Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan
Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan
Muhammad Ardan Halim*
Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,
Lisan adalah nikmat besar dari Allah, tetapi bisa menjadi sumber petaka bila tak dijaga. Banyak orang tergelincir ke dalam dosa bukan karena perbuatannya, melainkan karena ucapannya. Dalam Islam, menjaga lisan merupakan bagian penting dari akhlak seorang Muslim.
Dari Abu Hurairah, Rasūlullāh ﷺ bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)[1]
Imam Nawawi menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, seseorang sebaiknya berpikir sebelum berbicara. Jika ucapan itu diyakini tidak membawa mudharat, maka boleh disampaikan. Namun jika berpotensi merugikan atau menimbulkan keraguan, lebih baik diam. Sebagian ulama bahkan berkata, “Andai kalian yang membiayai tinta malaikat pencatat amal, tentu kalian akan lebih banyak diam daripada bicara.”[2]
Maka setiap kata yang keluar akan dicatat oleh malaikat, dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Allāh ﷻ berfirman,
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qāf [50]: 18)
Dalam tafsir ringkas Kementerian Agama RI terkait ayat di atas, dijelaskan bahwa tidak ada suatu kata yang diucapkannya, yang mengandung kebaikan maupun kejahatan, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat dengan sangat teliti.[3] Hal ini menegaskan bahwa menjaga lisan bukan hanya soal etika, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab keimanan yang harus dijaga setiap saat.
Bahaya Lisan yang Tidak Dijaga
Lisan yang tak dijaga bisa menyebabkan dosa besar. Ghibah, fitnah, ucapan kasar, dan dusta, bukan hanya merusak kehormatan diri, tetapi juga memicu permusuhan dan konflik sosial. Dalam masyarakat, tak sedikit perpecahan yang berawal dari ucapan yang tidak dijaga.[4]
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ، تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ، الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
“Rasūlullāh ﷺ ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246).[5]
Hadits ini menjadi peringatan keras bahwa lisan bisa menjadi sebab utama seseorang terjatuh ke dalam neraka, meskipun ia dikenal rajin beribadah. Ibadah lahiriah seperti salat, puasa, dan zakat, tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan akhlak yang baik, terutama dalam menjaga lisan.
Adab Menjaga Lisan
Menjaga lisan tidak berarti membungkam diri, tetapi berbicara dengan niat yang baik, isi yang benar, dan cara yang santun. Di antara adabnya:[6]⁷
- Berbicara dengan Jujur. Kejujuran merupakan salah satu prinsip utama dalam lisan seorang Muslim. Sebaliknya, kebohongan termasuk dosa besar dalam Islam yang dapat merusak hubungan antar sesama serta menghilangkan rasa percaya. Oleh karena itu, setiap ucapan harus didasari oleh kebenaran dan kejujuran.
- Menjauhi ghibah (menggunjing). Islam dengan tegas melarang ghibah, sebagaimana firman Allāh ﷻ,
وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya?” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12)
Perumpamaan ini menggambarkan betapa tercelanya perbuatan ghibah dalam pandangan Islam. Selain menyakiti hati orang lain, ghibah juga merusak ukhuwah dan merugikan diri sendiri.
- Bertutur Kata dengan Lembut. Islam mendorong umatnya untuk berbicara dengan sopan dan lembut. Ucapan yang santun dapat menciptakan suasana yang tenang, mempererat hubungan, dan menghindarkan dari konflik atau kesalahpahaman. Kelembutan dalam lisan mencerminkan kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang.
- Menghindari bicara sia-sia. Bicara yang sia-sia hanya membuang waktu tanpa memberi nilai,
Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976)
Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim seharusnya selektif dalam berbicara, menghindari ucapan yang sia-sia, dan lebih mengutamakan kata-kata yang membawa manfaat. Diam dalam hal yang tidak berguna lebih baik daripada berbicara tanpa arah.
Menjaga Lisan = Menjaga Diri
Imam Al-Ghazali dalam karya besarnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menekankan pentingnya menjaga lisan. Menurutnya, lisan bukan hanya alat untuk berbicara, tetapi mencerminkan kondisi hati dan jiwa seseorang.[7] Jika hati bersih, lisan pun jujur dan lembut. Maka seorang muslim yang ingin menjaga kehormatannya harus menjaga lisannya.
Kita hidup di era digital, di mana lisan berpindah ke jari, maka menjaga lisan hari ini berarti juga menjaga tulisan di status, komentar, dan pesan. Jangan sampai kita mudah menyebarkan hoaks, mencaci orang yang berbeda pandangan, atau mengumbar aib secara publik.
Maka penting bagi kita untuk berpikir dua kali sebelum mengetik, sebagaimana kita diajarkan untuk berpikir sebelum berbicara. Etika digital adalah kelanjutan dari adab lisan. Jika lisan terjaga, kehormatan diri dan sesama pun akan terlindungi. Wallāhu a‘lam.
Maraji’ :
* Mahasiswa Hukum Islam UII 2022
[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hadits Arbain #15: Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu dan Tetangga” https://rumaysho.com/18958-hadits-arbain-15-berkata-yang-baik-memuliakan-tamu-dan-tetangga.html. Diakses 15 Juni 2025.
[2] Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr. “Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik”. https://almanhaj.or.id/3197-menjaga-lisan-agar-selalu-berbicara-baik.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.
[3] Tim TafsirWeb. “Surat Qaf Ayat 18 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir”. https://tafsirweb.com/9824-surat-qaf-ayat-18.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.
[4] Ferdiansyah Vahmi Ilmawan – “Menjaga Lisan Menurut Ajaran Islam” – https://informatics.uii.ac.id/2024/10/23/menjaga-lisan-menurut-ajaran-islam/. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.
[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga” https://rumaysho.com/7037-amalan-yang-paling-banyak-membuat-masuk-surga.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.
[6] Redaksi AQL Peduli. “Menjaga Lisan: Adab dan Etika dalam Berbicara”. https://aqlpeduli.or.id/2024/06/24/menjaga-lisan-adab-dan-etika-dalam-berbicara/. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.
[7] Tim Redaksi Kemenag Lampung. “Menjaga Lisan dalam Perspektif Imam Ghazali: Relevansi di Era Digital” – https://lampung.kemenag.go.id/home/artikel/menjaga-lisan-dalam-perspektif-imam-ghazali-relevansi-di-era-digital. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.
Download Buletin klik di sini