Memerdekakan Manusia
Memerdekakan Manusia
Fathurrahmân*
Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Sahabat Ar Rasikh yang mencintai Allâh ﷻ dan semoga pula dicintai Allâh ﷻ. Bukalah kembali lembaran-lembaran buku sejarah tentang perjuangan para pahlawan kemerdekan Indonesia melawan penjajah. Tidak sedikit kalimat takbir sebagai simbol kekuatan iman, yang digunakan saat melawan penjajah sebagai seruan heroik untuk membangkitkan semangat dan keberanian rakyat. “Allâhu Akbar” yang bermakna Allâh ﷻ lebih besar dari segala sesuatu (selain Allâh ﷻ), termasuk segala kekuatan duniawi, kekuatan militer penjajah dan lainnya.
Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan makna lafadz “Allâhu Akbar”,
مَعْنَاهَا: أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ فِي ذَاتِهِ وَ أَسْمَائِهِ وَ صِفَاتِهِ وَ كُلِّ مَا تَحْتَمِلُهُ هَذَهِ الْكَلِمَةُ مِنْ مَعْنَى
“Maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dalam Dzat, nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta seluruh makna yang tercakup di dalam lafadz ini”[1]
Para pejuang kaum Muslimin meninggikan suara takbir “Allâhu Akbar!” dalam pertempuran untuk membakar semangat melawan Inggris. Menjadikan takbir simbol kekuatan spiritual (tauhid) dan peneguh hati dalam perjuangan memerdekakan manusia. Pada akhirnya mereka hanya patuh dan tunduk kepada Yang Maha Esa Allâh ﷻ yang telah menganugerahkan kemerdekaan ini.
Merdeka itu Tidak Tunduk Pada Makhluk
Ketahuilah memerdekakan manusia berarti membebaskan diri dari pelbagai belenggu ketundukan kepada selain Allâh ﷻ dan mengakui hanya Allâh ﷻ sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar. Ketika seseorang menghambakan diri kepada selain Allâh ﷻ, maka pada hakikatnya ia telah memperbudak dirinya, menjadi manusia yang terjajah, terkekang, terbelenggu dan tidak bebas. Islam datang dalam rangka memerdekakan manusia menjadi manusia mulia.
Memerdekakan manusia berarti tidak menghambakan pada makhluk; orang saleh, malaikat, benda-benda yang diagungkan dan semisalnya. Perhatikan tatkala kita membaca lembaran-lembaran firman Allâh ﷻ dalam Al Qur’an. Maka perintah pertama yang akan kita dapatkan adalah perintah untuk menyembah kepada Allâh ﷻ semata. Allâh ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 21-22)
Dalam ayat ini, ketika memerintahkan manusia agar beribadah kepada-Nya semata, Allâh ﷻ berdalil bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang telah memelihara mereka dengan berbagai jenis kenikmatan, yang telah menciptakan mereka setelah sebelumnya tidak ada, dan memberikan nikmat kepada mereka dengan nikmat dzahir maupun batin. Sehingga Allâh ﷻ pun melarang manusia untuk mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh ﷻ dari para makhluk-Nya, sehingga mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allâh ﷻ dan mencintainya sebagaimana mencintai Allâh ﷻ. Padahal sesembahan-sesembahan selain Allâh ﷻ itu juga makhluk yang diberi rezeki dan dipelihara oleh Allâh ﷻ, tidak memiliki sedikit pun di langit maupun di bumi, dan mereka juga tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.[2]
Merdeka Itu Mengesakan
Memerdekakan manusia berarti mentauhidkan Allah yang merupakan hak Allah yang wajib kita tunaikan. Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi ﷺ bersabda:
يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا
“Wahai Mu’adz! Tahukah Engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba? Dan apa hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah? Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya ialah mereka beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun”. Mu’adz bertanya, “Wahai Rasûlullah! Apakah kabar gembira ini sebaiknya aku sampaikan kepada orang-orang?” Nabi menjawab, “Jangan sampaikan! Aku khawatir mereka akan mengandalkan hal ini saja (sehingga tidak beramal).” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30)
Merdeka Itu Mempersembahkan Ibadah Pada Yang Berhak
Memerdekakan manusia berarti mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allâh ﷻ semata dan meninggalkan semua bentuk ibadah kepada selain Allâh ﷻ. Karena tujuan kita diciptakan oleh Allâh ﷻ di dunia ini adalah agar kita mentauhidkan-Nya. Allâh ﷻ berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56-58)
Menikmati Kemerdekaan dengan Ketaatan
Beginilah cara menikmati kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allâh ﷻ Pemilik langit dan bumi berserta isinya, dan inilah cara memerdekakan manusia. Maka syukurilah setiap ketaatan yang Allâh ﷻ berikan kepada hamba pilihan yang dikehendaki-Nya untuk menikmati kemerdekaan. Tidak semua orang mendapatkan nikmat kemerdekaan yang sesungguhnya.
Bersyukur adalah cara paling tepat menikmati kemerdekaan. Hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim v adalah,
الثَّنَاءُ عَلَى النِّعَمِ وَمَحَبَّتُهُ وَالعَمَلُ بِطَاعَتِهِ
“Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”[3]
Abu Hazim menjelaskan,
وَأَمَّا مَنْ شَكَرَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَشْكُرْ بِجَمِيْعِ أَعْضَائِهِ : فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ لَهُ كَسَاءِ فَأًَخَذَ بِطَرْفِهِ ، فَلَمْ يَلْبَسْهُ ، فَلَمْ يَنْفَعْهُ ذَلِكَ مِنَ البَرَدِ ، وَالحَرِّ ، وَالثَّلْجِ ، وَالمَطَرِ” .
“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.”[4]
* Ketua Dewan Masjid Indonesia Ranting Sardonoharjo Ngaglik
Maraji’ :
[1] Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin. Syarhul Mumti’ 3/28.
[2] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Taisir Karimir Rahman, h. 45.
[3] Ibnul Qayyim. Thariq Al Hijratain. h. 508.
[4] Ibu Rajab. Jami’ Al ‘Ulum wa Al-Hikam. 2:84. Disebutkan dalam Muhammad Abduh Tuasikal. “Cara Kita Bersyukur”. https://rumaysho.com/28995-cara-kita-bersyukur-jika-tidak-memenuhi-rukun-syukur-ini-tidak-disebut-bersyukur.html. Diakses pada 28 Agustus 2025.