KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

Sebagai seorang Muslim, seseorang meyakini bahwa kebahagian, ketentraman, dan kesuksesan hidup akan terasa apabila dapat memposisikan diri sesuai dengan kehendak Allah. Begitu juga dengan kesengsaraan, kesedihan, dan kegagalan akan terasa apabila seseorang menempatkan dirinya jauh dari kehendak Allah.  Dalam al-Qur’an dan Hadits dikatakan bahwa orang yang menempatkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah maka dia akan beruntung dan sukses, sebaiknya orang yang menjauhkan diri dari Allah dan mengotori dirinya dengan kemaksiatan maka dia telah menghancurkan dirinya dan dia akan gagal bahkan rugi. Dalam firman-Nya dikatakan:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy-Syam [91]: 9-10).

Seorang Muslim meyakini Firman Allah tersebut, bahwa yang dapat mengotori, menodai, dan merusak jiwa adalah segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah. Begitu juga sebaliknya, bahwa yang dapat membersihkan dan mensucikan, dan mesukseskan jiwa adalah segala kebaikan, ketaatan, dan amal shaleh kepada Allah. Lalu bagaimanakah cara agar diri seseorang itu selalu terjaga dari segala bentuk kerusakan dan kerugian sehingga dapat dikatakan suskses dunia akhirat? Menurut Syekh Abu Bakar jabir al-Jaza’ri dalam kitabnya Minhajul Muslim, yaitu diikat dan dibarengi dengan adab. Seperti sebelumnya telah dibahas mengenai pentingnya adab sesama Muslim agar persatuan dan keharmonisan serta silaturrahim tetap terjaga. Namun begitu juga dengan diri, harus ada adab terhadap diri sendiri, agar kehidupan dan jiwa merasa selalu berada dalam pengaawasan Allah.

Adab seorang muslim terhadap dirinya yang perlu diketahui serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar mencapai kesuksesan dunia akhirat setidaknya ada empat poin, yaitu:

  • Taubat

Taubat secara etimologis memiliki pengertian kembali. Dalam terminologi syariat Islam yang dimaksud dengan kembali adalah kembali dari perbuatan menjauhi Allah kepada perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. kemudian dalam pengertian yang lain, kata taubat mendapat tambahan kata nasuha (at-taubata an-Nashuha) atau sering dikenal dengan istilah taubat nasuha. Kata ini menurut Anas Ismail Abu Daud dalam kitabnya Dalilu As-Sailina, memiliki pengertian berhenti melakukan dosa sekarang, menyesali dosa yang telah dilakukan kemarin, dan bertekad sungguh-sungguh untuk tidak melakukannya lagi di kemudian hari. pendapat ini dipertegas oleh firman Allah yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (Q.S. At-Tahrim [66]: 8).

Firman Allah di atas menginformasikan kepada orang-orang yang beriman, kita ia berbuat kesalahan, hendaklah ia segera memohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan atau perbuatan dosa tersebut. Rasulullah bertaubat seratus kali dalam sehari, sebagaimana sabdanya:

Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali”. (H.R. Muslim, no. 2702).

  • Muraqabah (Merasa diawasi).

Seorang Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengawasi manusia tak terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian itu seseorang harus berhati-hati dan takut bila terjatuh dalam gelombang kemaksiatan dan dosa. Baik dalam kesendirian maupun dalam keadaan ramai, bahwa semua perbuatan diri selalu dilihat oleh Allah. Karena merasa diawasi, maka seseorang berusaha dan mencoba mebuat dirinya selalu bersama Allah melalui amalan-amalan dan ibadah yang tertuju semata-mata kepada-Nya, merasa damai dengan beribadah kepada-Nya, dan merasa tertekan serta gelisah bila melakukan maksiat kepada-Nya. hal ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam firmn-Nya:

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun:. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 235).

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 52).

Oleh sebab itu siapapun di antara manusia, baik itu orang tua, anak, suami, istri, mahasiswa, dosen, tua dan muda, harus menyakini dan merasakan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini selalu dalam pengawasan Allah, tak terkecuali juga diri kita. Maka dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari harus diatur dan dijaga sebaik mungkin supaya tidak mendatangkan murka Allah.

  • Muhasabah (Introspeksi diri).

Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya ingin hidup bahagia, baik bahagia dunia maupun bahagia akhirat. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagian, misalnya membina rumah tangga, mencari keturunan, dan bahkan juga berlomba-lomba mengumpulkan harta. Tetapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni meintrospeksi diri. Mengkaji dan menelaah sejauh mana perbuatan yang dilakukan dalm dunia fana ini, apakah bermanfaat untuk akhirat ataukah tidak sama sekali. Jika menjadi pengajar, harus intropeksi diri apakah sudah memberi teladan yang baik kepada para peserta didiknya? Jika menjadi pelajar, harus itropeksi diri apakah sudah menjadi pelajar sesungguhnya atau hanya pelajar mainan? Begitu juga dengan orang tua, harus intropeksi diri apakah sudah menjadi orang tua yang teladan bagi anak-anaknya ataukah belum? Untuk kehidupan akhirat, kita harus mengkaji ulang mengenai pembinaan terhadap diri apakah sudah banyak amal atau belum, semakin hari iman apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Begitu pentingnya untuk mengintrospeksi atau mengevaluasi diri, Allah I ingatkan dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

  • Mujahadah (melawan nafsu)

Seperti yang telah dibahas dalam ilmu filsafat, bahwa jiwa manusia dihiasi oleh tiga hal penting yang dengannya jasab dapat berfungsi. Tiga hal itu adalah hati, akal, dan nafsu. Hati menjadi pembenaran terhadap sesuatu yang bersifat naqliyah, kemudian akal menjadi motor dalam mencari kebenaran aqliyah. Kemudian nafsu adalah dorongan yang menghiasi jiwa manusia untuk terus melakukan sesuatu, jika yang diperbuat itu baik maka itulah nafsu al-Muthmainnah, dan apabila yang diperbuatkan itu buruk maka itulah nafsu mazhmumah. Namun kebanyakan nafsu hanya mendorong kepada kejelekan, keburukan, dan mengarah kepada dosa. Jika manusia melihat nafsu itu sangat membahayakan keberadaan diri, maka hendaklah membentengi dan dan melawannya.

Gangguan nafsu dalam jiwa terkadang hanya hal sepele, namun akibatnya sungguh merendahkan diri pelakunya. Sebuah contoh misalnya, nafsu malas, terlihat hanya hal biasa namun akibatnya sungguh luar biasa. Seorang kepala keluarga jika telah terkena nafsu malas maka tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah akan terbangkalai. Seorang pelajar apabila telah terjangkit nafsu malas maka proses pembeljarannya akan terganggu, jika telah terganggu maka akan membuat dirinya rugi dan jatuh dalam kebodohan. Nafsu memang cenderung kepada kesesatan kecuali yang telah diberi rahmat, dalam firman-Nya dikatakan:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Q.S. Yusuf [12]: 53).

Sebagai Muslim yang beriman kepada Allah I dan Rasul-Nya, hendaklah memiliki azam atau keingginan dan tekad yang kuat dalam menklukkan hawa nafsu agar tidak larut dalam tipu daya syaitan. Niat dan tekad yang kuat inilah adab yang mulia tehadap diri sendiri.

Mudah-mudahan kita semua dapat merealisasikan empat point adab terhadap diri sendiri tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena apabila adab-adab tersebut dapat terealissikan, maka yakinlah hidup ini akan tenang, tentram, dan sukses dunia akhirat. Manusia tidak bisa luput dari salah dan dosa, namun agar dosa dan salah itu lebur maka taubat adalah kuncinya. Kemudian dalam menjalankan kehidupan dunia ini, manusia selalu dihadapkan dengan fitnah-fitnah dunia. Untuk menangkal fitnah-ftnah itu, maka menghadirkan dan merasa diri selalu diawasi oleh Allah adalah bentengnya. Untuk mengetahui sudah baik atau buruknya diri kita, bukan dengan membandingkan dengan kehidupan orang lain. Namun yang perlu dilakukan adalah menilai, menghitung, dan menintrospeksi sendiri diri ini. Dan yang terakhir, tidaklah manusia dihadapkan dengan berbagai perperangan yang paling dahsyat, melainkan perang melawan hawa nafsu. Untuk itu, terus menerus bermujahadah melawannya merupakan perkara yang sangat mulia.

Cindra al-Fikali

 Mahasiswa PAI UII 14.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *