Jagalah Ketulusan Hati

Jagalah Ketulusan Hati

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Hati merupakan organ yang memiliki fungsi yang agung bagi manusia. Hati merupakan bagian penting dari tubuh manusia, dalam membedakan nilai sebuah amalan seseorang. Hati diibaratkan sebagai raja, sedangkan anggota tubuh lainnya diibaratkan sebagai prajuritnya. Jika rajanya baik dalam memimpin, maka prajuritnya akan baik pula dalam menjalankan tugasnya. Begitupun sebaliknya, jika rajanya buruk dalam memimpin, maka prajuritnya pun akan kacau dan buruk dalam melaksanakan tugasnya.

Standar Baik dan Buruknya Amalan

Standar baik buruknya amalan seseorang, ditentukan oleh keadaan hatinya. Jika hatinya baik, maka akan baik pula amalan anggota tubuh lainnya. Namun, jika hatinya buruk, akan buruk pula amalan anggota tubuh lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati..”            (H.R. Muslim).[1]

Bagaimana hati bisa mempengaruhi amalan seseorang? Amalan hati yang dimaksud disini, yang dengannya menentukan seberapa bernilainya amalan anggota badan adalah niat. Niat juga merupakan pembeda antara ibadah dan mu’amalat, antara ibadah dengan rutinitas (aktifitas duniawi) seseorang serta antara ibadah sunnah dan wajib. Niat yang ikhlas karena Allah ﷻ merupakan komponen yang penting dalam suatu amalan dan sebagai salah satu syarat diterimanya ibadah seseorang disisi Allah ﷻ  disamping ittiba’ pada Rasulullah ﷺ.

Semua perbuatan baik yang diiringi dengan niat ikhlas karena Allah ﷻ, maka in sya Allah perbuatan tersebut bernilai ibadah disisi Allah ﷻ. Pahala yang akan diterima seseorang pun tergantung dengan seberapa kadar keikhlasan dalam niatnya.

Nilai Sebuah Amalan Tergantung Niatnya

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya semua perbuatan tentu didasari oleh niat, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya (bernilai) sesuai dengan yang diniatkannya.’” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits tersebut menunjukkan pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap amalan, dan tidak ada orang lain yang mengetahui keikhlasan seseorang, karena sejatinya niat yang ikhlas itu terletak di dalam hati. Namun, seseorang yang menanamkan keikhlasan di hatinya dalam melaksanakan amalannya, maka otomatis akan terlihat baik pula secara dzohirnya, sebagaimana perkataan ulama salaf, “Siapa yang memperbagus sarirohnya (amalan hati/batinnya), maka Allah ﷻ akan memperbagus alaniyyahnya (amalan anggota badannya)” [2][2].

Apa-apa yang diniatkan ikhlas karena Allah ﷻ akan mendatangkan juga keridhoan dan pahala dari Allah ﷻ. Selain itu, ketika ia memperoleh sesuatu yang ia niatkan, maka ia tidak akan berbangga diri serta mensyukurinya, dan apabila ia tidak mendapatkannya, ia tak pula bersedih hati dan merasa lapang dengan hal itu karena ia memahami bahwa segala sesuatu sudah Allah ﷻ tentukan kebaikan di dalamnya. Begitulah agungnya jika sesuatu diniatkan karena Allah ﷻ.

Sebaliknya, jika sesuatu yang dilakukan hanya diniatkan untuk perkara dunia, dalam arti tidak ikhlas karena Allah ﷻ, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang dia niatkan. Bahkan, amalan yang ia kerjakan tidak memberikan manfaat baginya di akhirat dan akan menimbulkan kesia-siaan belaka.  Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Hud [11]: 15-16).

Hati yang Ternodai

Dalam melakukan suatu amalan, ada kalanya di awal kita sudah meniatkan ikhlas karena Allah ﷻ. Namun, tanpa disadari di tengah-tengah kita melakukan amalan, muncul penyakit hati berupa riya’. Riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya, termasuk di dalamnya sum’ah yaitu melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang ia lakukan.

Penyakit ini amatlah berbahaya bagi seseorang, yang mana dapat merusak sebuah niat sekaligus menghapuskan amalan yang disertai riya’ didalamnya. Riya’ tergolong ke dalam syirik kecil, bahkan bisa masuk ke dalam kategori syirik besar apabila dalam niatknya tidak ada sedikitpun kerena Allah ﷻ, hanya karena pujian dan sanjungan semata.

Ulama memberikan klasifikasi terkait amalan yang disertai riya’. Seseorang yang beribadah dengan maksud pamer kepada orang lain, maka ibadahnya batal dan tidak sah. Namun jika riya’ atau sum’ah muncul si tengah ibadah, maka ada dua keadaan. Jika amalan ibadah tersebut berkesinambungan dari awal hingga akhir, misalnya sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika seseorang tidak berusaha menghilangkannya dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Keadaan yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila di sebagian shodaqohnya ada unsur riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak [3].

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menjaga kesucian hati dari noda-noda riya’ dan sum’ah yang dapat menodai amalan disebabkan rusaknya niat dalam hati. Rasulullah ﷺ  telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil, “….Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)”  (H.R. Ahmad (4/403), dishahihkan oleh Syaikh al Albani)[4] .

Menyembunyikan Amalan

Menyembunyikan amalan dari manusia merupakan cara terbaik untuk menjaga agar niat selalu ikhlas. Seperti yang kita ketahui, riya’ muncul karena hati ternodai dengan keinginan agar dipuji, disanjung, dihormati, maupun dianggap baik. Sangat kecil kemungkinan atau bahkan tidak mungkin, seseorang merasa riya’ sedangkan ia sedang sendiri ketika beramal, karena adanya perasaan seperti itu disebabkan kehadiran orang lain.

Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan Sunnah seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’[5] . Adapun ibadah yang di dalamnya ada potensi dilihat oleh orang lain, contohnya saja sholat berjamaah ke masjid, sholat jum’at, dan sebagainya, maka tidaklah mengapa. Maka agar amalan tersebut tidak sia-sia, hendaknya seseorang bersungguh-sungguh dalam menjaga keikhlasan baik sebelum, ketika, dan sesuadah melakukan amalan tersebut.

Menyembunyikan amalan tidak hanya di dunia nyata saja, namun penting juga dilakukan di dunia maya. Kemudahan dalam berbagi informasi kepada semua orang hendaknya menjadikan kita cerdas dalam membagikan informasi yang bermanfaat. Lebih utama jika seseorang tidak memposting ibadahnya seperti bersedekah dan lainnya, tanpa tujuan maslahat yang dibenarkan syari’at. Dengan menyembunyikan amalan, insyaAllah lebih selamat dari noda-noda hati yang siap menghampiri, Wallahu Ta’ala a’lam.[]

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

Marâji’:

[1] https://muslim.or.id/26163-agungnya-kedudukan-amalan-hati-dalam-islam.html

[2] Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim. Awaa’iqu ath Thalab: halaman 13.

[3] https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html

[4] https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html

[5] https://rumaysho.com/656-tanda-ikhlas-berusaha-menyembunyikan-amalan.html

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (H.R. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *