Dampak Riba Terhadap Diri Sendiri, Masyarakat dan Ekonomi

Dampak Riba Terhadap Diri Sendiri, Masyarakat dan Ekonomi

Muhammad Raihan Akbar

*Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Seorang muslim meyakini bahwa segala sesuatu yang diharamkan Allah ﷻ pasti berdampak buruk pada manusia. Karena Allah ﷻ Maha bijaksana dan tidak mungkin melarang sesuatu yang berguna bagi hamba-Nya.

Dampak Buruk Riba bagi Pribadi

Tak bisa dipungkiri, riba yang diharamkan oleh Allah ﷻ yang merupakan salah satu dosa besar pasti berakibat buruk terhadap pribadi, masyarakat dan ekonomi. Dr. Abdul Aziz Ismail dalam bukunya “Islam dan Kedokteran Modern” menyatakan bahwa riba merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit gangguan jantung1.

Dikarenakan seorang murabi (pelaku riba/rentenir) memiliki sifat tamak dan kikir terhadap harta bahkan sampai pada tahap sebagai pemuja harta. Padahal roda ekonomi berputar tidak selamanya searah dan teratur. Maka tatkala terjadi gunjang-ganjing ekonomi tidak jarang penyakit jantung berjangkit, melanda para pelaku riba dengan gejala tekanan darah tinggi, bahkan berakibat stroke, pendarahan di otak dan mati mendadak.

Seorang pelaku riba sebagai pemuja harta tidak memiliki sifat belas kasih. Padahal sifat belas kasih sangat dibutuhkan oleh setiap pribadi. Karena sifat ini merupakan ciri khas manusia maka orang yang tidak memilikinya dikatakan tidak berperikemanusiaan. Dalam kenyataannya, rentenir dikenal dengan julukan lintah darat, dimana dia menghisap darah orang yang diberi kredit tanpa belas kasih. Dia tidak memperdulikan isak tangis dan rintihan orang yang diberinya kredit untuk diberi kesempatan agar dapat membayar hutang dan bunganya. Dia serta merta menyita rumah dan tanah penerima kredit untuk menutupi hutang dan bunga tanpa memikirkan kondisi si miskin. Sifat perikemanusiaan tersebut bukan saja dicabut dari hati pelaku riba perorangan, termasuk juga pelaku riba dalam sebuah institusi.

Dampak Buruk bagi Kehidupan Masyarakat

Selanjutnya dampak riba terhadap kehidupan masyarakat. Ciri khas masyarakat madani ditandai dengan hubungan saling mencintai diantara individu anggota masyarakat, bagaikan satu tubuh. Bila salah satu oragannya sakit maka organ yang lain juga merasakan perihnya. Kondisi ini tidak mungkin tercipta, jika terdapat seorang anggota masyarakat yang melakukan praktik riba. Karena ia tanpa perikemanusiaan selalu berusaha menghisap harta setiap anggota masyarakat yang lainnya.

Dalam kitab “Mausu’ah iqtishadiyyah” (ensiklopedi ekonomi) disebutkan yang artinya, “Riba memainkan peranan penting dalam kehancuran masyarakat terdahulu, dimana pemberi pinjaman tanpa belas kasih menyita kebun para penerima pinjaman ketika mereka tidak mampu membayar hutang yang menjadi berlipat ganda karena ditambah bunga. Jika harga kebun belum mencukupi untuk menutup hutang yang sudah belipat ganda itu maka mereka merampas hak kemerdekaannya para peminjam dan menjadikan mereka para budak yang diperjual-belikan”2.

Bila para penerima pinjaman tersebut sudah tidak lagi memiliki rumah tempat tinggal dan lahan bercocok tanam untuk menutupi kebutuhan pokok mereka dan keluarganya, sangat mungkin mereka akan menempuh jalan pintas yang tidak terhormat guna menyambung hidup mereka dan anak-anak mereka. Maka bermunculanlah berbagai tindakan kejahatan: pencurian, penodongan, perampokan, dan lain sebagainya. Dengan demikian hilanglah rasa aman dan ketentraman dalam masyarakat tersebut berganti menjadi: ketakutan, penindasan dan tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.

Dampak Buruk Riba bagi Perkembangan Ekonomi

Banyak akibat buruk riba yang dijelaskan oleh para ekonom muslim dan non muslim terhadap ekonomi, diantaranya merusak sumber daya manusia dan juga penyebab terjadinya inflasi. Sumber daya manusia merupakan penggerak utama roda ekonomi. Maka rusaknya sumber daya manusia berarti rusaknya ekonomi negara tersebut.

Ar-Razy (wafat 606H) dalam tafsirnya menjelaskan bagaimana peranan riba menciptakan manusia yang malas bekerja dan takut mengambil risiko untuk mengembangkan hartanya. Ia berkata, “Allah telah mengharamkan riba, karena riba menghalangi manusia untuk giat berusaha. Seorang pemilik dirham bila yakin akan meraih laba dari akad riba dengan cara meminjamkan uang ke pihak lain tanpa harus mengeluarkan keringat dan tanpa menuai kerugian, tentu dia tidak akan mau bekerja yang belum tentu akan mendapatkan laba dan mungkin yang terjadi sebaliknya, ia malah menderita kerugian.

Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan terhalanginya kemaslahatan umat manusia. Karena kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan baik tanpa perdagangan, kerja dan pembangunan”3.

Selanjutnya yaitu riba menjadi penyebab utama terjadinya inflasi, secara pengertian inflasi yaitu keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli sebuah mata uang.

Penyebab utama terjadinya inflasi adalah riba, karena produsen yang mendapatkan modal dari pinjaman berbunga berarti akan menambah bunga yang harus dibayarnya kepada debitur ke dalam harga barang produksinya. Jadi harga jual barang yang diproduksi sama dengan biaya produksi ditambah bunga.4

Jika suku bunga naik, secara langsung harga barang dan jasa menjadi naik sehingga daya beli mata uang menjadi turun. Ini yang dinamakan cost-push inflation (inflasi yang disebabkan oleh dorongan biaya produksi).

Jika suku bunga turun maka permintaan kredit menjadi tinggi. Bank-bank pemberi kredit memberikan kredit jauh lebih besar dari fisik uang yang mereka miliki. Maka bila jumlah uang lebih banyak dari yang semestinya terjadilah inflasi yang dinamakan demand-pull inflation (inflasi karena mengikuti permintaan)5.

Ini membuktikan bahwa suku bunga yang hakikatnya adalah riba merupakan penyebab utama turunnya daya beli mata uang terhadap barang. Dengan turunnya daya beli mata uang maka seluruh uang negara tersebut akan berkurang nilai tukarnya. Misalnya, seseorang yang memiliki uang 5 juta rupiah dalam rentan waktu beberapa tahun ke depan, nilai tukarnya terhadap barang akan turun. Bisa jadi menjadi senilai 4 juta rupiah walaupun nominalnya masih tetap 5 juta rupiah.

Mungkin ini makna firman Allah ﷻ, “Allah memusnahkan harta riba (secara berangsur-angsur)”. (QS. Al-Baqarah [2]: 276). Kondisi harta riba lenyap secara berangsur tepat sekali untuk gambaran inflasi, dimana daya beli uang berkurang secara berangsur disebabkan oleh riba.

Bisa dibayangkan betapa besar dosa berbuat riba. Memang tampak luarnya pihak bank menarik riba (bunga) dari seorang pengusaha yang dianggap kaya, tapi pada hakikatnya bank tidak menarik bunga dari pengusaha tersebut, melainkan dari pengguna akhir barang atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha tersebut. Dengan demikian yang membayar (bunga) atau riba adalah jutaan manusia yang kebanyakan mereka dari rakyat jelata.

Dapat dibayangkan betapa besar kezaliman yang diakibatkan oleh riba yang merupakan penyebab utama inflasi. Dimana lebih dari 200 juta penduduk Indonesia akan merasakan dampaknya, yaitu berkurangnya daya beli uang yang mereka dapatkan dari hasil jerih payah yang dikumpulkan dalam waktu yang tidak sebentar. Lalu daya beli uang yang terkumpul mendadak turun dalam sekejap mata karena terjadinya hyperinflasi. Wa Allâhu a’alam.[]

Maraji’:

1 Sulaiman Al Asyqar. Qodhaya fiqhiyyah Muashirah. Jilid II, h. 61.

2 Ar Razy. Mafatih al ghaib. Jilid II. h.358.

3 Sulaiman Al Asyqar. Qodhaya fiqhiyyah Muashirah. jilid II, h.61.

4 Abdullah Al Umrani. Al Manfa’atu fil Qardh. h.449.

5 Sulaiman Al Asyqar. Qodhaya… h. 65. dan Erwandi Tarmizi, MA Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cet.Ke-22. h.396-398

Download Buletin klik disini

Ikhtibar Fear of Missing Out Latto-latto dan Perjanjian Hudaibiyah

Ikhtibar Fear of Missing Out  Latto-latto dan Perjanjian Hudaibiyah

Uun Zahrotunnisa

*Mahasiswi Ahwal Syakhsiyyah UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Latto- latto, tidak asing dengan permainan satu ini yang saat ini digemari tidak hanya oleh anak-anak saja,  bahkan remaja, hingga dewasa. Latto-latto adalah suatu permaninan yang terdiri dari sepasang pendulum yang bergantung pada seutas tali yang tengahnya diikatkan pada cincin yang menjadi tumpuan. Cara bermainnya kelihatannya cukup mudah, tapi ternyata butuh ketelatenan. Dengan mengayun-ayunkan bandul sampai terpantul antar kedua sisi tersebut hingga menimbulkan bunyi tok-tok-tok. Fenomena permainan latto-latto yang sedang hype ini tidak hanya terjadi akhir tahun 2022 melainkan sebelumnya pada tahun 1990-an.[1]

Popularitas benda yang sering kita lihat lewat di media sosial saat scrolling, atau ketika sedang naik motor melihat sekumpulan anak memainkan benda tersebut nampaknya menyentuh perhatian seseorang untuk kemudian mengundang rasa penasaran dan ujungnya antusias untuk memainkan bahkan sampai membelinya. Respon seperti itu yang bisa kita sebut sebagai Fear of Missing Out atau akrab disebut “Fomo”.

Selayang Pandang Fear of Missing Out (Fomo)

Dalam sebuah tulisan dijelaskan bahwa Fear of Missing Out (FOMO) atau takut ketinggalan trend adalah sebuah gejala yang dominan dirasakan ketika seseorang khawatir bahwa dirinya kurang update. Presepsi demikian membawa dampak yang cukup serius bagi kondisi psikis seseorang. Menjadi minder, dan tidak percaya diri dalam lingkup pergaulan. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Zhoufan Zhang, Fernando R. Jimenez, dan Jhon E. Cicala menyatakan bahwa “Fomo mengacu pada kecemasan yang dirasakan pengguna media sosial ketika mereka menganggap rekan mereka melakukan mengalami, atau memiliki sesuatu yang bermanfaat, padahal sebenarnya tidak”.[2]

Tidak semua yang populer dan yang sedang tren dapat memberikan implikasi positif, tidak serta merta juga memandang bahwa hal tersebut memberikan konsekuensi negatif. Melainkan, alangkah baiknya sebagai muslim yang bijak seseorang dapat memilah mana yang dapat diikuti dan tidak. Fear of Missing Out (Fomo) juga pernah terjadi pada umat Islam jauh sebelum adanya globalisasi yang berkembang pesat. Kejadian tersebut adalah ketika banyak orang kemudian berbondong-bondong memutuskan untuk memeluk agama Islam pada masa Rasulullah ﷺ. Peristiwa perjanjian Hudaibiyah adalah saat dimana Allah ﷻ, menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ merupakan sosok diplomat ulung yang patut diteladani dalam menyebarluaskan Islam.

Perjanjian Hudaibiyah: Pengaruh Fear of Missing Out, hingga Orang Berbondong-Bondong Masuk Islam

Pasca Rasulullah n hijrah dari Makkah ke Madinah, pada tahun 6 H/ 628 M melaksanakan umrah ke Makkah, namun justru sesampainya di daerah Hudaibiyah mendapatkan penolakan dari kaum Quraisy untuk dapat menyentuh tanah Makkah, khawatir bahwa Nabi ﷺ akan melakukan penyerangan terhadap kaum Pagan Quraisy.[3] Namun, ketika beberapa kali mata-mata yang dikirim kepada Nabi ﷺ untuk menanyakan maksud keadatangan rombongannya dengan para pengikutnya di Madinah, jawabannya tetap sama yakni tak lain adalah melakukan ibadah umrah. Lalu, dikarenakan, masyarakat Makkah merasa terancam dengan kedatangan rombongan dari Madinah, akhirnya kaum Quraisy menawarkan sebuah perundingan kepada Rasulullah ﷺ, demi mencapai kesepakatan untuk kebaikan dan ketenangan bersama. Isi Perjanjian Hudaibiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, gencatan senjata dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun, begitu juga dengan tindakan buruk yang dilakukan antar pihak.

Kedua, masyarakat bebas untuk memilih untuk bergabung bersama Quraisy di Makkah, atau bersama Rasulullah ﷺ di Madinah.

Ketiga, kaum musyrik yang datang kepada nabi di Madinah tanpa seizin walinya di Makkah, maka akan dikembalikan ke Makkah. Demikian hal nya dengan penduduk Madinah yang keluar dari Madinah menuju Makkah, maka tidak akan diterima kembali ke Madinah.

Kempat, tahun ini Rasulullah ﷺ bersama rombongan dari Madinah tidak diperkenankan memasuki Makkah, dan dapat kembali ke Makkah tahun depan selama 3 (tiga) hari dan tidak membawa senjata kecuali pedang untuk menyembelih hewan.

Kelima, dalam pelaksanaan perjanjian ini harus dilaksanakan dengan hati yang tulus, penuh kesediaan dan tidak boleh adanya penyelewengan.[4]

Sepintas dalam poin-poin tersebut terdapat satu poin yang tidak menguntungkan Umat Islam, yaitu perjanjian keempat. Namun, secara keseluruhan perjanjian tersebut sesungguhnya menjadi pintu utama sekaligus menunjukkan siasat diplomasi Rasulullah ﷺ yang akhirnya membawa pada kesepakatan Perjanjian Hudaibiyah. Pada Poin pertama, dengan adanya gencatan senjata maka, aktifitas dakwah Rasulullah ﷺ bersama romobongan berlangsung aman. Poin kedua, mencerminkan fleksibelitas Rasulullah ﷺ memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk menilai kaum manakah yang menurut mereka aman. Poin ketiga, jika salah satu pihak dari masing-masing wilayah mengeluarkan diri dari daerahnya dan menuju antara ke Madinah atau Makkah, sudah dapat dipastikan tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena dikhawatirkan akan membahayakan kaumnya.

Khalid bin Walid, sosok panglima perang kaum Quraisy pada tahun 8 H/ 629 M akhirnya memeluk Islam dengan mendatangi Rasulullah ﷺ di Madinah. Karakter Islam sebagai agama yang dibawa Rasullah ﷺ menjungjung tinggi humanisme, menghargai harkat dan martabat manusia khususnya perempuan serta karakteristik nabi yang taktis, lemah lembut, memiliki daya tarik (uswah hasanah) menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk akhirnya berbondong-bondong masuk agama Islam.[5]

Perjanjian Hudaibiyah membawa implikasi serius untuk kemajuan agama Islam saat itu, sebab pasca adanya perjanjian tersebut jumlah orang yang masuk agama Islam bertambah pesat, selain itu Kota Makkah menjadi mudah ditaklukkan oleh pasukan muslim yang berjumlah 10.000 orang dengan tanpa perlawanan sekalipun dari penduduk setempat. Allah ﷻ berfirman: “Sungguh kami telah memberikan kemenangan yang nyata kepadamu. Supaya Allah memberikan pengampunan atas kesalahanmu yang lalu dan kemudian, dan menyempurnakan nikmat-Nya, dan membimbing engkau ke jalan yang lurus” (QS. Al-Fath [48]: 1-2).

Seorang penulis terkenal asal Inggris, Karen Armstrong bahkan mengakui kemenangan Islam saat itu dengan banyaknya orang-orang yang kemudian memeluk agama Islam. Mengutip dari tulisannya “Tiada suatu kemenangan dalam Islam sebelumnya. Selama dua tahun, berbondong-bondong manusia masuk Islam, lebih banyak dari tahun sebelumnya”.[6] Dari pernyataan yang diulang-ulang yaitu ketika manusia “berbondong-bondong masuk Islam” merupakan refleksi dari fenomena saat ini, yaitu ketika orang di zaman tersebut telah mengalami Fear of Missing Out (FOMO). Banyak manusia memeluk Islam karena melihat bukti konkrit bahwa agama Islam yang di wahyukan kepada Rasulullah ﷺ merupakan cerminan dari segala kebaikan yang akan membawa manusia menuju pintu keselamatan dari pada kepercayaan yang dianut oleh kaum Pagan Quraisy yang tentunya sangat bertolak belakang dengan naluri kemanusiaan.

Kalam Hikmah

Sirah nabi diatas harapannya dapat memberikan kaum muslimin sebuah pemahaman bahwa, ambisi untuk selalu mengikuti tren nampaknya perlu ditinjau dari aspek kemanfaatan yang timbul setelahnya. Fokus terhadap tujuan yang akan diraih, menyibukkan diri dengan sesuatu yang menguntungkan, dan konsisten dalam melalui setiap proses dalam mencapai target, mengurangi kegiatan scrolling media sosial yang berlebihan, hal tersebut dapat menjadi tips untuk menghindarkan diri dari gejala Fear of Missing Out. Critical Thinking atau kemampuan berfikir kritis terhadap sesuatu yang sedang hype dimasyarakat juga perlu ditingkatkan Tidak semua harus diikuti, cukup melihat dan memaknai dari segala hal yang hadir atau datang kembali karena dunia hanyalah fana, seperti roda yang berputar, semua akan kembali ke masanya.Wa-Allahu a’lam

[1] C. Indonesia, “Asal-usul Latto-latto, Mainan Dua Bandul “Berisik” yang Sedang Viral,” CNN Indonesia, 22 Desember 2022. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20221229131709-277-893572/asal-usul-latto-latto-mainan-dua-bandul-berisik-yang-sedang-viral. [Accessed 1 Januari 2023].

[2] Zhoufan Zhang, Fernando R. Jimenez, John E. Cicala, “Fear of Missing Out Scale: A Self-Concept Perspective,” Wiley: Psychology & Marketing, Vols. -, no. -, p. 1622, 2020.

[3] M. A. Parinduri, “Perjanjian Hudaibiyah sebagai Pilar Pemersatu,” Buletin Taqwa Universitas Medan Area , p. 2, 18 Oktober 2019.

[4] A. Haif, “Perjanjian Hudaibiyah (Cerminan Kepiawaian Nabi Muhammad SAW. dalam Berdiplomasi),” Jurnal Rihlah, vol. 1, no. 2, p. 126, 2014.

[5] A. Iskandar, “Hikmah Dibalik Perjanjian Hudaibiyah,” Jurnal Studi Hadis Nusantara, vol. 1, no. 1, p. 45, 2019.

[6] K. Armstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet. Terj. Sirikit Syah. Muhammad Sang Nabi, sebuah Biografi Kritis, Surabaya: -, 2001.

Download Buletin klik disini

Resolusi, what’s that?

Resolusi, what’s that?

Ridho Frihastama

*Mahasiswa UNY

 

Layaknya sebuah tradisi, mengawali pergantian tahun mayoritas orang membuat resolusi setiap tahunnya sebagai proyeksi ke depan. Resolusi sendiri didefinisikan sebagai keputusan atau rencana yang dibuat dalam jangka pendek, menengah atau panjang mengenai pencapaian yang ingin diraih di masa mendatang. Resolusi tahun baru dapat ditulis pada secarik kertas atau diketik secara digital untuk kemudian dikaji ulang di akhir tahun selanjutnya mengenai apa saja yang telah dicapai. Resolusi berisi tujuan yang relevan dengan diri sendiri, tertulis secara spesifik apa yang ingin dicapai dan diikuti dengan menargetkan batas waktu tercapainya.

Lantas setelah membuat resolusi apa yang harus dilakukan? 

Tentu jawaban idealnya ialah bagaimana resolusi tak hanya sekadar angan-angan, tapi menjadi kenyataan. Meskipun demikian, tak jarang seseorang lupa dengan resolusi yang ia buat atau tenggelam oleh kesibukan lain hingga mengabaikan resolusinya. Ada sebuah riset yang pernah dilakukan oleh Richard Wiseman dari Universitas Bristol untuk mencari tahu tentang keberhasilan resolusi yang dibuat pada tahun baru. Riset tersebut menggunakan metode survei kepada 3.000 responden. Hasil dari riset menunjukkan bahwa hanya 12% dari responden yang berhasil mencapai apa yang sudah mereka rencanakan. Sedangkan 88% dari responden gagal untuk mewujudkan resolusi tahun barunya. Padahal 52% dari responden awalnya yakin bahwa mereka akan berhasil mewujudkannya.[1] (Baca buletin edisi sebelumnya, untuk mengetahui tips agar resolusi bisa tercapai)

Resolusi dimaksudkan tak hanya untuk mencapai tujuan, tapi juga media refleksi diri dan belajar dari pengalaman selama beberapa waktu silam agar dapat menyikapi masa depan dengan lebih baik. Resolusi bukan sekadar simbolisme memperingati tahun baru saja, tapi untuk meningkatkan pengembangan diri secara positif.

Pada dasarnya, resolusi akan sangat bergantung pada preferensi setiap pembuatnya. Setiap individu akan memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda sehingga resolusinya akan berbeda-beda pula. Bila pun antar dua orang memiliki resolusi yang serupa, cara mencapai resolusi atau waktu tercapainya resolusi tersebut akan tetap berbeda. Dalam pembahasan ini, penulis hanya memberikan point of view (sudut pandang) dari kacamata seorang Muslim terkait hal yang dirasa penting untuk dikembangkan dalam resolusi secara spesifik. Adapun hal sebagai berikut:

Meningkatkan Ketakwaan

Takwa sendiri merupakan bentuk dari kesungguhan dan kehati-hatian umat muslim terhadap apa yang dilarang oleh Allah ﷻ. Sederhananya, takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjahui segala larangan-Nya. Allah ﷻ berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102)

Pakaian ketakwaan beberapa kali dan sering disebut dalam Al-Qur’an. Ini menandakan bahwasanya kita harus semaksimal mungkin mengimplikasikan pada setiap kondisi apapun. Di manapun dan kapanpun kaki kita pijakkan diatas bumi ini jangan sampai hati dan pikiran kita bermaksiat kepada Allah ﷻ. Kita usahakan selalu berdzikir dalam hati untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Maka perlu kita siram dengan sarana yang bisa menambah ketakwaan kita kepada Allah ﷻ.[2]

Takwa bisa juga bertambah dan bisa juga berkurang seperti halnya iman bisa manakala kita beribadah dan melakukan kegiatan-kegiatan positif yang dianjurkan dan diperintahkan oleh Allah. Dan manakala kita jauh dari perbuatan-perbuatan baik dan sedang berma’siat kepada Allah. Takwa pada masa sekarang harus dilaksanakan sedikit demi sedikit dan dibiasakan setiap hari supaya tingkat ketakwaan yang kita miliki semakin hari semakin meningkat, sehingga jika dihadapkan pada situasi yang dilarang oleh agama kita bisa menghindari hal tersebut.[3]

Resolusi Akhlak

Rasulluah ﷺ diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia, maka Islam hadir untuk menyempurnakan makarimal akhlaq. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).

Kenyataan menunjukkan bahwa beliau menyempurnakan berbagai bidang akhlak, bukan saja dalam interaksi manusia dengan sesama manusia, tetapi dengan semua makhluk. Apabila kita mau menggali kembali warisan akhlak yang mulia sebagaimana yang telah diwariskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ, niscaya akan kita temukan betapa indahnya Islam itu. Sungguh menyedihkan, tatkala menyaksikan banyak dari saudara kita kaum muslimin yang terjerat kasus korupsi, narkoba, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan kerap kita dengar di berbagai media. Tentu hal ini membuat hati kita terasa miris. Itulah akibat dari penanaman akhlak serta pembentukan perilaku diri yang belum maksimal.[4]

Jadilah Pembelajar Abadi

Orang-orang yang akan terus berkembang di abad ke-21 adalah mereka yang mempunyai pandangan bahwa pembelajaran harus dilakukan seumur hidup (long life learning) dan terus mengasah pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dimiliki.

Imam Ahmad pernah berkata bahwa kebaikan ilmu tiada tandingnya jika ilmu yang dicari dimaksudkan untuk menghilangkan kebodohan, terutama kebodohan diri terlebih dahulu. Inilah kemaslahatan terbesar bagi orang yang mencari ilmu, yaitu mengoreksi kebodohannya diri sendiri. Rasulullah ﷺ bersabda: “Jadilah engkau (1) orang berilmu, atau (2) orang yang menuntut ilmu, atau (3) orang yang mau mendengarkan ilmu, atau (4) orang yang menyukai ilmu. Dan (5) janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka.” (HR: Baihaqi).

Sebab Baginda Nabi ﷺ mengajarkan umatnya untuk tetap mencari ilmu sepanjang hayat. Kewajiban mencari ilmu itu seharusnya difahami sebagai suatu proses mencari ilmu sepanjang hayat dan tidak terbatas pada waktu atau umur tertentu. Beberapa ulama besar bahkan baru belajar di usia yang sudah berumur.

Menjadi Manusia Manfaat

Mengapa harus menjadi manusia yang bermanfaat? Karena Rasulullah ﷺ bersabda:  “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. ath-Thabrani)[5]

Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim lebih diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain, bukan hanya mencari manfaat dari orang atau memanfaatkan orang lain. Ini adalah bagian dari implementasi konsep Islam yang penuh cinta, yaitu memberi.

Apapun resolusi yang dibuat, diharapkan hal tersebut bisa menjadi pemantik semangat bagi diri. Tak masalah untuk tidak selalu memperbarui resolusi pada tahun baru, asalkan pengembangan diri ke arah yang lebih baik selalu dilakukan (be your better self). Tak masalah pula bila terdapat resolusi yang belum tercapai, hal ini dapat dijadikan sebagai motivasi untuk terus berikhtiar dalam mewujudkannya. Semoga dalam mengawali tahun ini kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin!

 

Maraji’

[1] https://www.techverse.asia/lifestyle/1369/10122022/tiap-tahun-baru-punya-resolusi-tapi-selalu-gagal-mungkin-disebabkan-4-kesalahan-ini. Diakses pada 10 Januari 2023.

[2] Lita, Syarifah Hasanah. “Takwah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 102 Menurut M. Quraish Shihab”. Jurnal Ilmiah Falsafah, Vol.6, No. 2, 2021, h. 94-106.

[3] Shihab, M. Quraish. Tarsif Al Misbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an / M. Quraish Shihab. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

[4] Shihab, M. Quraish. Yang Hilang Dari Kita: Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2022.

[5] Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII, hal. 58, dari Jabir bin Abdullah r.a. Dishahihkan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab: As-Silsilah Ash-Shahîhah)

Download Buletin klik disini

RESOLUSI 2023

RESOLUSI 2023

Ulfa Indriani

Alumni FIAI UII

 

Resolusi kerap kali menjadi kata yang populer diawal tahun. Menurut KBBI, kata resolusi berarti suatu putusan atau kebulatan pendapat yang berupa permintaan ataupun tuntutan, resolusipun dapat diartikan sebagai pernyataan tertulis yang berisi tuntutan tentang suatu hal.

Hari Ahad yang sekaligus bertepatan dengan awal dari tahun 2023 menjadi moment penting bagi seluruh manusia dalam memproklamirkan semangatnya untuk menuju sebuah kemajuan, setiap manusia berbondong bondong merayakan sekaligus mengatur strateginya, mereka percaya bahwa tunas yang gagah dan tinggipun melewati ratusan aksi dan reaksi didalamnya.

Tahapan Menyusun Resolusi

Dalam menyusun resolusi setidaknya ada beberapa tahapan yang perlu adanya aksi dan reaksi, diantaranya: (1) Evaluation 2022, memilah antara pencapaian dan kegagalan sebagai acuan untuk memahami kemampuan dan kekurangan dari diri sendiri yang harus dikembangkan;  (2) Set a Goals, membuat gambaran besar dari apa yang ingin kita capai ditahun 2023; (3) Action, membuat gambaran aksi yang berkesinambungan dengan goals sebagai acuan untuk mencapainya; (4) Network, mencari relasi yang sesuai dengan goals mempermudah resolusi kalian agar tercapai; (5) Monthly Tracking, membuat catatan performa dari bulan ke bulan ditahun 2023.

Poin Penting Agar Resolusi Tercapai

Dengan mengukur kemampuan kita ditahun sebelumnya, maka penulis ingin membagikan poin-poin penting yang harus kita jaga agar resolusi kita tercapai, diantaranya:

  1. Niat dan Tekad

Resolusi tahun 2023 ialah niat yang harus dibulatkan dan tekad yang harus dikokohkan, guratan wajah dan bentuk lahiriah orang-orang besar mengungkapkan kehendak dan niat mereka, serta ketajaman mereka menampakkan bentuk lahir dan perilaku.

  1. Kerja dan Usaha

Islam mengajarkan kita bahwa “kebahagiaan manusia bertumpu pada amal perbuatannya”. Resolusi adalah tuntutan yang harus kita tebus dengan kerja dan usaha, lembaran alam dan tatanan ciptaan menjadi saksi bahwa keberhasilan setiap manusia bergantung pada efektivitas dan usahanya. Umat muslim sepakat untuk setuju bahwa barangsiapa yang berusaha maka dapatlah ia. Kawula muda yang tidak sukses memiliki penyebab tertentu, diantaranya didalam diri mereka tidak ada ruh untuk berbuat, bekerja, dan beraktivitas. Ketertarikan besar kawula muda terhadap posisi manajerial, serta kursi dan meja instansi pemerintahan merupakan bukti konkret bahwa mereka tidak menyukai pekerjaan-pekerjaan berat.

Kehidupan orang sukses menyiratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat dan bekerja keras. Mengucap kata Alexander Hamilton, si genius dizamannya, “Orang-orang terkadang menghubungkan kesuksesan saya dengan kejeniusan saya, semua kejeniusan yang saya tahu adalah kerja keras”.

  1. Kepercayaan atau Keyakinan

Salah satu tanda orang mukmin adalah memiliki kepercayaan atau keyakinan, sebagaimana yang kita sebut dengan istilah akidah. Akidah dapat menjadi kontrol diri dalam mengendalikan hawa nafsu kita. Kontrol diri memanglah bukan hal yang mudah, apalagi manusia punya kecenderungan tertarik pada hal negative dan juga bujukan negative. Hal itu tercantum dalam Al-Qur’an surat Al Mujadalah ayat 19, yang artinya “Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi.” Artinya, kita tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal atau bujukan negative yang dapat menjadikan kita lengah sehingga jalan menuju goals menjadi terhambat. Jelas demikian itu akan merugikan waktu kita.

Dalam mencapai resolusi harus didasari dengan keyakinan, seseorang yang mengejar keberhasilan akan menemui sebuah kesulitan dan kepahitan, juga besarnya keyakinan itulah yang membuat seseorang bertahan. Yakinlah dengan pencapaian kita nanti. Tidak perlu membandingkan proses kita dengan orang lain, karena tak semua bunga akan tumbuh dan mekar secara bersamaan.

Empat belas abad yang lalu di medan Badar, kaum muslimin yang berjumlah tidak lebih dari 313 orang dan hanya memiliki persenjataan yang sederhana, siap menghadapi kaum Quraisy yang waktu itu memiliki senjata dan peralatan perang yang lengkap, bahkan dilihat dari kacamata militer maka mustahil pada waktu itu kaum muslimin mampu meraih kemenangan karena terpaut selisih jumlah pengikut yang cukup begitu besar, namun dengan keyakinan dan kepercayaan yang begitu besar kaum muslimin mampu mengalahkan kaum Quraisy di perang Badar.

  1. Konsisten atau Istiqamah

Kenalilah dirimu dan yakinlah dengan tujuanmu, setelah hal itu terjadi capailah resolusi tahun 2023 dengan konsisten (Istiqamah) melakukan hal-hal yang kamu yakini. Kesabaran merupakan salah satu penyebab seorang manusia menjadi mulia, terkadang praktiknya di salah pahami dan akhirnya orang yang salah mengartikan kesabaran cenderung berperangai buruk. Ia menjadi malas, pasif, pasrah pada takdir, dan mau hidup dibawah tekanan segala bentuk kezhaliman. Padahal namanya kesabaran, ketabahan dan keistiqamahan merupakan kunci kebahagian dan kesuksesan kita dalam meraih mimpi terkhusus impian kita dalam mencapai resolusi tahun 2023.

Kita dapat belajar dari keteguhan dan kelurusan sebuah paku kian dipukul kepalanya maka semakin besar keteguhannya, Hafiz Syirazi juga mengatakan bahwa:“Sabar dan Sukses keduanya adalah kawan lama, dengan sabar, kemenangan akan tiba”

  1. Teratur dan Disiplin

Setelah menuliskan resolusi 2023 beserta rencana pencapaiannya yang rapi, saatnya melanjutkan ke tahap eksekusi perencanaan secara teratur dan rapi pula. Rapi dan disiplin bukan hanya merupakan rahasia keberhasilan orang-orang besar, bahkan istana megah menjadi kokoh karenanya, jika tata surya selalu berada diposisinya lalu planet –planet mengelilingi tata surya itu, ini artinya Allah ﷻ telah membentuk struktur penciptaan dengan rapi dan teratur.

Bahkan pada beberapa fenomena alam, mulai dari penciptaan terbesar sampai penciptaan terkecil (Atom), semuanya bekerja sangatlah rapi dan teliti. Bahkan sistem yang mengatur tatanan alam yang terbesarpun memerintah atom. Alam adalah sebaik baiknya guru bagi kita, kita harus belajar darinya tentang pola hidup, kelangsungan dan sunnah kehidupan, serta rahasia keberhasilan.

Demikianlah, hal-hal besar membutuhkan waktu yang panjang, itulah prinsip penting saat menentukan resolusi. Karena prestasi, karir, capaian tertinggi tidak dirintis dalam waktu beberapa bulan tapi bertahun-tahun. Membuat resolusi yang realistis harus diiringi dengan kerja keras dan jangan mudah terpengaruh degan hal-hal negative. Karena kita harus berpegang teguh pada prinsip efisiensi yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Imam Tirmidzi, no.2317, Ibnu Majah, no. 3976).

Marâji’:

Ja’far Subhani, Bahagiakan Diri Anda dengan Menjadi Orang Sukses,  Jakarta: Pustaka Zahra: 2005.

Download Buletin klik disini

Muhasabah Diri Sebagai Wujud Perayaan Tahun Baru

Muhasabah Diri Sebagai Wujud Perayaan Tahun Baru

Fitria Ni’matul Maula

*Alumni Prodi Ahwal Syakhsiyyah FIAI UII

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang selalu memberikan rahmat kepada hamba-hambanya sehingga tidak terasa hampir 365 hari kita lalui dan akhirnya sampai pada penghujung tahun 2022, yang artinya tidak lama lagi kita akan menyambut tahun baru masehi.

Sebagai umat muslim yakni umat Nabi Muhammad ﷺ hendaknya kita tidak memaknai sebuah pergantian tahun dengan selebrasi kembang api ataupun dengan berbagai macam perayaan yang menuju kepada kemudharatan. Lebih dari pada itu, wajib bagi umat muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah ﷻ yang salah satunya dapat dilakukan dengan cara muhasabah diri. Lantas apa itu muhasabah diri dan bagaimana implentasinya? Mari kita bahas bersama pada tulisan ini.

Makna Muhasabah Diri

Dalam KBBI Online muhasabah memiliki arti introspeksi, yang mana introspeksi merupakan sebuah peninjauan atau koreksi diri sendiri atas berbagai sikap, perbuatan, kesalahan dan lainnya sebagainya[1]. Sedangkan dalam bahasa Arab muhasabah berasal dari kata hasaba-yahsubu-hisâban yang artinya menghitung.

Dapat diartikan bahwa muhasabah diri merupakan sebuah upaya evaluasi diri dengan merenungkan perbuatan baik maupun perbuatan buruk yang telah dilakukan selama ini, evaluasi tersebut juga berkaitan dengan kesiapan akal yang ditujukan untuk menjaga diri sendiri dari perbuatan buruk dan khianat dari perintah Allah ﷻ.

Selain dari pada itu evaluasi diri juga diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masing-masing manusia atas kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sehingga melahirkan suatu keinginan untuk memperbaiki diri dengan mendekatkan diri pada Allah.[2]

Implementasi Muhasabah Diri

Sebagaimana kita ketahui pada surah al-Hasyr ayat 18 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Berdasarkan penggalan ayat diatas dapat diambil pelajaran bahwa muhasabah atau evaluasi diri ditujukan guna mempersiapkan masa depan yang lebih baik lagi. Lalu apa saja bentuk muhasabah diri yang dapat diterapkan oleh umat muslim pada saat pergantian tahun?

  1. Mengingat kembali niat dan tujuan hidup serta amal perbuatan.

Salah satu langkah utama yang dapat kita lakukan yakni merenungi kembali tentang bagaimana niat dan tujuan hidup kita. Apakah niat dan tujuan hidup kita memang semata-mata karena Allah ﷻ? Kemudian amal perbuatan apa saja yang telah kita lakukan. Apakah amal perbuatan kita telah jauh lebih baik dan sesuai dengan ketentuan yang disyari’atkan oleh Allah ﷻ? Perlunya merenungkan kembali bahwa mungkin amal perbuatan dan ibadah yang kita lalui hanya sebatas formalitas saja. Padahal lebih daripada itu umat muslim diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan segala amal perbuatan baik karena kesungguhan tersebut tentu dapat menjadi tolak ukur ketakwaan hamba kepada Tuhannya. Maka dari itu wajib bagi seorang muslim senantiasa meningkatkan ketakwaannya setiap mengawali tahun yang baru dan menutup tahun yang telah lalu.

Salah satu upaya yang dapat diterapkan dalam meningkatkan ketakwaan yaitu dengan menerapkan konsep ihsan dalam diri masing-masing yang mana dalam istilah hadis ihsan memiliki arti kondisi dimana seseorang yang beribadah kepada Allah ﷻ seolah-olah dapat melihat Allah ﷻ, dan apabila seseorang tersebut belum mampu membayangkan seolah-olah melihat Allah ﷻ, namun seseorang tersebut meyakini bahwa Allah ﷻ melihat segala amal perbuatannya.

Dengan salah satu upaya tersebut diharapakan masing-masing lebih mawas diri mengingat bahwa segala perbuatan yang dilakukannya diawasi oleh Allah ﷻ dan dicatat oleh Malaikat kapanpun dan di manapun, sehingga dalam penanaman konsep ihsan tersebut manusia mampu meningkatkan kualitas diri dalam mencapai ketakwaan kepada Allah .[3]

  1. Menyesali segala dosa dan bertaubat.

Upaya selanjutnya yang dapat dilakukan ialah dengan mengingat segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuat kemudian menyesalinya sebagai salah satu ciri hamba yang beriman. Hal tersebut juga ditujukan agar seseorang berusaha untuk tidak mengulang kesalahan kesalahan yang telah lalu.

Syekh Abdul Qadir dalam kitabnya menjelaskan syarat taubat secara lebih luas diantaranya; (1) Seseorang wajib bertaubat dalam keadaan ikhlas dan ditujukan untuk memperoleh ridha Allah ﷻ, mengharap rahmat-Nya serta takut terhadap siksaan-Nya tanpa mempedulikan kehidupan dunia yang fana. Oleh karenanya, (2) Seseorang yang bertaubat harus memerangi hawa nafsu yang dimilikinya serta mencabut akar keburukan yang ada dari dalam hatinya. Selain itu, (3) Taubat harus dibuktikan melalui hati yang tulus dan bersih dari prasangka buruk seperti iri dengki dan lain sebagainya dan juga wajib dibuktikan dalam wujud perkataan seperti sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi “Selamatnya manusia tergantung pada penjagaan lisannya”, yang terakhir dan yang paling utama, (4) Pembuktian atas taubat seseorang wajib melalui perbuatan dalam bentuk amal shalih, meninggalkan maksiat dan menghindari perbuatan tercela yang tidak disukai oleh Allah l.[4]

  1. Meng-upgrade akhlak kepada diri sendiri maupun sesama manusia.

Agama Islam mengajarkan agar setiap muslim dapat menjalin tali silaturrahim dengan sesama manusia seperti kepada keluarga, tetangga maupun masyarakat dengan memelihara hak dan kehormatan. Konsep Akhlak dalam kehidupan sosial dapat diibaratkan seperti memiliki dua cermin yang mana cermin pertama digunakan untuk melihat cerminan akhlak masing-masing diri atas segala kekurangan yang harus diperbaiki dan kelebihan yang harus ditingkatkan lagi selaras dengan konsep muhasabah diri. Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari kita pasti tidak luput dari khilaf antar satu dengan lainnya, bahkan seringkali kita membutuhkan nasihat dari orang lain guna menyadarkan kita atas kekhilafan yang kita lakukan serta kekurangan yang ada pada diri kita.

Oleh karena itu, dibutuhkan cermin kedua yang digunakan untuk melihat kelebihan serta akhlak baik yang dimiliki orang lain sebagai suatu tauladan yang patut ditiru dan dicontoh. Sesungguhnya penerapan akhlak yang baik tersebut dapat menjadikan seseorang merasa aman, tenang dan sejahtera baik secara lahir maupun batin.

Dapat disimpulkan bahwa pentingnya meng-upgrade akhlak yakni agar manusia terhindar dari sifat merasa paling suci dan juga terhindar dari sikap sombong, karena sesungguhnya seluruh manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, segala hal yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan dari Allah ﷻ yang dapat di ambil kapanpun Allah ﷻ menghendaki, maka dari itu dengan mengawali tahun yang baru kita wajib mengisi hal-hal positif dan memanfaatkan waktu yang dimiliki sebaik mungkin.[5] Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

 

Marâji:

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. KBBI Indonesia.

[2] Ainul Mardziah, Konsep Muhasabah Diri Menurut Imam Al-Ghazali (Studi Deskriptif Analisis Kitab Ihya’ Ulumiddin). Skripsi, Aceh, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2018 M, h. 15-17.

[3] Muhsin Hariyanto, “Bertahun Baru dengan Muhâsabah”, Jurnal, Research Repostory Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2012 M, h. 3.

[4] Mochammad Nur Bani Abdullah, “Urgensi Pembahasan Taubat dalam Perspektif Hadis”, Jurnal Holistic al-Hadis, Institut Agama Negeri Islam, 2019 M, h. 32-33.

[5] Tahun Baru Islam: Saat Tepat Meng-upgrade Akhlak, https://mtsmu2bakid.sch.id/tahun-baru-islam-saat-tepat-meng-upgrade-akhlak/. Diakses pada 14 Desember 2022.

Download Buletin klik disini

Prinsip Toleransi Dalam Islam

Prinsip Toleransi Dalam Islam

Tria Rejeki Sholikhah

*Alumni Pendidikan Agama Islam FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Toleransi secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk hubungan antar sesama manusia sehingga tercipta suatu kerjasama yang harmonis. Toleransi dalam Islam disebut juga dengan tasamuh. Toleransi merupakan sebuah kemudahan yang muncul berdasarkan kasih sayang[1]. Sebab pada dasarnya Islam mengajarkan pada kasih sayang kepada sesama manusia maupun makhluk Allah ﷻ yang lainnya. Pada umumnya toleransi dikaitkan dengan kehidupan beragama di lingkungan masyarakat. Tentang bagaimana sikap hidup berdampingan dengan tetangga yang berasal dari keyakinan yang berbeda, ataupun dari ras dan suku yang berbeda.

Sikap toleran telah tercermin pada keharmonisan lingkungan masyarakat beragama sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ. Ketika berdakwah, Rasulullah ` tidak memaksakan kepada orang-orang Makkah untuk mengikuti ajaran beliau. Sebab, dalam Islam sangat menjunjung tinggi adanya kasih sayang sehingga banyak pula orang Makkah yang tetap pada keyakinannya, sekalipun telah datang agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, pada masa Rassulullah ` hidup, di Makkah umat Islam tetap hidup berdampingan dengan orang-orang non muslim dalam satu lingkup kota. Bahkan paman Rasulullah ﷺ Abu Thalib, yang membantunya dalam berkdakwah sampai akhir hayatnya pun tidak pernah memeluk agama Islam. Sekalipun ia tidak menghalangi rasul untuk berdakwah, melainkan membantunya serta mempersilakannya untuk menyebarkan agama Islam.

Batasan Toleransi

Menghargai umat beragama lain untuk melaksankan ibadahnya, mempersilakan mereka melaksanakan ibadah, tidak mengganggu serta tidak memaksakan aqidahnya agar sama dengan kita, merupakan contoh bentuk toleransi dalam beragama. Adapun pada aspek aqidah, umat Islam tidak diperkenankan untuk melaksanakan toleransi. Contohnya ketika umat agama lain melaksanakna ibadahnya, maka umat Islam tidak boleh meniru, atau ikut beribadah seperti mereka.

Adanya batasan tersebut sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ, ketika itu Rasul diminta kaum Quraisy yang tidak mau beriman pada Allah ﷻ, untuk mengikuti praktik ibadah agama mereka. Supaya mereka juga mau mengikuti apa yang diimani oleh Nabi Muhammad ﷺ, namun turunlah surat Al-Kâfirun yang dijelaskan pada ayat keenam. Allah ﷻ berfirman: “Untuk mu agama mu untuk ku agama ku” (QS. Al-Kâfirun [109]: 6). Bahwa sampai kapan pun agama tidak bisa bercampur satu dengan lainnya dalam pelaksanaan ibadah serta keyakinan aqidahnya.

Sesungguhnya, toleransi merupakan hal yang dikehendaki oleh Allah ﷻ supaya seluruh umat mausia saling bekerjasama menciptakan kedamaian di muka bumi. Bukankah manusia diciptakan di muka bumi ini sebagai “khalifah” atau pengganti dari makhluk sebelumnya. Kemudian manusia diberi petunjuk-petunjuk melalui Rasul sebagai utusan-Nya. Adapun yang mengikuti ajaran Rasul tentunya memiliki keyakinan yang sama, dengan semangat juang yang sama untuk saling memperkuat iman di hatinya.

Pengamalan Toleransi di Indonesia

Pengamalan toleransi sejauh ini sudah dilaksanakan sejak dini di lingkungan sekolah. Sekolah di Indonesia khusunya pada sekolah negeri secara umum tidak membatasi keyakinan siswa-siswinya. Di sekolah tersebut bisanya terdapat siswa dengan berbagi latar belakang keyakinan. Dari perbedaan yang ada, kemudian disatukan dalam satu kesatuan kelas yang harmonis guna memupuk tali persaudaraan antar umat beragama. Toleransi antar umat beragama dilatih sedari muda, sehingga di masa yang akan datang masyarakat tidak mudah tersulut provokasi yang mengatasnamakan perbedaan keyakinan.

Bentuk toleransi tidak hanya terbatas pada perbedaan agama. Keanekaragaman budaya, suku, bangsa, dan bahasa juga merupakan karunia Allah ﷻ yang dikehendaki agar terciptanya toleransi di muka bumi ini. Allah ﷻ berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Allah ﷻ menciptakan suatu perbedaan diantara umat manusia agar semua saling mengenal dan berinteraksi sebagaimana fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Bahwa saling menghargai budaya serta adat istiadat yang berlaku, menjaga sopan santun dimanapun berada demi menjaga keamanan, ketentraman, serta perdamaian.

Di Indonesia pada masa penyebaran Islam di tanah jawa khususnya oleh wali songo, kala itu para wali tidak menghilangkan eksistensi budaya jawa yang dulu pernah ada. diantaranya gamelan, wayang, tembang jawa dan lainnya yang kemudian diadopsi oleh beberapa anggota wali songo untuk menyebarkan agama Islam di tanah jawa. Melalui budaya-budaya tersebutlah Islam semakin mudah dikenal dan diterima oleh masyarakat di pulau jawa.

Toleransi dalam Islam sangat praktis dan masuk akal. Maka pentingnya sikap saling menjaga hubungan antar manusia supaya negeri menjadi aman dan damai adalah kewajiban seluruh umat manusia baik itu umat muslim atau bukan. Praktik toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dilaksanakan melalui hidup aman damai berdampingan dalam lingkup tempat tinggal yang sama. Tidak membeda-bedakan hak laki-laki dan perempuan dalam bekerja, ibadah, serta pendidikan juga merupakan bentuk menghargai keberagaman.

Toleransi Diruang Publik

Di zaman yang serba modern ini perbedaan gender tidak menjadi masalah dalam segala aspek. Sangat berbanding terbalik dengan zaman dahulu, yang mana pada zamannya sangat membedakan harkat derajat perempuan, yang selalu berada di bawah laki-laki. Di zaman merdeka ini, perempuan juga diapresiasi dan diberikan ruang untuk eksis dalam berbagi bidang. Diruang publik perempuan sudah banyak yang sukses menajadi pengusaha, CEO sauatu perusahaan, dan menjadi pejabat yang memimpin ketika diantara lelaki yang ada, tidak ada yang mumpuni kemampuannya, disaat itulah perempuan dapat berperan.

Pada bidang ekonomi praktik toleransi dilaksankan melalui kerjasama dalam bisnis, ekspor-impor, jual beli di pasar atau jual beli online dan sebagainya. Tiongkok sejak zaman dahulu sudah mendominasi perdagangan bahkan usaha dan bisnisnya tetap eksis hingga kini. Hal tersebut menjadi suatu motivasi bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari ilmu berdagang dan ilmu bisnis agar stabil walaupun permintaan pasar selalu naik turun.

Bangsa Barat dengan segala kemajuan teknologinya, dapat kita jadikan motivasi dengan mempelajari ilmu teknologinya sehingga dapat bermanfaat untuk bangsa, agama, dan kemaslahatan bersama. Hal-hal yang seperti itulah yang patut kita contoh, dan di aspek itulah praktik toleransi dilaksanakan. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh umat agama lain dapat pula kita pelajari dan kita amalkan dalam kehidupan umat Islam, guna memajukan serta memperkuat ukhuwah islamiyah.

Berbeda pada aspek ibadah contohnya shalat, perempuan tetap berada di belakang laki-laki. tidak pernah perempuan menjadi imam pada shalat yang di dalam jamaahnya terdapat laki-laki. Hal itu sudah paten dan tidak dapat diubah-ubah ketentuannya, karena berkaitan dengan syariat Islam.

Toleransi yang hakiki itu dimana seorang muslim sejati berlepas diri dari segala amalan khusus yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah bersujud kepada Allah ﷻ lagi tidak beriman kepada-Nya, walaupun hanya sekedar ucapan selamat hari raya. Wa Allâhu a’alm bish Shawwâb.[]

[1] Jamil, “Toleransi dalam Islam”, Al-Amin Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya, Vol. 1, no 22, 2018, h..242.

Download Buletin klik disini

Mengambil Hikmah dari Penyelenggaraan Piala Dunia Qatar

Mengambil Hikmah dari Penyelenggaraan Piala Dunia Qatar

Nur Laelatul Qodariyah

*Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII, NIM 19421133

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Perayaan sepak bola dunia kini menjadi hal yang sangat membanggakan bagi umat muslim terutama kepada Negara Qatar. Pasalnya penyelenggaraan piala dunia ini memberikan  dampak yang baik bagi penyebaran Islam saat ini. Seperti yang telah kita ketahui bahwa, Qatar kini menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan sepak bola dunia bergengsi. Hal yang menarik dan berbeda dari penyelenggaraan piala dunia saat ini adalah  kultur budaya dan agamanya yang sebelumnya tuan rumah negara seperti, Brazil, Rusia, Afrika Selatan merupakan negara non muslim.

Dengan Izin Allah Qatar telah Membuktikan

Qatar merupakan salah satu negara Islam di Timur Tengah, dalam kesempatan emas dan momen yang berharga ini. Qatar ingin membuktikan kepada dunia bahwa Islam merupakan agama yang indah dan juga berakhlak. Hal ini lah yang menjadi decak kagum bagi umat muslim di seluruh dunia. Pasalnya kebijakan dan peraturan selama perayaan piala dunia sangat di tegaskan dalam negaranya. Tentu saja pasti ada saja pihak yang tidak setuju dengan peraturan tersebut. Tetapi hal ini tidak menjadikan sebuah pertentangan untuk Qatar dalam mempertahankan peraturan tersebut.

Allahﷻ  berfirman: “ Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekirannya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali ‘Imran [3]: (110).

Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa, kita sebagai umat muslim patut bangga karena kita merupakan umat  terbaik yang dilahirkan untuk manusia di muka bumi ini. Islam telah mengatur dengan cantik dalam kehidupan kita di bumi. Dengan hal tersebut tidak ada yang lebih indah kecuali kita dapat memberikan dan juga mengajarkan kebaikan kepada manusia melalui ilmu-ilmu islam yang telah kita pelajari walaupun itu hanyalah satu ayat saja.

Piala Dunia 2022 Qatar sebagai Media Dakwah  Islam

Tidak hanya sekedar perhelatan sepak bola dunia, Qatar menjadikan tuan rumah dengan pola dakwah islam yang memang sudah dipersiapkan dengan matang. Hal ini sudah terlihat dalam pembukaan piala dunia di stadion Al-Bayt pada tanggal 20 November 2022. dengan opening yang sangat luar biasa yaitu dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Membuat merinding bagi penonton yang melihat fenomena indah ini. Tidak hanya itu lantunan yang disemarakan oleh anak penyandang difabel yang bernama Ghanim Al-Muftah memberikan kita motivasi bahwa di dunia ini kita harus lebih bersyukur dengan apa yang kita punyai saat ini.[1] Ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibacanya merupakan surah Al-Hujurat ayat 13.

Allah berfirman: Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agara kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti ”  (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Dalam ayat ini mempertegas bahwa, golongan apapun, mulai dari jenis kulit, negara, budaya dan juga status sosial semua itu di hadapan Allah ﷻ sama. Tidak ada perbedaan dan juga pilih kasih terhadap sesama manusia.  Hal ini menjadikan Islam sebagai rahmat, kasih sayang kepada manusia.

Larangan yang Diterapkan oleh Qatar.

Demi menjaga budaya dan juga syariat Islam yang tumbuh dalam negara Qatar, hal ini pemerintah melarang secara tegas selama penyelenggaraan piala dunia di Qatar harus mentaati setiap peraturan yang ada. Jika ada pelanggaran di dalam peraturan tersebut maka akan dikenai sanksi yang berat. Semua itu berlaku bagi seluruh aktivis yang terlibat dalam piala dunia ini, baik pengunjung maupun pemain sepak bola yang bertugas.

Seperti yang telah kita ketahui berzina, meminum khamr, kampanye LGBT merupakan salah satu yang diharamkan dalam Islam. Terlepas daripada itu Islam sendiri mengatur bukan tanpa sebab. Misal kita ambil contoh, orang yang meminum khamr dan kemudian mabuk dapat merugikan orang-orang sekitar, dan malah akan menimbulkan kekacauan.

Seperti hadis berikut ini, An Nu’an bin Basyir berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas, sedangkan syubhat berada di antara keduanya. Barang siapa meninggalkan syubhat, berarti terhadap yang haram ia akan lebih menjauh. Dan hal-hal yang diharamkan Allah adalah daerah terlarang, maka siapa yang menggembalakan ternak di sekitar daerah terlarang, sangat mungkin ia akan memasukinya.”  (HR. Ahmad, no. 17624).[2]

Selain itu bagi perempuan selayaknya memakai pakaian yang sopan, dan tertutup agar para laki-laki juga dapat menjaga pandangan. Mengingat bahwa wanita merupakan fitnah terbesar bagi laki-laki. Sehingga dalam piala dunia Qatar peraturan tersebut harus diperhatikan.

Kutipan Hadis Nabi Pada Setiap Sudat di Qatar

Pemerintah Qatar sudah menyiapkan segala persiapan indah untuk mengenalkan Islam lebih dekat kepada dunia. Dengan hal tersebut di setiap sudut tempat Qatar telah terpasang poster dengan kutipan-kutipan hadis dari Nabi Muhammad ﷺ.

Diantara hadis-hadis tersebut ialah, “Guard yourself from the hellfire, even with half of a date in charity. If one cannot find it, then with a kind word.” “Jagalah dirimu dari api neraka meskipun dengan sedekah setengah buah kurma. Jika seseorang tidak dapat menemukannya, maka dengan kata yang baik.” [3]

Dari hadis ini menerangkan bahwa kebaikan seseorang itu nilainya tidak terbatas, walaupun hanya memberi setengah buah kurma hal itu merupakan sebuah kebaikan bagi seseorang yang membutuhkan. Kebaikan pula tidak melihat dari sisi harta saja, melainkan sikap saling tolong menolong kepada sesama muslim juga menjadikan indikator sebagai kebaikan.

Hikmah Penyelenggaraan Piala Dunia Qatar

Dari sini kita belajar bahwa, dimanapun kita berada, sebagai seorang muslim kita dapat menyebarkan nilai-nilai Islam kepada manusia. Begitu juga dengan Qatar yang berkesempatan untuk menjadi tuan rumah memiliki inovasi agar bagaimana caranya bisa mengenalkan wajah Islam kepada dunia. Bahwa Islam itu Rahmatan lil ‘alamin, Islam itu indah, penuh kasih sayang dan ramah. Sehingga anggapan seseorang yang menganggap bahwa Islam itu teroris, radikal, dan intoleran menjadi terbantahkan dengan realita yang ada bahwa Islam itu tidak seperti itu.

Selain itu dalam penyelenggaraan piala dunia di Qatar Syaikh Muhammad Jaber adik dari Syaikh ali Jaber mengungkapakan rasa bahagia dan bangga terhadap Qatar, pasalnya kurang lebih orang 585 masuk Islam sebelum acara dimulai dan kemarin setelah mulai telah mencapai 1000 orang lebih yang masuk Islam.[4] Wa Allâhu a’alm bish shawwâb.[]

[1] Nur Khoirin YD, “ Belajar Dakwah dari Piala Dunia Qatar”, dikutip dari https://jatengdaily.com/2022/belajar-dakwah-dari-piala-duni. Diakses pada hari Rabu tanggal 30 November 2022.

[2] Ensiklopedia Hadis, “ H.R Ahmad no. 17624”, Shahih menurut Syu’aib al-Arna’uth

[3] Ilham Ardha Saputra, “Lewat Piala Dunia 2022, Qatar Kenalkan Islam dengan Pasang Banner Hadits Nabi Soal Beramal hingga Api Neraka”, dikutip dari https://www.wonosobozone.com/gayahidup/pr-4675772800/lewat-piala-dunia-2022-qatar-kenalkan-islam-dengan-pasang-banner-hadits-nabi-soal-beramal-hingga-api-neraka.  Diakses pada hari Rabu tangal 30 November 2022.

[4] Muhamad Husni Tamami, “ Piala Dunia 2022 di Qatar, Syekh Muhammad Jaber: 1.000 Orang Masuk Islam” dikutip dari https://www.liputan6.com/islami/read/5133011/piala-dunia-2022-di-qatar-syekh-muhammad-jaber-1000-orang-masuk-islam. Diakses pada hari Rabu tanggal 30 November 2022.

Download Buletin klik disini

Pemuda hari ini Pemimpin Masa Depan

Pemuda hari ini Pemimpin Masa Depan

Uun Zahrotunnisa

*Mahasiswi Prodi Ahwal Syakhsiyyah UII

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Seorang pemuda adalah calon generasi penerus bangsa. Bahkan Pahlawan revolusioner yang sekaligus presiden pertama Republik Indonesia pernah berkata “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan ku goncangkan dunia”. Kalimat sang pendiri bangsa tersebut kaya akan makna tersurat bahwa ditangan pemudalah kejayaan suatu bangsa terletak. Harapan besar bagi para pemuda untuk dapat membangun peradaban dunia lebih baik, pun juga Islam sebagai agama yang membawa keselamatan bagi seluruh umatnya, yang mana dibawa oleh Rasulullah .[1]

Pemuda yang Berkarakter.

Pemuda Islam wajib berkarakter layaknya para pejuang Islam. Pemuda Islam yang berakhlakul karimah adalah pemuda yang mampu menjungjung nilai-nilai keislaman dan semangat pemuda Islam pada zaman dahulu. Sebab, semangat menegakkan agama Islam tidak hanya terhenti sampai pada hari dimana seluruh umat Islam mampu hidup dengan tenang melainkan harus tetap diperjuangkan sampai hari kiamat nanti. Salah satu kutipan ayat dalam Al-Qur’an telah memberikan penegasan kepada pemuda agar tidak mudah menyerah.

Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun” (QS. Al Kahfi [18]: 60)

Ayat diatas memberikan pelajaran kepada kaum muda-mudi untuk senantiasa berjuang dan pantang menyerah sampai mendapatkan hasil yang diinginkan. Jika melihat realita saat ini, di negara Indonesia yang menjunjung asas Demokrasi, ketika terdapat ketimpangan yang terjadi pada peraturan, maupun undang-undang yang bias kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, maka jiwa-jiwa pemuda yang kritis tak gentar begitu saja, maju menyuarakan aksi demokrasi demi menyelamatkan kesejahteraan dan keadilan rakyat di bumi pertiwi. Tentu upaya tersebut menjadi gambaran bahwa memang pemuda adalah generasi yang pantang menyerah dalam mengupayakan kemaslahatan bagi masyarakat sosial.[2]

Sebagai agent of change pemuda selayaknya mampu menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Dunia sebagai tempat dimana manusia selayaknya berusaha untuk kehidupan di akhirat-Nya kelak. Dan, akhirat sebagai tempat dimana menuai amal baik selama di Akhirat. Seperti bunyi hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalan untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi[3]

Aksi pemuda dalam berdemokrasi dengan semangat yang berkobar telah merefleksikan makna dari hadis di atas dimana, segala bentuk perjuangan yang dilakukan demi menegakkan keadilan dan kebaikan bersama, niscaya akan membuahkan hasil sekaligus menjadi ladang amal untuk kehidupan di akhirat. Masifnya perkembangan teknologi menuju peradaban 5.0 menjadi tantangan bagi kaum milenial untuk tetap bijak dalam memutuskan pilihan.[4]

Tokoh Pemuda Islam. 

Keimanan menjadi tolok ukur seseorang agar tetap bersikap amar ma’ruf nahi munkar. Keteladanan dari para pemuda dapat kita ambil contoh dari beberapa tokoh pemuda muslim yang mampu mengguncangkan dunia dengan kegigihan semangat dan perjuangannya dibawah bendera keislaman. Beberapa cotoh pemuda tersebut diantaranya adalah:

Usamah bin Zaid (18 tahun, ada riwayat lain menyebutkan 15 tahun). Dalam usia tersebut ia memimpin pasukan besar untuk menghadapi  Romawi Satu kerajaan kuat dengan pengalaman militer yang panjang. Cukup sebagai bukti kemampuan kepemimpinannya, Rasulullah ﷺ mengangkatnya menjadi pemimpin pasukan yang di dalamnya terdapat Umar bin al-Khattab dan Abu Ubadidah bin al-Jarrah. Dua tokoh sahabat senior.[5]

Zaid bin Tsabit (13 tahun). Sudah mampu menguasai Bahasa Suryani dalam 17 malam sehingga diusia tersebut menjadi penterjemah Rasulullah ﷺ. Hafal kitabullah dan ikut serta dalam kodifikasi Al-Qur’an.[6]

Thalhah bin Ubaidillah (16 tahun). Pada usianya tersebut ia sudah menjadi tameng Rasulullah ﷺ ketika perang di Gunung Uhud.[7] Ia menangkis anak panah yang melesak ke arah Rasulullah ﷺ hingga jari beliau terluka. Pada perang Uhud, Rasulullah ﷺ menyebut Thalhah dengan sebutan Thalhah Al-Khair (orang yang baik hati). Dalam perang Dzul Asyirah, ia disebut Thalhah Al-Fayadh (orang yang melimpah pemberiannya). Dalam perang Khaibar, beliau menyebutnya dengan Thalhah Al-Jud (orang yang dermawan).[8]

Muhammad Al Fatih (22 tahun). Yang umumnya disebut sebagai Muhammad II berhasil menanklukkan Konstantinopel sebagai Ibu Kota Byzantium pada saat semua jendral hampir menyerah karena serangan romawi yang tiada hentinya.[9]

Pemuda Milenial. 

Sebagai generasi yang hidup di zaman milenial, perang dalam wujud fisik telah tergantikan dengan perang yang melibatkan hal-hal yang serba mudah dijangkau, atau dilakukan. Perkembangan teknologi yang terjadi sedikit banyak telah mengikis empati kepada orang-orang disekitarnya oleh sebab kurangnya interaksi tatap muka karena telah tergantikan dengan peran media sosial.[10] Sehingga menjadi tugas besar bagi seluruh pemuda Islam untuk selalu mawas diri terhadap arus perkembangan yang datang dari segala penjuru dunia.

Untuk mencetak pemuda generasi rabbaniyyah, maka pola asuh dan pendidikan dari orang tua turut memberikan andil besar dalam membentuk karakter melalui pembiasaan-pembiasaan baik sampai akhirnya terbentuklah karakter akhlakul karimah[11]. Kutipan ayat berikut ini menjelaskan bagaimana   proses terbentuknya generasi pemuda Islam yang hebat. Allah berfirman:“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS. Al-Kahfi [18]: 10). Ayat ini menceritakan kisah 9 (sembilan) pemuda taat yang bersembunyi dari raja yang keji dan berlaku sewenang-wenang[12].

Derasnya arus komunikasi pada zaman dulu dengan sekarang melesat jauh berbeda, sehingga ketika orang dahulu ditimpa kenestapaan ketika sedang berjuang, hanya kepada Rabbnya lah mereka mengadu dan berharap. Berbeda dengan saat ini, manusia sangat mudah mengakses segala hal melalui media sosial, begitu juga sangat mudah untuk menyerah dan berkeluh kesah. Menjadi sebuah PR besar bagi pemuda Islam dalam memfilter segala sesuatu yang datang baik secara digital maupun non-digital.

Tabayun, dan Tasatur hendaknya selalu ditanamkan dalam diri agar terhindar dari hoax yang bertebaran di jagad raya. Sebagai penerus cita-cita pejuang bangsa Indonesia yang bermoral intelektual dan karakteristik karismatik sudah selayaknya mengimplementasikan nilai-nilai keislaman agar selalu terhindar dari bahaya pengaruh-pengaruh tidak baik yang dapat menggoncangkan keimanan. Peka terhadap perubahan itu baik akan tetapi tetap pada pendirian sebagai seorang muslim harus selalu dipegang teguh.

Demikian, semoga dapat menjadi pengingat segala jerih payah apa yang menjadi angan-angan dapat mengantarkan impian para muda-mudi untuk selalu berikhtiar dan pantang menyerah. Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji:

[1] Syamsuddin, “Penanaman Nilai Tasawuf dalam Menumbuhkan Karakter Islam Rahmatan Lil ‘Alamin pada Peran Pemuda,” Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, vol. 2, no. 2, pp. 501-526, 2016.

[2] Ifa Avianty, Thobib Al-Asyhar, “Perubahan Paradigma Peran Politik Pemuda Islam Indonesia dari Masa ke Masa,” Dialog , vol. 34, no. 2, pp. 44-62, 2016.

[3] M. Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, -: Akhbarul Yaum, 1991.

[4] Zahri, Tsulis Amiruddin, Lubis, Putri Handayani Lubis, Syaifuddin Ahrom,, “Relasi Pemuda Islam dan Media Sosial dalam Membangun Solidaritas Sosial,” Jurnal Literasiologi, vol. 1, no. 2, p. 13, 2019.

[5] Y. A. Karim, Barisan Pemua Zaman Nabi, Jakarta: Aqwam: Jembatan Ilmu, 2021. Dan lihat: https://kisahmuslim.com/6553-usamah-bin-zaid-kesayangan-rasulullah.html.

[6] Muntakhanah, “Peran Zaid bin Tsabit dalam Penulisan Wahyu Al-Qur’an 4-35 H/ 625-656 M,” -, Vols. -, no. -, p. 139, 2014.

[7] R. Natamarga, “Yang Kehilangan Jemarinya di Uhud: Thalhah bin Ubaidillah r.a,” Academia, Vols. -, no. -, p. 7.

[8] Lihat: https://rumaysho.com/26848-thalhah-bin-ubaidillah-dijamin-masuk-surga-dan-dikenal-dermawan.html

[9] F. Y. Siauw, Muhammad Al-Fatih, Jakarta: Alfatih Press, 2017.

[10] Subhan S, Fahd P, dkk, “Arena Bermain itu Namanya Media Sosial,” in Muslim Milenial, Bandung, Mizan, 2018, p. 45.

[11] Berkualitas Tidak Lepas dari Pendidikan Orang Tua yang Totalitas,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadist, vol. 13, no. 1, pp. 71-94, 2019.

[12] S. Istiqomah, “Kisah-Kisah Ashabul Kahfi dalam Al-Qur’an,” -, Vols. -, no. -, p. 116, 2016.

Download Buletin klik disini

Jangan Marah Maka Bagimu Surga

Jangan Marah Maka Bagimu Surga

Nur Isnaini, A.Md.

*Laboratorium Riset Kimia, FMIPA UII

 

“Jangan marah, maka bagimu surga” (HR. Bukhari, no. 6116) [1], salah satu sabda Rasulullah ﷺ yang menggambarkan  betapa indahnya balasan surga apabila kita dapat menahan amarah. Amarah yang sering kita anggap hanya perbuatan kecil, namun terkadang menjadi hal yang tidak mudah dikendalikan saat kita sedang mengalaminya. Marah merupakan salah satu ungkapan perasaan berupa emosi yang biasanya diungkapkan melalui perilaku ataupun perkataan negatif. Hal tersebut sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dan setiap orang pasti pernah merasakannya. Marah biasanya muncul karena sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan.

Ungkapan marah yang muncul dari setiap orang juga berbeda-beda tergantung bagaimana kita menyikapi. Marah merupakan salah satu perbuatan yang seringkali kita anggap sepele, namun jika kita salah dalam menyikapi, dampaknya akan sangat luas. Seringkali kita lalai, kita fokus memperbanyak amal shalih, namun kita mengabaikan hal-hal kecil yang bisa menghapus amal shalih yang telah kita lakukan yaitu marah.

Dampak Buruk Marah

Mengapa marah merupakan suatu perbuatan yang dilarang? Karena akibat yang ditimbulkan biasanya akan menimbulkan keburukan dan kerugian. Keburukan yang timbul disebabkan oleh tidak terkontrolnya amarah yaitu keluarnya kata-kata kasar yang kemudian menyakiti hati orang lain, terjadi pukul memukul, terjadi permusuhan, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan masih banyak lagi.

Ketika sering tidak bisa menahan amarah maka kita akan semakin dikuasai oleh nafsu, sehingga perbuatan yang kita lakukan akan semakin tidak terkontrol. Kita akan sulit untuk berpikir dengan akal sehat karena akan mudah tersulut emosi. Raut wajah orang yang sering marah pun akan berbeda dengan orang yang pandai mengendalikan amarah. Hati orang yang sering marah juga akan diisi oleh kedengkian.

Kerugian lainnya yang timbul dari tidak terkendalinya amarah yaitu akan memperburuk masalah kesehatan. Jika ditinjau dari sudut pandang medis marah akan menimbulkan serangan jantung, meningkatkan tekanan darah, memicu stres, ganggungan tidur dan lain-lain. Oleh sebab itu, Rasulullah ﷺ melarang marah karena selain merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain.

Manfaat Menahan Marah

Menahan marah akan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan memperbaiki akibat yang ditimbulkan dari marah. Allah ﷻ berfirman: “Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al Imran [2]:134).

Dalam ayat tersebut telah dijelaskan bahwa Allah ﷻ menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan, termasuk orang yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Akibat atau manfaat yang timbul jika kita dapat menahan amarah akan jauh lebih indah dan dan lebih baik jika ditinjau dari berbagai aspek. Secara batiniah menahan amarah akan menentramkan batin, hidup menjadi lebih tenang, tidak dihantui dengan ketakutan dan kedengkian. Silaturahim akan semakin terjaga, karena dengan menahan amarah secara otomatis tidak ada kata-kata kasar dan perbuatan kasar. Secara medis, kesehatan lebih terjaga dengan menahan marah.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan.” (HR. Abu dawud, no. 4777).

Begitu istimewanya jika kita mampu menahan amarah, maka Allah ﷻ janjikan bidadari di hari kiamat nanti. Ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan supaya bisa menahan amarah, diantaranya adalah dengan membaca ta’awudz, berwudhu, mengubah posisi saat marah dan mengontrol lidah (diam).[2]

Cara Menahan Marah

Ta’awudz

Apabila kita sedang dalam keadaan emosi, maka salah satu cara untuk menahan amarah adalah dengan membaca ta’awudz “a’ûdzubillâhiminasyaithânirrajîm“. Ta’awudz merupakan doa permohonan perlindungan dan penjagaan oleh Allah ﷻ dari godaan setan yang terkutuk. Hal ini telah dijelaskan dalam surah Al A’raf ayat 200.

Allah ﷻ berfirman: “Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia maha mendengar maha mengetahui.” (QS. Al A’râf [7]: 200)

Sulaiman bin Shurad berkata, “Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi  sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’ûdzubillâhi minas-syaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR. Bukhari no 3282)

Diam

Diam adalah salah satu cara untuk menahan amarah. Ketika kita sedang tersulut emosi, jika kita mengikuti alurnya, maka yang terjadi adalah amarah akan semakin menguasai diri kita. Seringkali yang muncul adalah kekuarnya kata-kata kasar dan perbuatan yang tidak terkontrol. Nah disinilah diam merupakan kunci. Ketika diam adalah jalan yang kita pilih, maka efek yang timbul akibat marah akan terputus dan berhenti. Seperti sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis berikut “Jika kalian marah, diamlah” (HR. Ahmad)[3]

Mengubah Posisi

Orang yang sedang marah biasanya mempunyai kecenderungan untuk selalu ingin menang sendiri atau selalu ingin derajat yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, Rasulullah ﷺ memerintahkan ketika sedang dalam keadaan marah untuk berpindah posisi menjadi lebih rendah. Hal ini dijelaskan Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis yaitu, “Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Dawud, no. 4782).

Berwudhu

Orang yang sedang dalam keadaan marah hendaknya segera mengambil wudhu seperti wudhu ketika akan melaksanakan shalat. Ketika akan berwudhu diniatkan untuk menghilangkan marah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Abu Daud, no. 4784)[4]

Keutamaan Menahan Marah

Keutamaan menahan amarah sebenarnya adalah menundukkan dan mengalahkan ego diri kita sendiri sehingga setan tidak akan masuk dan membawa kita ke dalam perbuatan yang tercela. Sesungguhnya yang paling berat dalam hal ini adalah mengalahkan ego dan hawa nafsu kita sendiri. Ketika kita mampu mengendalikan ego dan hawa nafsu kita saat dalam keadaan marah, maka setan akan kalah, dan hal ini akan membawa kebaikan.

Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al Baqarah [2]: 169)

Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” (HR. al-Bukhari, no. 5763 dan Muslim, no. 2609).

Marâji’:

[1] Diriwayatkan oleh Ath Tabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, no  2374.

[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Dalam Pangkuan Sunah, Jakarta: Al-Kautsar, 2013.

[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, 1: 239. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan lighairihi. Lihat: https://rumaysho.com/16156-5-kiat-meredam-marah.html. Diakses pada 1 Desember 2022.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 4784. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat: https://rumaysho.com/16156-5-kiat-meredam-marah.html. Diakses pada 1 Desember 2022.

Download Buletin klik disini

MANFAAT MEMAAFKAN

MANFAAT MEMAAFKAN

Oleh: Irfan Tsaqif Amrullah

*Mahasiswa Prodi Psikologi 2020

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam kehidupan, banyak kejadian dan peristiwa yang tidak dapat kita duga. Terkadang sebuah peristiwa dan kejadian tertentu bisa menyenangkan dan kadang tidak menyenangkan, kadang sesuai yang kita inginkan dan terkadang tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Banyak juga peristiwa atau kejadian yang menyakiti hati dan perasaan kita. Seringkali peristiwa atau kejadian menyakitkan tersebut datang dari orang-orang di sekitar kita. Tak jarang hal tersebut berdampak pada rusaknya hubungan interpersonal kita.

Untungnya, Islam sebagai agama rahmatan lil ’alamin dengan al-Qurán sebagai pedoman yang berlaku sepanjang zaman menawarkan solusi untuk kehidupan yang rukun dan damai. Salah satu ajaran Islam adalah memaafkan. Konsep maaf ini ternyata berpengaruh sangat besar untuk kehidupan umat. Selain itu, memaafkan ternyata memiliki banyak manfaat menurut ilmiah, meningkatkan kesejahteraan jiwa adalah salah satunya.

Akar kata Maaf (al-‘afw)

Kata pemaafan sendiri berasal dari akar kata bahasa Arab al-‘afw. Kata al-‘afw yang terdiri dari tiga partikel huruf, ‘ain, fa‘, dan satu huruf mu’tall menurut Ibn Faris, memiliki dua makna valid, yaitu; meninggalkan (tark al-syai’) dan mencari/menuntut sesuatu (thalab). Kemudian muncul banyak derivasi darinya, yang tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal makna. Maka, ketika dikatakan ‘afw Allah ‘an khalqihi, berarti tarkuhu iyyahum fala yu’aqibhum (Allah membiarkan mereka, sehingga tidak menghukumnya). Al-Khalil mengatakan “setiap orang yang berhak mendapat hukuman, lalu engkau biarkan (tarakahu), maka engkau telah memaafkannya (‘afaw-ta ‘anhu)”. Dari kata al-’afwu juga muncul kata al-‘af iyah, yang berarti pembelaan atau penjagaan Allah terhadap hamba-Nya.[1]

Pemafaan dalam Sudut Pandang Ilmiah

Dalam sudut pandang ilmiah pemaafan adalah kesudian seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tak-acuh kepada perilaku orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil.[2] Menghilangkan, menghapus, dan melupakan perilaku jahat orang lain merupakan hal penting dalam pemaafan. Seperti yang dideskripsikan oleh Nashori, bahwa pemaafan adalah kesediaan untuk menghapus luka hati atau bekas-bekas luka didalam hati, meskipun masih teringat jelas ingatan mengenai peristiwa yang memilukan di masa lalu, akan tetapi persepsi mengenai kejadian tersebut telah berubah atau persepsi bahwa kejadian tersebut menyakitkan baginya telah terhapuskan. Thompson juga membagi pemaafan atau forgiveness dapat terjadi pada tiga hal, yaitu: pemaafan untuk orang lain, diri sendiri, dan untuk kondisi; yaitu memaafkan situasi yang dapat menyebabkan munculnya perasaan negatif dalam dirinya seperti bencana alam.[3]

Sebuah penelitian pilot study oleh Tsang, McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa secara tidak langsung religiusitas memiliki potensi untuk memunculkan pemaafan pada seseorang karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang yang mendorong sikap memaafkan.[4] Oleh karena itu, umat beragama Islam memiliki kemungkinan yang tinggi untuk memaafkan. Pemaafan menurut Imam Al-Ghazali adalah ketika seseorang yang berhak atas suatu hak yang berkaitan dengan orang lain, seseorang tersebut dapat menggugurkan atau membebaskan orang lain yang seharusnya menunaikan hak tersebut.[5] Seperti ketika seseorang dapat memaafkan orang lain atas perilaku yang membuat sakit hati sehingga membenci pelaku yang merupakan hak orang yang disakiti dapat dihilangkan.

Perintah Memaafkan dalam al-Qur’an

Dalam agama Islam, kita dianjurkan untuk bisa saling memaafkan. Dalam al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang menganjurkan kita untuk memaafkan. Hal ini tentu karena memaafkan kesalahan pasti memiliki banyak manfaat. Dalam surat Ali Imran ayat 133-134 Allah ﷻ berfirman: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 133-134)

Dalam surat Al-A’raf ayat 199 Allah ﷻ juga menyuruh kita sebagai hambanya untuk menjadi pribadi yang pemaaf, yang artinya: “Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.  (Q.S. Al-A’raf [7]: 199)

Dalam Perspektif islam, berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an, memaafkan mencakup banyak hal, seperti: menahan amarah, memaafkan kesalahan, berbuat baik terhadap siapapun yang berbuat kesalahan kepadanya, lapang dada, keluasan hati, menghapus kesalahan, melupakan masa lalu yang menyakitkan hati, takfir (menutup kesalahan orang lain), membuka lembaran baru, memperbaiki hubungan menjadi indah (harmonis), mewujudkan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak, mendoakan orang yang berbuat jahat, bermusyawarah dengan orang-orang yang pernah menyakiti (berbuat salah), dan menyerahkan urusan kepada Allah (tawakkal).[6]

Manfaat Memaafkan

Dengan memaafkan ternyata banyak manfaat yang bisa kita dapat, salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan jiwa. Berdasarkan penelitian Fitriani & Widianingsih (2020), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pemaafan dengan kesejahteraan jiwa pada siswa SMA korban bullying.[7] Menurut penelitian Aziz, dkk (2017) menunjukan bahwa memaafkan memiliki kontibusi dalam meningkatkan kesehatan mental di tempat kerja.[8] Bahkan dalam jurnal Oktaviana (2022) menyatakan bahwa pemaafan efektif menjadi terapi untuk menurunkan kecemasan pada remaja.[9]

Berdasarkan uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa memaafkan memberikan banyak manfaat. Sudah banyak penelitian ataupun riset yang membuktikannya. Salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan jiwa. Maka dari itu, mari kita biasakan sikap mudah memaafkan. Telebih karena hal tersebut juga diperintahkan oleh Allah SWT dalam berbagai firmannya. Dengan saling memaafkan juga dapat memperbaiki dan menjaga hubungan dalam umat tetap harmonis.[]

Marâji’:

[1] Abul Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jm al-Maqayis fi al-Lughah, tahqiq Syihabudin Abu Amar (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal. 667

[2] Kusprayogi, Y., & Nashori, F. (2017). Kerendahhatian dan Pemaafan pada Mahasiswa. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 1(1), 12. https://doi.org/10.21580/pjpp.v1i1.963

[3] Khasan, M. (2017). PERSPEKTIF ISLAM DAN PSIKOLOGI TENTANG PEMAAFAN. At-Taqaddum, 9(1), 69. https://doi.org/10.21580/at.v9i1.1788

[4] Tri Kurniati Amriah, P. budi W. (2015). Religiusitas Dan Pemaafan Dalam Konflik Organisasi Pada Aktivis Islam Di Kampus Universitas Diponegoro. Empati, 4(4), 287–292.

[5] Oktaviana, S. K. (2020). Terapi pemaafan untuk menurunkan tingkat kecemasan pada remaja korban kekerasan. 5(1), 59–70. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/18241

[6] Khasan, M. (2017). PERSPEKTIF ISLAM DAN PSIKOLOGI TENTANG PEMAAFAN. At-Taqaddum, 9(1), 69. https://doi.org/10.21580/at.v9i1.1788

[7] Fitriani, N. I., & Widiningsih, Y. (2020). Pemaafan Dan Psychological Well-Being Pada Remaja Korban Bullying. Psikobuletin:Buletin Ilmiah Psikologi, 1(3), 139. https://doi.org/10.24014/pib.v1i3.10336

[8] Aziz, R., Wahyuni, E. N., & Wargadinata, W. (2017). Kontribusi Bersyukur dan Memaafkan dalam Mengembangkan Kesehatan Mental di Tempat Kerja. INSAN Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 2(1), 33. https://doi.org/10.20473/jpkm.v2i12017.33-43

[9] Oktaviana, S. K. (2020). Terapi pemaafan untuk menurunkan tingkat kecemasan pada remaja korban kekerasan. 5(1), 59–70. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/18241

Download Buletin klik disini