Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan
Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah ﷻ. Pada hakikatnya manusia hidup berdampingan, saling tolong-menolong, kasih-mengasihi antar sesama dan dengan alam sekitarnya. Maka tidak heran jika manusia kemudian diberi julukan sebagai makhluk sosial. Tumbuh-tumbuhan, bebatuan, air, dan segala hal yang tersedia di alam ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemberian itu bersifat sebagai amanah dari Allah yang oleh-Nya manusia diberi mandat untuk menjaga, merawat, dan mengatur alam ini.
Allah ﷻ firman yang artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)
Berdasarkan pada ayat di atas, manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga, merawat dan mengatur alam ini sesuai dengan posisinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Proses penjagaan terhadap alam ternyata bersinggungan dengan konsep adil. Kata adil diambil dari bahasa arab al-‘adl yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Lawan dari kata ‘adl adalah zhalim yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Banyak kasus di sekitar kita yang tanpa kita sadari merupakan pembahasan dari adl-zhalim itu sendiri. Sebagai contoh seseorang yang membuang sampah di jalan atau di sungai. Tindakan itu termasuk dalam kategori zhalim, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Begitu juga dengan kasus seorang murid yang masuk kelas tidak pada waktunya. Perbuatan seperti ini patut untuk kita koreksi untuk perbaikan agar bisa lebih baik lagi.
Penempatan waktu yang tidak tepat juga merupakan implementasi dari sikap anti adil. Terkadang pemuda-pemuda malah asyik meneruskan bermain bola sedangkan lantunan adzan sudah berkumandang. Sikap yang seharusnya mereka ambil adalah menghentikan permainan dan mendengarkan adzan sebagai penghormatan. Ada baiknya dalam melakukan kegiatan seperti itu mempertimbangkan terlebih dahulu apakah waktu itu akan mengganggu yang wajib-wajib atau tidak, sehingga ketika kita sudah mempertimbangkan itu semua tidak ada was-was yang muncul dalam hati bahkan mungkin kedamaian akan menghinggapi yang menjadikan hati merasa tenang dan tenteram.
Dalam bernegara keadilan merupakan salah satu pembahasan pokok di masyarakat. Keadilan secara umum didefinisikan sebagai “Perlakuan yang sama tanpa melalui kompleksitas pribadi-pribadi yang bersangkutan”. Secara ideal keadilan memperhatikan perbedaan-perbedaan kebutuhan setiap individu, kesamaan, dan kesetaraan bukan pada terletak pada pembagian secara sama rata.
Sebagai contoh ada seorang ibu mempunyai dua anak. Anak yang pertama sekolah di SMA dan anak yang ke dua masih mengenyam pendidikan di kelas dua SD. Kemudian anak yang pertama dan kedua sama-sama mendapatkan uang jajan Rp. 5000. Secara pembagian sama ratanya ibu itu benar, tapi jika ditinjau dari tingkat kebutuhan dan kompleksitasnya perbuatan itu tidak belum mencerminkan sikap adil. Karena memang dalam kasus ini bukanlah nilai sama yang harus dijunjung akan tetapi karena pertimbangan kebutuhan dari kedua anak yang berbeda.
Kadang kala nilai adil adalah kesamaan. Semisal ada orang Jawa dan orang Papua. Negara harus berdiri di tengah-tengah mereka dengan memberikan kewajiban dan hak yang sama sebagai rakyat Indonesia. Tidak boleh ada keistimewaan terhadap salah satu golongan saja walaupun ada yang minoritas dan mayoritas. Semua harus mendapatkan jatah yang sama. Oleh sebab itu dengan ditegakkannya keadilan maka akan timbullah kedamaian. Sama halnya dengan kasus seorang ibu dengan kedua anaknya. Setiap dari mereka juga mempunyai hak yang sama dalam kasih sayang.
Hal ini sesuai dengan ungkapan dari seorang sosiolog muslim yang masyhur pada zamannya, Ibnu Khaldun. Beliau memegang prinsip bahwa keadilan merupakan konsep yang abstrak dan idealis, diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna, dan tidak berdasarkan kepada realitas sosial. Sistem keadilan yang dibentuk berdasarkan pada solidaritas sosial yang berada di atas pondasi solidaritas individu yang menimbulkan rasa kasih-sayang dan saling membantu satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain nafas keadilan menurut Ibnu Khaldun adalah solidaritas.
Karena sikap adil itu sangat penting sehingga Allah ﷻ memperingatkan hamba-Nya dalam surat al-Anfâl ayat 25, yang artinya, “Dan peliharalah diri kalia dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang –orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S al-Anfâl [8]: 25)
Ayat di atas menjelaskan bahwa siksaan Allah ﷻ tidak sebatas hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat zhalim saja, tetapi orang yang melihat kezhaliman tersebut di depan mata dan tidak berbuat apa-apa juga mendapatkan siksaan. Seseorang yang melihat temannya melakukan suatu kezaliman seperti membuang sampah sembarangan dan membiarkannya terbuai dengan tindakan itu merupakan contoh dari ayat di atas. Perbuatan itu mencerminkan perilaku yang acuh tak acuh dan tidak melaksanakan konsep amal ma’ruf nahi munkar .
Konsep adil di tegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya di surat an-Nisâ’ ayat 135 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 135)
Sikap adil sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Salah satunya kisah sahabat nabi yang bernama Ukasyah bin Mihsan. Ketika itu Nabi bertanya siapa saja yang pernah dizhalimi oleh Rasullullah ﷺ mengingat kematian sudah semakin dekat. Ukasyah menegaskan bahwa Ia pernah terkena tongkat komando Rasulullah ﷺ dalam perang dan rasanya sakit. Rasullullah ﷺ kemudian memberikan tongkat itu kepada Ukasyah untuk melakukan qishas. Ukasyah lalu menjelaskan bahwa waktu itu Ia tidak mengenakan baju yang menutupi badannya. Dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan sebagai contoh yang kelak menjadi rujukan kaumnya maka Rasulullah ﷺ dengan sukarela melepas baju yang melekat di badannya dan mempersilahkan Ukasyah untuk memukulnya. Sungguh teladan mulia apa yang dicontohkan oleh beliau yang kita sendiri belum tentu mampu untuk mengikutinya.
Contoh di atas memberikan gambaran untuk berbuat adil, baik itu yang berakibat pada diri kita sendiri, maupun terhadap orang lain. Untuk yang berakibat pada diri sendiri ini biasanya sangat berat untuk kita laksanakan, karena kadang seringkali kita melihat diri kita ini sebagai korban dari ketidak adilan. Kita membela diri bahwa kita tidak melakukan ini itu dan sebagainya yang bisa mengakibatkan permasalahan yang semakin panjang.
Para pemimpin kita dan kita sendiri seharusnya meneladani sikap Rasulullah ﷺ yang adil terhadap siapa saja. Bahkan beliau rela dirinya sendiri menerima perlakuan semacam itu untuk menegakkan keadilan di muka bumi ini.
Hukum seharusnya ditegakkan dengan penuh keadilan, tidak tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Seorang pemimpin sejatinya berani menegakkan keadilan kepada semua pihak tanpa memandang pangkat, jabatan, kekayaan, ras, suku, agama, baik dari partainya sendiri maupun orang-orang yang di luar partainya. Bahkan ketika anaknya berbuat kejahatan semestinya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Bukan malah membuat kesepakatan mengatasnamakan jabatan dan bersembunyi di bawak ketek kekuasaan. Begitulah pemimpin harus tegas untuk menegakkan keadilan mengingat kedamaian tercipta karena keadilan.
Keadilan menjadi substansi dari hukum, hukum diterapkan untuk menciptakan kedamaian, melindungi manusia dan tidak dijadikan alat untuk menindas dan menghabisi musuh. Wallâhu a’lam.
Marâji:
https://islami.co/ibnu-khaldun-bicara-keadilan-sosial/
https://jagad.id/pengertian-adil-menurut-para-ahli-dan-dalam-islam/
https://tafsirweb.com/1667-quran-surat-an-nisa-ayat-135.html
https://tafsirweb.com/290-quran-surat-al-baqarah-ayat-30.html
https://tafsirweb.com/2891-quran-surat-al-anfal-ayat-25.html
https://analisadaily.com/berita/arsip/2019/2/22/697558/rasulullah-saw-mempraktekkan-keadilan/
*Fatkhur Rohman Khakiki
Prodi Teknik Kimia FTI UII
Mutiara Hikmah
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!