Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Dwi Andini Prihastuti*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat al Rasikh yang mencintai Allah ﷻ dan semoga pula dicintai Allah ﷻ, ketahuilah bahwa Indonesia merdeka berkat rahmat dan pertolongan dari Allah. Kemerdekaan merupakan salah satu diantara nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya di negeri ini, yang mengantarkan warganya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal ini tertuang dalam penggalan Undang-Undang Dasar 1445 yang berbunyi,

“Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”[1]

Merawat Kemerdekaan

Sudah sepatutnya kita merawat kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan negeri ini dengan senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala karunia nikmat kemerdekaan dan bukan kufur terhadap nikmat tesebut. Sesungguhnya syukur itulah yang akan menambah kenikmatan   sedangkan kufur itu mencabut kenikmatan. Allah ﷻ berfirman,

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Merawat kemerdekaan dengan mensyukuri mulai dari nikmat yang terkecil niscaya Allah akan memudahkan baginya untuk mensyukuri nimat yang besar. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi  bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278).[2]

Nikmat yang sedikit saja sulit bagi kita untuk bersyukur apalagi nikmat yang besar akan lebih sulit. Maka mintalah pertolongan dan hidayah pada Allah agar kita menjadi hamba yang pandai bersyukur.

Mengisi Kemerdekaan

Sebagai upaya mensyukuri nikmat kemerdekaan adalah mengisi kemerdekaan dengan berbagai kegiatan positif dan tidak menyelisihi syari’at. Bukan sebaliknya, kufur terhadap nikmat kemerdekaan adalah mengisi kemerdekaan dengan berbagai acara kemaksiatan dan kezaliman.

Mengisi kemerdekaan dengan cara mensyukurinya, baik dengan ucapan lisan, perbuatan dan hati. Hati yang mengakui bahwa kemerdekaan itu semuanya dari Allah. Allah yang memberikannya! Lisan kita pun menyatakan syukur kepada Allah, kita puji Allah atas nikmat yang Allah berikan kepada kita. Dan perbuatan badan kita pun kita gunakan untuk menggunakan kemerdekaan ini untuk betul-betul menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.[3] Menaati perintah-perintah Allah, menjaga shalat lima waktu berjamaah di masjid, meramaikan masjid dengan kajian dalam rangka mengangkat kejahilan di tengah-tengah umat.

Jika mengadakan perlombaan dalam rangka meramaikan kemerdekaan, maka adakan perlombaan yang mendidik umat, mubah tidak menyelisihi syariat-Nya dan mendatangkan kemaslahatan serta memberikan manfaat yang luas.

Kufur Terhadap Nikmat Kemerdekaan

Di antara kufur terhadap nikmat kemerdekaan adalah mengadakan hiburan yang melalaikan dari berdzikir kepada Allah dan shalat, pentas musik, berjoget-joget dengan penyanyinya seorang wanita. Padahal disebutkan dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah bersabda,

سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ، وَقَذْفٌ، وَمَسْخٌ، قِيلَ: وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:” ِاذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ، وَاسْتُحِلَّتِ الْخَمْرُ “

Di akhir zaman nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya menjadi buruk”. Beliau ditanya, “Kapankah hal itu terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ketika alat-alat musik dan para penyanyi wanita telah merajalela, serta khamr di anggap halal”. (HR. Ath-Thabrani)[4]

Disaat telah muncul itu semuanya, maka pasti akan muncul yang telah Rasulullah kabarkan kepada kita seperti itu. Itu menunjukkan bahwa mensyukuri nikmat bukan dengan cara berjoget-joget, dengan bernyanyi dan penyanyinya seorang wanita, dengan musik-musik yang diharamkan. Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary – demi Allah dia ia tidak mendustaiku – bahwa ia telah mendengar Nabi  bersabda,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

Sungguh benar-benar akan ada beberapa kaum dari umatku, mereka akan menganggap halal zina, sutra, arak dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari, no. 5268)[5]

Ada juga kufur nikmat yang lain, yaitu lelaki yang menyerupai wanita di acara-acara kegiatan menyemarakan kemerdekaan. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa mukhannats, yakni lelaki yang menyerupai wanita dalam hal perangai, tutur kata, dan gerakannya (bukan orientasi seksual); ada dua tipe:

  • Orang yang pada asalnya memiliki sifat tersebut tanpa menyengaja dan tanpa berusaha meniru wanita. Dia tidak berhak mendapat celaan. Akan tetapi, orang yang seperti ini dituntut untuk berusaha meninggalkan sifat tersebut secara bertahap dan kontinu. Jika dia membiarkan sifat tersebut ada pada dirinya, apalagi merasa ridha dengan keadaannya, dia berhak mendapat celaan.
  • Lelaki yang menyengaja menyerupai perangai wanita, atau sebaliknya. Orang yang seperti ini kondisinya diancam keras dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas c,

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَال

Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari, no. 5885).[6]

Kemerdekaan yang Hakiki

Hakikat kemerdekaan bukan hanya sebatas merdeka dari penjajahan. Akan tetapi hakikat yang paling hakiki dari pada kemerdekaan yaitu hati kita betul-betul merdeka dari jajahan hawa nafsu.

Ketika seseorang hatinya dikungkung oleh ikatan hawa nafsu, dia lebih menaati hawa nafsunya daripada menaati Rabbnya, sungguh hakekatnya ia masih dijajah oleh setan.

Ketika seorang hamba merdeka dari jajahan setan dan iblis serta balatentaranya, berarti ia telah diberikan oleh Allah kemerdekaan, bahkan kebahagiaan, bahkan diberikan oleh Allah apabila ia wafat di atas itu, surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Maka jadilah kita hamba-hamba yang memerdekakan diri kita dari kungkungan hawa nafsu. Jangan sampai kita mempertuhankan hawa nafsu kita. Akibatnya Allah sesatkan kita diatas keilmuan. Allah ﷻ berfirman,

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّـهُ عَلَىٰ عِلْمٍ

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai ilahnya? maka Allah sesatkan diatas keilmuan.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23)[7]

Syaikh al-‘Utsaimin mengatakan,

الْعُبُودِيَّةُ للهِ هِيَ حَقِيْقَةُ الْحُرِيَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَتَعَبَدْ لَهُ، كَانَ عَابِدًا لِغَيْرِهِ.

“Menjadi hamba Allah, itulah kemerdekaan yang hakiki, karena siapapun yang tidak menghamba kepada Allah, dia pasti menghamba kepada yang selain-Nya.”[8]

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.

Maraji’ :

* Alumni Megister Teknik Industri FTI UII

[1] https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945. Diakses pada 1 Agustus 2024.

[2] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667. Sumber https://rumaysho.com/1975-bersyukur-dengan-yang-sedikit.html. Diakses pada 1 Agustus 2024.

[3] https://www.radiorodja.com/47543-khutbah-jumat-singkat-dan-pidato-tentang-kemerdekaan/. Diakses pada 1 Agustus 2024.

[4] Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no. 5672, juga Ar Ruyani dalam Musnad-nya no. 1041, derajatnya hasan, bahkan dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 3665.

[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588; Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19 dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat.

[6] Lihat Fathul Bari 10/409.

[7] Rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Kp. Tengah, Cileungsi, Bogor, pada Jum’at, 15 Dzul Hijjah 1440 H / 16 Agustus 2019 M.

[8] Syarah Akidah Wasithiyyah – 365. Sumber https://bbg-alilmu.com/archives/54481. Diakses pada 1 Agustus 2024.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *