PARADIGMA KEILMUAN DALAM ISLAM

Di awal abad ke-20, seorang embriolog melakukan penelitian tentang tahap-tahap perkembangan manusia di dalam rahim (embriologi). Sampai pada suatu saat, sang ilmuwan mendapatkan beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung secara rinci tahap perkembangan zigot hingga menjadi janin. Ayat yang dimaksud ialah al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 12-14. Pada awalnya sang ilmuwan mengalami kesulitan dalam memahami ayat karena kerancuan dalam penerjemahan bahasa. Namun kemudian, Kerajaan Saudi Arabia membantu menyediakan terjemah ayat yang lebih teliti. Dengan panduan ayat al-Qur’an tersebut yang sejalan dengan observasinya, dirumuskanlah konsep embriologi modern.

Dalam buku berjudul Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah (2000), profesor anatomi dan biologi sel di University of Toronto tersebut beserta peneliti lain menyatakan bahwa sebelum abad ke-20, penelitian embriologi sulit dilakukan karena keterbatasan teknologi. Saat itu tidak ada literatur yang menjelaskan tahap-tahap perkembangan janin secara rinci. Namun belasan abad yang lampau Alquran telah menjelaskan tahap demi tahap perkembangan embrio yang merepresentasikan temuan terkini di bidang embriologi. Di buku ini dijelaskan tahap demi tahap embriologi menurut Alquran yang selaras dengan penemuan mutakhir. Salah satu kalimat konklusif di buku tersebut ialah, “The Qur’anic descriptions are clear indications that this knowledge came to Muhammad (peace and blessings be upon him) from God” (Zindani et al., 2000).

Penelitian fenomenal ini pula yang kemudian mengantarkan ilmuwan tersebut, yaitu Keith L. Moore untuk tunduk menerima Islam. Hingga saat ini karya beliau terus digunakan di pendidikan dokter modern, di antaranya buku embriologi The Developing Human dan buku anatomi Clinically Oriented Anatomy.

Perumusan konsep embriologi menurut al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Keith L. Moore bukan hanya menambah khazanah ilmu pengetahuan. Tidak kalah penting, fenomena ini mengetuk hati kita untuk menilik kembali cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut seakan sebuah mutiara di tengah lumpur yang kelam. Sulit dipungkiri bahwa saat ini agama disingkirkan dari pengembangan ilmu pengetahuan.

Paradigma Keilmuan dalam Islam

Bagaimana cara Islam memandang ilmu pengetahuan? Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tradisi Islam dan tradisi sekuler dalam memandang ilmu pengetahuan. Dalam tradisi Islam, sebagaimana dibahas dalam ushul fiqih, ada dua garis besar ilmu, yaitu 1) ilmu makhluk dan 2) ilmu Allah Ta’ala.

Prof. Wahbah Zuhaili dalam kitab beliau yang fenomenal, yaitu Tafsir Al-Munir menjelaskan konsep ilmu manusia dan makhluk lainnya sebagai bekal dalam kehidupan ini. Saat menjelaskan tafsir surat al-Fatihah ayat 6 beliau menerangkan bahwa makhluk memiliki lima tingkatan ilmu.

  1. Fitrah atau ilham

Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh hewan mamalia yang baru saja dilahirkan oleh induknya. Dia akan segera mendekat untuk menyusu kepada induknya. Inilah ilham yang Allah Ta’ala tanamkan kepada hewan.

  1. Panca indera

Panca indera dimiliki oleh hewan dan manusia. Bahkan pada awal kehidupan, panca indera hewan lebih berfungsi daripada manusia.

  1. Akal

Dengan akal inilah manusia mengelola informasi yang diterima oleh panca inderanya. Dengan akal manusia menelurkan konsep-konsep dan pemikiran yang berpengaruh ke tingkah laku dan peradabannya sebagai manusia. Maka dengan akal inilah peradaban manusia berkembang dan tidak statis sebagaimana hewan.

  1. Hidayah agama

Akal manusia memiliki keterbatasan. Terlebih lagi, akal sering dikaburkan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini membuat manusia rentan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan panduan baku yang bersih dari polusi hawa nafsu. Ialah hidayah/ilmu agama. Ilmu agama berasal dari Allah Ta’ala dan terbebas dari hawa nafsu, subhanallah. Ilmu agama sudah pasti kebenarannya, dan seharusnya digunakan oleh makhluk untuk mengatur tingkah lakunya.

  1. Hidayah taufik

Banyak orang mendapatkan nasihat dan arahan agama. Namun pada kenyataannya, seringkali manusia berpaling dari ilmu yang telah datang kepadanya tersebut. Hal ini terjadi karena tidak semua manusia mendapatkan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Taufik adalah kecocokan hati seseorang untuk tunduk dan menerima nasihat/ilmu agama yang datang kepadanya. Inilah hidayah yang sering kita minta dengan lafadz ihdinash shirathal mustaqim.

 

Inilah perbedaan besar antara paradigma ilmu sekuler dengan paradigma ilmu peradaban Islam. Paradigma sekuler mengingkari keberadaan “ilmu Tuhan”. Mereka menganut empirisme untuk mengakui ilmu. Empirisme adalah suatu prinsip bahwa semua pengetahuan didapatkan dengan pengalaman. Apa yang tidak dialami atau tidak bisa dijelaskan dengan akal mereka, tidak diakui sebagai ilmu. Pada akhirnya dibuanglah segala konsep agama dari bahasan ilmu pengetahuan dalam paradigma sekuler.

Hal ini jelas bertentangan dengan pandangan ilmu dalam tradisi Islam. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, hasil olahan akal manusia hanyalah tingkat ketiga dari lima tingkatan ilmu. Adapun ilmu Allah Ta’ala yang sampai kepada manusia sampai pada tingkat keempat dan kelima. Maka ketika seseorang membatasi ilmu dengan empirisme, maka sebenarnya dia membatasi ilmunya hanya sampai pada tingkat ketiga, yaitu tingkat akal.

Pembatasan ilmu hanya sampai ke tingkat akal akan membatasi ilmu itu sendiri. Padahal, banyak informasi dari wahyu yang telah Allah sampaikan namun belum dapat dipahami oleh manusia. Begitu pula pembatasan ilmu dengan empirisme dapat meniadakan keimanan. Demikian karena salah satu rukun iman adalah beriman kepada yang ghaib. Padahal, banyak hal ghaib yang belum dialami oleh manusia. Maka pembatasan ilmu dengan empirisme membuat seseorang mengingkari hal yang ghaib. Pembatasan ilmu dengan empirisme akan meniadakan iman kepada hari akhir karena belum ada manusia di zaman ini yang pernah mengalami kehidupan akhirat.

Oleh karena itulah Islam tidak membatasi ilmu dengan empirisme insani. Dalam Islam, kebenaran bukan hanya apa yang pernah dialami oleh manusia. Selain pengalaman manusia, ada sumber ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam yang disebut dengan khabar shadiq.

Khabar shadiq ialah kabar yang benar, yang didasari oleh sifat-sifat dasar santifik dan agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik. Menurut otoritasnya, khabar shadiq dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu 1) otoritas mutlak yang terdiri dari otoritas ketuhanan (Alquran) dan otoritas kenabian (hadits Rasulullah `); 2) otoritas nisbi, yang terdiri dari kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang terpercaya secara umum. Otoritas Alquran dan hadits sebagai sumber ilmu bersifat mutlak. Adapun ilmu dari otoritas nisbi, tentu terdapat syarat dan ketentuan untuk menerimanya sebagai ilmu yang benar. (Salim, 2014; makalah INSIST “Khabar Shadiq Sebuah Metode Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam”).

Perbedaan dalam mengambil sumber ilmu tentu berpengaruh terhadap ilmu yang dihasilkan. Maka tidak heran jika banyak pandangan dari peradaban sekuler yang bertentangan dengan Islam. Paradigma sekuler mengambil pandangan dengan berlepas diri dari agama. Maka sangat wajar jika di antara produk pengetahuan sekuler bertentangan dengan agama/kebenaran. Adapun produk keilmuan yang diolah dengan akal manusia yang disertai dengan sinar ilahiyah tentu lebih selaras dengan kebenaran hakiki.

 

Kesimpulan

Setelah mengikuti uraian di atas, tampaknya kita perlu melihat kembali paradigma keilmuan kita di masa sekarang. Sebagai seorang mukmin yang meyakini Allah Ta’ala Maha Mengetahui, tentu tidak pantas jika kemudian justru mengingkari keilmuan Allah Ta’ala. Tentu aneh jika orang beriman menolak peran agama dalam dinamika ilmu pengetahuan. Justru agama adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan yang hakiki.

Oleh karena itulah sebagai manusia yang selalu mengolah produk keilmuan, khususnya akademisi muslim, sudah sepantasnya mengikuti paradigma keilmuan Islam. Dengan paradigma Islam, semakin banyak sumber ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan. Dengan paradigma Islam, semakin banyak produk ilmu yang dihasilkan untuk maslahat manusia. Pada akhirnya, dengan paradigma keilmuan Islam muncullah produk-produk ilmu yang hakiki, bukan pengetahuan keliru yang disusun dengan pencemaran hawa nafsu dan keterbatasan akal. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

  1. Afif Azharul F

TERNYATA MASIH JALAN DI TEMPAT

Banyak orang mengira dirinya sudah berhijrah, sudah lebih baik, dan sudah berilmu. Padahal sebenarnya ia masih berada di tempat yang sama, bahkan ada yang terjerumus pada jalan yang sesat. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagai umat islam hendaknya kita selalu introspeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dan semangat dalam melakukan kebaikan (fastabiqul khoirat) sebagaimana yang telah dicontohkan oleh sahabat – sahabat Rasulullah , seperti kisah dimana saat Umar bin Khattab menginfakkan setengah hartanya kepada Rasulullah  dan mengira bahwa kali ini pasti melampaui Abu Bakar Ash Siddiq. Tetapi tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar membawa seluruh hartanya untuk diinfakkan kepada Rasulullah . kemudian Umar Bin Khattab berkata, Demi Allah saya tidak akan melampauinya untuk mencapai keutamaan selamanya. Lihatlah bagaimana para sahabat dahulu bersemangat dalam kebaikan padahal diantara mereka ada yang sudah dijamin masuk surga.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hijrah merupakan ibadah yang agung, dan disyari’atkan bagi setiap muslimin di setiap waktu, hijrah ini menurut ibnul qoyyim termasuk hijrah dengan hati atau hijrah maknawi, karena didalam Risalah Tabukiyah  ibnul qoyyim membagi hijrah menjadi 2 yang pertama yaitu hijrah dengan hati (maknawi) dan yang kedua yaitu hijrah dengan badan (hissi).

Hijrah dengan hati adalah meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai Allah dan inilah yang disebut al firar ila Allah ( berlari menuju Allah ). Allah  berfiman yang artinya, “Maka berlarilah kalian menuju Allah” (QS Adz Dzariyat [51]: 50). Kemudian yang dimaksud dengan hijrah dengan badan (hissi) adalah meninggalkan negeri kafir menuju ke negeri islam atau meninggalkan negeri yang banyak fitnah menuju negeri yang sedikit fitnah, hijrah ini disyariatkan bagi seorang muslim yang tidak bisa menjalankan perintah Allah  dan menjauhi larangan Allah  di negeri tersebut. Adapun topik yang akan kita bahas kali ini yaitu hijrah dengan hati.

 

Hijrah Kepada Allah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tahukah kalian bahwa tujuan kita diciptakan oleh Allah  adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya? Allah  berfirman yang artinya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya meraka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56).

Syaikhul Islam mengatakan,” Ibadah adalah meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah  dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Wahai saudaraku, lihatlah betapa agungnya agama islam sehingga memiliki banyak sekali amalan ketaatan yang seluruh umat Islam bisa melakukannya dan Allah  akan mencintai dan meridhai amalan tersebut selama memenuhi 2 syarat, yaitu Ikhlas karena Allah  dan Ittiba’ (mengikuti ajaran kepada Rasulullah ).

Dua syarat ini merupakan kaidah fiqih yang sangat penting bagi kaum muslimin. Pada ayat al-Qur’an juga dijelaskan dalam firman Allah  yang artinya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS. Al Kahfi [18]: 110). Seorang tokoh terkemuka generasi tabi’ tabi’in Al Fudhail bin Iyadh juga tatkala menjelaskan mengenai firman Allah  yang artinya, “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”, (QS. Al Mulk [67]: 2), beliau mengatakan, bahwa amalan yang baik yaitu amalan yang paling ikhlas dan shawab (mencocoki ajaran Nabi Muhammad .

Hijrah kepada Allah  ini mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah  kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah . Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di dalam hati. Dalam artian seseorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu (baca ; maksiat) kepada sesuatu yang lain (baca ; ketaatan) tentu saja karena apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada perkara-perkara yang lainnya (lihat Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir, oleh Imam Ibnul Qoyyim)

 

Menyelamatkan Diri Dari Adzab Allah

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah , ketahuilah bahwa ibadah tidak hanya sekedar menjalankan apa yang perintah Allah , seperti sholat, zakat, puasa dan perintah ibadah lainya. Namun ibadah juga bisa berupa meninggalkan apa yang Allah  larang, seperti syirik, minum minuman keras, zina, dan perbuatan maksiat lainnya. Sebab utama yang akan membebaskan kita dari adzab Allah  adalah tauhid dan keimanan. Dengan tauhid dan iman itulah dirinya akan selamat dari kekalnya siksa neraka. Berbeda dengan orang kafir atau musyrik. Betapa pun banyak jasa dan kebaikan mereka kepada manusia, jika mereka kafir dan mempersekutukan Allah  maka di akhirat mereka kekal dihukum di neraka. Amalannya akan sirna dan sia-sia, terhapus dan hancur akibat syirik dan kekafiran mereka kepada Allah .

Allah  berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong”. (QS. Al Ma’idah [5]: 72)

Allah  juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar [39]: 65)

 

Syirik Kezaliman Terbesar

Allah  berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisaa’ [48]: 116)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Dengan ayat ini maka jelaslah bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Karena Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi orang yang tidak bertaubat darinya (Fathul Majid).Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Maka beliau menjawab, “Yaitu engkau mengangkat tandingan/sekutu bagi Allah (dalam beribadah) padahal Dia lah yang telah menciptakanmu. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, ayahnya berkata: Rasulullah  bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya sebanyak tiga kali.Para sahabat menjawab, “Mau wahai Rasulullah!Lalu beliau bersabda, “Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Lalu beliau duduk tegak setelah sebelumnya bersandar seraya melanjutkan sabdanya, “Ingatlah, begitu juga berkata-kata dusta. Beliau mengulang-ulang kalimat itu sampai-sampai aku bergumam karena kasihan, “Mudah-mudahan beliau diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itulah, Adz Dzahabi yang menulis kitab Al Kaba’ir menempatkan dosa syirik kepada Allah sebagai dosa besar nomor satu sebelum dosa-dosa yang lainnya. Beliau berkata, “Dosa besar yang terbesar adalah kesyirikan kepada Allah . (Al Kaba’ir)

 

Tunduk Kepada Syari’at Allah

Termasuk di dalam cakupan hijrah kepada Allah  adalah dengan mengikuti aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah  dan Rasul-Nya bagi umat manusia. Baik aturan itu menyangkut masalah ibadah/ritual, akhlak/perilaku, mu’amalah, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sebab Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna, meliputi berbagai sisi kehidupan. Dengan tunduk kepada hukum-hukum Allah  akan mendatangkan hidayah, ketentraman dan keselamatan, di dunia dan di akhirat.

Allah  berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaha [20]: 123). Diantara bentuk ketundukan kepada syari’at Allah  adalah dengan memberikan ketaatan kepada ulama dan umara/pemerintah dalam hal-hal yang ma’ruf/kebaikan. Demikian pula wajib mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah.Inilah yang disebut dengan ketundukan kepada hukum Allah.

Allah  berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan juga ulil amri/para pemimpin diantara kalian. Kemudian, apabila kalian berselisih dalam suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya” (QS. An Nisaa’ : 59)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari penjelasan-penjelasan tadi teranglah bagi kita bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki hanya bisa diraih dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala hal yang dibenci dan tidak diridhai-Nya menuju apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Untuk tujuan itulah Allah Ta’ala menciptakan segenap jin dan manusia. Allah  berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56). Wallahu a’lam bish shawaab.

 

Khalqurrahman

 Mahasiswa FTSP UII

JALAN MUSLIM MENUJU KAMPUNG HALAMAN YANG SESUNGGUHNYA

“ dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

(QS. Al-Qashash: 77)

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Wahai saudaraku, kaum muslimin dan muslimat yang cintaku tak kan pernah habis untuk kalian. Tahukah kalian di manakah sebenarnya letak rumah kita yang sesungguhnya? Di manakah sebenarnya tempat kita akan kembali dari perjalanan yang singkat ini? Di manakah sebenarnya kampung halaman yang selalu kita rindukan itu? Darimana bapak dan ibu kita semua berasal, maka di situlah rumah kita yang sesungguhnya, di situlah kampung halaman kita yang sebenarnya, yakni surga yang indah yang serat akan kenikmatan.
Tempat Nabi Adam alaihi salam dan ibunda Hawa memulai kehidupan mereka. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah ﷻ, yang artinya: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah (2): 35).
Sebelum Adam dan Hawa mendiami surganya Allah ﷻ, adalah Iblis yang Allah ﷻ jadikan penghuni surga itu, dikarenakan ibadah-ibadah mereka yang menyerupai para Malaikat. Sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan yang artinya: “Maka keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan”. (QS. Shaad (38): 77-78).
Dari ayat tersebut, maka dapat diketahui bahwa Iblis merupakan makhluk yang dulunya juga sebagai penduduk langit, namun dikarenakan kedurhakaannya kepada Allah ﷻ, maka Iblis diusir dari surga dengan keadaan terhina. Kisahnya terdapat firman Allah ﷻ, yang artinya: “Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia emggan dan sombong, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah (2): 34).
Karena kedengkiannya kepada Adam, iblis selalu berusaha agar Adam dan Hawa melanggar perintah Allah ﷻ seperti yang tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 35 di paragraph pertama di atas, yakni memakan buah dari pohon yang dilarang atasnya. Lantas bagaimana cara Iblis itu bisa kembali ke surga untuk menggoda Adam dan Hawa? Bukankah dia telah terusir sebelumnya tatkala dia tidak mau sujud kepada Adam Alahi Salam.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ¬rodiyallahuanhu Nabi ﷺ bersabda, “tatkala Allah Azza wa Jalla berkata kepada Adam “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim.
Iblis berupaya untuk masuk menemui mereka berdua di surga namun terus dihalangi oleh para penjaganya. Lalu muncul seekor ular yang memilki empat buah kaki seperti layaknya unta dan terlihat sebagai hewan yang paling bagus. Iblis membujuk ular itu agar mau memasukannya kedalam mulutnya sehingga ia bisa membawanya bertemu dengan Adam. Ular itupun memasukan iblis kedalam mulutnya kemudian melewati para penjaga surga dan berhasil masuk kedalamnya sedang para penjaga itu tidak mengetahuinya atas kehendak Allah ﷻ. Iblis itu bercerita melalui mulut ular tersebut namun Adam tidaklah memperdulikannya, maka iblispun keluar menemui Adam dan mengatakan. “wahai adam, maukah kutunjukkan sepadamu sebuah pohon yang abadi dan kekuasaan yang tidak sirna.” Dia mengatakan lagi, “mahukah aku tujukan pohon yang apabila kamu memakannya maka engkau akan menjadi raja seperti Allah ﷻ atau kalian berdua akan kekal dan tidak akan mati selamanya.
Iblispun bersumpah atas nama Allah dengan mengatakan. “sesungguhnya aku hanyalah menasehati kalian berdua.” Sesungguhnya iblis menginginkan dengan itu agar aurat mereka berdua tampak dengan terlepasnya pakaiannya. Iblis telah mengetahui bahwa mereka berdua memiliki aurat setelah membaca kitab malaikat. Adam tidaklah mengetahui perihal ini.
Adam enggan untuk memakan dari pohon itu, akan tetapi Hawa mendekati pohon itu dan memakannya lalu dia berkata, “wahai Adam makanlah, sesungguhnya aku telah memakannya dan tidak terjadi apa-apa terhadapku. Tatkala adam memakannya maka tampaklah aurat keduanya dan mulailah mereka berdua menutupinya dengan daun-daun surga. (Tarikhur Rusul wal Muluk)
Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa sungguh besar sekali permusuhan yang diadakan oleh iblis kepada Nabi Adam Aalihi Salam. Diakibatkan kedengkian dan kesombongan iblislah akhirnya Adam dan Hawa pun terusir dari surga-Nya Allah ﷻ, namun keduanya bertaubat memohon ampun kepada Allah ﷻ dan Allahpun menerima taubat keduanya, kemudian Allah beri tangguh keduanya untuk hidup di dunia sampai waktu yang ditentukan. Sebagaimana firman Allah ﷻ, yang artinya: “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang ditentukan”. (QS. Al-A’raf (7): 24). Menurut salah satu pendapat mufassir, yang dimaksud dari “kalian” dari firman Allah tersebut adalah Adam, Hawa, Iblis,dan Ular.
Dengan demikian, bagaiamana cara kita selaku anak cucu adam yang selalu mendapatkan bisikan-bisikan syaiton pasukan iblis tersebut agar tidaklah tersesat untuk kembali pulang ke kampung halaman yang sebenarnya, yakni surga? Maka cobalah simak perumpamaan ini.
Semua dari kita memiliki batas waktu untuk tinggal di muka bumi ini. Bumi ini bukanlah tempat kita untuk menetap selamanya, bukanlah tempat kita menjalani kehidupan selamanya.. Akan tetapi kehidupan di bumi ini adalah sebuah perjalanan untuk kembali pulang ke rumah asal kita, yakni surga. Sehingga dalam perjalanan kita untuk bisa kembali pulang ke kampung halaman itu, kita haruslah memiliki petunjuk atau peta jalan agar bisa kembali dengan selamat menuju rumah kita yang abadi itu. Peta petunjuk tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam kitab-Nya yang mulia, yang artinya: “inilah kitab yang tidak ada kerguan daripadanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah (2): 2). Kemudian dari hadits Nabi Muhammad ﷺ, beliau bersabda: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selamanya jika berpegang kepada keduanya, (yaitu) kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim).
Ibarat Al-Qur’an dan As-Sunnah itu adalah sebuah peta petunjuk, maka para sahabat Nabi yang mulia adalah tour guide kita dalam memahami peta petunjuk (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tersebut. Bagaimana tidak? Para sahabat adalah orang-orang yang melihat langsung wahyu itu turun kepada baginda Muhammad ﷺ, yang mengetahui sebab-sebab turunnya wahyu tersebut, yang mendengar langsung isi wahyu tersebut bahkan beserta penjelasannya dari Nabi Muhammad ﷺ. Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi kita kaum muslimin untuk menitih jalannya para sahabat yang mulia dalam memahami dinul Islam yang sempurna ini, in syaa Allah dengan itu kita bisa mendapatkan jaminan dari Rasulullah ﷺ agar bisa selamat kembali pulang ke kampung halaman kita, yakni surga. Sebagaimana yang Rasulullah ﷺ sabdakan, yang artinya: “Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesuungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu (golongan yang selamat). Mereka bertanya “siapakah mereka (golongan yang selamat) wahai Rasulullah?” beliau menjawab “siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku”. (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).
Pelajaran yang amat penting dari kisah tersebut adalah sungguh seorang mukmin apabila ia bertaqwa kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan memberikan kedudukan yang mulia baginya, akan tetapi jika seorang mukmin itu gemar melakukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya, maka kehinaan akan menimpanya,. Dari kisah tersebut juga kita dapat mengetahui bahwa musuh utama bagi umat manusia adalah iblis yang sombong. Ibrah selanjutnya dari kisah tersebut adalah bahwasanya Allah ﷻ dengan kasih sayang dan rahmat-Nya adalah Tuhan yang maha penerima taubat. Allah ﷻ berfirman, yang artinya: “katakanlah: hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu yang kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. Az-Zummar (39): 53-54).
Adapun pesan utama dari tulisan ini adalah marilah wahai saudara-saudariku kita berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Ahlussunnah wal jama’ah. Karena hanya inilah jalan menuju keselamatan yang telah ditempuh oleh baginda Muhammad ﷺ dan juga para murid-murid beliau yang mulia, yakni para sahabat.

Anas Ahmad Rahman
Mahasiswa MSI UII