Tak Menjadi Pelit Meski di Masa Sempit
Tak Menjadi Pelit Meski di Masa Sempit
Erry Satya P.*
Di tahun 2025 ini, kita dihadapkan pada kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Konflik antar negara yang tak kunjung reda, disertai perang dagang antar negara adidaya, telah mengguncang stabilitas ekonomi dunia. Di dalam negeri, situasi pun tak kalah mencemaskan. Pemberitaan mengenai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian masif membuat para pekerja hidup dalam bayang-bayang kecemasan.[1] Masyarakat kelas menengah dan bawah yang selama ini bertahan, semakin terdesak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok.
Biaya hidup melonjak, sementara daya beli masyarakat kian melemah. Kondisi ini membuat banyak orang merasa seolah tak ada ruang bernapas, terhimpit oleh beban ekonomi yang semakin berat. Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian, masih adakah ruang dalam diri kita untuk tetap berbagi atau bersedekah dengan sesama? Pertanyaan ini juga semakin mengemuka di tengah maraknya tren frugal living sebagai respons atas kesempitan ekonomi tersebut.[2]
Mewaspadai Tipu Daya Setan, Sifat Kikir lagi Pelit
Sesungguhnya apabila kita cermati, setan tidak pernah mengenal kata lelah untuk menjauhkan manusia dari perbuatan baik. Jika ia gagal menggoda manusia untuk menyekutukan Allāh ﷻ atau bermaksiat, maka jurus kedua adalah menghalanginya untuk menambah pundi-pundi amal saleh.[3]
Salah satu tipu daya setan yang kerap dihembuskan kepada manusia di masa sulit adalah ketakutan akan kekurangan harta dan kemiskinan. Terlebih setan paham betul bahwa manusia memiliki kecenderungan bersifat kikir.
Sebagaimana Allāh ﷻ berfirman,
إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا. إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا. وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij [70]: 19–21)
Dalam ayat ini, Allāh ﷻ berupaya menunjukkan beberapa tabiat buruk manusia yakni condong kepada kekikiran, mencintai harta, dan mengingkari nikmat.[4] Meski demikian sifat tersebut sejatinya dapat dilawan dengan berbekal keyakinan, ketakwaan, dan pembiasaan beramal saleh.
Di ayat lain, Allāh ﷻ mengingatkan akan tipu daya setan ini,
ٱلشَّيْطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِٱلْفَحْشَآءِ ۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti kamu dengan) kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 268)
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menekankan bahwa setan memiliki misi untuk menghalangi manusia dari kebaikan. Dalam konteks ayat ini, setan menakut-nakuti manusia dengan kemungkinan kemiskinan jika mereka bersedekah atau berinfak. Setan memengaruhi hati manusia agar mereka berpikir bahwa harta yang dikeluarkan tidak akan tergantikan, sehingga manusia memilih kikir atau enggan berinfak.[5]
Membiasakan Berbagi Dari Hal Yang Kecil
Ketika kita sudah menyadari jebak tipu daya setan serta kecenderungan sifat manusia tersebut, maka kita juga perlu mengambil langkah untuk menyiasatinya. Merujuk pada ilmu psikologi kognitif, perilaku manusia diyakini dapat diarahkan sesuai dengan yang diinginkan melalui latihan bertahap secara kontinyu.[6]
Menurut pemerhati psikologi Islam, Indra Kusuma, secara psikologis, sikap pelit lahir dari adanya mentalitas kelangkaan. Dasarnya, hal tersebut berbasis pada rasa takut atas kekurangan sesuatu. Sehingga seakan dia kekurangan, dia seolah-olah hanya memiliki sesuatu yang terbatas.[7]
Oleh karena itu, agar kita tidak berat dalam berbagi, maka tanamkanlah perilaku untuk memulainya mulai dari hal-hal kecil namun dilakukan setiap hari. Berdonasi setiap selesai salat shubuh, memberi tip kepada pengemudi ojek daring, maupun berbagi masakan kepada tetangga bisa menjadi langkah awal yang bisa kita tempuh. Jangan lupa, selalu niatkan amal tersebut semata-mata untuk mencari ridha Allāh ﷻ. agar kita semakin dikuatkan oleh-Nya.
Selain itu, bukankah Allāh ﷻ mencintai hamba-Nya yang istiqamah dalam beramal meski nilainya masih sedikit atau belum banyak. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, dari Aisyah, Rasūlullāh ﷺ bersabda,
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus (kontinu/istiqamah), walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464, Muslim no. 783)
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari juga menjelaskan, dengan melakukan amal secara rutin meskipun sedikit maka akan berkesinambunganlah ketaatan dalam bentuk dzikir, merasa diawasi oleh Allāh ﷻ, menjaga keikhlasan, dan hati senantiasa terhubung kepada Allāh ﷻ. Berbeda halnya dengan amal yang sekaligus banyak dan berat. Hingga sesuatu yang sedikit tetapi rutin lebih cepat penambahannya daripada banyak tetapi terputus.[8]
Meminta Perlindungan Allāh ﷻ dari Sifat Kikir
Ketika sudah meniatkan diri untuk istiqamah berbagi, lengkapi ikhtiar kita dengan senantiasa meminta perlindungan kepada Allāh ﷻ. Seperti dicontohkan Rasūlullāh ﷺ riwayat Abu Dawud, Hasan Shahih, di mana beliau berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil (kikir)…”
Selalu membersamai amal kita dengan doa ini merupakan wujud keyakinan akan kuasa Allāh ﷻ serta kepasrahan diri bahwa manusia selalu membutuhkan pertolongan-Nya.
Penutup
Allāh ﷻ berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)
Berkaca pada ayat di atas, sesungguhnya ujian kesempitan hidup dalam hal ekonomi adalah bagian dari sunnatullāh untuk menguji hamba-hamba-Nya. Melalui ujian kesempitan, bukan berarti menjadi pembenar bagi diri kita untuk menjadi kikir dan menunda-nunda berbagi terhadap sesama. Namun demikian, dengan istikamah berbagi berlandaskan niat ikhlas, kita dengan sadar meyakini bahwa Allāh ﷻ dengan kuasa-Nya akan mencukupkan rezeki kita. Semoga Allāh ﷻ senantiasa meringankan hati kita untuk istiqamah berbagi meski hidup sedang dilanda kesempitan.
Maraji’ :
* Tenaga Kependidikan FTI UII
[1] M. Tatam Wijaya (2024). “Sifat dan Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran.” https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/sifat-dan-tabiat-buruk-manusia-dalam-al-quran-gXrYV. Diakses pada 11 Mei 2025.
[2] Sarini (2025). “Apa Bedanya Frugal Living dan Pelit?” https://rri.co.id/lain-lain/1229490/apa-bedanya-frugal-living-dan-pelit. Diakses pada 11 Mei 2025.
[3] Muhammad Abduh Tuasikal (2016). “6 Tahapan Setan Menyesatkan Manusia.” https://rumaysho.com/12973-6-tahapan-setan-menyesatkan-manusia.html. Diakses pada 11 Mei 2025.
[4] M. Tatam Wijaya (2024). “Sifat dan Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran.” https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/sifat-dan-tabiat-buruk-manusia-dalam-al-quran-gXrYV. Diakses pada 9 Mei 2025.
[5] Hidayatullah.com (2024). “Rintangan dalam Bersedekah: Tafsir Surat Al-Baqarah:268.” https://hidayatullah.com/kajian/2024/12/09/285936/rintangan-dalam-bersedekah-tafsir-surat-al-baqarah268.html. Diakses pada 9 Mei 2025.
[6] Siloam Hospitals (2024). “Mengenal Terapi Perilaku Kognitif untuk Atasi Masalah Mental.” https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-terapi-perilaku-kognitif. Diakses pada 9 Mei 2025.
[7] Imas Damayanti (2022). “Sikap Pelit, ini Penjelasan Secara Psikologis.” https://khazanah.republika.co.id/berita/re0bwy313/sikap-pelit-ini-penjelasan-secara-psikologis. Diakses pada 9 Mei 2025.
[8] Bahron Ansori (2020). “Melestarikan Amal Kebaikan.” https://minanews.net/melestarikan-amal-kebaikan/. Diakses pada 9 Mei 2025.
Download Buletin klik di sini