ada larangannya di dalam syariat. Tetapi menjadi terlarang jika laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra karena ada dalil yang melarangnya, Nabi bersabda, “Sutra ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku dan halal bagi kaum wanitanya” (H.R. Ahmad).

Setiap pakaian yang terbuat dari sutra, baik baju, celana, kaos kaki, topi, dan lain sebagainya, hukumnya haram bagi laki-laki. Namun, Nabi mengizinkan memakai sutra bagi laki-laki yang sedang menderita sakit gatal-gatal, kudis, dan sebagainya. Dibolehkan juga memakai sutra bagi laki-laki yang berperang ketika sedang menghadapi musuh.[1]

 

Hukum Asal Ibadah adalah Haram

Hal ini berbeda dengan hukum asal ibadah. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya. Suatu perkataan atau perbuatan tidak bisa disebut sebagai ibadah sampai mendapatkan label ibadah dari Allah dan rasul-Nya. Hal ini sebagaimana di dalam firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad) ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’” (Q.S. Yunus [10]: 59).

Ibadah adalah jalan menuju Allah. Manusia tidak mungkin sampai ke tujuan kecuali dengan menempuh jalan yang telah Allah tetapkan. Tanpa keterangan dari Allah dan rasul-Nya, itu bukanlah ibadah yang disyariatkan.[2] Ibadah yang dilakukan tanpa niat hanya akan mendatangkan kelelahan. Niat tanpa keikhlasan tak lebih dari perbuatan riya’. Sedangkan ikhlas tanpa mengikuti petunjuk Nabi juga akan percuma.[3] Maka, seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dituntut untuk meluruskan niatnya, menumbuhkan rasa ikhlas, dan beribadah mengikuti petunjuk Nabi.

Jadi, kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Jika kebiasaan yang berlaku di masyarakat bertentangan dengan syariat, maka wajib meninggalkan kebiasaan tersebut. Contoh kebiasaan yang bertentangan dengan syariat adalah menyembelih hewan kepada selain Allah. Misalnya menyembelih hewan untuk sesajen. Ini termasuk kesyirikan.

Syirik adalah mempersembahkan sebagian ibadah kepada selain Allahﷻ, dengan menjadikan sebagian diantaranya untuk Allah, dan sebagian lainnya untuk selain Allah, seperti jin, manusia, malaikat, patung, pohon, bintang, batu, atau makhluk-makhluk lainnya, termasuk juga menyembelih hewan untuk mereka. Siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia telah menyekutukan Allah, menyembah selain Allah, dan membatalkan keislamannya.[4]

Janganlah kita mempertahankan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat ini walaupun kebiasaan tersebut sudah dilakukan dari dulu bahkan sudah dilakukan dari generasi-generasi sebelumnya”. Allah telah memberitahukan di dalam firman-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 170).

Ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang yang bandel dan mempertahankan keyakinan bathil mereka dengan dalih mempertahankan apa yang selama ini mereka terima dari nenek moyang mereka.[5] Kita hidup di dunia ini wajib mematuhi aturan yang Allah atur di dalam syariat-Nya. Sebagaimana hadis dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nashir a dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum. Maka janganlah kalian melampauinya. Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya…” (H.R. Daruquthni).

Maksud hadits ini adalah bahwa Allahﷻ mewajibkan berbagai macam kewajiban berupa ketaatan dan ibadah seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua dan sebagainya dari berbagai kewajiban.[6] Hendaknya sikap seorang muslim mencukupkan diri dengan perkara yang halal dan meninggalkan perkara yang haram. Jangan pula mendekati perantara-perantara yang mengantarkan kepada hal yang Allah haramkan. Perhatikanlah batasan-batasan Allahﷻ dengan tidak melampaui dan juga tidak melanggarnya.[7]

 

Faidah Ilmu

Dari penjelasan di atas, ada beberapa faidah ilmu yang dapat kita ambil:

  1. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah.
  2. Hukum asal semua perkara selain ibadah adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
  3. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya
  4. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

Pembaca yang budiman, hal seperti ini penting untuk diketahui agar kita tidak terombang-ambing dalam mengamalkan agama dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita mengetahui batasan-batasan halal dan haram dalam berinteraksi dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan juga tidak terjerumus dalam melakukan hal yang dianggap ibadah padahal bukan termasuk ibadah yang mengakibatkan amal yang kita lakukan menjadi sia-sia bahkan menjadi dosa karena membuat sesuatu yang baru dalam agama.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam mempelajari ilmu syar’i sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allahﷻ tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu Abbas RA berkata:

 

فَكُلُّ خُلَّةٍ هِيَ عَدَاوَةٌ إِلَّا خُلَّةُ الْمُتَّقِيْنَ

Maka setiap persahabatan akan menjadi permusuhan kecuali persahabatan orang-orang yang bertaqwa

(Tafsir Ath-Thabari 21/638)

 

[1] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

[2] Muhammad Abu Rivai. Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Bandung: Ellunar. 2017 M. Cet.k-1. hal. 74.

[3] Salim bin ‘Ied al-Hilali. Mubthilatul A’mal fi Dhau’il Qur’an al-Karim was Sunnah ash-Shahihah al-Muthahharah. Alih bahasa Badrusalam. Penyebab Rusaknya Amal Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2015 M. hal. 3.

[4] Abdul Aziz bin Baz. Subulus Salam – Syarh Nawaqidhil Islam. Alih bahasa Umar Mujtahid. Syarah Nawaqidhul Islam – Penjelasan Pembatal-pembatal Keislaman. Bekasi: Pustaka Dhiya’ul Ilmi. 2019 M. Cet.k-1. hal. 20.

[5] Supriyanto Pasir. Tafsir Is’af  al-Qashirin Surat al-Fatihah dan al-Baqarah. Sleman: Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI UII). 2019 M. Cet.k-1. hal. 288.

[6] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 471.

[7] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

 

Download Buletin klik disini

AMALAN UTAMA DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Diantara kasih sayang Allahﷻ terhadap hamba-Nya, Allahﷻ menjadikan untuk mereka (kaum muslim) bulan-bulan ketaatan, dimana di dalamnya dianjurkan untuk mereka memperbanyak amal shalih, salah satunya adalah amalan di bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah sendiri merupakan salah satu bulan yang dimuliakan di dalam ajaran agama Islam. Bahkan para ulama mengatakan, apabila ada bulan yang dapat menandingi keutamaan bulan Ramadhan, maka bulan itu adalah bulan Dzulhijjah.

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas R.A berikut, “Tidak ada satu amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shalih yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabiﷺ menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (H.R Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibu Majah)[1].

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allahﷻ, “Dan demi malam yang sepuluh.” (Q.S. al-Fajr [89]: 2). Di sini Allahﷻ menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat.

Karena keutamaan yang banyak inilah, maka disyari’atkan mengerjakan amal-amal shalih dan diberi ganjaran yang luar biasa. Di antara amal-amal tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Berpuasa pada 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi mengatakan, “Rasulullahﷺ biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya.” (H.R. Abu Dawud)[5]

Apabila kita tidak mampu mengerjakan puasa selama 9 hari berturut turut seperti bunyi hadits di atas, maka setidaknya kita dianjurkan untuk jangan melewatkan salah satu puasanya, yaitu puasa Arafah. Karena Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya” (H.R. Muslim)

 

  1. Memperbanyak Dzikir dan Takbir.

Sebagaimana firman Allahﷻ, “… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”. (Q.S. al-Hajj [22]: 28).

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar R.A. “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. (HR. Ahmad).

 

  1. Menunanikan Haji dan Umroh bagi yang mampu.

Allahﷻ berfirman, “Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu.” (Q.S. al Baqarah [2]: 197). Yang dimaksudkan dengan haji dalam ayat di atas adalah ihram untuk haji bisa dilaksanakan dalam bulan-bulan yang sudah ditentukan, yaitu: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Selain bulan-bulan tersebut, maka ihram seseorang untuk haji tidak sah. Bahkan hampir sebagian semua prosesi manasik haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah.

 

  1. Memperbanyak amalan shali

Amal shalih yang dapat dilakukan dapat berupa sedekah, memperbanyak membaca al-Qur’an, dan berbagai macam amal shalih lainnya yang dapat meningkatkan iman kita dan juga pahala yang berlipat ganda.

Allahﷻ berfirman menceritakan saat-saat seseorang menjelang ajalnya, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (Q.S. al Munâfiqûn [63]: 10)

Begitupula dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, Rasulullâh bersabda, “Al Qur’an adalah sebaik-baik dzikir.” (H.R. Ibnu Khuzaimah, Shahih)

 

  1. Berqurban

Qurban adalah ibadah yang disyari’atkan setahun sekali dan dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. Allahﷻ berfirman, “Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berqurbanlah!” (Q.S. al-Kautsar [108]: 2)

Hal ini juga merupakan sunnah Nabi Ibrahim A.S, yakni ketika Allahﷻ menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu“. (H.R. Bukhori no. 5558, Muslim no. 1966 ).

Rasulullaah bersabda, Dari Anas bin Malik R.A, ia berkata bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (H.R. Bukhari no. 5546).

Dari Hadits dan juga ayat Al-Qur’an di atas, menunjukkan bahwa ibadah qurban itu merupakan kekhususan dan syi’ar yang hanya terdapat pada bulan Dzulhijjah. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hendaknya kita sebagai umat muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allahﷻ, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan, memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allahﷻ agar mendapat ridha-Nya. Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allahﷻ, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allahﷻ. Wallâhu a’lam.[]

 

Marâji’:

[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

[2] Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.

[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.

[4] Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.

[5] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

 

Penyusun:

Haritsa Taqiyya Majid

Alumni Fakultas Teknologi Industri

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullâh bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (H.R. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

 

Download Buletin klik disini