ISLAM DAN KHAZANAH KEILMUAN
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Mujâdilah [58]: 11)
Kata ilmu dalam bahasa arab berasal dari kataع-ل-م (‘ain-lam-mim) yang mana Ibnu Faris memaknainya dengan dampak sesuatu yang dapat membedakan dari yang lain. Tidak jauh berbeda dengannya, Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa ilmu adalah mengetahui hakikat akan sesuatu. Dalam al-Quran, dengan berbagai derivasinya kata ilmu terulang sebanyak 854 kali. Adapun derivasi tersebut dalam bentuk sebagai berikut; ‘alima , ya‘lamu, i‘lam , ‘allama , yu‘allimu, yata’allamu, ‘ilmun, ‘alim, a’lam, ma‘lum, ‘alamin, ‘alamat, ‘aliim, ‘allam dan mu‘allam. Namun, jika kita mengkhususkan pada kata “ilmu” dalam al-Qur’an ia terulang sebanyak 105 kali. Dengan jumlah sekian banyak menandakan bahwa al-Qur’an sangat mengutamakan kedudukan ilmu di dalamnya.
Dalam surat al-Zumâr ayat 9 Allah telah membedakan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar [39] : 9).
Dari ayat di atas jelas disebutkan bahwa orang-orang yang mengetahui (berilmu) tidak sama dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Perbedaan antara keduannya akan sangat berpengaruh dalam tindakan sehari-hari. Akan terlihat jelas bagaimana cara orang-orang cerdas menyelesaikan masalah sangat berbeda dengan mereka yang ceroboh, tidak memikirkan implikasi dari apa yang telah dilakukannya. Orang yang berilmu tentu lebih futuristik dan visioner, yang telah memikirkan dampak dari perbuatan yang dilakukannya.
Keilmuan senantiasa akan membawa umat manusia kepada ketenteraman, akan membebaskannya dari keterbelengguan hidup karena ilmu sejatinya akan menyelesaikan permasalahan dengan bijak. Sebaliknya, kebodohan merupakan petaka terbesar bagi umat manusia. Ia akan merumitkan permasalahan yang ada karena ketidakcerdasan dalam menghadapinya.
Di lain tempat, Allah juga mengangkat derajat orang-orang berilmu baik di bumi maupun di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mujadilah ayat 11 di atas.
Dari ayat ini juga sangat terang dikatakan bahwa orang-orang berilmu senantiasa memiliki derajat yang tinggi disisi Allah . Orang-orang berilmu menjadi orang yang terpandang didunia karena keilmuannya, mereka juga mendapat tempat tempat yang layak disisi Allah di akhirat kelak. Nabi juga bersabda: “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (HR. Muslim).
Sangat banyak dalil keagamaan yang yang menyatakan tentang keutamaan ilmu karena ia merupakan poros peradaban dan pusat kemajuan suatu umat. Hakikat ilmu sesungguhnya terletak pada solving problem-nya, ketika ilmu itu tidak bisa menyelesaikan problem umat dan problem kemanusiaan, maka ilmu tersebut tidak bisa dikatakan bermanfaat. Karena Allah menganugerahkan ilmu kepada manusia sebagai perangkat solving problem, agar manusia bisa menepis semua permasalahan yang menghambat kehidupannya.
Jika kita merenungi wahyu pertama (surah al-Alaq) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , maka kita ketahui bahwa ayat tersebut berbicara tentang khazanah keilmuan. Sebagai wahyu pertama, khazanah keilmuan merupakan syarat mutlak untuk menguasai peradaban dunia. Dalam ayat ini Nabi Muhammad diperintahkan untuk belajar baca-tulis (iqra’ – qalam) sebelum menjadikan peradaban Islam yang menggetarkan dunia. Dengan keilmuan, Nabi Muhammad kemudian mencetak generasi sahabat sebagai generasi terbaik dalam sejarah yang ada dalam peradaban Islam. Tentunya ilmu di sini berkaitan erat dengan moralitas dan akhlaq karimah. Islam tidak memisahkan antara intelektualitas dan spiritualitas, karena keduanya saling berkaitan (intergrated-interconnected), saling menunjang satu dengan yang lainnya.
Ilmu juga dapat mengekalkan amal, pahalanya akan terus mengalir walaupun jasad telah dikubur karena selain sedekah jariyah dan anak yang shalih, ilmu yang bermanfaat juga termasuk dalam kategori amal yang pahalanya tidak terputus walau seseorang telah meninggal dunia. Dari pernyataan tersebut juga dapat dilihat bahwa ilmu tidak saja bermanfaat di dunia, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Dengan ilmu yang pernah diajarkan kepada orang lain, seseorang akan selalu memperoleh keuntungan darinya, selama ilmu itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, walaupun tidak lagi berada di alam dunia ini. Pahala-pahala kebaikan ini akan terus mengalir sebagai pendongkrak amal kebaikan.
Dengan demikian, Islam adalah agama ilmu, ilmu kemaslahatan hidup di dunia maupun keselamatan akhirat. Namun seiring dengan pergeseran tujuan hidup manusia, motivasi menuntut ilmu pun mulai bergeser. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia mulai condong kepada ilmu duniawi dan menomor duakan, bahkan melupakan ilmu dien (agama). Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. al-Rûm [30]: 7).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dien Islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428). Syaikh Abdurrahman ibn Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya.”
Maka dari itu, seorang Muslim hendaknya mampu menyeimbangkan proses belajar mereka akan ilmu-ilmu duniawi dan ilmu-ilmu akhirat, dan keduanya pun harus dijalani dengan penuh ketekunan dan kesungguhan. Maka, ingatlah apa yang difirmankan oleh Allah : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qashshash [28]: 77).
Fadhli Espece
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!