Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an

Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an

Abu Musa Agus Fadilla Sandi*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh.

Dunia kerja modern saat ini mengalami fenomena yang memprihatinkan, seperti meningkatnya angka pengunduran diri karyawan (resign)[1] dan semakin meluasnya isu-isu tentang lingkungan kerja yang tidak sehat (toxic).[2] Tentu saja fenomena ini menuntut kita untuk mengevaluasi kembali model kepemimpinan dan pola hubungan antara pemimpin dan karyawan dalam sebuah organisasi.

Dalam Al-Qur’an ternyata terdapat petunjuk yang sangat relevan mengenai prinsip kepemimpinan yang dapat menjadi fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Allah ﷻ memberikan contoh-contoh teladan tentang pemimpin dan karyawan yang sukses. Maka dari itu, tulisan ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana rahasia kesuksesan karyawan dan pemimpin perspektif Al-Qur’an.

Karyawan yang Baik

Karyawan yang baik adalah aset penting bagi keberhasilan sebuah lembaga. Al-Qur’an menggambarkan kriteria karyawan sukses melalui kisah Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 26,

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai ayahku, jadikanlah dia sebagai pekerja kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk dipekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash [28]: 26).

Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa Nabi Musa layak untuk dipekerjakan karena ia memiliki dua sifat mulia ini: kekuatan dan amanah. Pekerja terbaik adalah yang memiliki keduanya—kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dan amanah dalam menjaga kepercayaan, tanpa berkhianat.[3] Dalam Tafsir Al-Baghawi, Nabi Musa dianggap kuat karena mampu mengangkat batu besar yang biasanya membutuhkan sepuluh hingga empat puluh orang, dan amanah karena menjaga kehormatan putri Syaikh Madyan (Nabi Syu’aib) dengan meminta mereka berjalan di belakangnya agar angin tak berhembus membentuk lekuk tubuh mereka.[4]

Kekuatan dan amanah adalah dua elemen penting untuk menjadi karyawan yang sukses. Kekuatan mencakup kemampuan fisik, mental, serta keahlian dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Amanah mencakup kejujuran, integritas, dan tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan. Modal kekuatan akan memastikan pekerjaan diselesaikan dengan efisien, sementara modal amanah akan menjaga kepercayaan dan kejujuran selama proses pelaksanaannya.

Di masa kini, kekuatan dapat bermakna kompetensi dalam keahlian dan kemampuan menghadapi tantangan kerja. Adapun amanah berarti menjaga etika kerja, tidak menyalahgunakan kepercayaan, dan berkomitmen pada tanggung jawab. Karyawan yang mampu memadukan kedua sifat ini akan menghasilkan kinerja maksimal dan penuh keberkahan.

Sebagai karyawan, mari belajar dari kisah Nabi Musa. Sudahkah kita cukup kompeten dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab? Sebagai pemimpin, jadikan kekuatan dan amanah sebagai pedoman dalam memilih tim. Karyawan terbaik adalah mereka yang bekerja dengan tangan yang terampil, hati yang tulus, dan jiwa yang jujur. Ikhtiar memadukan keahlian dan integritas akan menjadikan seseorang sebagai karyawan yang sukses berkualitas.

Pemimpin yang Saleh

Menjadi seorang pemimpin bukan berarti bebas bertindak sesuka hati. Setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, yang akan menimbang setiap kebaikan dan membalas semua perbuatan. Secara umum, pemimpin bermakna orang yang memimpin;[5] dalam konteks lainnya pengertian ini dekat dengan definisi bos, yakni seseorang yang berkuasa mengawasi dan memberi perintah kepada bawahan, baik dalam organisasi maupun perusahaan.[6]

Al-Qur’an telah membahas tema kepemimpinan yang sukses yang terdapat dalam kisah Syekh Madyan dan Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 27,

قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakan hingga sepuluh tahun, itu adalah kebaikan darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS. Al-Qashash [28]: 27)

Ada dua aspek utama yang menunjukkan kesalehan Syekh Madyan sebagai seorang pemimpin. Pertama, kejelasan akad kerja yang ditawarkan, yaitu durasi delapan tahun dengan opsi tambahan hingga sepuluh tahun sebagai bentuk kebaikan dari Nabi Musa. Umar bin Khattab  z menjelaskan bahwa di antara bentuk kebaikan dalam menjaga hubungan adalah dengan setia pada komitmen yang telah disepakati.[7]

Kedua, kemudahan jenis pekerjaan yang dijanjikan. Syaikh Madyan menegaskan bahwa pekerjaannya tidak akan memberatkan, melainkan ringan dan mudah dijalani. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang saleh seharusnya senantiasa berusaha memperbaiki akhlaknya, dan apa yang diharapkan darinya menjadi nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.[8]

Kisah di atas mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin yang sukses adalah tentang memperlakukan bawahan dengan kejelasan dan kebaikan. Jadilah seperti Syaikh Madyan yang menjaga hak dan kewajiban karyawannya dengan bijaksana, serta bermuamalah baik dengan tidak memberatkan karyawannya.

Ikhtitam

Al-Qur’an memberikan pedoman yang sangat relevan dalam dunia kerja, baik untuk karyawan maupun pemimpin. Karyawan yang baik adalah mereka yang memiliki kekuatan dalam kompetensi dan amanah dalam menjalankan tugas. Sedangkan, pemimpin yang saleh adalah mereka yang memperjelas akad kerja dan mempermudah pekerjaan karyawannya.

Oleh karenanya, baik karyawan maupun pemimpin, mari kita amalkan nilai-nilai kekuatan, amanah, kejelasan dan kebaikan dalam kehidupan profesional kerja kita. Jadikan kisah ini sebagai inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi pada lingkungan kerja yang positif. Bersama-sama kita wujudkan dunia kerja yang produktif dan penuh keberkahan dengan mengikuti teladan yang telah dicontohkan di dalam Al-Qur‘an.

Maraji’ :

* Ketua Yayasan Markaz Studi Al-Qur’an

[1] Intan Rakhmayanti Dewi, “Musim Resign Bakal Makin Ganas, Lengah Bakal Ditinggal Karyawan,” CNBC Indonesia, diakses 1 Desember 2024, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240625132825-37-549132/musim-resign-bakal-makin-ganas-lengah-bakal-ditinggal-karyawan.

[2] “1 dari 5 Orang Merasa Tempat Kerjanya Toxic, Ada Apa?,” diakses 1 Desember 2024, https://lifestyle.kompas.com/read/2023/07/17/201538020/1-dari-5-orang-merasa-tempat-kerjanya-toxic-ada-apa?page=all#.

[3] Abdul Rahman bin Nasser bin Abdullah Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2000), h. 614

[4] Abū Muḥammad al-Ḥusayn ibn Mas’ūd ibn Muḥammad ibn al-Farrā’ al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, Ar-Rābi’ah (Riyadh: Dār Ṭayyibah li an-Nashr wa at-Tawzī’, 1417), h. 530.

[5] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemimpin.

[6] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bos.

[7] al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, h. 531.

[8] Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan,  h. 614.

Download Buletin klik di sini

Adab Ketika Hujan

Adab Ketika Hujan

Al Katitanji

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Rasa syukur yang mendalam dan pujian yang tinggi hanya untuk Allah ﷻ yang telah menurunkan air hujan dari ketinggian langit. Demikianlah hujan patuh dan tunduk mengikuti perintah Rabbnya membasahi bumi. Bagi setiap Muslim sangat penting mempelajari adab ketika hujan karena dengannya ia akan banyak mendapatkan pahala disisi Allah ﷻ. Agar dapat meraih pahala di sisi Allah untuk kehidupan hari kemudian, berikut adalah beberapa adab ketika hujan:

Hujan Membawa Berkah

Ketahuilah bahwa hujan membawa keberkahan untuk penduduk bumi, membawa banyak kebaikan untuk para petani, dan kesuburan bagi tumbuhan yang diharapkan hasilnya.

Allah ﷻ berfirman,

وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً مُّبَٰرَكًا فَأَنۢبَتْنَا بِهِۦ جَنَّٰتٍ وَحَبَّ ٱلْحَصِيدِ

Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak manfaatnya) lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qâf [50]: 9).

Sebagian orang mencela hujan karena aktivitas mereka terganggu, rencana mereka terhambat, janji-janji mereka dijadwal ulang dan sebagainya. Seorang Mukmin seharusnya menahan lisan agar tidak mencela turunnya air hujan, karena mencela air hujan adalah dosa. Siapa yang mencela hujan, dia telah mencela pencipta hujan itu sendiri. Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, Allah ﷻ berfirman,

يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِى الأَمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246).

Hadis ini dasar larangan mencela ciptaan Allah; mencela siang, malam, waktu, termasuk juga di dalamnya mencela cuaca karena dengan takdir Allah-lah terjadinya siang dan malam juga terjadinya panas dan hujan.[1]

Hujan adalah Rahmat Allah

Ketahuilah turunnya air hujan bagian dari rahmat Allah ﷻ yang diharapkan kehadirannya. Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya,

وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS Asy Syura [42]: 28).

Dalam Tafsir Muyassar dijelaskan, hanya Allah semata yang menurunkan hujan dari langit, dengannya Allah ﷻ menyelamatkan manusia setelah mereka berputus asa darinya, Dia menebarkan rahmat-Nya diantara makhluk-Nya lalu Dia meratakan hujan kepada mereka, Dialah penolong yang mengurusi urusan hamba-hamabNya dengan kebaikan dan karunia-Nya yang maha terpuji dalam pertolongan dan pengaturan-Nya.[2]

Memperbanyak Doa Ketika Hujan Turun

Dianjurkan untuk memperbanyak doa di waktu-waktu mustajab. Di antara waktu tersebut adalah ketika turun hujan. Berdasarkan salah satu riwayat dari Sahl bin Sa’d z, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078)

Dalam riwayat lain Nabi ﷺ bersabda,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (HR. Al Hakim)[3]

Doa Ketika Ada Angin Kencang

Ketika ada angin kencang dianjurkan membaca doa sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah x, ia berkata, “Apabila ada angin bertiup, Nabi ﷺ membaca doa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

Allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira mâ fîhâ wa khaira mâ ursilat bihi wa a’ûdzubika min syarrihâ wa syarrimâ fîhâ wa syarri mâ ursilat bihi” [Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus].” (HR. Muslim, no. 2122)

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah z, Nabi ﷺ membaca doa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا.

Allâhumma innî as-aluka khairahâ wa a’ûdzubika min syarrihâ” [Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini].” (HR. Abu Dawud, no. 3230, Ibnu Majah no. 1568)[4]

Doa Ketika Hujan Turun

Ketika mendapati hujan turun, dianjurkan untuk membaca doa, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, “Nabi ﷺ ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Allâhumma shayyiban nâfi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan An Nasâ’I no. 1523).

Dalam riwayat lain, beliau membaca,

اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا

Allâhumma shayyiban hanî’an” [Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat].” (HR. Abu Daud 5101 dan dishahihkan al-Albani)

Dzikir Setelah Turun Hujan

Dianjurkan untuk membaca doa tatkala hujan sudah reda. Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi ﷺ bersabda,

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ.

Muthirnâ bi fadhlillâhi wa rahmatih” [Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah].” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71).

Dzikir Ketika Melihat atau Mendengar Petir

Di antara adab ketika melihat atau mendengar petir, dianjurkan membaca dzikir. Dari Amir, dari ayahnya Abdullah bin Zubair berkata, “Apabila beliau mendengar petir, beliau berhenti bicara. Kemudian beliau mengatakan,

سُبْحَانَ الَّذِى يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ.

Subhânalladzî yusabbihur ra’du bihamdihi wal malâikatu min khîfatih” [Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya].”[5] (HR. Malik, no. 1839 dalam al-Muwatha’ dan Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 723).[6]

Doa Agar Hujan Berhenti   

Ketika turun hujan, kita berharap agar hujan yang Allah ﷻ turunkan menjadi hujan yang mendatangkan berkah dan bukan hujan pengantar musibah. Karena itu, ketika hujan datang semakin lebat, dan dikhawatirkan membahayakan lingkungan, kita berdoa memohon, agar hujan dialihkan ke daerah lain, agar lebih bermanfaat.[7]

Di Madinah pernah terjadi hujan satu pekan berturut-turut, hingga banyak tanaman yang rusak dan binatang kebanjiran. Para sahabat meminta pada Nabi ﷺ supaya berdoa agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau ﷺ berdoa,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا، للَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Allâhumma hawâlainâ walâ ’alainâ, Allâhumma ’alal âkâmi wal jibâli, wazh zhirâbi, wa buthûnil awdiyati, wa manâbitisy syajari” [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan membahayakan kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” (HR. Bukhari 1013 & Muslim 2116).[8]

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, orang tua, para guru dan memberikan pertolongan serta hidayah-Nya untuk dapat mengamalkan ilmu yang kita dapatkan. Âmîn.

Maraji’ :

[1] https://khotbahjumat.com/2356-mentadabburi-kebesaran-allah-pada-hujan.html. Diakses pada 20 November 2024.

[2] https://tafsirweb.com/9118-surat-asy-syura-ayat-28.html. Diakses pada 20 November 2024.

[3] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahihShohihul Jaami’ no. 1026.

[4] Majdi bin Abdul Wahab al Ahmad. Syarh Hisnul Muslim. (Tashih) Said bin Ali bin Wahfi al Qahthani, no. 166. Sukoharjo: Al Qowam. Cet. Ke-II. h. 284.

[5] QS. ar Ra’du [13]: 13.

[6] HR. Malik dalam Al Muwatha’ no. 1839, Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 723 dan sanadnya dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Adzka no. 230 dan Albani dalam Shahih Adabul Mufrad no. 556.

[7] Ammi Nur Baits. “Amalan Ketika Hujan.” https://konsultasisyariah.com/23819-amalan-ketika-hujan-bagian-02.html. Diakses pada 20 November 2024.

[8] Majdi bin Abdul Wahab al Ahmad. Syarh Hisnul Muslim. (Tashih) Said bin Ali bin Wahfi al Qahthani, no.170. Sukoharjo: Al Qowam. Cet. Ke-II. h. 288.

Download Buletin klik di sini

Taat dan Tawakal Kunci Menghilangkan Kecemasan

Taat dan Tawakal Kunci Menghilangkan Kecemasan

Arviyan Wisnu Wijanarko

*Alumni Ahwal Syakhshiyyah FIAI UII

 

Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan berbagai generasi setidaknya kita melihat bahwa Generasi Z atau yang biasa dikenal dengan Gen-Z ini sering sekali menjadi sorotan. Gen-Z merupakan istilah yang sering disangkut pautkan kepada orang-orang dengan rentang usia untuk saat ini yaitu sekitar 12-27 tahun di mana ciri khususnya generasi ini lebih melek terhadap kemajuan internet dan teknologi.

Dalam Islam, rentang usia Gen-Z ini mayoritas sudah memasuki masa baligh. Baligh sendiri merupakan istilah yang digunakan dalam terminologi Islam untuk mengkategorikan orang-orang tertentu bahwa telah mencapai usia dewasa dan dapat dibebankan kewajiban-kewajiban Islam di mana untuk mencapai kategori dewasa tersebut telah memenuhi setidaknya 3 syarat yaitu sempurna berumur 15 tahun, keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan.[1]

Sadar ataupun tidak sadar, Gen-Z yang masuk pada usia baligh sering mengalami gangguan kecemasan, khawatir dengan masa depan, bingung, tidak memiliki arah dan ketidakpastian atas keberlangsungan hidup serta overthinking atas kehidupan yang mana hal ini dikenal dengan Quarter Life Crisis.[2]

Tidak Ada Keraguan dalam Islam

Beruntungnya, menjadi Gen-Z yang beragama Islam sangat mudah mengatasi kecemasan yang berlebih. Sebagai kaum Muslimin harus percaya bahwa segala keresahan memiliki jalan keluar yang mana jalan keluar tersebut berada dalam satu panduan atau petunjuk berupa kitab yang suci dinamakan Al-Qur’an.

Sebagaimana firman Allah ﷻ,

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 2)

Al-Qur’an menjadi kitab yang sudah pasti tidak ada keraguan di dalamnya, dari awal al-Fatihah hingga akhir surah an-Nas tidak akan menemukan sebuah keraguan di dalamnya. Kemudian ayatnya berbunyi bahwa kitab ini sudah tidak diragukan dan menjadi “huda” pedoman serta petunjuk bagi orang Muslim yang bertakwa.

Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka menjelaskan bahwa sesungguhnya maksud dari “huda” adalah sebuah jawaban atas doa pada surah al-Fatihah yaitu meminta agar ditunjukan jalan yang lurus dan Allah ﷻ menjawab langsung dalam surah al-Baqarah ayat 2 ini dengan diberikannya kitab ini (Al-Qur’an) sebagai petunjuk yang tidak ada keraguan di dalamnya.[3]

Cara Menghilangkan Kecemasan Hidup

Dari sana Gen-Z dapat mengambil petunjuk untuk menghilangkan kecemasan dalam hidup serta kebimbangan akan masa depan. Dalam rangkuman ini akan menjelaskan bagaimana cara yang dianjurkan oleh Al-Qur’an untuk menghilangkan kecemasan hidup, memikirkan masa depan ataupun apabila sedang menghadapi cobaan.

  1. Taat Pada Ketentuan Allah ﷻ.

Tidak melampaui batas, jangan melanggar, taat sepertinya adalah kata-kata yang simple hanya mengikuti norma-norma yang ada, namun entah kenapa manusia sering kali membangkang dan melampaui batasan. Sehingga dalam hadis pun telah diungkapkan bahwa sesungguhnya semua manusia itu tempatnya salah, oleh karena itu terkadang kesalahan-kesalahan kecil pun tidak luput dari diri manusia. Karena manusia adalah tempatnya salah, agar manusia kembali kepada ketenangan yang dijanjikan oleh Allah ﷻ maka hendaknya manusia yang melakukan kesalahan tersebut sesegera mungkin untuk bertaubat, karena itu adalah sebaik-baiknya manusia.

Agar supaya tidak melanggar ketentuan Allah ﷻ serta melampaui batas maka Allah ﷻ telah memberikan sebuah petunjuk berupa Al-Qur’an yang mana orang-orang yang mengikuti petunjuk tersebut niscaya akan selamat. Bukankah kecemasan, bimbang dan takut akan masa depan yang tidak pasti serta hal lainnya timbul karena rasa takut akan tidak selamat?

Manusia diberikan akal dan pengetahuan oleh Allah ﷻ , akal dan pengetahuan tersebut digunakan oleh manusia untuk mencapai kedamaian, kebahagiaan, dan kenikmatan. Namun hal tersebut belum menjamin keselamatan karena bisa jadi kedamaian, kebahagiaan, serta kenikmatan yang didapatkan dari hasil yang tidak diridhai oleh Allah ﷻ sehingga pada masanya nanti tetap saja tidak selamat, oleh karena akan mencapai masa tidak selamat, timbullah kecemasan untuk menyelamatkannya. Kecemasan akan senantiasa didapat apabila tetap melanggar ketentuan Allah ﷻ.

Ketentuan-ketentuan Allah ﷻ wajib ditaati apabila ingin mencapai ketenangan, kedamaian, dan kenikmatan yang hakiki. Sebagai seorang muslim pasti percaya kehidupan setelah kematian yang kekal dan abadi, apabila ketentuan-ketentuan Allah ﷻ tidak dilanggar pasti tidak akan menimbulkan kecemasan di dunia maupun di akhirat. Walaupun manusia pasti terkadang terjerumus tidak sesuai dengan ketentuan Allah ﷻ, alangkah sempurnya sesegera mungkin kembali kepada-Nya dengan taubat nasuha.

  1. Tawakal Kepada Allah ﷻ.

Rasa cemas dan takut memang terkadang muncul dalam diri manusia oleh karena manusia pengetahuannya sangat terbatas. Kecemasan dan ketakutan ini terkadang menjadi dalil manusia berbuat melampaui batas tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan seperti misal mendatangi dukun, ahli nujum, dan lain sebagainya hanya untuk mendapatkan pengetahuan tentang masa depannya.

Dalam rasa takut dan cemas yang luar biasa hebat, Gen-Z hendaknya menghadirkan Tuhan dalam setiap rasa cemasnya. Mungkin Gen-Z sudah jarang datang ke dukun, ahli nujum, dan atau metode yang lainnya, akan tetapi lebih sering datang ke night club untuk sekedar menghilangkan beban pikiran dan yang paling sering yaitu galau berkepanjangan.

Panduan yang diberikan oleh Al-Qur’an agar Gen-Z selalu tawakal kepada Allah ﷻ sebagaimana surah Thaha memberikan contoh ketika Nabi Musa yang diselimuti rasa cemas dan takut menyelubungi hatinya saat ingin berdakwah kepada Fir’aun. Seketika Allah ﷻ menjamin Nabi Musa u ingat kepada-Nya maka rasa takut dan cemas seketika sirna dan menjamin semua akan baik-baik saja.[4]

Ketenangan juga turun ketika Nabi Muhammad n serta sahabatnya Abu Bakr yang tengah bersembunyi di dalam gua oleh karena dia diincar dan diburu oleh pemuda Quraisy. Abu Bakr risau, cemas akan masa depan Islam apabila mereka berdua diketahui oleh musuh dan dibunuh. Kemudian Rasulullah ﷺ memberikan kalimat tawakal yang membuat ketenangan datang kepada mereka berdua “innallaha ma’ana” sehingga terjamin sudah keselamatan Islam.

Wallâhu’alam bish shawâb.

Maraji’ :

[1] Yazid Muttaqin. “Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh” https://nu.or.id/syariah/tiga-tanda-seorang-anak-dikatakan-baligh-ZOGmU. Diakses pada 13 November 2024

[2] Fransiska Kaligis. “Riset: Usia 16-24 Tahun Adalah Usia Kritis Untuk Kesehatan Mental Remaja dan Anak Muda Indonesia” https://theconversation.com/riset-usia-16-24-tahun-adalah-periode-kritis-untuk-kesehatan-mental-remaja-dan-anak-muda-indonesia-169658. Diakses pada 13 November 2024

[3] Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. Tafsir Al Azhar Jilid 1. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD. 1990 M, Hal 114.

[4] Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. Tafsir Al Azhar Jilid 6. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD. 1990 M, Hal 4431-4432.

Download Buletin klik di sini

Hukum Ruqyah Dan Tata Cara Meruqyah

Hukum Ruqyah Dan Tata Cara Meruqyah

Al Katitanji

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Ketahuilah bahwa ruqyah bukanlah pengobatan alternatif yang dipahami oleh keumuman orang. Justru seharusnya ruqyah menjadi pilihan pertama pengobatan tatkala ada yang sakit. Karena kesembuhan datangnya dari Allah ﷻ, maka memohonlah kebaikan dan kesembuhan kepada Allah ﷻ sebelum kita mendatangi dokter atau tabib.

Allah ﷻ berfirman,

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,” (QS. Asy Syu’ara [26]: 80).

Hukum Ruqyah

Ruqyah adalah penyembuhan suatu penyakit dengan membaca ayat ayat suci al Qur’an, atau doa-doa kepada Allah.[1] Atau definisi lain Ruqyah adalah membacakan sesuatu pada orang yang sakit, bisa jadi karena terkena ‘ain (mata hasad), sengatan, sihir, racun, rasa sakit, sedih, gila, kerasukan, dan lainnya.[2]

Ruqyah hukum boleh jika memenuhi tiga syarat sebagaimana perkataan Ibnu Hajar v,

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الرُّقَى عِنْدَ اجْتِمَاعِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ أَنْ يَكُونَ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَبِاللِّسَانِ الْعَرَبِيِّ أَوْ بِمَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِهِ وَأَنْ يُعْتَقَدَ أَنَّ الرُّقْيَةَ لَا تُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا بَلْ بِذَاتِ اللَّهِ تَعَالَى.

Para ulama telah bersepakat bahwa ruqyah itu diperbolehkan jika memenuhi 3 persyaratan: (1) Ruqyah dengan firman Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifatNya; (2) Ruqyah dengan bahasa Arab atau jika selain bahasa Arab maka harus dipahami maknanya; (3) Hendaknya meyakini bahwasanya ruqyah tidaklah memberi pengaruh dengan sendirinya akan tetapi kembali kepada Allah.”[3]

Berdasarkan hadits dari Auf bin Malik ia berkata, “Kami diruqyah ketika masa Jahiliyah, lalu kami tanyakan, ‘Wahai Rasulullah ﷺ bagaimana pendapat baginda tentang hal itu?’ Maka beliau ﷺ bersabda,

اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِركًا

Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku, tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Muslim no. 2200).

Tata Cara Meruqyah[4]

  1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah ﷻ.
  2. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah ﷻ saat membaca dan berdoa.
  3. Ruqyah harus dengan al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.
  4. Membaca surah al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surah al Falaq, an Nâs, al Ikhlash, al Kafirun atau membaca seluruh al Qur’an.
  5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.
  6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi ﷺ. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.
  7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah.

Dalam riwayat disebutkan bahwa ‘Aisyah x pernah ditanya tentang tiupan Nabi ﷺ dalam meruqyah, Ia menjawab, “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR. Muslim)[5]

Dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan, “Maka aku membacakan al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. (HR. Abu Dawud, 4/3901).[6]

  1. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun.

Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah z, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

كُلُوْا الزَيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة

Makanlah minyak zaitun, dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah” (Hadits hasan, Shahihul Jami’ 2/4498).

  1. Jika meniupkan ke air, setelah itu airnya diminumkan kepada yang sakit, atau diusapkan kepada bagian tubuhnya yang sakit, atau dimandikan dengan air tersebut.

Dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan, “Maka aku membacakan al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. (HR. Abu Dawud, 4/3901).[7]

  1. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[8]

Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah , tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. (H.R. Muslim)[9]

  1. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya membaca doa-doa ruqyah.

Disebutkan dalam riwayat bahwa Utsman bin Abi Ash z mengadukan rasa sakit pada bagian tubuhnya kepada Nabi ﷺ semenjak ia masuk Islam. Lalu Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, agar meletakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillâh, 3 kali). Lalu ucapkan doa berikut,

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti.” (HR. Muslim no.2202)[10]

Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali. Atau membaca,

بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا

Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini.” (Shahihul Jami’, no. 346.)

Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[11]

  1. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi ﷺ meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Dari Ubay bin K’ab z, ia berkata, “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau ﷺ. Maka aku mendengar Beliau ﷺ membentenginya (ta’widz) dengan surah al Fatihah.” (HR. Ibnu Majah).[12]

Semoga Allah karuniakan kepada kita sehat dan ‘âfiyah.

Maraji’ :

[1] Firanda Andirja. Ruqyah Syar’iyah Panduan Singkat Bacaan dan Tata Cara Ruqyah Sesuai Sunnah. Firanda.com (PDF). h. 1.

[2] Muhammad Abduh Tuaskial. “Kriteria Ruqyah yang Dibolehkan” https://rumaysho.com/2383-kriteria-ruqyah-yang-dibolehkan.html. Diakses pada 12 November 2024.

[3] Fathul Baari 10/195.

[4] Risalah ini dikutip dari Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah. Dikoreksi Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Jibrin. Dan Abdullah bin Muhammad As Sadhan. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah. Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr. Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun 1426H. Referensi: https://almanhaj.or.id/2693-tata-cara-ruqyah-yang-benar.html. Diakses pada Rabu, 21 Jumadil Akhir 1445 H/ 3 Januari 2023 M.

[5] Kitab As Salam, 14/182.

[6] Kitab Al Fathu Ar Rabbani, 17/184.

[7] Kitab Al Fathu Ar Rabbani, 17/184.

[8] Fathul Bari 21/323. Cara ini dikatakan oleh Az Zuhri merupakan cara Nabi ﷺ dalam meniup.

[9] Syarah An Nawawi 14/180.

[10] Majdi bin Abdul Wahhab al Ahmad. Syarah Hishnul Muslim (ditashhih oleh Syaikh Said bin Ali bin Wahfi al Qahthani). Cairo: Al Maktabah Al Islamiyah. 2006. Cet ke-1. h.376. doa nomor 124.

[11] Fathul Bari (21/323). Cara ini dikatakan oleh Az Zuhri merupakan cara Nabi ﷺ dalam meniup. https://almanhaj.or.id/2693-tata-cara-ruqyah-yang-benar.html. Diakses pada 12 November 2024.

[12] Al Fathu Ar Rabbani (17/183). https://almanhaj.or.id/2693-tata-cara-ruqyah-yang-benar.html. Diakses pada 12 November 2024.

Download Buletin klik di sini

Menjadi Pemuda Terbaik Zaman Now

Menjadi Pemuda Terbaik Zaman Now

Agus Fadilla Sandi*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’d.

Di era modern yang penuh dengan tantangan ini, banyak pemuda zaman now yang mengalami kebingungan dalam menentukan arah hidup. Berdasarkan data terbaru, pemuda di Indonesia kini berjumlah sekitar 64 juta orang atau 24% dari populasi. [1] Jumlah yang signifikan ini menghadapi berbagai persoalan serius, salah satunya adalah kesehatan mental. [2] Laporan menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga pemuda di Indonesia mengalami masalah mental, seperti kecemasan dan depresi, yang tentunya ini dapat memengaruhi perkembangan dan potensi mereka.

Melihat besarnya tantangan tersebut, maka memahami dan membimbing generasi muda dalam menghadapi era modern dengan ketangguhan dan karakter unggul menjadi suatu keharusan yang mendesak. Oleh sebab itu, melalui artikel ini, kita akan menelaah beberapa kriteria pemuda terbaik menurut perspektif Islam. Diharapkan kajian ini mampu mendorong para pemuda zaman now untuk tumbuh menjadi sosok pribadi yang unggul dan bermanfaat bagi diri mereka sendiri, keluarga serta masyarakat sekitarnya.

Pertama, Pemuda yang Bermanfaat bagi Sesama

Dalam Islam, kualitas terbaik seseorang diukur dari seberapa bermanfaat ia bagi orang lain. Berkaitan dengan konteks pemuda, maka dapat diartikan ketika seorang pemuda aktif memberi dampak positif —baik di dunia nyata maupun digital maka sejatinya ia berperan dalam misi yang mulia dan mengikuti salah satu karakter terbaik yang disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dari Jabir bin ‘Abdillah z, Rasulullah n bersabda,

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426).[3]

Dalam hadis tersebut, Rasulullah ﷺ menekankan bahwa orang yang paling baik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Manfaat yang diberikan dapat berupa materi maupun non-materi. Dengan demikian, pemuda zaman now seharusnya berupaya menjadi individu yang mampu memberi manfaat melalui ilmu, bergabung dalam komunitas atau organisasi yang punya nilai manfaat terhadap umat, berbagi pengetahuan di media sosial, atau bahkan memberikan nasihat yang konstruktif kepada teman-teman dekatnya. Jangan lewati hari tanpa memberi arti!

Kedua, Pemuda Beradab

Menjaga adab yang baik merupakan kunci untuk menjadi pemuda terbaik di era modern ini. Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

“Sesungguhnya, orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi No. 2018).[4]

Nabi Muhammad ﷺ adalah sosok yang sangat beradab dan selalu mendorong umatnya untuk memiliki adab yang baik. Melalui hadis ini, beliau menggarisbawahi pentingnya berperilaku baik sebagai kriteria utama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bagi pemuda zaman now, menerapkan adab yang baik dapat diamalkan dalam keseharian dengan menunjukkan sikap sopan santun saat berinteraksi di dunia nyata maupun di media sosial, menghindari perdebatan negatif, dan tidak menyebarkan informasi hoaks yang dapat merugikan orang lain. Jadilah pribadi yang beradab, jangan sampai menjadi biadab!

Ketiga, Pemuda Pembelajar dan Pengajar Al-Qur‘an

Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah karakter terbaik seorang pemuda. Disebutkan dalam riwayat dari Utsman bin ‘Affan berkata bahwa Rasulullah  ﷺ bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 5027).[5]

Hadis ini menjelaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an mendapatkan kedudukan tinggi, baik di dunia maupun di akhirat.

Para pemuda memiliki kesempatan untuk meraih predikat terbaik ini dengan sungguh-sungguh belajar Al-Qur’an, mulai dari memperbaiki bacaannya, mengikuti kajian tajwid, tafsir, tadabbur maupun tahfizh Al-Qur’an baik secara offline atau online, berpartisipasi dalam organisasi atau aktivitas yang mendekatkan diri dengan Al-Qur‘an, serta ikut menyebarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui media sosial. Sungguh hari terbaik kita adalah hari yang dibersamai oleh Al-Qur’an!

Keempat, Pemuda Beriman dan Pejuang Kebenaran

Keprihatinan terhadap krisis iman dan keberanian di kalangan pemuda saat ini menjadi semakin nyata. Banyak pemuda yang terjebak dalam arus informasi dan godaan yang mengikis nilai-nilai spiritual dan moral. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah ﷻ telah mengisahkan sekelompok pemuda yang teguh beriman kepada Tuhan mereka dan mencari perlindungan untuk menjaga iman mereka. Allah ﷻ berfirman,

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِٱلْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا۟ بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَٰهُمْ هُدًى

“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. al-Kahf [18]: 13)

Sudah seharusnya pemuda zaman now memiliki iman yang kokoh dan keberanian dalam memperjuangkan kebenaran. Dalam praktik sehari-hari, pemuda dapat mengupayakan nilai mulia tersebut dengan cara aktif mengikuti kajian penguat keimanan, berteman dengan orang-orang saleh, menggunakan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai positif, serta ikut andil dalam aktivitas sosial yang mendukung keadilan. Dari Abu Sa’id Al Khudri z, Nabi ﷺ bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). [6]

Ikhtitam

Guna menghadapi tantangan masa kini diperlukan pemuda terbaik zaman now dengan karakter unggul, seperti; keberadaannya yang bermanfaat, pribadinya yang beradab, bermental pembelajar dan pengajar Al-Qur’an, tumbuh dengan keimanan serta berani memperjuangkan kebenaran. Kriteria-kriteria ini sungguh didambakan agar lahir para pemuda yang tampil di permukaan menjadi agen perubahan. Semoga Allah mudahkan. Âmîn.

* Ketua Yayasan Markaz Studi Al-Qur’an

Maraji’ :

[1] “Statistik Pemuda Indonesia 2023 – Badan Pusat Statistik Indonesia,” diakses 30 Oktober 2024, https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/29/18781f394974f2cae5241318/statistics-of-indonesian-youth-2023.html.

[2] GoodStats Data, “1 dari 3 Remaja Indonesia Alami Masalah Kesehatan Mental,” GoodStats Data, diakses 30 Oktober 2024, https://data.goodstats.id/statistic/1-dari-3-remaja-indonesia-alami-masalah-kesehatan-mental-GkFkh.

[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah dan dinilai hasan oleh Al-Albani. Diambil dari karya Ibn Hibban dan Al-Quda’i dalam Musnad Ash-Shihab, serta Mu’jam Al-Awsat oleh Ath-Thabrani. “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 31 Oktober 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/91818.

[4] “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 31 Oktober 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/36063.

[5] “شرح وترجمة حديث: خيركم من تعلم القرآن وعلمه,” موسوعة الأحاديث النبوية, diakses 31 Oktober 2024, https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/5913.

[6] Imam an-Nawawi, Syarah Riyadhus Shalihin jilid 1 (Gema Insani, 2023), h. 217.

Download Buletin klik di sini

Menyikapi Perbedaan Dalam Perspektif Historis

Menyikapi Perbedaan Dalam Perspektif Historis

Karimatul Ummah

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)

 

Dewasa ini umat Islam menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup berat. Selain tantangan eksternal seperti perang pemikiran dan peradaban, tantangan internal juga ikut menggerayangi tubuh umat Islam. Bahkan tantangan dari dalam inilah yang sebenarnya sangat berbahaya. Salah satunya adalah isu perbedaan yang sekarang ini -bagi sebagian besar kita- masih belum dapat menyikapinya dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri lagi, banyaknya berbagai golongan dan bahkan aliran yang ada dalam tubuh Islam sekarang ini memicu kontroversi tersendiri di kalangan kita, khususnya umat Islam di Indonesia. Tengok saja perdebatan yang sering terjadi antara sesama Muslim. Satu golongan menyalahkan golongan yang lainnya. Satu kelompok merasa hanya kelomoknya sajalah yang paling benar.

Maka serasa sangat penting sekali jika kita mencoba membuka mata dan pikiran kita lagi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Umat Islam sekarang harus pandai dalam menanggapi kondisi umat seperti ini. Di tengah panasnya temperatur perang pemikiran dan musuh-musuh Islam yang berada dalam selimut. Untuk itulah tulisan ini mencobanya memberikan pencerahan berpikir dalam menanggapi itu semua dari perspektif sejarah.

Perbedaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Perbedaan itu merupakan hal yang lumrah adanya. Karena pada dasarnya setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya. Ada yang diberikan Allah kepandaian dan kecerdasan yang baik dalam memahami ajaran agama Islam, namun ada juga yang tidak. Dari kalangan sahabat Rasulullah dulu, ada yang diberikan Allah hafalan yang kuat sehingga dapat menghafal wahyu al-Qur’an dan hadis Rasulullah, ada juga yang hafalannya kurang.

Pada masa Rasulullah ﷺ, perbedaan pun juga sudah terjadi. Namun setiap perbedaan pendapat dan permasalahan umat yang muncul dapat langsung diselesaikan melalui beliau. Pada masa Rasulullah ini sumber utama ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Oleh karena itulah tidak ada masalah internal berarti yang dapat mewarnai kehidupan umat Islam ketika itu. Tentu saja ini salah satu kelebihan bagi umat yang hidup di zaman tersebut. Sehingga tidak salah lagi apabila generasi Sahabat tersebut diberi julukan generasi terbaik.

Selanjutnya ketika Rasulullah ﷺ telah tiada, maka beberapa perbedaan di kalangan umat Islam ketika itu telah bermunculan. Mulai dari masalah pemerintahan, sampai akhirnya berujung kepada aliran keagamaan sendiri dalam Islam. Pada masa Sahabat ini, rujukan umat Islam adalah al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’, dan ra’yu. Dua rujukan terakhir ini adalah salah satu bentuk untuk menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang ada di kalangan Sahabat, selain adanya permasalahan yang baru muncul yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Namun meskipun demikian, tentu saja yang menjadi rujukan utama dan landasan dari dua rujukan terakhir tetap al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah.

Dakwah Islamiyah di masa Sahabat ini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perluasan wilayah Islamiyah ini adalah salah satu faktor adanya beberapa perbedaan di kalangan Sahabat. Perbedaan adat dan kultur masyarakat dari tempat yang berbeda-beda itulah sebab utamanya. Kultur Arab yang sangat kental pada masyarakat Madinah berbeda dengan kultur masyarakat Iraq yang ketika itu masih terpengaruh dengan budaya Persia, dan berbeda juga dengan kulturnya masyarakat Mesir dan Syam yang masih menyimpan nilai-nilai budaya Romawi.

Namun perbedaan yang terjadi di antara Sahabat akibat dari faktor tersebut masih dalam ruang lingkup untuk kemaslahatan umat Islam. Dan perbedaan yang terjadi ketika itu pun sangat sedikit sekali. Salah satu sebabnya karena para Sahabat masih banyak yang berada di Madinah, khususnya di zaman Khalifah Abu Bakar z dan Khalifah Umar ibn Khathab, sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Pada masa Tabi’in, wilayah Islam semakin luas lagi. Tentu saja semakin beragam pula kultur umat Islam yang melatarbelakanginya. Maka wajar ketika masa ini berkembang madrasah yang saling berbeda metode pengambilan hukumnya, khususnya dalam penggunaan ra’yu, yaitu Madrasah Ahlul Hadist di Madinah dan Madrasah Ahlul Ra’yi di Iraq. Salah satu faktor penyebab berkembangnya Madrasah Ahlul Hadis adalah pengaruh yang diterima Tabi’in dari para Sahabat seperti Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar. Sedangkan Madrasah Ahlul Ra’yi mendapat pengaruh dari Abdullah ibn Mas’ud zyang telah lama bermukim di Kufah sejak zaman Khalifah Umar ibn Khathab.

Beranjak ke masa Tabi’ tabi’in, kajian ilmu Fikih dan berbagai cabang ilmu lainnya mencapai puncak kegemilangannya. Di mana pada masa inilah banyak ulama-ulama Mujtahid bermunculan. Sebagai contoh, munculnya berbagai macam mazhab Fikih. Tentu saja perbedaan dalam ijtihad lebih beraneka ragam lagi.

Perbedaan pendapat yang muncul dikalangan ulama terdahulu sebenarnya hanya berkisar pada masalah furu’iyah atau cabang-cabang fikih saja. Itu pun disebabkan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Misalnya dalam menentukan suatu hukum yang belum ada dibahas dalam al-Qur’an dan Hadis, Imam Malik v mengedepankan perbuatan penduduk Madinah, karena menurut beliau segala sesuatu yang berkenaan dengan cara beribadah penduduk Madinah tidak mungkin kalau bukan hasil dari melihat perbuatan Rasulullah ﷺ yang diturun-temurunkan generasi ke generasi. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang lebih mengedepankan Ijma’ (kesepakatan para ulama) setelah Al-Qur’an dan Hadis.

Begitulah sekilas gambaran perjalanan perbedaan-perbedaan pendapat dalam Islam. Intinya agama Islam itu satu, dan tidak ada berbagai macam jenis Islam yang lainnya. Sedangkan perbedaan pendapat dan golongan itu adalah bentuk dari pengembangan pemikiran Islam. Namun perlu digaris bawahi, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut hanya dalam ranah furu’iyah saja. Jika kemudia perbedaan yang berkembang justru menjurus kepada perbedaan akidah dan tauhid, maka tentu saja dalam hal ini kebenaran atau yang haq itu harus kita kedepandakan. Karena batasan dan rambu-rambu yang digambarkan Islam dalam wilayah tauhid dan akidah itu sudah sangat jelas.

Jika ada yang mencoba untuk merubah rukun Iman dan rukun Islam, maka ini harus kita perangi. Jika ada yang mengatakan al-Qur’an hanyalah produk budaya, ini pun juga harus kita perangi. Jika ada yang memperbolehkan perkawinan homoseksual, pemikiran seperti ini jelas telah menyimpang dari koridor yang telah ditentukan Islam. Namun cara memeranginya pun juga harus baik. Jika kita diserang dengan pemikiran seperti itu, maka untuk membalasnya tentu saja juga dengan pemikiran juga, bukan malah dengan kekerasan.

Jika hal seperti ini yang terwujud di antara umat Islam di Indonesia sekarang ini, maka serasa indah Islam itu dijalankan. Penilaian-penilaian negatif tentang Islam dan perpecahan, Islam dan kekerasan, hingga Islam dan terorisme, harus segera kita hentikan. Caranya yaitu dengan membangun kembali image Islam yang cinta damai, yang profesional dalam menanggapi segala perbedaan. Image itu akan tumbuh tergantung bagaimana kita menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kita. Wallâhu’alam.[]

Download Buletin klik di sini

Gen Z Berdakwah: Mengubah Media Sosial jadi Wadah Positif

Gen Z Berdakwah: Mengubah Media Sosial jadi Wadah Positif

Muhammad Irfan Dhiaulhaq AR*

 

Di Era yang “Serba Ada“ ini dengan banyaknya berkembangan teknologi komunikasi terutama dalam berinteraksi sosial merupakan fenomena yang umum untuk masyarakat dunia. Pertumbuhan media sosial dikalangan Gen Z telah menjadi aktivitas yang sangat populer diiringi dengan penggunaan teknologi yang modern. Islam sebagai rahmatan lil-âlamîn yang selalu mengiringi perkembangan tersebut turut ikut andil dalam menciptakan lingkungan positif baik dalam jejaring dunia nyata maupun maya.[1] Namun, dengan mudahnya akses terhadap media sosial banyak sekali para pengguna khususnya Gen Z yang menggunakan media sosial sebagai wadah negatif serta menyalahgunakan kemudahan teknologi tersebut.

Dampak Negatif Media Sosial

Salah satu pengaruh negatif yang berpengaruh kepada agama yaitu munculnya beberapa kelompok sosial yang mengatasnamakan agama, suku dan pola perilaku tertentu yang terkadang menyimpang dari norma masyarakat. Kelompok tersebut sering mengatasnamakan agama dalam melakukan beberapa tindakan yang menyimpang dari masyarakat. Dengan kemudahan tersebut, banyak sekali pengguna yang mudah terbawa arus dengan adanya beberapa pandangan yang menurut mereka baik, namun menyimpang dari norma yang berlaku.[2]

Sebagai generasi penopang umat dan bangsa, Gen Z yang telah mengakses media dengan pengetahuan yang selangkah lebih maju dapat memberikan pendapat mereka melalui postingan di media sosial atas beberapa permasalahan masyarakat yang menyangkut konteks agama sehingga dapat menjadikan media sosial sebagai wadah positif untuk masyarakat.

Dampak lain yang ditimbulkan akibat penggunaan media sosial yang bebas ialah dapat menyebabkan masyarakat lalai atas ibadah. Dengan bebasnya penggunaan media sosial yang tidak memiliki waktu batas penggunaan, masyarakat cenderung mengakses media sosial diluar batas waktu normal sehingga dapat dilupakan oleh waktu. Ketika penggunaan media sosial sudah berdampak dengan waktu, maka ibadah wajib seperti shalat pun kadang dapat terlalaikan.

Mengubah Media Sosial jadi Wadah Positif

Gen Z dalam rangka menciptakan generasi yang lebih positif bisa mulai untuk mengatur dirinya dalam penggunaan media sosial dengan membatasi akses kedalamnya untuk keperluan yang urgent atau dibutuhkan saja. Seperti contoh, untuk mengerjakan tugas atau sebagai bahan referensi berdakwah. Dengan penggunaan media sosial yang teratur, dapat dipastikan terciptanya hasil yang positif serta berdampak baik bagi individu.

Lebih luasnya, Gen Z dapat menyebarkan konten-konten positif yang menjelaskan tentang pentingnya mengatur waktu untuk bermain media sosial serta selalu ingat akan ibadah wajib. Seperti pepatah mengatakan “Kejar Akhirat jangan lupa Dunia” yang bermakna kita selalu mengedepankan tujuan kita diciptakan yaitu hanya untuk beribadah. Allah ﷻ berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).

Contoh Praktis

Salah satu contoh praktis lain bagaimana media sosial dapat menjadi wadah positif khususnya bagi Gen Z adalah melalui kumpulan konten positif yang diikuti. Berdasasrkan survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Gen Z memiliki preferensi media sosial sebanyak 51,9% terhadap Instragram diikuti dengan Tiktok dan X (Twitter).[3] Dapat kita lihat bahwasanya mayoritas Gen Z sangat suka mengakses media sosial yang bersifat bebas (konten yang ada). Berdasarkan situasi tersebut, mayoritas Gen Z cenderung dapat memilih tujuan atau preferensi konten yang tersedia dalam media sosial sesuka hati mereka tanpa mempertimbangkan dampak baik atau buruk kedepanya. Oleh karena itu, dalam menciptakan wadah positif dalam media sosial mereka dapat menklasifikasi mana akun atau konten yang dapat memberikan wadah positif bagi mereka seperti konten yang berkaitan dengan dakwah islamiyyah, self improving, motivation serta beberapa tips dan livehack kehidupan yang tidak banyak orang tahu.

Dengan klasifikasi beberapa konten atau akun tersebut, media sosial dapat menjadi wadah positif serta alat untuk membantu Gen Z berkembang dengan menciptakan atmosfir dakwah islamiyyah diiringi dengan tata cara menjalani hidup yang islami ala Gen Z. Karena pada kenyataanya, sekitar 85% Gen Z aktif menggunakan media sosial hanya untuk terhubung dengan teman sebayanya, mengikuti tren konten terkini, serta mengeskpresikan diri mereka masing-masing. Hal tersebut mengungkapkan bahwa Gen Z cenderung aktif berpartisipasi dalam menciptakan sebuah konten serta menjadikan media sosial untuk wadah ekspresif dan minat mereka.[4] Dengan potensi yang ada, sangat mudah bagi Gen Z untuk menjadikan media sosial sebagai wadah positif untuk berdakwah.

Selain itu, Fashion dan estetika yang menjadi ikonik bagi Gen Z mulai terekspresikan dalam media sosial. Melalui atmosfer positif tadi, yang awalnya tata cara berbusana dan pakaian terpandang buruk dalam agama, Gen Z sebagai pegiat media sosial dapat menciptakan sebuah trend positif melalui fashion yang islami atau gaya busana yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tentu dapat menjamin bahwa media sosial dapat menjadi wadah positif untuk Gen Z dalam konteks berdakwah serta mengajarkan syariat Islam kepada masyarakat umum atas amanat Islam sebagai rahmatan lil-âlamîn yang mengiringi perkembangan zaman untuk selalu dalam syariat yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ dan diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Oleh karena itu, sebagai generasi penggerak bangsa, generasi yang masih mempunyai potensi untuk dapat mengubah serta memberikan dampak yang baik terhadap masyarakat khususnya melalui wadah media sosial dengan menciptakan arus positif kepada masyarakat melalui program-program serta trend media sosial. Harapanya, masyarakat secara umum serta Generasi Z atau Gen Z dapat memaksimalkan potensi tersebut sehingga amanat rahmatan lil-âlamîn dapat terlaksana secara maksimal.

Barakallâhu fîkum.

Maraji’ :

* Mahasiswa Fakultas Hukum NIM 21410678

[1] Zida Zakiyatul Husna, “Perkembangan Dakwah Melalui Media Sosial Instagram,” Ath Thariq Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 5, no. 2 (December 29, 2021): 197, https://doi.org/10.32332/ath_thariq.v5i2.3539.

[2] Hatim Gazali, “Islam Untuk Gen Z: Mengajarkan Islam, Mendidik Muslim Generasi Z: Panduan Bagi Guru PAI,” February 26, 2021, https://doi.org/10.31219/osf.io/w3d7s.

[3] “Media Sosial Favorit Gen Z Dan Milenial Indonesia | Databoks,” accessed October 25, 2024, https://databoks.katadata.co.id/infografik/2024/09/24/media-sosial-favorit-gen-z-dan-milenial-indonesia.

[4] “Survei Meta Ungkap Minat & Perilaku Khas Gen Z Di Media Sosial,” eraspace, accessed October 25, 2024, https://eraspace.com/artikel/post/survei-meta-ungkap-minat-perilaku-khas-gen-z-di-media-sosial.

Download Buletin klik di sini

Menjadi Muslim yang Mengenal Agamanya

Menjadi Muslim yang Mengenal Agamanya

Yanayir Ahmad, S.T.*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, “Apa sih makna Islam?” Sebagai seorang Muslim, kita mungkin merasa sudah familiar dengan agama yang kita anut sejak lahir atau sejak kita memilih untuk memeluknya. Namun, seberapa sering kita merenungkan hakikat dari Islam itu sendiri? Apakah Islam hanya sekadar identitas yang kita bawa dalam kehidupan sehari-hari, atau ada sesuatu yang lebih mendalam yang seharusnya kita pahami dan hayati? Islam bukan hanya kumpulan ritual ibadah, tetapi sebuah panduan hidup yang melingkupi setiap aspek kehidupan kita. Maka, mengenal Islam dengan benar adalah langkah pertama untuk bisa mengamalkannya secara menyeluruh, memahami tujuannya, dan meraih kebahagiaan sejati yang dijanjikan oleh Allah ﷻ bagi hamba-Nya. Pada kesempatan kali ini insyaAllah kita akan bersama belajar tentang definisi Islam.

Apa itu Islam?

Disebutkan oleh Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Huwail bahwa, ”Islam secara bahasa adalah tunduk, pasrah, dan patuh. Adapun secara syar’i adalah pasrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari kesyirikan serta para pelakunya.”[1]

Makna Islam secara syar’i ini ada dua penggunaan, yakni makna umum dan makna khusus. Syaikh Ibnu ’Utsaimin berkata,

“Islam dalam makna umum adalah beribadah kepada Allah dengan apa yang Dia syariatkan sejak Allah mengutus para rasul hingga Hari Kiamat, sebagaimana Allah ﷻ sebutkan dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa seluruh syariat terdahulu adalah Islam (maksudnya pasrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari kesyirikan serta para pelakunya sebagaimana yang disebutkan sebelumnya -pent). Allah ﷻ berfirman tentang Ibrahim,

رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ

”Wahai Rabb kami, jadikanlah kami orang Islam kepada-Mu, dan keturunan kami juga Islam kepada-Mu…” (QS. Al-Baqarah [2]: 128).

Sedangkan Islam dalam makna khusus, adalah Islam setelah diutusnya Nabi ﷺ yakni dikhususkan dengan syariat yang Nabi Muhammad ﷺ diutus dengannya; karena syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ ini telah menghapus seluruh agama sebelumnya. Maka, siapa yang mengikutinya adalah seorang Muslim, dan siapa yang menyelisihinya bukanlah seorang Muslim. Pengikut para rasul adalah Muslim di zaman rasul-rasul mereka. Orang Yahudi adalah Muslim pada zaman Musa u, dan orang Nasrani adalah Muslim pada zaman Isa u. Namun, ketika Nabi Muhammad ﷺ diutus dan mereka kufur kepadanya, maka mereka bukan lagi Muslim.

Dan agama Islam ini adalah agama yang diterima di sisi Allah dan bermanfaat bagi pemeluknya. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ

”Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam,” (QS. Ali Imran [3]: 19),

dan Allah ﷻ juga berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

”Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

Islam dengan makna khusus inilah yang Allah anugerahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya. Allah ﷻ berfirman,

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا

”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu, serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).[2]

Islam dalam makna khusus ini juga ada yang membagi menjadi dua, yakni yang pertama adalah sebagaimana definisi di atas, adapun yang kedua adalah bermakna amalan zhahir, maksudnya adalah syariat yang nampak, seperti shalat, zakat, puasa, haji, amar ma’ruf, nahi munkar, dll. Penggunaan makna khusus yang kedua ini biasa digunakan ketika Islam disandingkan dengan Iman dan Ihsan.

Asas Utama Agama Islam

Dari definisi di atas, kita bisa paham bahwa asas agama Islam adalah tauhid. Berkata Syaikh bin Baz, “Pokok agama Islam dan dasarnya adalah mentauhidkan Allah ﷻ dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya saja. Inilah pokok agama Islam: bahwa semua ibadah ditujukan hanya kepada Allah semata, baik ibadah itu berupa doa, rasa takut, harapan, shalat, puasa, penyembelihan, nadzar, dan lain-lain dari macam-macam ibadah, semuanya hanya untuk Allah saja. Dengan ini Allah mengutus semua rasul, sebagaimana Allah berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ

”Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan), sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl [16]: 36).

Makna ‘Sembahlah Allah’ adalah tauhidkan Allah (khususkan Dia dengan ibadah), dan ‘jauhilah thaghut’ berarti tinggalkan penyembahan kepada selain Allah.

Thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah, baik berupa pohon, batu, berhala, bintang, atau lainnya, semuanya itu disebut thaghut. Namun, jika yang disembah selain Allah itu tidak ridha dengan hal tersebut, seperti para nabi, malaikat, dan orang-orang shalih, maka thaghutnya adalah setan yang mengajak untuk menyembah mereka dan menghiasi (perbuatan syirik itu) bagi manusia, padahal mereka (yang disembah) berlepas diri dari penyembahan tersebut.”[3]

Kembali Tengok Diri

Dari definisi di atas, kita bisa sama-sama cek pemahaman kita sendiri tentang Islam. Bisa dengan kita bayangkan ada seseorang yang bertanya kepada kita dengan beberapa pertanyaan lanjutan seperti: Apa perbedaan Islam, Iman, dan Ihsan? Apa itu sebenarnya makna Ibadah? Apa itu Tauhid? Apa urgensi mempelajarinya? Apa itu syirik yang merupakan lawan dari tauhid? Apa macam-macam syirik yang kita harus menjauhinya? Dan seterusnya dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri untuk mengukur sejauh mana kita paham dengan agama kita ini. Kalau ternyata kita masih belum lancar menjelaskannya dengan benar, atau masih ada kebingungan mungkin dalam menjelaskan, itu berarti isyarat untuk kita terus belajar dan menambah pemhaman kita terhadap agama kita ini.

Semoga Allah mudahkan kita untuk bisa terus memperbaiki diri, serta istiqomah di jalan yang lurus. Wabillāhul taufiq.

* Alumni UII Teknik Elektro 2017

Maraji’ :

[1] Abdullah bin Ahmad Al-Huwail. At-Tauhid Al-Muyassar. Riyadh: Dar Atlas. 2015 M. Cet.k-4. h. 42.

[2] Al-’Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarhu Tsalatsatil Ushul. H. 20-21. Maktabah Syamilah, diakses 12 Oktober 2024, https://shamela.ws/book/11257/13#p1

[3] Bin Baz, Abdul ‘Aziz. “تعريف عام بدين الإسلام وما جاء به الرسل”. https://binbaz.org.sa/discussions/129/%C2%A0تعريف-عام-بدين-الاسلام-وما-جاء-به-الرسل Diakses pada 13 Oktober 2024.

Download Buletin klik disini

Langkah Gen Z Muslim Menggapai Perubahan

Langkah Gen Z Muslim Menggapai Perubahan

Dita Ayu Rahmawati*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Generasi Z atau biasa yang dikenal dengan Gen Z merupakan generasi yang lahir di mana informasi dapat diakses secara instan dan mudah. Banyak anggota Gen Z cenderung memiliki sifat malas bergerak (mager). Hal ini memengaruhi pola pikir dan perilaku mereka, membuat mereka enggan melakukan kegiatan yang memerlukan waktu dan usaha, seperti membaca buku tebal, memasak, atau berjalan kaki. Jika perilaku ini terus berlanjut, bisa mengikis nilai-nilai positif seperti kesabaran, ketekunan dalam berjuang, dan kemampuan menikmati proses.

Gen Z juga merupakan generasi pertama yang melihat sisi positif perkembangan perubahan sosial seperti persamaan hak serta isu sosial lainnya. Sebagai seorang Muslim dari Gen Z, kita seharusnya berupaya mencegah perilaku negatif tersebut agar tidak mengakar dalam diri kita. Sudah jelas panduan bagi Gen Z Muslim dalam al Qur’an dan Hadits, jadi setiap perubahan perilaku kembali kepaada al Qur’an dan Hadits.

Perubahan diperlukan, dan perubahan ini hanya bisa datang dari diri kita sendiri.[1] Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11)

Gen Z Beraksi: Meraih Predikat Generasi Terunggul

Gelar sebagai generasi terbaik yang disematkan kepada para sahabat radiyallahu ‘anhum adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi.[2] Mereka memiliki kekuatan mental, fisik, dan pemikiran yang luar biasa. Keterbatasan materi maupun non-materi tidak pernah menjadi penghalang bagi mereka dalam beribadah dan berkarya. Mereka rela bekerja keras, berkorban tenaga, menghadapi cercaan, dikeluarkan dari keluarga, bahkan mengorbankan nyawa demi Islam. Perjuangan mereka membuahkan hasil, sehingga hingga kini, dengan izin Allah ﷻ, manisnya Islam dapat dirasakan di berbagai penjuru dunia, bahkan di sudut-sudut yang terpencil.

Perubahan positif dapat terwujud dengan meneladani prinsip dan perilaku salafush shalih. Berikut beberapa langkah bagi Gen Z untuk menggapai perubahan ke arah yang lebih baik, baik secara internal maupun eksternal:

  1. Berkonsentrasi pada Allah

Maksud dari berkonsentrasi pada Allah ﷻ yaitu melakukan segala aktivitas, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dengan niat semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Keridhaan dari Allah adalah cita-cita dan harapan tertinggi bagi seorang muslim. Bahkan ini adalah tujuan dari kehidupan manusia. Allah ﷻ berfirman,

وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 72).

Allah ﷻ mengetahui semua perbuatan kita, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di hati. Belajar, bekerja, makan, beristirahat, bahkan mencari hiburan, semua perlu didasari niat untuk Allah ﷻ. Ketika segala sesuatu diniatkan untuk Allah ﷻ, semangat kita akan tetap menyala meskipun tidak ada paksaan, pujian, bayaran, atau persaingan.

Sebagaimana sahabat Abdurrahman bin Auf, yang bekerja keras tanpa meminta, meskipun harta melimpah di hadapannya. Rasa malas akan sirna jika kita memiliki tekad yang kuat. Oleh karena itu, kita perlu menanamkan pada diri bahwa setiap waktu dan perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar zNabi ﷺ bersabda,

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)[3]

  1. Menggali Potensi Diri

Kegagalan bukanlah sebuah kesalahan, justru dari kegagalan kita memperoleh pelajaran yang tidak diajarkan oleh kesuksesan. Seseorang yang pernah gagal cenderung memiliki mental yang lebih kuat dibandingkan yang tidak pernah mengalami kegagalan. Setiap individu memiliki kelebihan masing-masing, sehingga tidak perlu membandingkan kesuksesan diri dengan orang lain, terutama jika itu membuat kita merasa rendah diri.

Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda, sebagaimana para sahabat menggeluti bidang sesuai dengan kemampuan mereka. Abdullah bin Abbas meraih julukan “Turjamatul Qur’an” karena keahliannya dalam ilmu tafsir Al-Qur’an. Khalid bin Walid dikenal sebagai ahli pedang dan strategi perang, sedangkan Utsman bin Affan adalah seorang saudagar kaya yang dermawan. Oleh karena itu, saatnya kita fokus mengembangkan kemampuan diri tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain.

  1. Produktif

Produktif berarti kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam jumlah besar.[4] Gen Z dikenal sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi di ujung jari mereka, dan ini memberikan potensi besar untuk menjadi produktif dalam berbagai aspek kehidupan. Produktivitas bagi Gen Z tidak hanya terbatas pada bekerja secara konvensional, tetapi juga mencakup kemampuan untuk multitasking, bekerja secara fleksibel, dan memanfaatkan platform digital untuk belajar, berkreasi, serta bekerja. Mereka sering menggunakan media sosial sebagai alat produktif untuk membangun merek pribadi atau bisnis, mempromosikan karya, dan mencari peluang karier. Namun, dengan kebebasan teknologi juga muncul tantangan untuk menjaga fokus dan disiplin di tengah gangguan digital yang melimpah. Oleh karena itu, bagi Gen Z, produktif berarti menemukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dengan bijak dan mengelola waktu serta energi dengan efisien.

Menjadi produktif adalah pilihan, begitu pula dengan malas; semua pilihan ini ditentukan oleh diri kita sendiri. Memulai hal baru yang positif memerlukan pelatihan dan kebiasaan. Perlu diketahui, Gen Z yang dihadapkan pada pesatnya perkembangan teknologi, tidak hanya berjuang melawan diri sendiri, tetapi juga harus bersaing dengan teknologi yang terus berkembang. Sebagai makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan oleh Allah Ta’ala, Gen Z muslim tentu tidak akan gentar, karena orientasi dari setiap aktivitasnya diarahkan kepada Sang Pemilik Alam Semesta.

Generasi Z bukanlah generasi yang lemah; mereka hanya sering kali terpengaruh oleh berbagai kemudahan yang ada. Sebagai Gen Z Muslim, sudah saatnya kita mengubah dunia dengan memperbaiki diri, mengutamakan Allah ﷻ dalam setiap perbuatan dan pilihan hidup, serta terus mengasah kemampuan dan berkarya seluas mungkin. Dengan demikian, Gen Z memiliki peluang besar untuk menjadi generasi unggul yang setara dengan para sahabat.

* Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Wadi Mubarak Bogor

Maraji’ :

[1]Ismāʼīl ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr Al-Qurʼānul ʻAẓīm, ed. oleh Sāmī Ibn Muḥammad Sāmī Ibn Muḥammad (Dār Ṭībah li an-Nāsyir wa at-Tawzīʻ, 1999), jil. 4, hlm. 69.

[2] Muḥammad ibn Ṣāliḥ ibn Muḥammad al-ʻUṡaimīn, Syarḥ Riyād aṣ-Ṣāliḥīn (Riyad: Dār al-Waṭan li an-Nasyr, 2005), jil. 5, hlm 373.

[3] Muslim ibn al-Ḥajjāj an-Nīsābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, ed. oleh Muḥammad Fuʼād ʻAbd al-Bāqī (Beyrut: Dār Iḥyāʼ at-Turāṡ al-ʻArabī, 2010), jil. 2, hlm. 1459, no. 1829.

[4] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 25 September 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/produktif.

Download Buletin klik disini

Gen Z Muslim Tonggak Perubahan

Gen Z Muslim Tonggak Perubahan

Ridho Frihastama

 

Mau berubah?, kenapa hendak berubah? Dua pertanyaan ini penting, mengingat di era digital ini kita dihadapkan dengan VUCA (Volatility, Uncertainly, Complexity, Ambiguity) merupakan gabungan kondisi 4 hal tersebut yang secara makna ialah kondisi perubahan yang sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol dan kebenaran realitasnya menjadi sangat subyektif.[1] Hal ini dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dunia teknologi dan informasi, sehingga berdampak terhadap perkembangan suatu generasi.

Generasi Z, atau generasi digital native, adalah kelompok yang lahir dan tumbuh di zaman teknologi digital seperti internet dan media sosial sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka. Mereka terbiasa mengakses dengan mudah teknologi sejak usia dini, sehingga bisa memanfaatkannya secara luar biasa dalam berbagai aspek termasuk pendidikan, pekerjaan, bahkan interaksi sosial.

Kembali dua pertanyaan di atas. Sebagai seorang Gen Z Muslim yang memiliki jiwa aktualisasi diri, akan tergerak oleh kemauannya untuk berubah secara transformatif. Karena perubahan tak akan menunggu kita berubah, ia akan berubah secara nyata dan cepat menyesuaikan perubahannya itu sendiri. Lantas, kenapa mesti berubah?, jika kita tidak berubah, kita akan tertinggal secara pikiran, perasaan hingga konstruksi sikap dan keputusan hidup kita. Sehingga kita tetap harus bertanggungjawab atas takdir kita dengan berusaha, bekerja keras, dan melakukan perubahan positif dalam hidup. Allah memberikan petunjuk, tetapi usaha dan kerja keras kita juga diperlukan. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ

“Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah ﷻ. Sesungguhnya Allah ﷻ tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah ﷻ menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS. Ar Ra’d [13]: 11).

Perubahan dalam bidang teknologi dan informasi mempengaruhi berbagai sisi kehidupan. Dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik hingga keamanan harus menyesuaikan kondisi perubahan cepat teknologi dan informasi. Hal ini mengharuskan Gen Z Muslim tidak boleh hanya menonton, tapi harus mengikuti perubahan selama tidak keluar dari konsepsi syariat.

Menyikapi Perubahan

Kondisi perubahan yang sedemikian rupa di dunia saat ini, tidak bisa hanya dikeluhkan, dibahas dan ditonton saja. Namun harus ada aksi nyata yang mengimplementasikan Qur’an surah Ar Ra’d ayat 11 di atas. Sikap yang yang wajib dilakukan Gen Z Muslim atas perubahan ialah kemauan berubah, berubah lebih baik, berubah lebih maju dan berubah untuk mewujudkan perubahan itu sendiri, hingga Allah ﷻ mengubah keadaan kita sesuai kehendak-Nya.

Ya, semua dari kemauan berubah dari kita sendiri, maka awali dengan niat yang kuat untuk berubah dan mindset yang baik untuk perubahan diri. Selanjutnya, aksi nyata mewujudkan niat dan mengimplementasikan mindset dalam langkah-langkah yang nyata. Ada beberapa sikap untuk membangun perubahan dengan mentadabburi Qur’an surah Ar Ra’d ayat 11 di atas.

Muraqabatullah ( Merasa diawasi Allah ﷻ)

Sikap merasa diawasi oleh Allah ﷻ dalam segala suasana hidup dan kehidupan sangat diperlukan untuk memulai semangat perubahan. Ada yang melihat setiap Langkah kita, ada yang mengontrol, ada yang menilai. Ini menjadi motivasi penting dalam setiap perubahan. Karena kebiasaan manusia yang juga memiliki kelemahan, jika tidak dikontrol akan lemah. Dengan merasa ada pengawasan, kontrol akan memunculkan niatan berubah. Dinilai itu sebuah keniscahyaan, jangan merasa heran dengan penilaian. Karena itulah justru sebagai pemantik perubahan.[2]
Taghayyur (Kemauan Berubah)

Kemauan berubah, menjadi kunci seseorang akan mendapati perubahan hidup, karena Allah ﷻ akan merubah seseorang yang memiliki kemauan berubah. Apakah hanya dalam hati kemuan itu? Kemauan memang timbul dari hati, tapi ekspresi kemauan ditunjukkan dalam aksi nyata perubahan sikap, tindakan dan setiap keputusan hidupnya.

Tawakal (Berusaha disertai Doa)

Yang maha menolong ialah Allah ﷻ. Jangan hanya sekadar mengandalkan kepintaran, tapi melupakan Allah ﷻ. Jangan hanya mengandalkan kemampuan, lalu lupa dengan pertolongan Allah ﷻ itu nyata. Jangan takut, ada Allah ﷻ yang maha melindungi atas niatan perubahan kita. Karena seorang yang menginginkan perubahan tak lepas dari godaan, cobaan bahkan cacian. Namun ingatlah Allah ﷻ Maha melindungi hamba-Nya yang sudah berkomitmen melakukan perubahan. Penutup ayat di atas (Ar Ra’d: 11) ialah penegasan tidak ada pelindung selain Dia. Maka dengan demikian yang telah memiliki niat untuk berubah dan melakukan perubahan agar hidup lebik baik, maka lakukanlah, tak perlu mengkhawatirkan siapa yang melindungi. Ini berarti seorang agent of change itu harus memiliki keberanian yang tinggi. Kenapa? karena Allah ﷻ yang akan mendampingi dan melindunginya.

Ridha terhadap Takdir

Baik dan buruk adalah kehendak Allah ﷻ, ujian dan nikmat tidak akan salah alamat. Karena Allah ﷻ sudah menghitung semuanya secara detail, yang kemudian menjadi kesimpulan dari takdir. Jadi, perubahan itu tak terjadi dalam semalam, ada usaha manusia, kemauan ada evaluasi Allah ﷻ atas usaha manusia, lalu rumusan taqdir berjalan dengan sedia kala. Jika berhasil, berarti Allah ﷻ menghendaki berhasil, yakinlah dengan usaha yang sungguh-sungguh maka akan memperoleh hasil yang terbaik. Jika tidak berhasil, maka itu hak perogratif Allah ﷻ sebagai sang Pencipta yang tahu kebutuhan hamba-Nya. Bisa jadi yang kita anggap baik menurut kita, itu tidak baik menurut Allah ﷻ, bisa jadi sebaliknya.[3]

Empat sikap di atas memberikan panduan Gen Z Muslim dalam melakukan perubahan. Baik perubahan untuk diri maupun lingkungan sekitarnya. Semoga yang telah memiliki niat untuk berubah dan hendak melakukan perubahan dikuatkan keinginannya, hingga Impian perubahan itu wujud adanya. ÂmÎn.

Maraji’ :

[1] Alief Budiyono. “Urgensi Nilai Religius Pada Generasi Z di Era VUCA“ dalam prosiding SNBK, vol. 7 no.1, Tahun 2023. H.2.

[2] Ahmas Faiz Asifuddin. “Membentuk Sikap Anak Merasa Diawasi oleh Allâh Azza Wa Jalla” https://almanhaj.or.id/8577-membentuk-sikap-anak-merasa-diawasi-oleh-allah-azza-wa-jalla.html. Diakses pada 9 Oktober 2024.

[3] Suriati. “Implikasi Takdir dalam Kehidupan Manusia“ dalam jurnal al Mubarak, vol. 3 no.1, Tahun 2018. h.2.

Download Buletin klik disini