Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Al Katitanji

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Nasihat memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Disebutkan dalam hadis ketujuh dari hadis Arba’in An-Nawawiyyah. Dari sahabat Abu Raqayyah Tamim bin Aus ad Dāri, bahawannya Rasūlullāh ﷺ bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim, no. 55).

Pentingnya Nasihat

Dari penggalan hadis ini Rasūlullāh ﷺ menekankan akan pentingnyan nasihat, dilihat dari beberapa sisi:[1]

Pertama, susunan mubtada dan khabar pada kalimat الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ  (ad dīnu an naṣīḥah) keduanya ma’rifah. Pada umumnya mubtada bentuknya ma’rifah dan khabar bentuknya nakirah. Bila susunan mubtada dan khabar sama-sama ma’rifah memberikan faidah  الحَصْرُ(al ḥaṣru) yaitu pembatasan. Sehingga kita menerjemahkannya dengan ‘Agama itulah nasihat’. Seakan-akan agama tidak lain kecuali nasihat. Ini menunjukan betapa pentingnya nasihat sehingga Rasūlullāh ﷺ mengungkapkan bahwa agama kandungannya hanyalah nasihat.

Kedua, pembahasan agama sangatlah banyak. Namun dalam hadis ini Rasūlullāh ﷺ hanya mencukupkan menyebutkan ‘nasihat’ untuk menjelaskan agama. Dari sini dapat dipahami bahwa nasihat dalam agama adalah perkara yang sangat penting. Bahkan yang dipahami dari hadis ini adalah seakan-akan Rasūlullāh ﷺ mengatakan yang paling penting dari agama adalah nasihat. Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa maknaالدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ  (ad dīnu an naṣīḥah) adalah ‘Nasihat itu adalah tiang agama.’[2]

Ketiga, di dalam sebagian Riwayat, Rasūlullāh ﷺ mengulang ucapan beliau, ‘Agama adalah nasihat.’ Sebanyak tiga kali.[3] Pengulangan ini menunjukan akan pentingnya nasihat di dalam agama Islam. Bahkan Imam Nawawi v mengatakan bahwasannya agama berkutat seputar nasihat.[4]

Yang Dimaksud Nasihat        

Makna nasihat secara istilah إِرَادَةُ الْخَيْرِ لِلْمَنْصُوْحِ لَه yaitu menghendaki kebaikan bagi yang dinasehati.[5] Al Khaṭṭabi, berkata,

النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيرِْ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ

Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.”[6]

Penggunaan kata nasihat dalam bahasa Arab lebih luas dibandingkan penggunaannya dalam bahasa indonesia. Karena nasihat dalam bahasa Arab adalah segala bentuk menginginkan kebaikan untuk pihak yang dinasehati.

Sehingga makna nasihat kepada Allāh ﷻ  dalam hadis yang sedang kita bahas bukan berarti menasihati sebagaimana dalam pemaknaan bahasa indonesia tetapi melakukan yang terbaik di hadapan Allāh ﷻ. Diantaranya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranganNya, diberi kenikmatan dia bersyukur, jika diberi ujian dia bersabar, jika berdosa dia segera bertaubat, sehingga menjadi orang yang terbaik di hadapan Allāh ﷻ. Menasihati Al-Quran dengan membacanya dan tidak sekedar mengoleksinya, dipelajari tafsirnya, diamalkan, meluruskan penafsiran-penafsiran yang keliru. Menasihati Rasūlullāh ﷺ dengan mengagungkan sunnah-sunnahnya, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, membangun kecintaan dan kebencian di atas ajaran Nabi ﷺ .[7]

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Dalam menyampaikan nasihat, ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan di antaranya:[8]

Pertama, nasihat didasari niat ikhlas karena Allāh ﷻ. Hendaknya seseorang memberikan atau menyampaikan nasihat hanya mengharapkan rida Allāh ﷻ semata, karena setiap amalan sangat tergantung pada niat, dan sesorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Dari Abu Hafṣ ‘Umar bin Khaṭṭab, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Kedua, nasihat didasari ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah apa yang dibawa oleh Rasūlullāh ﷺ dan apa yang diwahyukan kepadanya. Orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan antara keduanya. Minimal seseorang harus menguasai apa yang hendak dinasihatkannya.

Ketiga, santun dan lemah lembut. Hendaklah menyampaikan nasihat dengan lemah lembut dan santun. Dengan kelembutan itulah hati akan lebih lapang sehingga mau menerima nasihat. Perhatikan bagaimana Allāh ﷻ perintahkan Nabi Mūsā dan Nabi Harun p agar bersikap lemah lembut terhadap penguasa yang kafir, sombong, dan melampaui batas pada masanya (Fir’aun). Allāh ﷻ berfirman,

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat (sadar) atau takut kepada Allāh” (QS. Ṭāhā [20]: 44).

Dalam ayat yang lain, Allāh ﷻ berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allāh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran [3]: 159)

Keempat, memilih cara yang tepat. Memberikan nasihat berbeda-beda sesuai dengan kondisi serta kepribadian seseorang. Ada orang yang perlu dinasihati secara langsung namun ada pula yang sebaliknya. Cara menasihati anak kecil berbeda dengan orang dewasa, dan menasihati orang yang punya kedudukan berbeda dengan yang tidak demikian. Umumnya, nasihat lebih mengena jika disampaikan melalui contoh dan keteladanan nyata.

Pemberi nasihat harus mengenal sosok seorang yang akan diberi nasihat sehingga tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, juga kapan harus memberikan nasihat secara langsung dan kapan harus memberi nasihat secara tidak langsung kepadanya.

Kelima, bukan untuk mencela atau menyebar keburukan. Orang yang ingin memberikan tidak boleh memiliki tujuan untuk mencela dan membuka aib orang yang diberi nasihat, sedikit pun. Ia harus menyakinkan bahwa nasihatnya demi kebaikan orang itu, tidak ada tujuan di belakangnya selain mengharap keridaan Allāh ﷻ.

Keenam, menasihati secara rahasia. Nasihat itu sebaiknya disampaikan secara rahasia atau empat mata agar tidak menyakiti perasaan yang dinasihati. Dengan demikian, hatinya menjadi lapang dalam menerima nasihat dan mengambil manfaat darinya.

Imam asy Syafi’i v berkata, “Siapa yang memberikan nasihat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi berarti telah benar-benar menasihatinya. Adapun siapa yang memberi nasihat secara terang-terangan berarti telah membuka aib dan mempermalukan orang yang dinasihatinya.”[9]

Ketujuh, bersabar. Seseorang wajib bersabar karena tidak semua orang nasihat mau menerima nasihat yang disampaikan orang lain begitu saja. Bahkan baru ada yang tergerak untuk mengamalkan nasihat tersebut setelah berlalu sekian tahun. Oleh karena itu, pemberi nasihat haruslah menyadari bahwa tugasnya hanya menyampaikan, sedangkan yang akan memberikan hidayah adalah Allāh ﷻ. Demikianlah disebutkan dalam Al Qur’an, Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qaṣaṣ [28]: 56).

Demikian beberapa kaidah dalam memberikan nasihat. Semoga Allāh ﷻ memberikan taufik untuk mengamalkannya.

Maraji’ :

[1] Firanda Andirja. Syarah Al Arba’īn An Nawawiyyah. Jakarta: UFA Office. 2022. Cet ke-1. h. 116-117.

[2] Syarah al Arbain an Nawawiyah karya Ibnu Daqiq al ‘Id 1/50.

[3] HR. Ahmad no. 16947 dan dinyatakan sahih oleh al Arnauṭ.

[4] Lihat Syarah an Nawawi ‘alā Muslim 2/37.

[5] Tajul Arus 7/175 disebutkan dalam karya Firanda Andirja. Syarah Al Arba’īn An Nawawiyyah. Jakarta: UFA Office. 2022. Cet ke-1. h. 119.

[6] Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219 disebutkan oleh Muhammad Abduh Tuasikal dalam https://rumaysho.com/17481-hadits-arbain-07-agama-adalah-nasihat.html. Diakses pada Kamis, 9 Rajab 1446/ 9 Januari 2025.

[7] https://bekalislam.firanda.com/?p=6563. Diakses pada Kamis, 9 Rajab 1446/ 9 Januari 2025.

[8] Ummu Iḥsan dan Abu Iḥsan Al Aṡari. Aktualisasi Akhlak Muslim; 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imam Asyafi’i. 2014. Cet ke-2. h. 373-375.

[9] Muqaddimah Al Majmu’ Syarul Muażżab 1/31. Disebutkan dalam karya Ummu Iḥsan dan Abu Iḥsan Al Aṡari. Aktualisasi Akhlak Muslim; 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imam Asyafi’i. 2014. Cet ke-2. h. 375.

Download Buletin klik di sini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *