Berpikir Itu Ibadah: Terapi Islami untuk Kesehatan Mental Gen Z
Berpikir Itu Ibadah: Terapi Islami untuk Kesehatan Mental Gen Z
Charlee Dhiaulhaq
Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh ﷺ yang menjadi pedoman utama kehidupan. Dalam praktik kontemplatifnya, Islam telah menuntut secara jelas dan selaras dengan kebutuhan fisik, jiwa maupun emosional umatnya. Refleksi Kesehatan mental Islami telah diajarkan melalui konsep berfikir tadabbur dan tafakkur. Konsep dari tadabbur dan tafakkur memberikan landasan dengan kesadaran berfikir di era modern namun dengan kematangan pemikiran yang lebih dalam dan beralaskan arah pemahaman Islami.
Sementara kesadaran berfikir dalam ilmu psikologi berfokus dengan mendasarkan pikiran pada kejadian atau momen saat ini untuk mengurangi stres dan mengatur emosi agar lebih stabil. Islam dengan perkembanganya telah lama menekankan kesadaran reflektif, namun dengan tujuan utama yaitu menghubungkan pikiran kembali dengan sang Pencipta melalui teologi konstruksi berfikir Islami.
Tadabbur
Tadabbur secara etimologis menunjuk pada aktivitas menelaah, menimbang, dan memahami suatu perkara beserta konsekuensi baik maupun buruknya. Istilah ini juga mencakup proses menelusuri hakikat, unsur-unsur penyebab, akibat, serta urutan peristiwa yang melingkupi sebuah makna. Bentuk lafaz tadabbur dalam pola tafa’ul memberikan nuansa pengulangan, penguatan makna, serta perkembangan bertahap dalam proses berpikir. Perintah untuk bertadabbur bersifat universal, mencakup manusia maupun jin, muslim ataupun nonmuslim, selama mereka memiliki kapasitas intelektual untuk belajar, menangkap pesan ilahi, serta mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan.[1]
Tadabbur bukan sekadar membaca ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan melakukan pengamatan mendalam, pengkajian runtut, serta penyerapan makna secara emosional dan rasional. Melalui praktik ini, pembaca diharapkan mampu menangkap pesan moral, nilai spiritual, serta hikmah yang tersirat, sehingga Al-Qur’an tidak hanya menjadi bacaan ritual, tetapi sumber transformasi batin dan perilaku.
Tafakkur
Tafakur adalah pengerahan hati dengan mempikirkan apa yang terlihat dari suatu dalil atau tanda. Tafakkur lebih banyak digunakan di dalam Al-Qur’an pada obyek yang berhubungan dengan penalaran akan ciptaan Allâh ﷻ, dan memfikirkan keindahannya. Tafakkur adalah sebuah agenda refleksi atas tanda-tanda kuasa Allâh ﷻ di dunia baik berupa penciptaan alam, pengetahuan dan pengalaman, bahkan kejadian sehari-hari yang terjadi kepada kita.[2]
Tafakkur dipahami sebagai proses intelektual dan spiritual yang melibatkan aktivitas berpikir, merenung, serta penghayatan batin terhadap berbagai fenomena. Praktik ini menuntut kehati-hatian, sebab dalam tradisi Islam wilayah perenungan dibatasi hanya pada ciptaan Allâh ﷻ, bukan pada zat-Nya yang tidak dapat dijangkau akal manusia. Ketika tafakkur dilakukan oleh individu yang tidak beriman, hasil renungannya cenderung menjauhkan manusia dari pengenalan terhadap Allâh ﷻ.
Berbeda halnya dengan kelompok ulul albab, yakni insan yang memiliki kejernihan nalar dan keteguhan hati. Mereka menjalankan tafakkur tanpa mencampuradukkan logika dengan bisikan hawa nafsu atau gagasan yang dilarang syariat, sehingga hasil pemikirannya tetap berada dalam koridor kebenaran.
Allâh ﷻ berfirman,
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ. ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. (QS Ali Imran [3]: 190-191).
Menurut Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, ulul albab ialah orang-orang yang dianugerahi akal bersih, terbebas dari dorongan emosional yang menyesatkan, serta hati yang mampu menembus inti realitas, bukan sekadar terpaku pada apa yang tampak di permukaan. Dengan kemampuan ini, tafakkur menjadi sarana penyucian batin, penajaman visi, dan peneguhan iman, sehingga setiap renungan menghasilkan pemahaman yang jernih, terarah, serta selaras dengan petunjuk Allah.
Sisi Kesehatan
Temuan ilmu saraf modern menunjukkan bahwa dua bentuk refleksi Islami yaitu tadabbur dan tafakkur yang memiliki dampak positif terhadap kondisi mental. Dalam kajian neuroscience, aktivitas merenung secara terarah mampu menekan kinerja default mode network (DMN), yaitu jaringan otak yang aktif saat pikiran berputar tanpa kendali, penuh kekhawatiran, serta diliputi kecemasan.
Ketika DMN mereda, pikiran memperoleh ruang tenang, ritme mental melambat, dan persepsi terhadap situasi menjadi lebih jernih. Penelitian juga menjelaskan bahwa proses kontemplatif mampu menstabilkan emosi, menurunkan hormon stres seperti kortisol, serta menumbuhkan rasa nyaman yang menenangkan tubuh dan jiwa.
Aktivitas ini mengarahkan manusia untuk menata kembali arus kesadaran, mengamati pengalaman secara perlahan, memahami gejolak batin, serta menyerap makna hidup tanpa terburu-buru. Dari sudut pandang psikologi, proses refleksi semacam ini mengurangi kelelahan mental yang muncul akibat pikiran yang tidak tersusun.
Ketika seseorang memberi waktu untuk mengamati dirinya, kejernihan meningkat, ketegangan mereda, dan kemampuan bertahan menghadapi situasi sulit menjadi lebih kuat. Pemikiran spiritual yang dilakukan secara berulang turut memperkuat ketenangan batin, menumbuhkan kesabaran, serta memperjelas tujuan hidup.
Pada akhirnya Islam telah menawarkan cara pandang yang melampaui sekadar proses “berpikir mendalam dan teratur”. Konsep berpikir dalam Islam juga berfungsi sebagai penawar bagi kesehatan mental yang bersifat menyeluruh, bekerja sebagai ruang refleksi yang menenangkan pikiran, menstabilkan emosi, serta menyelaraskan hati.
Pada akhirnya, tadabbur dan tafakkur bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan ibadah yang menghidupkan hati dan menegakkan kembali keseimbangan jiwa. Di tengah krisis mental yang banyak melanda generasi modern, khususnya Gen Z, Islam telah menyediakan ruang kontemplatif yang tidak hanya menenangkan, tetapi juga mengarahkan pikiran menuju makna terdalam keberadaan. Saat seseorang menghubungkan proses berpikirnya dengan Allâh ﷻ, ia akan menemukan keteguhan, kejernihan, dan ketenteraman yang tidak dapat diberikan oleh apa pun selain-Nya. Dengan demikian, berpikir dalam bingkai iman bukan hanya jalan menuju kesehatan mental, tetapi juga jalan menuju kedewasaan spiritual dan kedekatan hakiki dengan Sang Pencipta.
Maraji’ :
[1] Zamroni Ishaq and Ihsan Maulana Hamid, ‘Konsep Dan Metode Tadabbur Dalam Al-Qur’an’, Ummul Qura Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan 16, no. 2 (2021): 132–41, https://doi.org/10.55352/uq.v16i2.143.
[2] Uswatun Hasanah and Hartono Hartono, ‘Tafakkur Sebagai Konsepsi Menuju Keabadian Manusia Modern’, As-Syifa: Journal of Islamic Studies and History 1, no. 1 (2022): 01–24, https://doi.org/10.35132/assyifa.v1i1.192.
Download Buletin klik di sini



