Mengisi Kemerdekaan dengan Spirit Perjuangan dan Ketakwaan

 Mengisi Kemerdekaan dengan Spirit Perjuangan dan Ketakwaan

Jaenal Sarifudin*

 

Masyarakat di seantero penjuru tanah air tengah memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia kita tercinta. Suasana semarak dan gempita begitu terasa di bulan Agustus ini. Jalanan di perkotaan sampai di perkampungan dirias dengan berbagai umbul-umbul, bendera dan hiasan yang didominasi warna merah putih. Berbagai kegiatan dalam rangka menyemarakkan Dirgahayu RI diadakan. Masyarakat tengah mengekspresikan rasa kegembiraan akan anugerah kemerdekaan Republik ini. Dalam batas-batas tertentu, bergembira atas suatu nikmat adalah hal yang wajar, asal tidak keluar dari norma agama dan norma kepantasan.

Kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar bangsa ini. Bebas dari penindasan dan belenggu penjajahan bangsa lain. Tentu nikmat yang agung ini harus senantiasa kita syukuri. Selama berabad-abad bangsa kita dijajah, dijadikan sebagai ‘sapi perahan’ bangsa lain. Lepasnya bangsa ini dari belenggu penjajahan tentu atas berkat rahmat Allāh ﷻ yang Maha Kuasa, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Bersyukur dilakukan dengan memuji asma Allāh dan dengan memberikan sembah pengabdian kepada-Nya.

Jihad Yang Sebenarnya Ikhlas Tanpa Pamrih 

Kita tentu harus berterimakasih dan jangan sekali-kali melupakan jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga mereka demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Mereka telah berjuang dengan ikhlas tanpa pamrih, mengusir kaum penjajah dengan gagah berani dan jiwa patriotik yang membaja.

Di antara para pahlawan bangsa ini sesungguhnya juga terdapat banyak tokoh ulama dan para santri pejuang yang turut gugur menjadi syuhada. Sebutlah nama misalnya Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Tuanku Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, KH. Zaenal Mustafa dan seterusnya. Mereka adalah para tokoh agama yang selain mengajarkan ilmu agama di tengah masyarakat, juga mengobarkan semangat juang umat melawan penjajahan. Menggaungkan api jihad sebagai bagian dari perjuangan melawan kezhaliman. Mereka berdiri di garis terdepan memimpin langsung perjuangan.

Berjuang mempertahankan bangsa dari cengkeraman kaum imperialis adalah bagian dari jihad yang diganjar dengan syahid jika gugur di medan juang.

Dari Sa’id bin Zaid, Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.” (HR. Abu Daud no. 4772 dan An Nasa’i no. 4099).

Jika gugur dalam mempertahankan harta individu saja terhitung mati syahid, tentu mempertahankan kedaulatan bangsa lebih layak lagi.

Mengisi Kemerdekaan Dengan Spirit Kepahlawanan

Di dalam mengisi kemerdekaan ini, spirit dan nilai-nilai kepahlawanan haruslah ditumbuhkan kembali dalam kehidupan kita. Semangat berjuang ditunjukkan dengan kesungguhan dan kegigihan kita dalam melaksanakan tugas, peran dan tanggungjawab sesuai bidang masing-masing. Bekerja secara jujur, berintegritas dan dilandasi dengan nilai-nilai spiritualitas yang tinggi.

Allāh ﷻ berfirman,

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105).

Semua seyogianya dilakukan dengan konsisten, amanah dan penuh dedikasi. Sesungguhnya salah satu hal yang akan mendatangkan ridha Allāh ﷻ adalah kesungguhan kita dalam menunaikan tugas dan kewajiban yang kita emban.

Nabi ﷺ bersabda,

إنّ الله يُحبّ إذَا عَمِلَ أحَدُكُم عَملاً أَنْ يُتقنَه

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional” (HR. Thabrani no. 891 dan Baihaqi no. 334).

Nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air adalah hal yang niscaya untuk dijaga pula agar senantiasa tumbuh di dalam jiwa. Sehingga membuahkan semangat perjuangan dan komitmen kebangsaan yang tinggi. Juga komitmen untuk menjaga persatuan yang menjadi modal terbesar meraih kejayaan dan cita-cita bangsa. Janganlah sampai terjadi, sesama anak bangsa saling bermusuhan hanya karena ambisi kekuasaan. Atau saling menjelekkan pihak lain yang tidak sejalan pilihan politiknya. Kita tentu malu kepada para pahlawan, yang bahkan rela mengorbankan segalanya, jiwa dan raganya untuk membela bangsa yang dicintainya.

Persatuan merupakan bagian dari nilai utama yang harus dijaga dan dipelihara. Bukankah pada haikikatnya umat manusia adalah bersaudara. Kita berasal dari moyang yang sama. Terlebih jika kita seagama, maka tauhid dan keyakinan akan mengikat kita dalam persaudaraan berbingkai keimanan.

Allāh ﷻ berfirman,

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103).

Ketakwaan Sebagai Pilar Kejayaan Bangsa

Kita tentu merindukan terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera lahir batin, makmur, tenteram dan sentosa. Pilar yang utama untuk mewujudkannya adalah keimanan dan ketakwaan.

Allāh ﷻ berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 96).            

Keimanan dan ketakwaan di antaranya terefleksikan dalam tata aturan dan nilai yang hidup dan diamalkan dalam berbagai segi kehidupan. Para pejabat pemerintah dan warga negara memiliki komitmen yang tinggi akan nilai kejujuran dan integritas moral. Bukan sebaliknya, memanfaatkan kedudukan dan posisinya untuk hasrat pribadi dan kepentingan kelompoknya. Hal ini yang nampaknya masih begitu kentara dipraktikkan oleh banyak pejabat dan aparatur di negeri ini. Tidak terhitung banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Tentu hal tersebut menunjukkan betapa masih memprihatinkannya semangat kejuangan di dalam membangun bangsa yang ditunjukkan oleh para pejabat dan aparatur negara.

Di sisi lain, warga masyarakat pun masih banyak yang abai terhadap integritas dan nilai moral. Dalam praktik pemilu misalnya, masyarakat kita masih sangat mudah “dibeli” dan dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Masih mudah diadudomba dan dicekoki berbagai propaganda politik untuk kepentingan jangka pendek para oknum politisi yang tidak benar-benar berjuang untuk kemakmuran bangsa. Agaknya, ini merupakan bagian dari PR besar yang masih harus diselesaikan bangsa ini jika ingin mewujudkan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa. Pangkal persoalannya adalah bagaimana membangun integritas moral, ketakwaan sebagai landasan spiritual dan kesungguhan untuk berjuang bagi kemakmuran negeri ini. Wallahu a’lam.

 

* Mahasiswa DHI UII

Download Buletin klik di sini