Merdeka dalam Perspektif Tauhid

Merdeka dalam Perspektif Tauhid

Muhammad Abdul Aziz*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’d.

Sahabat Al-Rasikh yang berbahagia. Banyak orang mengira kemerdekaan itu hanya berarti lepas dari penjajahan fisik, seperti bebas dari kolonialisme Belanda atau imperialisme Barat. Padahal, Islam mengajarkan bahwa kemerdekaan yang sejati bukan hanya urusan politik, tetapi urusan hati dan keyakinan. Inilah yang disebut kemerdekaan dalam perspektif tauhid: menjadi hamba Allah semata, bukan hamba manusia, uang, popularitas, atau sistem dunia yang mengekang.

Tauhid adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, ditaati, dan dijadikan tempat bergantung.[1] Allâh ﷻ sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka lembaran-lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surah Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allâh ﷻ berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Ayat ini menegaskan misi hidup kita, mengabdi hanya kepada Allâh ﷻ. Jika kita memelihara tauhid, otomatis kita tidak akan diperbudak oleh sistem yang zalim. Sebaliknya, jika tauhid rapuh, kita mudah menjadi budak “tuhan-tuhan kecil” bernama kekuasaan, uang, atau tren.

Budak Modern: Ketika Sistem Menjadi Tuan

Di zaman sekarang, banyak yang mengira dirinya merdeka padahal masih “terjajah”. Bedanya, penjajahnya tidak memakai seragam militer, tapi memakai logo brand, algoritma media sosial, atau regulasi ekonomi global. Ada yang menjadi budak konsumerisme, rela berutang demi mengikuti gaya hidup yang dipromosikan iklan, ada yang menjadi budak popularitas, hidup demi likes dan followers, ada yang menjadi budak sistem kerja, kehilangan waktu untuk ibadah demi target KPI yang tak kenal ampun.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridha. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridha.” (HR. Bukhari, no. 2887).[2]

Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang hatinya terikat pada harta dan kemewahan hingga melupakan Allah, hakikatnya adalah budak meskipun statusnya di KTP “warga negara merdeka”.

Merdeka dengan Menjadi Hamba Allâh

Kedengarannya paradoks: bagaimana mungkin merdeka justru dengan menjadi hamba?
Jawabannya sederhana: menjadi hamba Allâh ﷻ membebaskan kita dari perbudakan kepada selain-Nya. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Seorang hamba tidak akan pernah merasakan kemerdekaan sejati sampai dia benar-benar menjadi hamba Allâh ﷻ semata.[3]

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata,

العُبُوْدِيَّةُ لِلهِ هِيَ حَقِيْقَةُ الحُرِيًّةِ، فَمَنْ لَمْ يَتَعَبَدْ لَهُ، كَانَ عَابِدًا لِغَيْرِهِ

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya”.[4]

Logikanya seperti ini: kalau kita hanya tunduk pada Allâh ﷻ, kita tidak akan rela diatur oleh sistem yang melanggar syariat. Kalau Allâh ﷻ memerintahkan shalat, kita tidak peduli meski rapat kantor masih berlangsung. Kalau Allâh ﷻ melarang riba, kita tidak peduli meski bank menawarkan bunga tinggi. Sangat tegas sekali larangan tunduk kepada selain Allâh ﷻ. Allâh ﷻ berfirman,

وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضٗا أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ

“Dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS. Ali ‘Imran [2]: 64).

Ayat ini bukan hanya soal menyembah berhala, tetapi juga larangan tunduk membabi buta pada aturan atau sistem yang menyalahi perintah Allâh ﷻ. Ayat ini juga menjelaskan agar kita hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa mempersekutukan-Nya dengan apa pun.

Menolak Sistem yang Menjajah Iman

Merdeka dalam tauhid berarti punya keberanian menantang sistem jika bertentangan dengan syariat. Nabi Musa p menantang Fir’aun bukan semata soal politik, tapi karena Fir’aun menuntut rakyat menyembahnya. Rasûlullâh ﷺ menolak kompromi Quraisy yang menawarkan kekuasaan asal beliau mau menghentikan dakwah tauhid.[5]

Di era modern, bentuknya bisa berbeda: Menolak bekerja di industri yang jelas-jelas haram, menolak kompromi dengan hukum yang melegalkan maksiat, menolak narasi media yang mendistorsikan Islam. Ini semua adalah wujud izzah (kemuliaan) yang lahir dari tauhid.

Salah satu bentuk perbudakan sistem yang paling kejam adalah riba. Sistem ekonomi ribawi membuat manusia terjebak utang dan tergantung pada bank atau lembaga keuangan. Padahal Allâh ﷻ sudah mengingatkan,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاۚ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275).

Merdeka secara ekonomi berarti membangun sistem keuangan yang sesuai syariat, sehingga umat tidak menjadi budak bunga dan utang.

Mengganti Tuhan-Tuhan Kecil dengan Allâh

Setiap manusia pasti punya “tuan”. Kalau bukan Allâh ﷻ, maka yang lain akan mengambil posisi itu: hawa nafsu, materi, bahkan opini publik. Al-Qur’an menggambarkan orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhan. Allâh ﷻ berfirman,

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ

Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23).

Tuhan-tuhan kecil ini sering hadir dalam bentuk yang tak disadari. Ada yang menyembah popularitas, mengejar validasi publik lebih keras daripada mencari ridha Allâh ﷻ. Ada yang menghambakan diri kepada harta, rela mengorbankan prinsip demi angka di rekening. Ada pula yang terjebak dalam penghambaan terhadap sistem, ideologi, atau tokoh yang dielu-elukan, hingga mengabaikan kebenaran yang Allâh ﷻ turunkan.

Tauhid datang sebagai pembebas sejati. Ia memutus rantai ketergantungan pada segala yang fana, dan mengikat hati hanya kepada Yang Maha Kekal. Inilah kemerdekaan sejati yang dirasakan oleh para nabi dan orang-orang saleh: tidak tunduk kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada-Nya, dan tidak berharap kecuali dari-Nya.

Maka, kemerdekaan yang hakiki adalah ketika kita berhasil menurunkan semua tuhan-tuhan kecil dari singgasana hati, lalu menempatkan Allâh ﷻ sebagai satu-satunya Penguasa hidup. Sebab, hanya dengan itu kita bisa berjalan tegak di hadapan dunia, namun tetap bersujud rendah di hadapan Rabb semesta alam.

* Guru Pesantren, Emai: [email protected]

Maraji’ :

[1] Abdullah Karim. ”Realisasi Tauhid Dalam Kehidupan” https://www.uin-antasari.ac.id/realisasi-tauhid-dalam-kehidupan/. Diakses pada 14 Agustus 2025.

[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani. Fath Al-Baari-Shahih al-Bukhari. Beirut: Daar Ibnu Katsir. 2002. jilid 4, hlm. 320.

[3] Laras Setiani. ”Kemerdekaan Yang Sesungguhnya” https://www.islampos.com/kemerdekaan-yang-sesungguhnya-237262/. Diakses pada 14 Agustus 2025.

[4] Al-Majmu’ Al-Fatawa Lil ‘Utsaimin, 8: 306.

[5] Dita Fitri Alverina. ”Kisah Kompromi Akidah yang Ditolak Tegas oleh Rasulullah SAW“ https://www.ngaderes.com/histori/35912161254/kisah-kompromi-akidah-yang-ditolak-tegas-oleh-rasulullah-saw/. Diakses pada 14 Agustus 2025.

Download Buletin klik di sini