Riya` Yang Tak Terhindarkan
Riya` Yang Tak Terhindarkan
Nabila Mumtazah Priyatna*
Hakikat Manusia
Pada asalnya, manusia itu sangat senang dipuji. Manusia tentu akan sangat senang ketika dia mendapatkan pujian atas hal-hal yang dia lakukan tidak terkecuali atas ibadah yang dijalankan. Tanpa kita sadari, hal tersebut adalah perbuatan riya` yang pernah nabi sebutkan dalam haditsnya. Dari Mahmud bin Labid, Rasûlullâh ﷺ bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ.
“Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka” (HR. Ahmad 5: 429. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).[1]
Yang Termasuk Dalam Riya` dan Hukumnya
Syekh Al-`Utsaimin dalam Kitabnya “Qaulul Mufid `ala Kitabi at-Tauhid” menuliskan bahwa makna dari riya` adalah melakukan agar dilihat oleh manusia. Riya` merupakan syirik asghar sebagaimana yang dikatakan oleh nabi pada hadits di atas tadi. Ini karena dalam ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah namun seseorang menujukannya kepada pujian dari manusia atau hanya sekedar ingin dilihat oleh manusia bahwa ia telah melakukan suatu amal ibadah.
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam riya` adalah:
- Amal perbuatannya adalah ibadah, maka bukan riya` apabila seseorang membeli mobil baru kemudian dia memamerkannya kepada manusia.
- Berniat agar manusia memujinya, bukan riya` pula jika seseorang melakukan ibadah agar anaknya ikut melakukan ibadah tersebut.
Meninggalkan ibadah karena takut riya` juga merupakan riya`, Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata dalam Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah v,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.”[2]
Riya` pada asalnya adalah syirik asghar, apabila dilakukan sedikit dan jarang namun bisa menjadi syirik akbar jika dilakukan terus menerus. Apabila melakukan amalan memang hanya untuk mendapat pujian dari manusia dan tidak mengharapkan wajah Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat syirik akbar dan ibadahnya tidak diterima oleh Allah .[3]
Bahayanya Riya`
- Riya` adalah syirik asghar yang mana syirik adalah dosa terbesar meskipun kecil dan jarang dilakukan. Dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata Rasûlullâhﷺ bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، قَالَ قُلْنَا بَلَى، فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,“Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu ia menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya”.(HR. Ibnu Majah, no. 4204, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389).
- Pelaku Riya` tidak akan mendapat ganjaran apa-apa entah di Dunia maupun di Akhirat sebab pujian manusia bukanlah sesuatu yang berharga yang akan memberinya manfaat maupun mudharat. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Rasûlullâhﷺ bersabda,
بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّيْنِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الأَخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الأَخِرَةِ نَصِيْبٌ
“Sampaikan kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, kedudukan yang tinggi (keunggulan), agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi. Barangsiapa di antara mereka melakukan amal akhirat untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat”. (HR. Ahmad, V/134; dan Hakim, IV/318. Shahih, lihat Shahih Jami’ush Shaghiir, no. 2825).[4]
Dari Mana Datangnya Riya`?
Syekh Shalil Al-Fauzan berkata dalam kitab I`anatul Mustafid bi syarhi kitabi at-Tauhid bahwa riya` bisa datang dalam 3 kondisi:
- Riya` menjadi awal pendorong dalam melakukan ibadah yakni agar dipuji orang lain dari awal hingga akhir maka ibadahnya batil dan tidak diterima.
- Dari awal melakukan ibadah ikhlas mengharap wajah Allah namun di pertengahannya datang riya`, disini ada 2 keadaan:
- Melawan riya` tersebut dan meniatkan kembali ibadahnya ikhlas kepada Allah maka riya` tersebut tidak membahayakan amal ibadahnya.
- Tidak berusaha melawan riya` dan tetap muncul sampai akhir ibadahnya maka disini ada khilaf diantara ulama, sebagian mengatakan ibadahnya batal dan yang sebagiannya mengatakan sesuai kadar niatnya apakah lebih banyak ikhlas atau riya`.
Apabila muncul riya` setelah selesai ibadah, maka ini tidak mempengaruhi ibadahnya kecuali terus mengungkit-ungkitnya karena dosanya bisa sebanding dengan pahalanya. Tidak termasuk riya` orang yang mendengar pujian atas dirinya karena itu adalah kabar gembira dari ketaatan yang dia lakukan.[5]
Agar Kita Tidak Riya`
Terus mengingat keutamaan ikhlas dan keagungan Allah serta pahala yang Allah janjikan dari ibadah yang dilakukan. Hendaknya mengetahui bahwa manusia tidak memiliki manfaat atau mudharat dan berdoa kepada Allah agar hatinya terus ikhlas.
Kita perlu hati-hati ketika dipuji orang karena pujian ini bisa membuat diri kita semakin ujub dan sombong. Oleh karenanya, sahabat yang mulia Abu Bakr Ash Shiddiq, yang terbaik setelah Rasûlullâh ﷺ pun berdo’a pada Allah agar dirinya lebih baik dari pujian tersebut. Ia pun meminta pada Allah agar tidak disiksa karena sebab pujian tersebut. Karena Allah lebih tahu isi hati kita, juga diri kita lebih tahu lemahnya diri kita dibanding orang lain. Jadi jangan terlalu merasa takjub dengan sanjungan orang apalagi diucapkan di hadapan kita.
Ketika dipuji, Abu Bakr berdo’a,
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228, no.4876).[6]
Terdapat doa lain,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.” (HR. Bukhari, no. 716).[7]
* Mahasiswi Prodi Ahwal Syakhshiyah IP FIAI angkatan 2023
Maraji’ :
[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Riya’, Yang Paling Nabi Khawatirkan” https://rumaysho.com/2946-riya-yang-paling-nabi-khawatirkan.html. Diakses pada 2 Mei 2025.
[2] Syekh Shalih Al-Fauzan. I`anatul Mustafid bi Syarhi Kitabi At-Tauhid. Juz 2, Maktabah Syamilah, (2002), h. 90-91.
[3] Syekh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin. Qaulul Mufid `Ala Kitabi At-Tauhid. Juz 2, Maktabah Syamilah, (2003), h. 124.
[4] Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Bahaya Riya” https://almanhaj.or.id/11969-bahaya-riya-2.html. Diakses padaa 2 Mei 2025.
[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Meninggalkan Amalan Karena Manusia Termasuk Riya” https://muslim.or.id/19718-meninggalkan-amalan-karena-manusia-termasuk-riya.html. Diakses pada 2 Mei 2025.
[6] Jâmi’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah. https://yufid.tv/51270-cara-terhindar-dari-riya-ustadz-dr-firanda-andirja-m-a-silsilah-amalan-hati-25.html. Diakses pada 2 Mei 2025.
[7] Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani. https://bimbinganislam.com/doa-doa-agar-terhindar-dari-riya/. Diakses pada 2 Mei 2025.
Download Buletin klik di sini