Berkata Yang Baik Atau Diam

Berkata Yang Baik Atau Diam

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah ﷻ. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ, bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikkan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.”

Perkataan Sumber Masalah?

Perkataan memang kerap sekali menjadi sumber masalah. Pertengkaran dan perkelahian sering kali terjadi di sekitar kita. Penyebabnya? Hampir semua akar dari permasalahan itu dimulai dari lisan. Mulai dari kesalahpahaman dan adegan saling sindir yang keluar dari mulut. Hal itulah yang menyebabkan perkelahian dan pertengkaran itu terjadi.

Seseorang datang kepada seseorang yang lain dan berkata kepadanya, “Hai gendut, kemarilah! Aku punya sesuatu.” Orang yang dipanggil merasa dirinya dihina dan mengatakan, “Apa maksudmu kawan?” lalu dimulailah adegan perang antara kedua orang itu.

Apa yang bisa kita ambil dari contoh sederhana di atas? Apa hikmah yang dapat kita petik lalu kemudian kita olah sebagai bahan refleksi yang kemudian menelurkan sikap dan perilaku yang lebih baik? Contoh di atas mengajarkan kita untuk membedakan mana benar dan mana baik. Kapan kita harus mengucapkan benar dan kapan juga kita harus mengucapkan baik. Dan organ apakah yang bisa membedakan baik benar tersebut.

Orang yang memanggil tadi benar, karena memang secara fisik orang yang dipanggilnya itu adalah mempunyai lemak berlebih. Akan tetapi itu tidak baik. Kenapa? Ada etika pengucapan yang harus dipikirkan oleh si pemanggil. Pandangan orang kebanyakan, kondisi gendut, miskin, dan lain-lain adalah sebuah aib. Jika sebuah aib itu disebut maka yang muncul adalah rasa penghinaan.

Berpikir Sebelum Berkata

Dibutuhkan pertimbangan dalam mengungkapkan sesuatu, dan kabar baiknya Allahﷻ telah menitipkan sesuatu itu kepada kita yang berbentuk akal. Hal ini senada dengan yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i  mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).” Sebagian ulama lain berkata, “seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Seiring berkembangnya zaman yang super cepat ini maka berbicara tidak sebatas pada apa yang terucap dalam lisan. Bahkan kabarnya, jempolpun bisa berkata-kata. Bisa lewat media sosial dan bisa juga lewat media elektronik lainnya. Sehingga pengendalian dalam menyebar informasi makin tidak terbatas. Semua orang bisa mengomentari segala hal, semua orang, dan apapun yang ada di dunia ini. Hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat akibat yang ditimbulkan juga tidak sedikit.

Belajar Solusinya

Kualitas bicara seseorang sangat bergantung kepada 3 hal; 1. Memori (ingatan), 2. Bagaimana ia belajar, dan 3. Apa yang ia pelajari. Belajar merupakan proses mendapatkan informasi yang memungkinkan suatu hal terjadi. Mengingat adalah mempertahankan dan menyimpan informasi tersebut. Apa yang dipelajari oleh seseorang melalui penglihatan dan pendengarannya membentuk tata nilai yang ia yakini. Tata nilai tersebut membentuk prosedur baku dalam otak yang berfungsi sebagai processor atas segala masukan informasi penglihatan, pendengaran dan perasaan hatinya. Keluaran dari processor tersebut berupa kata-kata yang diucapkan, ekspresi wajah, sikap dan tindakan.

Apabila seseorang banyak melihat, mendengar dan merasakan sesuatu yang negatif, maka yang masuk dalam memorinya adalah hal-hal negatif. Tata nilai yang terbnetuk dan diyakininya juga menjadi negatif. Akibatnya ia akan mudah bicara dan bertindak negatif.  Sebaliknya apabila banyak melihat, mendengar dan merasakan sesuatu yang positif, maka yang masuk dalam memorinya adalah hal positif pula.

Analogi mudahnya adalah seperti tersaji dua jenis makanan yang berbeda, satu berasal dari makanan yang sehat-sehat, dan satunya lagi berasal dari tumpukan sampah berbau busuk. Manakah yang akan anda pilih? Orang yang waras dan sehat akalnya akan memilih yang pertama. Sayangnya, banyak yang memberikan makanan kepada otaknya berupa informasi-informasi dari tumpukan sampah melalui penglihatan, pendengaran dan perasaan hatinya.

Allah ﷻ berfirman,Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Q.S. al-Isra [17]: 36)

Nasehat Imam Abu Hatim

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala, hal. 45,Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.”

Beliau menambahkan lagi di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena pekataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah darpiada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mempu mengontrol perkataan-perkataanya.”

Tidak ada obat terbaik untuk masalah di atas kecuali tetap introspeksi dan terus belajar. Melatih diri untuk tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak berguna yang bisa berdampak buruk, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Rasulullah ﷺ bersabda,Barang siapa yang dapat menjamin untukku lisan dan kemaluannya, aku akan menjamin untuknya surga.” (H.R. Ahmad). Wallâhu a’lam bis shawâb.

 

Marâji’

https://umma.id/post/serial-kutipan-hadits-berkata-baik-atau-diam-304347?lang=id

http://m.muhammadiyah.or.id/id/artikel-berbicara-baik-atau-diam-detail-1391.html

https://tafsirweb.com/4640-quran-surat-al-isra-ayat-36.html

Fatkhur Rohman Khakiki

Mahasiswa Teknik Kimia

FTI UII

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat

(HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *