YUK, JADI PRIBADI PEMAAF

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS al-A’râf [7]: 199)

 

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan keberadaan orang lain sebagai tempat bergantung demi keberlangsungan hidupnya. Ketika kita bersosialisasi ada resiko untuk disakiti dan didzalimi, baik itu oleh teman, sahabat, bahkan oleh  keluarga kita sendiri. Tak dapat dipungkiri, ketika kita bergaul dengan orang lain, konsekuensi yang harus kita terima adalah adanya perbedaan pendapat, pandangan, pemikiran, dan berbagai hal yang akan menimbulkan gesekan, perasaan tidak nyaman, kurang sreg, dan permasalahan lain yang mengganggu keharmonisan bersosialisasi.

“Aku g mau maafin dia, dia udah bikin aku sakit hati”. “Sampai matipun, aku tidak akan pernah bisa melupakan kesalahan dia”. “Aku sudah maafin kamu, tapi masih sakit hati”. Pernah tidak kita mengucapkan kalimat seperti itu? Jika pernah mengucapkan hal tersebut, berhati-hatilah, kita sudah menyimpan dendam dalam hati. Akibatnya, sewaktu-waktu bisa meledak. Memelihara dendam sama saja memelihara sesuatu yang merusak tubuh kita, ibarat memakan racun yang mematikan, lama-lama akan menggerogoti tubuh secara perlahan-lahan. Dan orang yang memelihara dendam, hidupnya tidak nyaman, sakit dan tidak produktif. Hiy, ngeri. Lho, kok bisa?

Hem… ketika kita menyimpan dendam atau sakit hati dengan seseorang, pikiran dan perasaan kita akan memikirkan dia, mencari-cari kesalahannya walaupun dia telah berbuat baik kepada kita padahal dia juga tidak tahu jika kita menyimpan dendam dengannya. Akibat dari dendam yang berlarut-larut- ada yang menyebutnya tujuh turunan, akan mencelakakan orang yang kita benci. Orang yang kita benci cuek bebek dengan kita, karena dia sudah minta maaf, eh…kita masih sakit hati karena tidak mau memaafkannya. Karena fikirannya fokus dengan orang lain, hidup tidak pernah mengahasilkan aktivitas yang bermanfaat, tidak produktif, akibatnya, kehilangan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, kehilangan rizqi, dan yang lebih parah lagi, kehilangan surganya Sang Maha Pengampun. Capek deh!

 

Perintah Memaafkan

Memaafkan mudah diucapkan namun sulit untuk direalisasikan. Memang, jalan menuju surga itu tidak mudah, hanya orang-orang yang mau dan berusaha saja yang bisa mencapainya. Sebagai seorang muslim kita harus sadar bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu, dan yang perlu diingat adalah Allah itu Maha Pengampun. Allah saja mau memaafkan kesalahan manusia yang bejibun banyaknya, apalagi kita, yang hanya mausia yang lemah, harusnya malu. Jangan sampai  kesalahan teman yang kecil membuat kita menjadi manusia yang pendendam. Allah l berfirman: “Dan hendaklah mereka memaafkan kesalahan sesama manusia. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali Imran [3]: 134).

Namun bagaimana jika kita dizhalimi orang lain? Apakah kita hanya diam, ridha, rela dipukul, ditampar, ditendang, padahal kita  tidak melakukan kesalahan? Atau membalasnya? Yang pasti,  kita harus membalas kedzaliman yang dilakukan orang lain.

Bagaimanapun kita memiliki harga diri yang pantas kita jaga, tidak bisa saja nrimo dengan keadaan diri ketika dizhalimi oleh orang lain. Dalam surat  al-Nahl ayat 126: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu…”.

Jika kita dicubit, balas dengan mencubit dengan kualitas yang sama, jangan mencubit dibalas dengan memukul, dua kali lagi! itu sudah lain lagi ceritanya. Tapi bagaimana jika yang mendzalimi kita itu orang yang sudah tidak punya hati alias berhati batu?Apakah kita akan menjadi uring-uringan, dendam, benci dengan orang yang seperti ini? Saya pikir tidak karena hal itu akan menyebabkan kita rugi, capek.  Rugi waktu, tenaga, perasaan buat mikirin orang yang tidak pernah tahu dipikirkan. Allah l berfirman: “Maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Mâidah [5]: 13).

Jangan sampai kita benci, kemudian maenjadi dendam, itu akan merugikan diri kita, hidup kita menjadi tidak produktif. Mengapa? Karena disibukkan dengan membenci dan dendam dengan orang lain, waktu yang seharusnya untuk belajar, membaca buku, jalan-jalan dan lain-lain, digunakan untuk memikirkan bagaimana cara mencelakakan orang yang kita dendami.

Dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita sedang membebaskan beban dalam hidup, membuang racun yang  yang menggerogoti tubuh sehingga hati kita menjadi nyaman. Kita sedang memilih untuk bahagia, karena membiarkan  pikiran positif dan membuang pikiran negatif dalam tubuh. Serahkan pembalasannya kepada Allah l. Allah l berfirman: “…dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (QS al-Syura [42]: 40).

Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, walaupun berat, terasa membahagiakan, akhlak terpuji dan disukai Allah l. Pilih yang mana? Apakah kita rela hidup digunakan untuk memperhatikan, mengurusi orang lain, dendam sampai tujuh turunan? Memendam kebencian dan kekesalan sampai mendarah dagimg? Bukankah kita mengharapkan Allah l mengampuni dosa kita? Dan hati kita menjadi lapang, tenang dan lega. Jika kita mudah memaafkan orang lain, niscaya kita juga akan mudah dimaafkan oleh Allah l dan orang lain.

 

Muhammad Sebagai Teladan Kita

Kita tak asing mendengar, membaca kemuliaan akhlak Nabi Muhammad ` yang sangat mengagumkan bagaimana beliau memafkan kaumnya yang tidak menyambut ajakan dakwahnya. Bahkan beliau mendoakan kaumnya agar suatu hari nanti kaumnya menerima dakwahnya yaitu mentauhidkan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah  dan asmâ wa sifatnya, serta tidak menyekutukan Allah l.

Peristiwa yang sangat membekas dalam hati kita adalah Fathul Makkah, jika Nabi Muhammad `  mau, bisa saja membalas perlakuan kaum Quraisy yang  dahulu pernah mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad ` karena saat itu Nabi membawa kaum muslimin yang bannyak, dan juga membawa alat perang. Namun apa yang beliau lakukan, memaafkan. Luar biasa! Bisa tidak kita mencontoh beliau? jika belum bisa, belajarlah. Dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda: Bukanlah yang dikatakan orang kuat adalah orang yang kuat bergulat, tetapi sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsu amarahnya. (HR Bukhari dan Muslim)

 

Membalas Kejelekan dengan Kebaikan

Ini yang sangat keren! Membalas keburukan lain dengan kebaikan akan membuat hati menjadi lembut. Sebagaimana yang dicontohkan Rasul, bagaimana beliau dilempari batu, diusir dari Thaif  namun beliau tidak membalas, bahkan mendoakan semoga Allah l memberikan keturunan orang-orang yang beriman dan tidak menyekutukan Allah l. Hebat ya…apakah kita bisa menirunya? Berbuat baik dan tidak dendam dengan orang yang menghina kita? Firman Allah l: “…dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Taghâbun [64]: 4).

Di ayat yang lain Allah Firman Allah l: “… Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian.” (QS al-Nahl [16]: 126)

 

Tips Memafkan Orang Lain

Nah, bagaimana agar kita menjadi pribadi yang pemaaf, tips berikut bisa kita lakukan sebagi ihtiar untuk menjadi pribadi yang mulia:

Pertama, sadari bahwa setiap manusia memiliki kesalahan. Dengan melihat kesalahan orang lain, kita belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan lebih mudah untuk memaafkannya.

Kedua, bayangkan dalam pikiran kita, ketika memiliki dendam dengan seseorang membawa tomat yang busuk berkarung-karung selama bertahun-tahun, kita tidak mau dan capek kan? ini menganalogikan bahwa membawa ke dendam sampai menghujam dalam diri kita sama saja membawa beban yang sudah berat, berbau busuk, menimbulkan penyakit lagi.

Ketiga, ingat, menanamkan dendam sama saja membunuh diri secara perlahan-lahan. Berharap menyelesaikan masalah malah menambah masalah.

Keempat, lupakan masa lalu. Jika hidup kita masih saja dipengaruhi kesedihan dan dendam, tentu akan membuat diri menjadi sakit. Buang dan lepaskan hal-hal yang buruk pada masa kita, berpikir bahwa itu memang seharusnya terjadi di masa lalu, yang harus kita lakukan adalah berjalan kedepan.

Kelima, berdoa. Serahkan semuanya kapada Allah, jika didzalimi dan kita tidak mampu membalasnya, yakinlah bahwa Allah itu tidak pernah tidur dan pasti akan membalasnya bukan melalui tangan kita.

Pilihan berada di tangan kita, mau memaafkan orang lain dengan konsekuensi bahagia  atau memendam dendam kusumat yang akan membuat hati menjadi sakit. Semoga kita termasuk orang yang bisa memaafkan orang lain, menjadi hamba yang pemaaf dan menjadi orang yang mudah melakukan kebaikan sekalipun dengan orang yang telah berbuat buruk terhadap kita. Dengan demikian hidup kita menjadi bahagia. Âmîn. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb.[]

 

Ulufi Khasanah

PAI 13422115

UII

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda: “ ‘Termasuk dosa besar, seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana dia mencaci maki?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia mencaci seseorang, lalu orang itu mencaci maki bapak dan ibunya.’ (Shahih, di dalam kitab At-Ta’liqur-Raghib (3/221). (Muslim), 1-Kitabul Iman, hadits 146, Bukhari, 78, Kitabul Adab, 4- Bab La Yasubbur-Rajulu Walidaihi).

MANUSIA DAN PEKERJAAN

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (7) Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (8). (QS al-Insyirah [94]: 7-8)

Berdeburnya ombak di lautan tidak lain merupakan gema puji syukur kepada sang pencipta alam, menggelegarnya petir tak lain adalah gema takbir yang senantiasa mengakui keagungan Allah l, bertiupnya angin menyejukkan raga merasuk memberikan nikmat di kehidupan manusia tidak lain merupakan alunan tasbih dari alam untuk sang Maha Kaya, tiada kata yang pantas selain Lâ ilâha Illallâh, yang dikumandangkan ke telinga-telinga manusia jika bukan karena keesaan dan keperkasaan-Nya. Dia-lah Rabb yang ber-istiwa’ di Arsy tertinggi dan tak mampu dicapai makhluk-Nya kecuali atas kehendak-Nya, Tuhan alam semesta yang memegang kekuasaan tertinggi di jagad raya.
Shalawat serta salam selalu tersanjung agungkan kepada baginda Rasulullah `. Nabi akhir zaman, nabi dengan predikat rahmat bagi semesta alam, nabi yang menghiasi perjauangan menegakkan Islam dengan penuh keistimewaan, Rasul yang unggul dan dicintai umatnya meskipun umatnya tak pernah bersua dengannya, nabi yang mempunyai kharisma sejuta keindahan dan teladan bagi alam semesta. Nabi terakhir yang diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia dalam setiap yang dikerjakan manusia.

Manusia dan Pekerjaan
Kehidupan membuat manusia masuk dalam berbagai urusan dan permasalahan yang kompleks. Banyaknya urusan melahirkan tuntutan yang semakin mendesak untuk dikerjakan. Sebagai makhluk yang paling sempurna penciptaannya, manusia selalu merasa bahwa terkadang ia mampu mengerjakan semua urusan demi mendapatkan apa yang ia harapkan, yaitu kepuasan. Oleh karena itu, semakin banyak hal yang dilakukan manusia selalu berbanding lurus dengan tuntutan yang harus ia jalani.
Allah l telah melimpahkan kekuatan berupa psikis dan fisik untuk menyelesaikan berbagai urusan. Meskipun Allah l menjadikan manusia kuat dengan kedua kekuatan tersebut, Allah l juga mengetahui batas dan kemampuan manusia sehingga tersurat dalam firmannya “Allah Swt tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan batas kemampuan manusia tersebut”.
Urusan yang ditimpakan kepada manusia terkadang merupakan cobaan dari-Nya sebagai batu loncatan perjalanan spiritual seseorang. Maksudnya, ketika orang seseorang dapat bersabar dan menemukan makna dibalik cobaan tersebut maka ia termasuk orang yang sukses dalam ujian keimanan. Akan tetapi ketika seseorang sejak pertama kali mendapatkan cobaan selalu menghujat dan meratap maka ia gagal dalam tes keimanan dari Allah l.
Kesabaran adalah modal utama dalam menyelesaikan urusan terlebih cobaan. Dalam hal ini kesabaran tidak berarti berdiam diri tanpa kata dan usaha, namun ikhtiar dan optimisme diri adalah inti dari kesabaran. Seseorang tidak dikatakan bersabar jika ia langsung menghujat dan mengeluh terhadap cobaan karena hadits Rasulullah ` riwayat Bukhari a“Al-shabru ‘inda shadmatil ula” yang artinya kesabaran itu pada hentakan pertama kali. Hentakan yang dimaksudkan adalah tekanan batin ketika mendapatkan cobaan.
Berbagai macam tipe orang diantaranya adalah tipe orang yang obsessif terhadap pekerjaan . Orang yang obsessif dalam pekerjaan selalu menuntut dirinya untuk mengerjakan semua pekerjaan yang ada dengan waktu yang ia punya. Bukan berarti hal ini buruk namun, mempunyai sisi negatif yaitu terjadinya pekerjaan yang terbengkalai karena tidak ada prioritas utama pekerjaan atau bahkan terlalu banyak pekerjaan yang dijadikan prioritas.

Realita dan Idealita
Kita sebagai seorang muslim dituntut untuk imbang dalam urusan dunia dan akhirat. Ketidakseimbangan dari salah satunya tidak dianjurkan oleh Allah l. Allah l tidak menganjurkan untuk fokus terhadap dunia karena dunia akan menggelapkan pandangan manusia terhadap akhirat. Namun, Allah l juga tidak menganjurkan manusia untuk melulu memikirkan akhirat sementara kehidupan sosial di dunia menjadi kacau balau. Oleh karena itu, beramal di dunia untuk kepentingan dunia akhirat adalah solusinya.
Manusia tidak dapat terlepas dari realitas (kenyataan) serta idealita (harapan). Semakin manusia masuk dalam sebuah kenyataan maka selalu ada harapan yang mengikutinya. Bagikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dalam kenyataan yang dihadapi manusia sudah barang tentu ada harapan di balik semua itu meskipun sedikit. Inilah yang sering mengakibatkan kesenjangan yang sering kita sebut dengan masalah.
Tidak dapat dipungkiri lagi, manusia pasti mempunyai urusan atau permasalahan. Dalam konteks nyata manusia menemukan kenyataan yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan yang pada akhirnya membuat sebagian orang merasa kecewa dan putus asa. Keadaan tersebut sangat berpengaruh terhadap sudut pandangnya terhadap urusan lain yang serupa. Sebagaimana disebutkan dalam teori behavioristik bahwa manusia selalu mempelajari dari apa yang terjadi. Kekecewaan, putus asa, kesedihan juga dipelajari oleh manusia.
Selalu ada proses sebelum harapan tercapai atau tidak. Contohnya, seorang karyawan selalu gigih dan giat untuk bekerja di instansi dimana ia bekerja dengan harapan ia akan mendapatkan penghargaan prestasi kerja, akan tetapi dikarenakan banyaknya karyawan yang juga bekerja dengan gigih maka ia belum masuk dalam salah satu karyawan yang termsuk calon pendapat nominasi prestasi kerja. Harapan mendapatkan nominasi prestasi kerja, realitanya ia gagal dan belum masuk dalam nominasi penghargaan prestasi kerja karyawan.
Walâ taqnutu min rahmatillâh” jangan putus asa mendapatkan rahmat Allah l. Selalu ada rencana di balik kegagalan yang diberikan Allah l. Penulis masih teringat salah satu kata mutiara yang intinya bukan tingginya gunung yang susah untuk ditakhlukkan tapi bagaimana dirimu menakhlukkan dirimu sendiri. Introspeksi diri untuk apa bekerja jika hanya untuk mendapatkan penghargaan tapi bukan untuk mendapat ridha dan rahmat Allah l.

Prokrastinasi
Prokrastinasi berasal dari bahasa inggris procrastination yang berarti “penangguhan atau menunda”. Urusan dan pekerjaan yang banyak bisa saja dilakukan secara terjadwal dan mungkin beberapa pekerjaan sudah rutin dilakukan. Sedangkan yang menjadi masalah adalah apakah urusan yang seharusnya dikerjakan sesuai dengan jadwal dan waktu yang telah ditentukan. Beberapa pekerjaan kadang terbengkalai karena pekerjaan lain.
Allah l berfirman dalam al-Qur’an “jika engkau telah selesai pada suatu urusan, maka bergegaslah untuk mengerjakan urusan lain dengan sungguh-sungguh”. Tidak membiarkan pekerjaan lain terbengkalai adalah poin yang dapat kita ambil dari makna ayat di atas. Menyegerakan menyelesaikan pekerjaan dengan serius segenap kesungguhan hati. Ketika telah menyelesaikan tugas tersebut kita dianjurkan untuk berharap hanya kepada Allah “dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”.
Menunda pekerjaan karena tidak adanya prioritas. Pekerjaan yang banyak dan harus diselesaikan tidak jarang membuat orang stres dan tertekan. Tidak adanya prioritas utama dalam menentukan mana pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah penyebabnya. Oleh karena itu, dengan cara menimbang secara matang pekerjaan mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu sampai dampak penting yang diakibatkan jika pekerjaan tersebut terselesaikan adalah penting.
Menunda pekerjaan untuk mendapatkan hal yang sempurna. Tidak jarang seseorang menunda pekerjaan karena ia mempunyai ekspektasi yang berlebihan terhadap hasil pekerjaannya. Pekerjaan ditunda karena ia beranggapan bahwa pada saat itu ia belum dapat menyelesaikan pekerjaan karena belum tepat untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Dalam hal ini penulis teringat sebuah slogan motivasi “just do it, you’ll get it” yang berarti lakukan saja, kau akan mendapatkan (selesaikan).
Menunda pekerjaan karena merasa tidak mampu mengerjakannya. Hal tersebut malah semakin memperkeruh keadaan diri sendiri. Pekerjaan yang menunggu untuk dikerjan menjadi momok tersendiri bagi yang mendapatkan pekerjaan tersebut. Mau tidak mau, sedikit atau banyak seseorang akan rentan terserang tekanan jiwa yang diakibatkan pekerjaan yang belum dikerjakan itu. Pesimisme yang bersarang dalam diri orang tersebut lama-lama akan mempengaruhi pola kepribadiannya karena sering merasa tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaan. Meminta bantuan atau saran dari orang lain setidaknya akan menurunkan level pesimis yang ia miliki.

Hikmah
Segala hal yang baik memang selalu menjadi prioritas utama dalam kehidupan. Terlebih hal yang berhubungan dengan ibadah yang kita persembahkan untuk Allah l. Oleh karena itu, perjuangan untuk menggapai ridha Allah l sudah sepatutnya kita curahkan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Meniatkan segalanya untuk beribadah semata karena Allah l adalah hal yang patut kita biasakan.
Dalam halnya bekerja, manusia diperbolehkan untuk terus menerus termotivasi. Karena motivasi diri yang akan menjadikan seseorang tidak merugi karena ia termasuk orang yang semakin hari semakin baik dari hari-hari yang telah ia lewati. Namun, jika pekerjaan itu menjadikan ia tidak mengutamakan hubungan dengan Allah l maka pekerjaan tersebut akan menjadi “isapan jempol” belaka. Hanya untuk kepentingan dan kepuasan dunia saja.
Menunda pekerjaan terkadang kita lakukan dengan berbagai alasan. Alasan kesibukan bekerja adalah hal sering kita temukan dari kita sendiri ataupun sebagian orang. Menunda pekerjaan bisa saja mempengaruhi kita untuk menunaikan shalat. Hal ini sangat disayangkan apalagi untuk shalat berjamaah yang sangat dianjurkan. Melihat begitu besarnya pahala shalat berjamaah, semoga setelah membaca tulisan ini kita dapat membiasakan diri untuk tidak menunda ketika akan melaksanakan shalat berjamaah. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.[]

Muhammad Lathief Syaifussalam
Mahasiswa FPSB UII, 2011

Mutiara Hikmah
Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus a, dari Rasulullah `,,,, beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.(HR Muslim, No. 1955)

MENIKAH

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(QS al-Nûr [24]: 32)

Suatu malam di ruang tengah rusunawa. Beberapa mahasiswa senior—yang bertugas memandu mahasiswa baru—sedang berkumpul. Salah seorang mereka sudah lebih dahulu membangun mahligai rumah tangga. Saya tertarik untuk bertanya lebih jauh. Apa alasan teman saya tersebut memilih menyegerakan pernikahan. Sederhana saja jawabnya. “Kita tidak tahu umur kita sampai kapan. Bagaimana bila maut menjemput sementara kita belum menyempurnakan separuh agama?” tuturnya.

Dialog singkat tersebut disadari atau tidak menjadi inspirasi bagi saya. Sebelumnya, saya telah banyak membaca tulisan tentang pernikahan. Selain itu, dalam banyak kesempatan saya sering menyambung-kaitkan diskusi dan obrolan dengan pernikahan. Hal itulah yang membuat seorang adik tingkat menjuluki saya “lelaki janur kuning”. Pada akhirnya, saat itu saya tetaplah laki-laki lajang yang paham pernikahan sebatas teori. Masalah praktik tentu kalah telak dengan mereka yang sudah menikah.

Di kesempatan lain, saya sharing dengan seorang sahabat yang juga sudah menikah. Dia menikah di semester akhir, sebelum lulus kuliah. Isterinya juga masih kuliah. Pilihannya untuk menikah meskipun masih kuliah ternyata banyak membawa berkah. Allah, katanya, banyak memberikan kemudahan. Akhirnya, dia mendorong saya untuk mengikuti jejaknya: menikah. Intinya, kalau tekad sudah bulat maka jalan kebaikan akan terbuka lapang. Dari situ, saya memutuskan untuk menikah segera.

Saya paham betul konsekuensi dari pilihan saya. Ayah menghendaki saya menikah bila sudah selesai S2. Suatu ketika—bahkan—ayah saya bilang yang kurang lebih begini: “Kalau mau lanjut sampai S3, bapak sanggup membiayai asal kamu tidak nikah dulu…” Hal itulah yang menjadi tantangan saya ketika memutuskan untuk menikah segera. Bagi saya, tidak ada yang sukar kalau komunikasi saya jalankan dengan strategi yang benar. Solusinya, saya menikah tetapi berjanji melanjutkan studi.

Benar bahwa menikah bukan urusan yang sederhana. Apalagi dihadapkan dengan persepsi orang tua bahwa menikah harus bermula dari kemapanan hidup. Anak baru boleh menikah bila sudah jelas kerjanya, sudah pasti penghasilannya, sudah punya ini dan itu, dan seterusnya. Hal tersebut tentu tidak salah. Masalahnya, dalam suasana yang demikian orang tua justru membolehkan anaknya menjalin hubungan dengan lawan jenis. “Kalau pacaran dulu boleh tetapi kalau nikah nanti…”

Menurut saya ini adalah logika yang tidak tepat selain bertentangan dengan syariat. Seorang anak sebaiknya sejak dini dididik mental dan karakternya. Ketika anak meminta izin untuk menikah maka orang tua tidak perlu khawatir. Orang tua percaya bahwa pilihan itu sudah berdasarkan pertimbangan anaknya. Sang anak mungkin masih belum punya banyak bekal. Tetapi orang tua yakin anaknya akan berusaha keras mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Orang tua semestinya mendukung anaknya untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab. Sebaliknya, orang tua harus berusaha membatasi buah hatinya untuk menjalin “hubungan” dengan lawan jenis sebelum menikah. Pasalnya, pergaulan muda-mudi saat ini sudah teramat memprihatinkan. Dimana komunikasi antar sesama sangat mudah dilakukan. Sementara orang tua tidak selamanya mampu mendampingi anaknya. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan “kepastian” kepada anaknya.

Pilihan anak untuk menikah kalau begitu tidak lepas dari bagaimana sikap orang tua. Anak juga tidak boleh berputus asa ketika orang tua—awalnya—tidak membolehkan. Boleh jadi orang tua sedang menguji seberapa kuat keinginan anak. Menikah hanya sebagai percobaan, pelarian, atau benar-benar untuk membangun kehidupan yang lebih jelas dan menenangkan. Jadi, untuk menjembataninya komunikasi yang intensif menjadi penting. Selain terus berdoa supaya Allah memberikan kelancaran.

Pengalaman saya, orang tua memang berat untuk memberikan izin menikah. Namun saya terus berkomunikasi/mendekati orang tua dengan cara dan strategi khusus. Setelah melalui proses nan panjang, orang tua mengizinkan saya menikah. Bahkan saya sempat terharu ketika ditelfon oleh ayah. Sikap ayah yang awalnya keras sekeras batu (melarang saya menikah) berubah menjadi lembut selembut sutra. “Kalau memang kamu mantap nikah, pulang nanti beli perhiasan sama ibumu untuk lamaran,” tuturnya.

Saya yakin banyak teman-teman yang ingin menyegerakan pernikahannya. Secara umur mungkin masih cukup muda. Kuliahnya juga masih di semester akhir. Kalau tidak, baru saja lulus namun belum jelas lapangan kerjanya. Problem lainnya, orang tua masih belum memberikan lampu hijau. Lebih penting lagi, belum tahu mau menikah dengan siapa. Itu semua adalah lika-liku untuk menuju kemuliaan hidup. Hal tersebut harus dimaknai sebagai dinamika yang nantinya menjadi kenangan manis.

Perlu saya tegaskan pula bahwa menikah bukan semata urusan pemenuhan kebutuhan biologis. Meskipun banyak yang berujar: “Menikah itu enaknya hanya 5 persen. Selelebihnya, yang 95 persen, enak banget…” Ingat, ada tujuan lain yang lebih penting. Disamping menikah adalah bentuk ketaatan kepada syariat, khususnya sunnah Rasulullah `. Dengan menikah, kesempatan untuk meraih kemuliaan menjadi semakin besar. Pintu dosa semakin tertutup rapat, pintu kebaikan terbuka lebar.

Saya sering membuat perumpamaan. Kalau memegang wanita bukan mahram (bukan isteri) itu jelas berdosa. Tetapi kalau yang dipegang dengan mesra adalah isteri justru menjadikan Allah ridha. Memandang wanita lain lebih dari batas wajar jelas tidak boleh. Sementara memandang isteri dengan kasih sayang menjadikan Allah menyayangi kita. Artinya, wujud aktivitas yang bernilai baik dan tidak itu sama. Pembeda yang menjadikannya berpahala atau berdosa adalah status; dia isteri kita atau bukan.

Kaya?
Saya senang sekali dengan kata-kata berikut. “Jangan menunggu bahagia hingga engkau tersenyum. Tetapi tersenyumlah untuk menjemput kebahagiaan. Tak perlu menunggu kaya hingga engkau bersedekah. Tetapi bersedekahlah supaya engkau kaya. Jangan menunggu kaya hingga engkau menikah. Tetapi menikahlah supaya engkau kaya.” Kalau begitu, bahagia dan kaya itu adalah proses aktif bukan menunggu, berpangku tangan, alias pasif.
Sesuai dengan firman Allah di atas, bahwa yang miskin akan dikayakan oleh-Nya. Karunia Allah sungguh teramat luas yang artinya sangat mudah bagi-Nya untuk memberikan kecukupan. Pilihan menikah kalau begitu harus disertai keyakinan akan ke-MahaBesaran-Nya. Tidak perlu khawatir akan kekurangan dengan menikah. Sebab, sekali lagi Allah sudah menjanjikan bagi mereka yang memilih jalan yang benar. Tentu kecukupan itu tidak datang begitu saja, perlu diusahakan dengan gigih.

Pertanyaannya selanjutnya; apakah kaya selalu berwujud materi? Benar bahwa kaya selama ini sering dimaknai sebagai kecukupan harta (materi). Sementara kaya yang sejati justru kekayaan hati (ghina an-nafs). Meskipun untuk mendapatkan kekayaan hati itu boleh jadi karena adanya dukungan materi (ghina al-māl). Sebaliknya, tanpa materi boleh jadi ketenangan atau kekayaan jiwa akan didapat. Mereka yang menikah harus paham betul dengan konsepsi kekayaan yang sejati tersebut.

Ketika menikah sudah pasti kaya karena telah memiliki pasangan hidup yang sah, legal, resmi, dan menjadi sarana untuk meraih barakah. Bersama isteri tercinta, kemanapun pergi hati terasa tenang, batin terasa aman, tidak ada yang perlu dicemaskan. Mengeluarkan uang—meskipun jumlahnya banyak—untuk kebutuhan isteri adalah sedekah dan kebaikan. Ketika raga begitu lelah beraktivitas ada isteri yang setia menanti di rumah. Itulah kekayaan hati.
Kekayaan lain adalah bahwa dengan menikah kita memiliki kekuatan yang lebih. Karena suami dan isteri ibarat dua sayap dari seekor burung. Sayap yang terpisah, kemana dia mampu mengudara? Tentu tidak mampu kemana-mana. Sementara dua sayap yang bersatu mampu mengudara ke angkasa. Artinya, suami dan isteri harus mampu bersinergi, berjuang seiring-sejalan, saling menguatkan dan meyakinkan. Begitu nasihat salah seorang guru saya.

Menikah tentu saja terkait pilihan masing-masing insan. Namun yang jelas dengan menikah, meminjam bahasa Salim A. Fillah, kita mendapatkan “Lapis-lapis Keberkahan”. Tergantung kapan kita mau mendapatkan keberkahan yang berlapis tersebut. Kalau keinginan sudah mengebu, persiapan sudah mulai ditata, ada kekhawatiran berbuat zina maka wajib hukumnya menikah. Namun kalau masih mampu menahan dan mashlahat tidak menikah lebih besar, menunda tidak menjadi persoalan.

Akhīran, menikah adalah fitrah manusia. Dengan menikah, kita mendapatkan keturunan. Keturunan tersebut yang akan memperpanjang kebaikan kita di dunia. Sebab, umur kita terbatas; cepat atau lambat kita akan menghadap. Dengan menikah, kita berupaya melahirkan generasi terbaik yang kelak menjadi tabungan kita. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk menemukan sayap yang masih terpisah. Bagi yang sudah menemukan, semoga langgeng dan barakah. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam

Mutiara Hikmah
DOA KEPADA PENGANTIN

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْكَمُاَ فِيْ خَيْرٍ.

Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.” (HR Penyusun-penyusun kitab Sunan, kecuali al-Nasai dan lihat Shahih al- Tirmidzi 1/316).