AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

Oleh: Uun Zahrotunnisa[i]

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Allah l merupakan dzat Yang Maha Kekal, berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya yang bersifat fana (sementara). Semua yang hidup tentu akan mati silih berganti. Siklus yang biasa terjadi, namun masih banyak orang yang tidak siap jika apa yang dimiliki akan diminta kembali oleh sang Ilahi Rabbi bahkan raganya sendiri. Ketika lisan manusia mudah untuk mengatakan “segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya” tetapi tidak demikian dengan hati. Rasa takut kerap menyelimuti tiap kali seseorang dihadapkan pada sebuah kematiaan hal ini dikarenakan semasa hidup manusia lengah oleh tipu daya setan yang menyuguhkan gemerlap keduniawian dan membuat lupa akan esensi hidup yang sebenarnya yaitu beribadah. Setelah dicabutnya ruh dari raga maka fase selanjutnya adalah manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas umur yang digunakan selama hidup di dunia, habis karena hal yang bermanfaat atau sia-sia begitu saja. Jika amal ibadahnya selama di dunia hanya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan menganggap perbuatan tersebut baik maka orang itu termasuk kedalam golongan orang-orang yang merugi seperti halnya firman Allah l di dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 103-104.[i]

 

Luruskan Niat

Menurut kutipan ayat diatas kita dapat direlevansikan dengan keadaan saat ini dimana setiap kesibukan yang dilakukan oleh manusia belum tentu juga memberikan manfaat bagi kehidupan di akhirat. Kita tentu sering mendengar di dalam forum baik diskusi, kajian sampai khutbah bahwa asal dari semua perbuatan itu adalah niat. Niat melakukan sesuatu jika pada awalnya disandarkan pada kehidupan dunia saja, niscaya kesuksesan dan kebahagiaan hanya akan diperoleh di dunia. Berbeda halnya jika perbuatan yang diniatkan untuk dunia serta akhirat, maka Insya Allah akan mendapat kebahagiaan kedua-duanya. Sebab jika kita lihat lebih dekat tentang amalan-amalan yang dikerjakan oleh seseorang selama hidup pada akhirnya setelah kematian hanya ada tiga perkara yang tidak terputus yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak sholeh. Usaha dan kerja keras yang dilakukan selama duni demi mengumpulkan pundi-pundi uang dan harta berharga tidaklah dibawa mati. Oleh sebab itu perkara amal jariyah merupakan salah satu urgensi yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing pribadi, bukan berarti perkara yang lain luput dari perhatian melainkan tetap memiliki peranan penting untuk selalu diingat untuk bekal kehidupan selanjutnya.

 

Kiat-kiat Masuk Surga

Semua orang tentu berharap masuk surga, namun perlu diingat harapan tidak sekedar keinginan semata tanpa adanya usaha nyata. Contohnya jika ada seorang mahasiswa yang ingin lulus dengan predikat cumlaude maka artinya mahasiswa tersebut harus bekerja keras dan pantang menyerah dalam belajar agar bisa mewujudkan cita-cita tersebut. Sama halnya dengan urusan akhirat, seorang muslim jika ingin masuk surga dan mendapatkan ridha dari Allah l. Maka ia harus senantiasa taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perbuatan sederhana yang menjadi amal shalih bagi seseorang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak harus menunggu waktu luang dan rezeki yang lapang adalah sebagai berikut:

  1. Taat kepada Allah l.

Derajat seseorang tidak ditentukan oleh harta, pangkat dan jabatan selama di dunia, melainkan ketakwaaannya kepada Allah l. Sebagai zat yang Maha Agung. Allah l. Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi pada diri hamba-Nya bahkan yang tidak terlihat sekalipun. Seharusnya hal ini memberikan keyakinan kepada diri kita untuk selalu

bermuhasabah dan berusaha melaksanaan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takut kepada Allah l, juga memberikan dorongan kepada manusia untuk selalu mengerjakan amal shalih. Dalam Q.S. Ali Imran [3]: 136 dijelaskan orang yang termasuk dalam kategori takwa adalah sebagai berikut:

  1. Selalu memohon ampun kepada Allah l.
  2. Bershadaqah ketika lapang maupun sempit.
  3. Mampu menahan amarah.
  4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.

 

  1. Tolong menolong sesama manusia

Saling membantu sesama makhluk hidup khususnya manusia merupakan salah satu dari sekian banyak amal shalih yang dianjurkan oleh agama Islam, bahkan Allah l firman,  “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S. Mâ’idah [5]: 2)[i]

Dewasa ini sikap tolong-menolong harus lebih sering dibiasakan sebab dengan perubahan zaman yang semakin modern mengharuskan seseorang untuk tanggap terhadap kemajuan teknologi yang merubah pola perilaku manusia berpotensi memiliki sikap apatis. Esensi tolong menolong terkikis seiring perubahan zaman mendorong kita untuk terus melestarikan rasa kepedulian terhadap sesama. Selain itu dari kutipan ayat diatas Allah l. menyeru kepada seluruh makhluknya untuk tolong- menolong dalam kebaikan, karena dengan kebaikan Allah l  akan menurunkan Ridha-Nya.[ii]

 

  1. Memuliakan Orang Tua

Berbuat baik kepada orang tua dan memuliakannya merupakan kewajiban seorang anak. Sebab orang tua merupakan wasilah Allah l. menumbuhkan seorang anak untuk menjadi dewasa dan dapat mengenal Allah l. kemudian beribadah kepada Nya. Birr al-Walidain menjadi tanggung jawab seumur hidup bagi seorang anak kepada orang tua sebab, kasih sayang dan segala sesuatu yang dibutuhkan seorang anak yang telah diberikan orang tua tidak akan pernah terbayarkan.[iii] Sehingga memperlakukan orang tua dengan berbuat baik merupakan keniscayaan seorang anak, setelah beriman kepada Allah l. Perintah berbuat baik kepada orang tua dipertegas dalam surat Luqman ayat 14, Allah l berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (Q.S. Luqman [31]: 14)

Memuliakan orang tua tidak hanya dilakukan selama mereka masih hidup di dunia, melainkan ketika mereka sudah meninggal dunia. Wujud memuliakan orang tua ketika sudah meninggal adalah dengan membacakan al-Qur’an serta mendo’akan keduanya.

 

Mutiara Hikmah 

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang ituhanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya…” (H.R. Bukhari, kitab Bad’i al-Wahyi, hadits no. 1, kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689 & H. R Muslim, kitab al-Imarah, hadits no. 1907)

[i] Mahasiswi Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII angkatan 2019

[i] K. A. RI, Alqur’an Terjemahan dan Tajwid. Bandung: Yayasan Darul Qur’an Nusantara, 2014.

[ii] S. Delvia, “Mengulas Tolong Menolong Dalam Perspektif Islam,” PPKn dan Huk., vol. 14, no. 2, hal. 113, 2019.

[iii] N. I’anah, “Birr al-Walidain Konsep Relasi Orang Tua dan Anak dalam Islam,” Bul. Psikol., vol. 25, no. 2, hal. 114–123, 2017, doi: 10.22146/buletinpsikologi.27302.

[i] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1zpc9k3pqnJ5ggzjlL7eMNvqeyPNWFECh

KETENTUAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH

KETENTUAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh: Shâhib al Rasîkh

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh ,

Memahami ketentuan shalat berjamaah sangat penting bagi kaum muslimin. Ketentuan shalat berjamaah bersifat baku artinya ketentuan tersebut harus berdasarkan dalil sesuai dengan penjelasan para ulama. Tidak ada rana kreasi dan inovasi dalam perkara ibadah.  Nabi n bersabda “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari, no. 6008).

Shalat berjamaah merupakan shalat yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dan salah seorang dari mereka menjadi imam, sedangkan yang lainnya menjadi makmum. Shalat lima waktu sangat diutamakan untuk dikerjakan secara berjamaah, bukan sendiri-sendiri (munfarid). Dalam shalat jama’ah, ada beberapa ketentuan posisi imam dan makmum dengan rincian sebagai berikut:

  1. Jama’ah harus terdiri minimal dari dua unsur, yaitu seorang imam dan seorang makmum meski dengan anak-anak atau seorang wanita yang masih mahram pada saat berkhalwah (berduaan).[1] Disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdullah a, “Aku datang kemudian aku berdiri di sebelah kiri Rasulullâh n. Maka beliau memegang tanganku dan memutarku sehingga memposisikan diriku di sebelah kanannya. Setelah itu, datang Jabbar bin Shakr. Dia berwudhu kemudian datang dan berdiri disebelah kiri Rasulullâh n. Maka beliau memegang kedua tangan kami lalu mendorong kami sehingga memposisikan kami berada di belakang beliau.” (H.R. Muslim)[2]
  2. Jika hanya berdua (sesama laki-laki) menempatkan makmum di sebelah kanan imam. Hal tersebut didasarkan, pada hadits Ibnu Abbas c dia bercerita, “Aku pernah bermalam di tempat bibiku, Maimunah i, lalu Nabi n bangun dan menunaikan shalat malam, maka aku pun ikut mengerjakan shalat bersama beliau. Aku berdiri disebelah beliau lalu beliau memegang kepalaku seraya mendirikan aku disebelah kanan beliau.” (H.R. Muttafaq ‘alaih).[3]
  3. Posisi imam tepat di tengah-tengah depan barisan pertama. Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Daud, “Posisikanlah imam di tengah-tengah dan rapatkanlah kerenggangan.”[4] Hadits tersebut meskipun di dalamnya terdapat kelemahan (dha’if), tetapi menurut para ulama layak diamalkan, yang disunnahkan adalah memposisikan imam di tengah-tengah di masjid. Ini merupakan sunnah amaliah yang ditujukan kepada kaum muslimin.”[5]
  4. Posisi perempuan yang menjadi makmum sendirian berada di belakang laki-laki (yang menjadi imam). Hal ini didasarkan pada hadits Anas a, di dalamnya disebutkan, “Aku membuat barisan di belakang beliau bersama anak yatim, sedangan wanita tua di belakang kami.”(H.R. al-Bukhâri dan Muslim)[6] Dalam hadits Anas a yang lainnya disebutkan: “Aku shalat di rumah kami bersama seorang anak yatim di belakang Nabi n, sedangkan ibuku dan Ummu Sulaim berada dibelakang kami.” (H.R. al-Bukhâri)[7]
  5. Posisi seorang perempuan bersama seorang perempuan sama seperti posisi seorang laki-laki dengan seorang laki-laki lainnya, yakni berada di sebelah kanannya.[8]
  6. Posisi kaum perempuan sejajar dalam barisan ke kanan dan ke kiri, sedangkan posisi imam perempuan berada di tengah-tengah barisan mereka. Inilah yang disunnahkan. Sebab, Ummu Salamah i jika mengimami kaum perempuan maka dia berdiri di tengah-tengah berisan mereka[9]. Demikian juga dengan ‘Aisyah i jika mengimami kaum perempuan, dia pun berdiri di tengah-teganh barisan mereka.[10] Sebab yang demikian itu lebih tertutup bagi perempuan. Seorang perempuan dituntut untuk menutup dirinya sedapat mungkin. Jika meraka berbaju kurang tertutup, imam mereka pun tetap berdiri di tengah-tengah mereka seraya men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan dalam shalat jahriyah.
  7. Makmum mengetahui gerakan imam, lewat penglihatan atau pendengaran walaupun dari pengeras suara.[11] Sayyid Sabiq menyebutkan, Imam al-Bukhâri berkata, bahwa Hasan berkata, “Engkau tetap diperbolehkan shalat bersama imam, meskipun antara engkau dan imam dipisahkan oleh sungai.” Abu Miljas berkata, “Seseorang boleh bermakmum kepada imam, sekalipun antara makmum dan imam dipisahkan oleh jalan atau dinding, selama makmum masih mendengar takbiratul ihram yang dibaca oleh imam.”[12]
  8. Imam dan makmum berkumpul dalam satu satu masjid atau dibeberapa masjid yang pintunya terbuka atau terkunci tapi tidak terkunci mati.[13]
  9. Makmum mengikuti gerakan imam. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah n: bahwa para sahabat shalat bersama Rasulullah n, ketika Rasulullah ruku’, maka para sahabat ikut ruku’. Ketika beliau mengangkat kepalanya seraya bangun dari ruku’ dengan berucap Sami’allâhu liman hamidah, maka kami terus berdiri sehingga kami melihat beliau benar-benar telah meletakkan wajahnya di atas lantai, baru kemudian kami mengikuti beliau (sujud).” (H.R. Muslim)
  10. Posisi laki-laki, anak-anak dan perempuan dari imam seabagi berikut:
  • Laki-laki berbaris dibelakang imam jika meraka terlambat (masbuq) untuk menempati barisan pertama.
  • Anak-anak membuat barisan di belakang laki-laki selama mereka tidak masbuq atau terhalang oleh sesuatu.
  • Para perempuan membuat barisan di belakang anak-anak. Dalil yang melandasi susunan tersebut adalah hadits Abu Mas’ud a, dia bercerita: “Rasulullah n pernah mengusap pundak-pundak kami di dalam shalat seraya bersabda: “Luruskanlah dan janganlah kalian tidak beraturan yang menyebabkan hati kalian bercerai berai, hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal di antara kalian kemudian di susul yang berikutnya dan setelah itu disusul oleh yang berikutnya.” (H.R. Muslim)[14]

Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud a disebutkan, “Hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal, kemudian disusul oleh yang berikutnya –sebanyak tiga kali- dan janganlah kalian membuat keributan seperti keributan di pasar.” (H.R. Muslim)[15]

Wa Allâhu a’lam.   

 

Mutiara Hikmah

Dari Abdullah bin Umar c, bahwa Rasulullah n bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’” (H.R. Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Perawi hadis ini termasuk perawi kitab shahih. Hadis ini juga dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

 

 

 

Marâji’:

[1] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, Bairut: Dâr al-Fikr, tt. (Terj.) Ensklopedi Muslim, Cet.Ke-5, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 324

[2] Shahih Muslim, kitab Shalâtu al-Musâfirîn, bab Shalâtu al-Nabiy r wa Du’âuhu bi al-Lail, no. 766.

[3] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhâri, no. 117 dan 699 serta 992. Muslim, no. 82

[4] Abu Daud no. 681. Dinilai dhaif oleh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Sunan Abi Daud, hal. 56, dia berkata: “Tetapi, separuh kedua dari hadits tersebut adalah benar.” Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min, Mafhûm wa Fadhâil wa Âdâb wa Anwâ’ wa Ahkâm wa Kaifiyyah fî Dhauil al-Kitâb wa al-Sunnah –Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah-, Jilid 2, Cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 1433 H/ 2011), hal. 102

[5] Imama al-Syaukani, Nailu al-Authâr (II/422). Fatâwâ Ibni Bâz (XII/205). Al-Kâfi, Ibnu Qudamah (I/434). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 102

[6] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu ……, hal. 102

[7] Al-Bukhari, Kitab al-Adzân, bab al-Mar’ah wahdaha takûnu Shaffan, no. 727. Itu merupakan bagian akhir dari hadits no.380

[8] Ibnu ‘Utsaimin, al-Syarhu al-Mumti’ (IV/ 352)

[9] Diriwayatkan oleh al-Syafi’i dalam kitab al-Musnad (VI/82), ‘Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf, no.5082, Ibnu Abi Syaibah (II/88), al-Daraquthni (I/404), Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhallâ dan dia juga berhujjah dengannya (III/172). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 104

[10] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf, no.5086, Ibnu Abi Syaibah (II/89), al-Daraquthni (I/404), al-Hakim (III/203), al-Bahaqi (III/131), Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhallâ dan dia juga berhujjah dengannya (III/171). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 104

[11] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1 (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 336-338

[12] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,  Cet.ke-3. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), hal. 420

[13] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, Bairut: Dâr al-Fikr, tt. (Terj.) Ensklopedi Muslim, Cet.Ke-5, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 324

[14] Shahih Muslim, Kitab al-Shalâh, no.122 (432)

[15] Shahih Muslim, Kitab al-Shalâh, no.122 (432)

UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH

UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH

Oleh: Shahib al Rasikh

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku, artikel sebelumnya membahas “Hukum Shalat Jamaah”[1], pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas “Udzur Bolehnya Meninggalkan Shalat Berjama’ah”. Seseorang diberi keringanan untuk tidak mengerjakan shalat jama’ah ketika mengalami halangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah[2], Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar[3], Sa’id  bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam Shalâtu al-Mu’min[4], dan ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi dalam al-Wajiz[5] serta kitab-kitab fiqih lainnya yaitu:

 

  1. Ketika udara sangat dingin, hujan turun dengan lebat, dan jalanan licin.

Dari Ibnu Abbas h bahwasanya dia pernah berkata kepada mu’adzinnya ketika hujan turun: “Apabila engkau telah melafazhkan: Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh maka jangan mengatakan: Hayya ‘alash shalâh, akan tetapi katakan: Shallû Fî Buyûtikum (Shalatlah di rumah kalian). Lalu manusia (mendengarkannya seolah-olah) mengingkari masalah tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata: ‘Hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah `). Sesungguhnya shalat Jum’at itu adalah kewajiban dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar (ke Masjid) lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek dan licin”. (HR al-Bukhari dan Muslim)[6]

Imam al-Nawawi v menjelaskan, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.[7]

 

  1. Ketika makanan sudah disajikan, sedang nafsu makannya sangat berselera pada makanan tersebut.

Didasarkan pada hadits Dari ‘Aisyah i, dari Nabi  bersabda, “Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama’ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan”. (H.R. Muttafaq ‘alaih)[8]

Riwayat lain dari Anas bin Malik a bahwa Rasulullah `, “Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian”. (H.R.  al-Bukhari)

 

  1. Ketika desakan (kebelet)[9] buang air besar atau kecil.

Didasarkan pada hadits ‘Aisyah i, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ` bersabda,   “Tidak ada shalat pada saat makanan dihidangkan dan ketika menahan keluarnya (sesuatu) dari 2 jalan (qubul dan dubur)” (HR Muslim)[10]

 

  1. Kecapekan dan mengantuk yang amat sangat, jika ia sudah tidak bisa lagi mengerti bacaan apa yang sedang dibaca dalam shalat.

Berdasarkan hadits dari Anas z dari Nabi `, beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian ngantuk dalam sholat, hendaknya ia tidur (terlebih dahulu) sampai ia bisa mengerti apa yang dibacanya”(H.R. al-Bukhari)

Riwayat lain menyebutkan dari Aisyah i bahwasanya Rasulullah ` bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk dalam keadaan ia shalat, hendaknya tidur sampai hilang perasaan kantuknya. Karena seorang jika shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak mengetahui, pada saat bermaksud mohon ampunan namun justru mencela dirinya sendiri “ (H.R. Muttafaq ‘alaih).[11]

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin v menjelaskan bahwa seseorang yang sangat mengantuk dalam shalat bisa jadi ia berdoa meminta surga namun keliru berucap meminta neraka, bermaksud meminta hidayah, justru keliru berucap meminta kesesatan, dan semisalnya.[12]

 

  1. Ketiduran

Orang yang ketiduran sehingga terlambat atau tidak shalat berjamaah di masjid adalah termasuk orang yang tidak tercela karena meninggalkan shalat berjamaah di masjid, berdasarkan keumuman hadits dari Aisyah i, Rasulullah `, bersabda, “Pena (kewajiban melaksanakan syariat) diangkat dari tiga (golongan manusia): orang yang tertidur sampai dia bangun (dari tidur), orang yang gila sampai akalnya normal, dan anak kecil sampai dia dewasa.” (H.R. Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Darimi, dan al-Hakim)[13]

Jika shalat berjamaah di mesjid telah selesai ketika dia terbangun dari tidur, maka dia boleh melaksanakan shalat di rumah atau di mesjid, berdasarkan hadits riwayat Abi Bakrah a, dia berkata,“(suatu hari) sungguh Rasulullah ` datang dari pinggiran kota Madinah (menuju ke mesjid) untuk melaksanakan shalat (secara berjamaah), dan Beliau `  mendapati orang-orang telah selesai melaksanakan sholat (secara berjamaah), maka Rasulullah `  pun kembali ke rumah, kemudian mengumpulkan keluarga Beliau `  dan shalat mengimami mereka.” (H.R. ath-Thabrani)[14]

 

  1. Mengkhawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam).[15]

Misalkan, berlindung dari kejaran penguasa yang Zhalim yang akan membunuhnya bukan secara haq, atau panik menyelamatkan diri karena adanya bencana alam. Hal ini didasarkan pada keumum firman Allah l, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri pada kebinasaan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 195).

 

Mutiara Hikmah

Dari Anas Bin Malik a, Rasulullah ` bersabda:

اَلدُّعَاءُ لاُ يُرَدُّ بَيْنَ الْأذَانِ وَالإقَامَةِ.

“Doa antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak.” (H.R.Tirmidzi no. 212 dan dishahihkan oleh albani dalam Irwaul Galil)

Marâji:

[1] https://alrasikh.uii.ac.id/2021/10/01/hukum-shalat-jamaah/

[2] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, Jilid 1, hal. 408-410

[3] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1, (Jakarta: Almahira, 2010) hal. 326-327

[4] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 546-549

[5] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fî Fiqhi al-Sunnah wa al-Kitâbi al-‘Azîzi, Cet.ke-6. (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2011), hal. 286-287

[6] Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 901 dan Muslim no. 699

[7] Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (V/207)

[8] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 674 dan Muslim, no. 559

[9] Bahasa jawa

[10] Muslim, no. 560, penjelasan lebih lanjut lihat Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 410. Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 548. Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i., hal. 326-327

[11] Al-Bukhari, no.212 dan Muslim, no. 786. Lihat pula Shahih al-Jami’ al-Shaghir, no. 810

[12] Syarh Riyadhi al-Shâlihin, Juz 1, hal. 166

[13] Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh al-Dzahabi dan al-Albani dalam Irwa ul Ghalil (2/5)

[14] Berkata Al Haitsami: Semua perawinya tsiqat (terpercaya), dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 155.

[15] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu ……..., hal. 326

HUKUM SHALAT JAMAAH

Oleh: Shahib al Rasikh

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Shalat jama’ah lima waktu disyari’atkan dalam Islam bagi laki-laki dan perempuan yang mukallaf dan mampu, baik sedang tidak berpergian maupun sedang dalam perjalanan. Para ulama telah sepakat bahwa shalat di masjid merupakan ibadah yang sangat mulia. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang status hukum shalat jama’ah di masjid itu sendiri, apakah wajib ‘ain (wajib bagi masing-masing individu), atau wajib kifayah atau sunnah mu’akkad. Dalam hal  ini ada empat pendapat, sebagai berikut:

  1. Hukumnya Fardhu Kifayah.

Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimîn (terdahulu), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Zhahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimîn dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.”[1]

Dalil-Dalilnya, sebagai berikut, hadits pertama, “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud).[2] Al-Saib berkata: ”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.” Hadits kedua, “Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[3]

  1. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.

Demikian ini pendapat Zhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.

Diantara dalil-dalinya, ialah hadits pertama, “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.”(HR Ibnu Majah).[4]  Hadits kedua, “Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[5]

  1. Hukumnya Sunnah Mu’akkad.

Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut:

Hadits pertama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR al-Bukhâri).[6] Hadits kedua, “Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah.” (HR Muslim ).[7]

  1. Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) dan Bukan Syarat.

Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut,

Dalil-dalil dari firman Allahﷻ, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]:102).

Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah: Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah –dan hukum asal perintah adalah wajib[8] yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”-. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi –dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, perintahkan mereka shalat bersamamu”

Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[9] Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, sebagian lain berpendapat boleh bila ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.

Nabi ` memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib. Dalil-dalil dari sabda Rasulullah `, sebagai berikut, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[10]

Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan, “Adapun hadits bab (hadits di atas), maka zhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[11]

Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan, “Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.”[12] “Seorang buta mendatangi Nabi `  dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah ` sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau rmemberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi `, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!”. (H.R. Muslim)[13]

Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata, “Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [14]

Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad)[15]

Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia)[16]  dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim al-Sadlan dalam kitabnya Shalat al-Jama’ah.[17] Demikian juga sejumlah ulama lainnya.[18]

 

Marâji:

[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari, jilid 2, hal. 26

[2] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.

[3] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab al-Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.

[4] Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab al-Masajid wal Jama’ah, Bab al-Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.

[5] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.

[6] Al-Bukhari dalam shahihnya kitab al-Adzân, Bab Fadhlu shalatu al-Jama’ah no. 609.

[7] Muslim dalam shahihnya kitab al-Masâjid Wa Mawâdhi’ Shalat, bab Fadhlu Katsrati al-Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.

[8] Hal ini berdasarkan kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqih yaitu hukum asal perintah adalah wajib.

[9] Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, al- Shalah wa Hukmu Tarikiha, (Dar Al Imam Ahmad) hal. 110,  dalam majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta

[10] HR al-Bukhâri dan Muslim –Bukhari dalam Shahihnya kitab al-Adzan, bab Wujubu Shalati al-Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fî al-Takhalluf ‘Anha (Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras bagi Orang yang Meninggalkannya), no. 1041.

[11] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bâri, (II/125).

[12] Ihkamul Ahkam, (I/124).

[13] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.

[14] Ibnu Qudamah, al-Mughni (III/6).

[15] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.

[16] Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.

[17] Ibid. hal. 72.

[18] Sebagian sub bab ini (hukum shalat jama’ah) diambil dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

 

Download Buletin klik disini

JADIKAN HARTAMU LEBIH BERMANFAAT

Oleh: Arviyan Wisnu Wijanarko*

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Dalam setiap kegiatan hendaknya selalu mengingat Allah ﷻ sebagai bentuk rasa syukur, tidak terkecuali dalam mencari harta kekayaan. Allah Ar-Rahmah tidak pernah melarang untuk mencari sebanyak-banyaknya harta di dunia ini, melainkan melarang pencarian harta yang berakibat lupa akan rahmat Allah ﷻ. Karena Allah ﷻ mengetahui bahwa anak cucu Adam alaihissalam tidak akan pernah puas dengan harta yang dimiliki walau sudah banyak, bahkan bisa sampai tujuh turunan tidak habis.
Kita juga sudah masyhur dengan kekayaan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang apabila di zaman ini beliau-beliau ini masih hidup maka bisa dibilang crazy rich, dan kekayaanya mampu memberikan manfaat dari zamannya dahulu hingga pada masa sekarang ini. Contohnya saja sahabat Utsman bin Affan radhiyallahuanhu yang membeli sumur dari Yahudi yang harganya apabila nilai tukarnya dialihkan ke zaman saat ini akan sangat besar sekali.
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu mari kita cari sebanyak-banyaknya harta demi kemakmuran masyarakat Islam. Sebab kita ketahui masyarakat Islam banyak yang mengalami kemiskinan pada masa sekarang ini.
Akan tetapi patut diingat bahwa jangan sampai kita dibutakan oleh harta tersebut ketika mampu mengumpulkannya sebanyak mungkin. Harta-harta tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah sekedar titipan belaka yang Allah ﷻ titipkan kepada kita untuk kemakmuran hamba-hambanya baik yang beriman maupun tidak. Allah ﷻ berfirman, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ﷻ lah pahala yang besar” (Q.S. al-Anfal [8]: 28).
Hendaknya harta itu sendiri juga sebagai bahan untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ senantiasa menambahkan harta yang lebih banyak ketika seseorang tersebut mau mengeluarkan harta yang dicintainya di jalan Allah ﷻ demi kemakmuran umat.
Segala harta yang telah dikumpulkan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Al-Malik. Jangan sampai harta yang dikumpulkan akan bersaksi terhadap buruknya pengelolaan harta kita, sehingga menjerumuskan kita kedalam jurang neraka, na’udzubillah.
Sebenarnya, apa itu harta? Bagaimana cara mendapatkannya? Bagaimana cara agar dapat berlipat ganda?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan harta sebagai “kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan dimiliki oleh seseorang” . Dalam Islam sendiri, harta diartikan sebagai al-maal atau condong, yang artinya kebanyakan manusia hatinya lebih cenderung ingin menguasai harta walaupun memiliki banyak sekali harta dibawah haknya. Menurut Hanafiyah, harta adalah sesuati yang dapat disimpan, sehingga apapun yang sifatnya tidak bisa disimpan bukan merupakan harta. Sedangkan menurut jumhur ulama, harta adalah sesuatu yang bisa disimpan dan memiliki nilai sehingga orang yang merusaknya dikenakan ganti rugi .
Harta menjadi salah satu tujuan yang dilindungi dalam Islam. Ada lima hal dari tujuan menegakan syariat Islam, yaitu menjaga agama, menjaga keturunan, menjaga diri, menjaga harta dan menjaga akal. Karena harta merupakan salah satu yang penting dalam Islam.

Mencari Harta Karena Allah ﷻ.
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Dipersilahkan kalian mencari sebanyak-banyaknya harta kekayaan. Memperkaya diri agar terlihat bahwa umat Islam ini adalah umat yang kuat baik di dunia terutama di akhirat.
Dalam pencarian harta, akan ada banyak sekali rintangan dan cobaan, dan kadang hal tersebut akan berganti dengan kebahagiaan, sehingga akan menjadi siklus dalam perjalanan kita mencari harta. Namun akan lebih indah apabila dalam setiap perbuatan selalu dan setia mengingat Allah ﷻ.
Apabila selalu mengingat Allah ﷻ semua akan terasa baik-baik saja, tidak aka nada efek buruk karena Allah ﷻ tidak akan memberikan rintangan dan cobaan melebihi kemampuan hambanya. Allah ﷻ berfirman, “Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya…”(Q.S. al-Baqarah [2]:286)
Ingat bahwa rintangan dan cobaan adalah dari Allah ﷻ tidak lain tidak bukan adalah rahmat dan anugerah dari-Nya. Apabila hidup tidak ada ujian mungkin akan terasa nikmat, namun itu akan membuat kita lupa dan bahkan mungkin akan menemukan kehampaan hidup.
Beda orang beriman dengan orang yang lemah imannya ketika mendapati sebuah cobaan yang begitu berat adalah lupa kepada Allah ﷻ, sehingga orang yang kurang imannya lebih cenderung akan mendekati kemaksiatan, contohnya mabuk-mabukan, dan lainnya.

Gunakan Harta Dijalan Allah ﷻ.
Para pembaca yang semoga selalau dirahmati oleh Allah ﷻ. Bukankah manusia memang tidak akan puas dengan harta yang dimiliki olehnya? Maka Allah ﷻ juga akan terus memberikan harta bagi orang-orang yang berusaha memilikinya.
Ada satu jalan yang Allah ﷻ sangat ridha terhadap jalan tersebut dan juga jalan tersebut merupakan tools untuk lebih memperbanyak harta sekaligus menjadi lebih bahagia. Yaitu dengan cara mengeluarkan harta tersebut di jalan Allah ﷻ seperti sedekah, zakat, infaq, dan lainnya.
Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah ﷻ akan menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang baik.” (Q.S. Saba’ [34]:39). Dalam tafsir Al-Muyassar, Allah ﷻ akan menggantikannya di dunia dan juga di akhirat dan nikmat mana lagi selain mendapatkan nikmat yang ada di akhirat.
Oleh karena itu harusnya kita menghilangkan prasangka kepada Allah ﷻ apabila ketika ingin bersedekah maka harta kita akan berkurang. Karena Allah ﷻ tahu bahwa kita telah bersusah payah dalam mencari harta, apalagi ketika mencari harta tidak lupa mengingat Allah ﷻ. Sehingga sangat mustahil bagi Allah ﷻ tidak membalas apapun kebaikan yang telah dilakukan. Allah mengganti harta yang telah dikeluarkan tersebut bisa berupa harta yang sama plus tambahannya, bisa juga dalam bentuk kesehatan, bisa juga dalam bentuk pengampunan dosa, dan juga bisa berbentuk pahala dan nikmat akhirat yang tidak akan pernah habis. Wallâhu a’lam.

Mutiara Hikmah

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh , ia berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah ` bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (godaan yang merusak/menyesatkan mereka), dan fitnah yang ada pada umatku adalah harta”.
(H.R. Tirmidzi IV/569 no.2336, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah II/139 no.592)

 

Download Buletin klik disini

PINTU-PINTU REZEKI

Oleh: Qonitah Cahyaning Tyas*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Membahas rezeki memang berkaitan dengan sesuatu yang diberikan oleh Allahﷻ  kepada makhluk hidup. Seperti yang telah diketahui, sesuai dengan kenyataan hidup, maka rezeki yang Allah berikan kepada sang hamba itu sangat banyak macamnya, ada makanan, harta, pakaian atau beberapa hal-hal lainnya yang mungkin menjadi kebutuhan manusia. Tetapi, manusia juga perlu memahami apa arti atau makna rezeki menurut al-Qur’an dan dari mana saja pintu-pintu rezeki terbuka.

Rezeki ada yang bersifat umum dan bersifat khusus. Rezeki yang sifatnya umum (ar-rizq al-‘am) yaitu segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan, berupa harta, rumah, kendaraan,  kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir.

Rezeki yang sifatnya khusus (ar-rizq al-khash) yaitu segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah. Inilah rezeki yang Allah berikan khusus kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Inilah rezeki yang hakiki, yang menghantarkan seseorang akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.[1]

Pemahaman yang baik terhadap rezeki juga dapat berdampak baik bagi individu seseorang maupun masyarakat, seperti terwujud dalam perilaku jujur dalam bertransaksi, mencari keberkahan dalam rezeki yang diberikan atau lainnya. Sedangkan pemahaman yang salah terhadap rezeki juga dapat berakibat buruk kepada masing-masing individu dan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan perilaku-perilaku seperti menghambur-hamburkan harta atau materialisme.[2]

 

Makna Rezeki dalam al-Qur’an

Ada banyak lafadz rezeki dalam al-Qur’an, dan memiliki makna yang berbeda, diantaranya:

  1. Bermakna pemberian, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 3, “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
  2. Bermakna makanan, dalam surat al-Baqarah ayat 25, “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan disana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.
  3. Bermakna hujan yang salah satunya ada pada surat adz-Dzariyat ayat 22, Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu”
  4. Bermakna nafkah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 233, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…….”
  5. Bermakna Pahala, seperti pada surat Ali Imron ayat 169, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”
  6. Bermakna Surga, salah satunya ada pada surat Taaha ayat 131, “Dan janganlah engkau tunjukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
  7. Bermakna Syukur pada surat al-Waqi’ah ayat 82, Dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan-Nya.”
  8. Bermakna buah-buahan yang ada di surat Ali Imran ayat 37, “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dia kehendaki tanpa perhitungan.”[3]

Maka, dapat disimpulkan bahwa makna rezeki menurut bahasa ada dua makna, yang pertama adalah pemberian dan kedua adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, baik yang ia makan ataupun yang ia pakai. Sedangkan dari segi istilah, rezeki adalah ungkapan dari sesuatu yang Allah berikan kepada makhluk. Berarti makna rezeki adalah pemberian dan juga sesuatu yang Allah sampaikan kepada makhluk-Nya dan yang bermanfaat bagi makhluk-Nya.[4]

 

Pintu-Pintu Rezeki Menurut al-Qur’an

Allah telah menetapkan empat hal pada diri manusia sejak ia masih berada dalam kandungan sang ibu, diantaranya adalah rezeki, ajal, amal dan jodoh. Tak ada yang tau ukuran rezeki yang telah Allah tetapkan untuk makhuk-Nya.[5] Memang, rezeki manusia dan makhluk lainnya itu hanya Allah yang tau, maka sebaiknya seorang manusia juga yakin akan ketetapan yang sudah Allah tentukan sebelumnya, tetapi manusia juga dapat berusaha dan tetap bersandar kepada Allah agar Allah dapat membuka pintu-pintu rezeki, dan diantara sebab pintu rezeki terbuka menurut Al-Qur’an adalah berikut ini:

  1. Rezeki yang dijamin Allah

Allah Pencipta seluruh yang ada di alam ini, dan tentu Allah menjamin rezeki makhluk-Nya, seperti firman Allah dalam Surat Hud ayat 6, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Q.S. Hud [11]: 6)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ayat tersebut menegaskan sesnungguhnya tidak ada makhluk yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya. Jaminan rezeki dari Allah untuk seluruh makhluk memiliki arti yang luas, seperti tumbuhan yang juga mampu bertahan hidup atau makhluk lainnya yang bisa menghidupi dan lain-lain.[6]

  1. Rezeki karena usaha

Dalam firman Allah surat al-Mulk ayat 15, “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya, dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Ayat diatas menjelaskan bahwa alam ini diciptakan Allah untuk memudahkan makhluk dalam memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu, Allah memerintahkan manusia untuk menjelajahi alam ini untuk mencari rezeki yang halal.[7]

  1. Rezeki karena bersyukur

Ada kata-kata usaha tidak akan mengkhianati hasil, dan memang jika kita berusaha maka kita akan mendapatkan hasilnya. Dengan begitulah, maka sudah sepatutnya kita sebagai makhluk Allah bersyukur kepada-Nya. Karena janji Allah kepada orang yang bersyukur akan ditambah nikmat kepada mereka,[8] seperti dalam Surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatla)h, ketika Tuhanmu memaklumkan; “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Kyu), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim [14]:7)

Itulah beberapa sebab-sebab pintu-pintu rezeki dapat terbuka dari Allah, menurut Al-Qur’an. Sebenarnya masih ada beberapa cara untuk membuka pintu rezeki dari Allah, seperti pintu rezeki yang terbuka karena beristighfar, pintu rezeki yang terbuka karena bersedekah dan pintu rezeki yang terbuka dengan taqwa seseorang. Yang terpenting dari itu semua adalah percaya bahwa rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-Nya itulah rezeki yang terbaik.[]

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki“ (Q.S. Hûd [11]:6)

 

Marâji’:

* Penyusun adalah mahaasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII

[1] Lebih lanjut https://muslim.or.id/7401-memahami-dua-jenis-rezeki.html

[2] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki dalam Perspektif Al-Qur’an dalam Jurnal Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadits, Vol. 4 No.2, 2020, hal. 467-480

[3] Achmad Kurniawan Pasmadi. Konsep Rezeki dalam Al-Qur’an dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. 6 No. 2 Agustus 2015, hal. 132-146

[4] Ibid

[5] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki.,

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

 

Download Buletin klik disini

 

 

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allahﷻ. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allahﷻ menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allahﷻ dengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab radhiyallahu “anhu berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, Itulah shalatnya orang munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas radhiyallau ‘anhu, mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

 

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI TAHUN BARU ISLAM, 1 MUHARRAM 1443 HIJRIYAH

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allahﷻ adalah bulan Muharram atau biasa disebut bulan haram (al-ashurul harum), Allahﷻ berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, di dalam dua belas bulan, Allahﷻ telah memberikan empat bulan yang istimewa agar kita senantiasa lebih meningkatkan kualitas ibadah kita dan meninggalkan kemaksiatan. Seperti halnya berbuat kebaikan kepada sesama manusia, dzikir, sedekah dan lain-lain.

 

Hijrahnya Rasulullah

Peristiwa Hijrahnya Rasulullah ke Madinah merupakan salah satu bentuk transformasi dan perlindungan untuk kaum muslimin, terhadap  penindasan dan kekerasan yang dilakukan kaum musrikin. Hijrahnya Rasulullah ke Madinah itu bukan karena takut akan terbunuh atau meninggal oleh kaum musrikin, tapi karena komitmen untuk menjaga umat Islam di mekah maka dari itu Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah.

Allahﷻ berfirman,”Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat ) bertanya, “bagaimana kamu ini?” mereka menjawab, “kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)” mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” maka orang-orang itu tempatnya di neraka jahanam, dan (jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali”  (Q.S. an-Nisâ’ [4] : 97).[1]

 

Musahabah diri

Makna tahun baru Islam, merupakan momen pergantian kalender Islam dalam hijriyah agar kita bisa merenungi kesalahan-kesalahan yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. dan juga harapan atau resolusi agar kedepanya bisa lebih baik dari tahun berikutnya. Allahﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Hasyr [59]: 18).

Dengan selalu merenungi dan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di tahun sebelumnya, akan membuat hati dan pikiran mudah terkontrol sehingga akan lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam bertindak dikemudian hari.

 

Memperbanyak Amalan Ibadah

Bulan Muharram adalah bulan yang sangat dimuliakan,. maka dengan itu dengan memperbanyak amalan ibadah seperti puasa, sedekah merupakan salah satu bentuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Seperti hadis berikut, Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu ia berkata,  Rasulullah bersabda, ““Seutama-utama puasa setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (H.R. Muslim, no. 1982).”.”  (H.R. Muslim, no. 1982).[2]

Manusia memang tidak luput dengan kesalahan , semua yang telah ditetapkan oleh Allahﷻ tidak bisa dirubah kecuali dengan kehendak-Nya .maka dengan itu kita sebagai manusia  selalu diingatkan  untuk selalu berikhtiar dan berdoa agar bisa mencapai Ridho-Nya.

 

Motivasi diri

Peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah merupakan suatu hikmah yang perlu diambil dan dijadikan motivasi, bahwa Rasulullah bersama dengan para sahabatnya dalam menegakan Islam itu penuh dengan perjuangan dan banyak sekali pahlawan Islam yang telah mati syahid, demi untuk membela dan menegakan Islam. Untuk itu kita sebagai umat muslim perlu menghargai dan meneladani setiap perjuanganya dengan cara; semangat belajar, semangat ibadah, mematuhi peraturan Allahﷻ dan menjauhi larangan-Nya.

Allah lberfirman, “Dan dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”(Q.S. At-Talaq [65]: 3).

Dari ayat diatas menjelaskan bahwa semua orang mempunyai rezekinya masing-masing. untuk itu kita sebagai manusia harus terus berjuang dan memotivasi diri sendiri. agar nantinya apa yang menjadi keinginan dan cita-cita bisa terwujud dengan arah dan jalan yang benar sesuai dengan ketentuan dalam islam.

 

Momen Perubahan Menuju Kebaikan

Setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya menginginkan perubahan yang lebih baik, seperti halnya ditahun baru Islam ini. Perlu lembaran baru untuk memulai sebuah transformasi agar ada perubahan menuju kebaikan. Allahﷻ berfirman, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”.” (Q.S. al-Baqarah [2] : (217).

 

Pengingat Diri Akan Akhlak Mulia

Dalam tahun baru Islam ini  sebagai pengingat kita akan akhlak mulia, karena untuk menjadi pribadi yang baik tidak cukup untuk mempelajari ilmu pengetahuan saja. Banyak orang yang berilmu tapi tidak berakhlak. Allahﷻ berfirman,“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusushan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An-Nahl [16]: (90).

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa butir Akhlak yang Allah ungkap yaitu: ikhlas, sabar, bersyukur, pemaaf, mengerjakan yang makruf, jangan menggunjingkan satu sama lain (berghibah), bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha penyayang, Ta’aruf (saling kenal- mengenal) dan silaturrahim, dan tawakkal.

Dari pernyataan di atas tidak mengungkapkan semua penjelasan dari al-Qur’an. Salah satu Akhlak mulia adalah Ikhlas dan sabar. Menurut al-Imam al-Mar’asyi, ikhlas merupakan kesamaan amalan seorang hamba yang dilakukannya antara lahir maupun batin. Sedangkan menurut Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengatakan bahwa hakikat keikhlasan adalah berlepas diri dari sesuatu selain Allahﷻ, yaitu bersihnya perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha Allahﷻ dan pahala dari-Nya. ikhlas juga dapat dimaksudkan jika kita bisa melupakan pandangan mahluk hingga kita tidak melihat dan memperhatikan lagi apa dan siapa kecuali hanya Allah sang pencipta.

Selanjutnya sabar. Sabar merupakan salah satu bentuk akhlak mulia, para ulama menetapkan sabar dalam tiga dimensi, yaitu:

  • Sabar terhadap semua perintah Allahﷻ, agar dipatuhi dan dijalankan peintah Allahﷻ
  • Sabar terhadap semua yang dilarang Allahﷻ, agar dijauhi, ketika Allahﷻ melarang sesuatu, pasti karena ada ketidak-baikan pada sesuatu yang dilarang tersebut. Hamba yang dilarang, justru karena Allahﷻ tidak ingin hamba tersbut terjatuh pada lembah kehinaan dan kenistaan. Oleh karena itu, Allah menyiapkan adzab sebagai hukuman (punishment) bagi hamba yang selalu ingkar hingga akhir hayatnya.
  • Sabar terrhadap semua ujian Allahﷻ, baik berat maupun ringan. Ada yang mengira bahwa ujian itu hanya kalau terasa sulit, jangan salah, baik terasa senang maupun susah keduanya adalah ujian, terhadap nikmat kita diuji Allah, apakah kita termasuk yang akan besyukur, ataukah malah kufur.[3]

 

 

* Penyusun adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[1] Muidigital, “Tahun baru Islam 1443 Hijriyah, Reaktualisasi Makna Hijrah”, dikutip dari https://mui.or.id/opini/31002/tahun-baru-islam-1443-hijriyah-reaktualisasi-makna-hijrah/ diakses pada hari Minggu 15 Agustus 2021

[2] H.R. Muslim no.1982. Shahih menurut Ijma’ Ulama

[3] Hadi yasin, “Ayat-Ayat Akhlak Dalam Al-Quran: membangun keadaban menuju kemuliaan peradaban”, dikutip dari https://core.ac.uk/download/286345557.pdf diakses pada hari Senin 16 Agustus 2021

 

Download Buletin klik disini

 

MENGAMALKAN KEBIASAAN MASYARAKAT DALAM KACAMATA ISLAM

Oleh:  Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Pembaca yang budiman, setiap manusia tentunya hidup dalam lingkungan yang memiliki kebiasaan berbeda-beda. Sebagai agama yang sempurna, syariat Islam telah mengatur hal tersebut. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah (non-ibadah). Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum asal semua perkara selain ibadah. Mengapa hal ini penting? Karena hal tersebut memiliki konsekuensi hukum halal dan haram. Sebuah hadits menyebutkan, “Kemudian Allah Ta’ala  mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya, serta menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan maka hukumnya dimaafkan.” (H.R. Abu Daud).

Sehingga hukum asal semua perkara selain ibadah (seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan muamalat) adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya dalam masalah pakaian, hukum asalnya mubah, seperti bolehnya memakai baju kemeja karena tidak ada larangannya di dalam syariat. Tetapi menjadi terlarang jika laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra karena ada dalil yang melarangnya, Nabi bersabda, “Sutra ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku dan halal bagi kaum wanitanya” (H.R. Ahmad).

Setiap pakaian yang terbuat dari sutra, baik baju, celana, kaos kaki, topi, dan lain sebagainya, hukumnya haram bagi laki-laki. Namun, Nabi mengizinkan memakai sutra bagi laki-laki yang sedang menderita sakit gatal-gatal, kudis, dan sebagainya. Dibolehkan juga memakai sutra bagi laki-laki yang berperang ketika sedang menghadapi musuh.[1]

 

Hukum Asal Ibadah adalah Haram

Hal ini berbeda dengan hukum asal ibadah. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya. Suatu perkataan atau perbuatan tidak bisa disebut sebagai ibadah sampai mendapatkan label ibadah dari Allah dan rasul-Nya. Hal ini sebagaimana di dalam firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad) ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’” (Q.S. Yunus [10]: 59).

Ibadah adalah jalan menuju Allah. Manusia tidak mungkin sampai ke tujuan kecuali dengan menempuh jalan yang telah Allah tetapkan. Tanpa keterangan dari Allah dan rasul-Nya, itu bukanlah ibadah yang disyariatkan.[2] Ibadah yang dilakukan tanpa niat hanya akan mendatangkan kelelahan. Niat tanpa keikhlasan tak lebih dari perbuatan riya’. Sedangkan ikhlas tanpa mengikuti petunjuk Nabi juga akan percuma.[3] Maka, seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dituntut untuk meluruskan niatnya, menumbuhkan rasa ikhlas, dan beribadah mengikuti petunjuk Nabi.

Jadi, kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Jika kebiasaan yang berlaku di masyarakat bertentangan dengan syariat, maka wajib meninggalkan kebiasaan tersebut. Contoh kebiasaan yang bertentangan dengan syariat adalah menyembelih hewan kepada selain Allah. Misalnya menyembelih hewan untuk sesajen. Ini termasuk kesyirikan.

Syirik adalah mempersembahkan sebagian ibadah kepada selain Allahﷻ, dengan menjadikan sebagian diantaranya untuk Allah, dan sebagian lainnya untuk selain Allah, seperti jin, manusia, malaikat, patung, pohon, bintang, batu, atau makhluk-makhluk lainnya, termasuk juga menyembelih hewan untuk mereka. Siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia telah menyekutukan Allah, menyembah selain Allah, dan membatalkan keislamannya.[4]

Janganlah kita mempertahankan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat ini walaupun kebiasaan tersebut sudah dilakukan dari dulu bahkan sudah dilakukan dari generasi-generasi sebelumnya”. Allah telah memberitahukan di dalam firman-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 170).

Ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang yang bandel dan mempertahankan keyakinan bathil mereka dengan dalih mempertahankan apa yang selama ini mereka terima dari nenek moyang mereka.[5] Kita hidup di dunia ini wajib mematuhi aturan yang Allah atur di dalam syariat-Nya. Sebagaimana hadis dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nashir a dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum. Maka janganlah kalian melampauinya. Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya…” (H.R. Daruquthni).

Maksud hadits ini adalah bahwa Allahﷻ mewajibkan berbagai macam kewajiban berupa ketaatan dan ibadah seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua dan sebagainya dari berbagai kewajiban.[6] Hendaknya sikap seorang muslim mencukupkan diri dengan perkara yang halal dan meninggalkan perkara yang haram. Jangan pula mendekati perantara-perantara yang mengantarkan kepada hal yang Allah haramkan. Perhatikanlah batasan-batasan Allahﷻ dengan tidak melampaui dan juga tidak melanggarnya.[7]

 

Faidah Ilmu

Dari penjelasan di atas, ada beberapa faidah ilmu yang dapat kita ambil:

  1. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah.
  2. Hukum asal semua perkara selain ibadah adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
  3. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya
  4. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

Pembaca yang budiman, hal seperti ini penting untuk diketahui agar kita tidak terombang-ambing dalam mengamalkan agama dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita mengetahui batasan-batasan halal dan haram dalam berinteraksi dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan juga tidak terjerumus dalam melakukan hal yang dianggap ibadah padahal bukan termasuk ibadah yang mengakibatkan amal yang kita lakukan menjadi sia-sia bahkan menjadi dosa karena membuat sesuatu yang baru dalam agama.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam mempelajari ilmu syar’i sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allahﷻ tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu Abbas RA berkata:

 

فَكُلُّ خُلَّةٍ هِيَ عَدَاوَةٌ إِلَّا خُلَّةُ الْمُتَّقِيْنَ

Maka setiap persahabatan akan menjadi permusuhan kecuali persahabatan orang-orang yang bertaqwa

(Tafsir Ath-Thabari 21/638)

 

[1] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

[2] Muhammad Abu Rivai. Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Bandung: Ellunar. 2017 M. Cet.k-1. hal. 74.

[3] Salim bin ‘Ied al-Hilali. Mubthilatul A’mal fi Dhau’il Qur’an al-Karim was Sunnah ash-Shahihah al-Muthahharah. Alih bahasa Badrusalam. Penyebab Rusaknya Amal Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2015 M. hal. 3.

[4] Abdul Aziz bin Baz. Subulus Salam – Syarh Nawaqidhil Islam. Alih bahasa Umar Mujtahid. Syarah Nawaqidhul Islam – Penjelasan Pembatal-pembatal Keislaman. Bekasi: Pustaka Dhiya’ul Ilmi. 2019 M. Cet.k-1. hal. 20.

[5] Supriyanto Pasir. Tafsir Is’af  al-Qashirin Surat al-Fatihah dan al-Baqarah. Sleman: Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI UII). 2019 M. Cet.k-1. hal. 288.

[6] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 471.

[7] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

 

Download Buletin klik disini

MEMETIK MAKNA KEPEDULIAN DI HARI RAYA IDUL ADHA

Oleh: Aisyah Amalia Putri*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Memaknai hari raya Idul Adha berawal dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim A.S atas kerelaan mengorbankan putra yang dicintainya. Tatkala Nabi Ibrahim bermimpi diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail A.S. Hal tersebut sesuai firman Allahﷻ, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 102).

 

Ikhlas dalam Beramal

Hikmah dari kisah diatas adalah meneladani sikap ketakwaan terhadap perintah Allahﷻ. Ketakwaan hadir dengan adanya keikhlasan berupa kejernihan hati yang mendorong kepada kepedulian. Ikhlas merupakan amalan hati untuk memperbaiki niat ketika  hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sesudah beramal semata-mata karena Allahﷻ. Sehingga rasa ikhlas membawa manusia pada amal kebaikan dengan penuh ketulusan. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 2)

 

Kepedulian Sosial

Dalam pembahasan diatas, ada keterkaitan antara keikhlasan dengan kepedulian. Menurut salah satu teori, kepedulian adalah salah satu bentuk tindakan nyata, yang dilakukan oleh masyarakat dalam merespon suatu permasalahan. Dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kepedulian juga merupakan partisipasi yakni keikutsertaan. Kepedulian sosial  merupakan  sebuah sikap keterhubungan dengan manusia pada umumnya, sebuah empati bagi setiap  anggota manusia untuk membantu orang lain atau sesama.[1] Dengan seorang muslim berqurban di hari raya Idul Adha menjadi salah satu kontribusi kepedulian dalam menegakkan agama dan kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan pada kisah  perjuangan  Nabi Ibrahim A.S dan Nabi Ismail A.S.

Dapat disimpulkan, menurut W.J.S Poewadarmintra poin-poin dari nilai kepedulian diantaranya:

Pertama, memberi bantuan berupa sandang, pangan dan kesehatan. Memberi bantuan merupakan ibadah. Ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang diperintahkan melalui jalan wahyu. contohnya adalah shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhaadalah ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat  pelakunya. Contohnya  adalah aktivitas makan. Makan bukanlah suatu ibadah yang khusus, namun apabila makan tersebut diniatkan untuk ibadah agar kuat untuk menjalani ibadah shalat dan pergi ke masjid,  maka makan tersebut akan bernilai pahala.[2]

Begitupula berqurban di hari raya Idul Adha, apabila diniatkan tulus karena Allahﷻ akan bernilai pahala. Terlebih dalam situasi pandemi sekarang ini. Semakin seseorang meningkatkan kepedulian berbagi maka semakin Allahﷻ akan memberikan keselamatan bagi hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,”Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak pernah mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Obatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala bencana, dan yang paling ringan adalah penyakit kusta dan sopak (vitiligo).” (H.R.Thabrani).

Dengan demikian Allahﷻ menganjurkan untuk saling membantu dalam hal ketakwaan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan . Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 2).

Kedua, memberikan perhatian dan kasih sayang. Manusia diciptakan oleh Allahﷻ berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar saling menghargai. Sebagai seorang yang mukmin dianjurkan untuk saling mengenal dan berbuat baik kepada seluruh manusia agar menghadirkan rasa kasih sayang satu sama lain. Melalui berqurban di hari Raya Idul Adha, Islam mengajarkan kita untuk mendapatkan nilai tersebut sebagai pokok perhatian kita kepada umat muslim. Dalam al-Quran Allah l berfirman, “…Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Dalam syariat Islam, syarat-syarat yang berhak mendapatkan daging qurban menurut Badan  Amil Zakat Nasional adalah: orang yang berqurban, tetangga sekitar, teman dan kerabat, serta fakir miskin. Hal tersebut terdapat dalam firman Allahﷻ, “Makanlah sebagian dari daging qurban, dan berikanlah sebagiannya pada orang fakir yang tidak minta -minta, dan orang fakir yang minta-minta.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 36).[3]

Dengan memperbanyak menjalin kasih sayang melalui berqurban diantara umat muslim maka, akan ada banyak kepedulian  yang datang. Sebagaimana dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al- Hujurât [49]: 10).

Ketiga, membiayai pendidikan. Fenomena hari Raya Qurban Idul Adha memberikan pembelajaran terkait pendidikan moral dan  tauhid.  Melihat kisah berbaktinya Nabi Ismail A.S kepada ayahnya Nabi Ibrahim A.S untuk menjalankan perintah Allahﷻ. Jika dibayangkan betapa beratnya hati seorang ayah menyembelih anaknya sendiri. Atas karunia Allah semua kejadian itu berbalik menjadi hikmah yang dapat kita rasakan bersama dengan indahnya berqurban di setiap hari raya Idul Adha. Allahﷻ berfirman, ” Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Saffat [37]: 107-110).

Selain itu, nilai kepedulian yang dapat dipetik adalah rasa empati terhadap mereka yang kurang mampu untuk membeli hewan qurban. Hari Raya Idul Adha menjadi kesempatan umat muslim untuk berlomba-lomba berqurban sebagai wujud membiayai mereka yang kurang mampu dalam berqurban. Terutama bagi  mereka yang terdampak pandemi covid-19. Tak lain halnya mereka membutuhkan asupan yang bergizi untuk meningkatkan imunitas. Tidak ada yang merugi bagi seseorang yang berqurban. Selain mereka mendapatkan pahala, Allahﷻ menjanjikan kepada mereka kebaikan yang berlipat ganda. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Barangsiapa berbuat kebaikan maka mendapat (balasan) sepuluh kali lipat amalnya .” (Q.S. al-An’am [6]: 160).[4]

Demikianlah, ada banyak nilai kepedulian yang dapat kita  petik  di  dalam  Hari Raya Idul Adha, diantaranya; nilai pejuangan kisah Nabi Ibrahim A.S dan Ismail A.S kasih sayang, berbagi dan hal lainnya. Amal kebaikan tersebut mampu menjadikan acuan umat muslim untuk bersinergi, bersatu dan bahu membahu. Semoga Allah l melimpahkan rahmat dan keberkahan-Nya agar pandemi covid-19 segera berlalu melalui kebaikan serta pembelajaran indahnya berbagi di Hari Raya Idul Adha. Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

 

* Alumni UII

[1] W.J.S Poewadarmintra. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,1980)

[2] https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah- bag-1.html

[3] https://www.madaninews.id/3255/siapa-saja-yang-berhak-menerima-daging-qurban.html

[4] http://repository.uin-suska.ac.id/20227/7/7.%20BAB%20II.pdf

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah R.A, Rasulullah  bersabda,

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699).

 

Download Buletin klik disini