Bahaya Dusta
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Maidah [5]: 3). Syari’at Islam begitu rapi dalam mengatur kehidupan manusia mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Termasuk di dalam syari’at Islam adalah kita diwajibkan menjaga lisan dari hal-hal yang diharamkan. Allah ﷻ berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Q.S. al-Isra’ [17]: 36). Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman, “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Q.S. al-Hajj [22]: 30).
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diharamkan untuk mengatakan hal-hal yang dusta. Begitu banyak sekarang ini kita melihat di berbagai media orang-orang yang berbicara tanpa disertai ilmu. Bahkan di media sosial kita bisa melihat sendiri bahwa banyak orang berkomentar tentang agama tetapi tidak disertai ilmu yang mapan apalagi berkaitan dengan hukum-hukum di dalam agama.
Syari’at Islam sangat sempurna dalam mengatur kehidupan sehingga ada pengharaman yang berkaitan dengan berkata dusta. Baik itu dusta dalam hal agama maupun dusta dalam hal dunia. Oleh karena itu, ingatlah firman Allah ﷻ, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50]: 18). Segala hal yang kita ucapkan selalu diawasi dan dicatat oleh malaikat yang Allah ﷻ tugaskan untuk mencatat amal perbuatan kita.
Perkataan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan dan masuk dalam kategori pembohong. Hal ini sebagaimana hadis dari Ibnu Umar k, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda, “Sejahat-jahat dusta adalah apabila seseorang mengaku kedua matanya melihat apa yang tidak dilihatnya.” (H.R. Bukhari).
Juga terdapat dalam hadits dari Ibnu Mas’ud a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berkata benar itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan bisa menyampaikan ke surga. Sungguh, orang yang benar itu dapat dicatat di sisi Allah sebagai shiddiq (pembenar) dan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan, dan tindak kejahatan bisa membawa ke neraka. Sesungguhnya orang yang berdusta pada akhirnya akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Perkataan dusta juga bisa menjerumuskan ke dalam kategori munafik. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash k bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Ada empat sifat yang barangsiapa jatuh ke dalamnya berarti ia orang munafik sejati. Dan barangsiapa terjerumus pada salah satu dari empat sifat itu, berarti dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai ia mau meninggalkan sifat tersebut. Empat sifat itu adalah apabila ia dipercaya, ia khianat, apabila berbicara, ia dusta, apabila berjanji, ia ingkar. Dan apabila bermusuhan, ia berbuat keji.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Tentu hadits ini menjadi pedoman bagi kita untuk selalu menjaga lisan kita dari perkataan-perkataan yang diharamkan oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Perkataan dusta tidak dilihat dari besar atau kecilnya dusta yang diucapkan. Hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas k dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Barangsiapa mengaku bermimpi dengan sesuatu impian padahal yang sebenarnya ia tidak memimpikannya, maka ia nanti akan dituntut untuk menyambung dua biji gandum, padahal tidak mungkin ia akan dapat melakukannya. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan sekelompok orang dimana sebenarnya yang bersangkutan tidak senang apabila pembicaraannya itu didengar, maka nanti pada hari kiamat akan dituangkan ke dalam telinganya cor-coran timah. Dan barangsiapa menggambar suatu benda hidup, maka nanti ia akan disiksa dan dituntut untuk meniupkan roh ke dalam gambar itu padahal ia tidak akan mampu untuk meniupkannya.” (H.R. Bukhari). Padahal dalam hadits tadi hanya dusta yang berkaitan dengan mimpi, namun hal tersebut tetap diharamkan dalam Islam karena efek dari dusta amat sangat berbahaya sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.
Jika dusta yang berkaitan dengan mimpi saja diharamkan, apalagi berdusta yang berkaitan dengan Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana hadits dari Samurah a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menceritakan dariku suatu hadis yang ia ketahui hadis itu bohong, maka ia adalah salah seorang pembohong.” (H.R. Muslim). Bahkan akan dibangunkan rumah di neraka jahannam bagi yang berdusta atas nama Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) jahannam.” (H.R. Thabrani).
Berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya. Hal ini sebagaimana hadits dari al-Mughirah, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Mengapa berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya? Karena jika yang disampaikan itu adalah kedustaan atas nama Nabi ﷺ, maka orang yang tidak mengetahui akan mengira bahwa itu merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ada ancaman yang berat jika berdusta atas nama Nabi ﷺ sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.
Dusta adalah perkataan yang diharamkan. Meskipun demikian, ada dusta yang diperbolehkan di dalam Islam. Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan maksud. Apabila maksud tujuannya itu baik dan dapat dicapai dengan tanpa berdusta, maka menyampaikan dengan berdusta itu hukumnya haram. tetapi apabila tidak bisa disampaikan kecuali harus berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan. Bahkan dalam hal ini ada dusta yang diwajibkan, misalnya ada orang Islam bersembunyi dari orang yang menganiayanya dimana ia akan membunuhnya atau akan merampas hartanya, maka bagi orang yang ditanya tentang orang Islam tersebut wajib ia berdusta, misalnya dengan mengatakan “tidak tahu” walaupun sebenarnya ia mengetahuinya. Begitu pula apabila seseorang dititipi sesuatu kemudian ada seseorang yang bermaksud merampoknya, maka ia wajib berdusta.
Dari Ummu Kultsum i bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah dinamakan berbohong , orang yang mendamaikan sengketa diantara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, bahwasanya Ummu Kultsum i berkata, “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberikan kemurahan dalam masalah ucapan manusia (kaum muslimin), kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa manusia serta omongan lelaki kepada isterinya, dan omongan perempuan kepada suaminya.”
Kita sebagai orang Islam wajib menjaga lisan kita dari berkata dusta, baik itu berdusta dalam perkara besar maupun kecil kecuali pada perkara-perkara yang diperbolehkan seperti yang disebutkan dalam hadis di atas.
Penyusun:
Hendi Oktohiba
Alumni FIAI UII
Mutiara Hikmah
Al-Hasan al-Bashri mengatakan,
مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ
“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.”
(Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, 2: 490)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!