Menyiapkan Ruang Ikhlas Dalam Menggapai Ridha Allāh

Menyiapkan Ruang Ikhlas Dalam Menggapai Ridha Allāh

Uun Zahrotunnisa*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,

Sahabat Ar Rasikh yang diberkahi Allâh ﷻ, manusia dihadapkan pada dua pilihan yakni, menghindari atau menghadapi cobaan yang Allāh ﷻ berikan. Manusia yang berfikir akan meyakini bahwa Allāh ﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya[1]. Manusia dianjurkan untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya[2], karena cobaan termasuk bentuk rahmat Allāh ﷻ. Setiap cobaan tentu ada hikmah untuk menjadikan manusia berbenah, maka salah satu jalannya adalah dengan menyiapkan ruang ikhlas dalam perjalan hidup menggapai ridha Allāh ﷻ, menanamkan rasa, menerima, dan menghadapinya.

Mengulas Makna Ikhlas

Ikhlas dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari akhlasa-yukhlisu-ikhlasun yang artinya murni, bersih, jernih, bebas dari sesuatu, tidak bercampur dengan sesuatu yang lainnya.  Ikhlas menurut beberapa ulama Al Ghazali dimaknai sebagai suatu amalan yang dilakukan demi mengharapkan surga dari Allāh ﷻ.[3]

Menurut Abu Thalib al-Makki, ikhlas merupakan pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku yang menyimpang, pemurnian amal dari berbagai macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian dari kata-kata yang tidak bermanfaat, serta pemurnian budi pekerti sesuai dengan kehendak Allāh ﷻ.[4]

Dapat disimpulkan bahwa makna ikhlas adalah wujud dari kesucian hati dalam beribadah dan beramal semata-mata karena mengharap ridha dari Allāh ﷻ, berorientasi pada cerminan batin dalam rangka beribadah kepada Allāh ﷻ, serta menghindarkan hati dari perbuatan yang tidak disukai Allāh ﷻ.

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allāh ﷻ dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allāh ﷻ semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.[5]

Klasifikasi Tingkat Keikhlasan

Seseorang dapat dikatakan memiliki rasa ikhlas apabila perbuatan yang dilakukan diniatkan semata-mata hanya mengharap ridha dari Allāh ﷻ. Keikhlasan memiliki beberapa tingkatan, dua diantaranya adalah khawas dan khawas al khawas.[6]

Tingkatan ikhlas khawas adalah bentuk ikhlas yang mana seorang hamba tidak akan mengharapkan apapun dari Allāh ﷻ setelah melakukan kebaikan dengan tujuan murni hanya ingin mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ.

Contohnya, suatu hari dalam perjalanan seorang mukmin yang akan mendirikan salat Jum’at di masjid tidak sengaja bertemu dengan seorang pengemis yang meringis kelaparan dan meminta uang untuk membeli makan, kemudian mukmin tersebut memberinya uang dengan harapan pengemis tersebut tidak lagi kelaparan. Sesampainya di masjid mukmin tersebut kemudian berdo’a apabila ia menyedekahkan sebagian hartanya untuk fakir miskin adalah sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allāh ﷻ tanpa mengharapkan apapun.

Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ

Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shād [38]: 46).[7]

Kemudian tingkatan ikhlas kedua yaitu khawas al khawas, merupakan sikap ikhlas yang mana dilakukan oleh seorang hamba yang menyerahkan seluruh keputusan dari usaha yang dilakukan berdasarkan pada ketetapan Allāh ﷻ.

Contoh, seorang mahasiswa memiliki cita-cita ingin mendapatkan nilai yang sempurna dalam ujian akhir semester, lalu ia berusaha dengan ikhtiar belajar dengan tekun, kemudian ia berdo’a untuk menyerahkan hasil ikhtiarnya kepada Allāh ﷻ karena ia sadar bahwa hasil dari ikhtiar yang selama ini diusahakan sepenuhnya akan menjadi kehendak Allāh ﷻ.

Kesadaran itu kemudian yang akan memberikan pemahaman kepada diri seseorang bahwa segala sesuatu adalah milik Allāh ﷻ dan sudah menjadi keputusan final bagi Allāh ﷻ. Sehingga, tugas manusia adalah melakukan ikhtiar dengan sebaik-baiknya. Ikhlas merupakan salah satu bukti keagungan Allāh ﷻ dalam mengajarkan kepada hamba-Nya, bahwa sesungguhnya ikhlas merupakan bentuk dari penguatan ajaran ketauhidan (keesaan) kepada Allāh ﷻ yang tertanam dalam hati umat Islam.

Keikhlasan sebagai Kunci Mendapat Ridha Allāh

Bentuk penghambaan dari seorang muslim dapat terlihat bagaimana seseorang dapat memaknai keikhlasan itu sendiri. Keikhlasan tidak hanya berbicara soal memberi, menerima dan merelakan apa yang seharusnya menjadi kepemilikan pribadi menjadi milik orang lain. Keikhlasan mengajarkan manusia merenungi dan meyakini bahwa Allāh ﷻ adalah sebenar-benar pemilik dan berkuasa atas dunia dan seisinya.

Apapun dan kapanpun Allāh ﷻ berkehendak, maka sesuatu yang awalnya dimiliki oleh seseorang itu kemudian dapat beralih, sesuatu yang awalnya ada menjadi tidak ada, semua itu tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Dengan kebesaran-Nya semua akan terjadi diluar prediksi manusia. Itulah sebabnya kita mengenal istilah sebaik – baiknya manusia merencaknakan, tuhan yang menentukan. Ketika seorang mukmin memiliki niat yang baik yaitu ingin memuliakan saudaranya dengan ikhtiar yang dimiliki, terkadang Allāh ﷻ tidak mewujudkan niat baik tersebut.

Hikmahnya adalah bisa saja Allāh ﷻ sedang menghindarkan kita dari sesuatu yang tidak baik. Manusia tidak diajarkan untuk mengulik setiap sebab dari tidak terwujudnya rencana manusia, akan tetapi manusia diajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap ketentuan yang Allāh ﷻ tetapkan. Agar senantiasa mengingat bahwa dunia itu fana, dan rasa ikhlas adalah ruang yang dapat membuat hati manusia tenang tanpa memikirkan apa yang bukan menjadi ranah manusia.

* Alumni Program Studi Ahwal Syakhshiyah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Maraji’ :

[1] QS Al-Baqarah [2]: 286.

[2] QS. Az Zumar [39]: 53.

[3] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Jakarta: C.V. Faizan, 1989., h. 61.

[4] Lu’lu’atul Chizanah, Ikhlas, Prososial? Studi Komparasi Berdasar Caps, dalam Jurmal Psikologi Islam, Vol. 8, No. 2 (Tahun 2011), h. 146.

[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Pengertian Ikhlas”. https://almanhaj.or.id/11937-pengertian-ikhlas-2.html. Diakses pada 1 Juli 2025.

[6] Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an (Analisis Terhadap Konstruk Ikhlas Melalui Metode Tafsir Tematik), Taufiqurrohman, Eduprof: Islamic Education Journal, 280.

[7] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

Download Buletin klik di sini