Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an
Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an
Abu Musa Agus Fadilla Sandi*
Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh.
Dunia kerja modern saat ini mengalami fenomena yang memprihatinkan, seperti meningkatnya angka pengunduran diri karyawan (resign)[1] dan semakin meluasnya isu-isu tentang lingkungan kerja yang tidak sehat (toxic).[2] Tentu saja fenomena ini menuntut kita untuk mengevaluasi kembali model kepemimpinan dan pola hubungan antara pemimpin dan karyawan dalam sebuah organisasi.
Dalam Al-Qur’an ternyata terdapat petunjuk yang sangat relevan mengenai prinsip kepemimpinan yang dapat menjadi fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Allah ﷻ memberikan contoh-contoh teladan tentang pemimpin dan karyawan yang sukses. Maka dari itu, tulisan ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana rahasia kesuksesan karyawan dan pemimpin perspektif Al-Qur’an.
Karyawan yang Baik
Karyawan yang baik adalah aset penting bagi keberhasilan sebuah lembaga. Al-Qur’an menggambarkan kriteria karyawan sukses melalui kisah Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 26,
قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai ayahku, jadikanlah dia sebagai pekerja kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk dipekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash [28]: 26).
Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa Nabi Musa layak untuk dipekerjakan karena ia memiliki dua sifat mulia ini: kekuatan dan amanah. Pekerja terbaik adalah yang memiliki keduanya—kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dan amanah dalam menjaga kepercayaan, tanpa berkhianat.[3] Dalam Tafsir Al-Baghawi, Nabi Musa dianggap kuat karena mampu mengangkat batu besar yang biasanya membutuhkan sepuluh hingga empat puluh orang, dan amanah karena menjaga kehormatan putri Syaikh Madyan (Nabi Syu’aib) dengan meminta mereka berjalan di belakangnya agar angin tak berhembus membentuk lekuk tubuh mereka.[4]
Kekuatan dan amanah adalah dua elemen penting untuk menjadi karyawan yang sukses. Kekuatan mencakup kemampuan fisik, mental, serta keahlian dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Amanah mencakup kejujuran, integritas, dan tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan. Modal kekuatan akan memastikan pekerjaan diselesaikan dengan efisien, sementara modal amanah akan menjaga kepercayaan dan kejujuran selama proses pelaksanaannya.
Di masa kini, kekuatan dapat bermakna kompetensi dalam keahlian dan kemampuan menghadapi tantangan kerja. Adapun amanah berarti menjaga etika kerja, tidak menyalahgunakan kepercayaan, dan berkomitmen pada tanggung jawab. Karyawan yang mampu memadukan kedua sifat ini akan menghasilkan kinerja maksimal dan penuh keberkahan.
Sebagai karyawan, mari belajar dari kisah Nabi Musa. Sudahkah kita cukup kompeten dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab? Sebagai pemimpin, jadikan kekuatan dan amanah sebagai pedoman dalam memilih tim. Karyawan terbaik adalah mereka yang bekerja dengan tangan yang terampil, hati yang tulus, dan jiwa yang jujur. Ikhtiar memadukan keahlian dan integritas akan menjadikan seseorang sebagai karyawan yang sukses berkualitas.
Pemimpin yang Saleh
Menjadi seorang pemimpin bukan berarti bebas bertindak sesuka hati. Setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, yang akan menimbang setiap kebaikan dan membalas semua perbuatan. Secara umum, pemimpin bermakna orang yang memimpin;[5] dalam konteks lainnya pengertian ini dekat dengan definisi bos, yakni seseorang yang berkuasa mengawasi dan memberi perintah kepada bawahan, baik dalam organisasi maupun perusahaan.[6]
Al-Qur’an telah membahas tema kepemimpinan yang sukses yang terdapat dalam kisah Syekh Madyan dan Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 27,
قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakan hingga sepuluh tahun, itu adalah kebaikan darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS. Al-Qashash [28]: 27)
Ada dua aspek utama yang menunjukkan kesalehan Syekh Madyan sebagai seorang pemimpin. Pertama, kejelasan akad kerja yang ditawarkan, yaitu durasi delapan tahun dengan opsi tambahan hingga sepuluh tahun sebagai bentuk kebaikan dari Nabi Musa. Umar bin Khattab z menjelaskan bahwa di antara bentuk kebaikan dalam menjaga hubungan adalah dengan setia pada komitmen yang telah disepakati.[7]
Kedua, kemudahan jenis pekerjaan yang dijanjikan. Syaikh Madyan menegaskan bahwa pekerjaannya tidak akan memberatkan, melainkan ringan dan mudah dijalani. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang saleh seharusnya senantiasa berusaha memperbaiki akhlaknya, dan apa yang diharapkan darinya menjadi nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.[8]
Kisah di atas mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin yang sukses adalah tentang memperlakukan bawahan dengan kejelasan dan kebaikan. Jadilah seperti Syaikh Madyan yang menjaga hak dan kewajiban karyawannya dengan bijaksana, serta bermuamalah baik dengan tidak memberatkan karyawannya.
Ikhtitam
Al-Qur’an memberikan pedoman yang sangat relevan dalam dunia kerja, baik untuk karyawan maupun pemimpin. Karyawan yang baik adalah mereka yang memiliki kekuatan dalam kompetensi dan amanah dalam menjalankan tugas. Sedangkan, pemimpin yang saleh adalah mereka yang memperjelas akad kerja dan mempermudah pekerjaan karyawannya.
Oleh karenanya, baik karyawan maupun pemimpin, mari kita amalkan nilai-nilai kekuatan, amanah, kejelasan dan kebaikan dalam kehidupan profesional kerja kita. Jadikan kisah ini sebagai inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi pada lingkungan kerja yang positif. Bersama-sama kita wujudkan dunia kerja yang produktif dan penuh keberkahan dengan mengikuti teladan yang telah dicontohkan di dalam Al-Qur‘an.
Maraji’ :
* Ketua Yayasan Markaz Studi Al-Qur’an
[1] Intan Rakhmayanti Dewi, “Musim Resign Bakal Makin Ganas, Lengah Bakal Ditinggal Karyawan,” CNBC Indonesia, diakses 1 Desember 2024, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240625132825-37-549132/musim-resign-bakal-makin-ganas-lengah-bakal-ditinggal-karyawan.
[2] “1 dari 5 Orang Merasa Tempat Kerjanya Toxic, Ada Apa?,” diakses 1 Desember 2024, https://lifestyle.kompas.com/read/2023/07/17/201538020/1-dari-5-orang-merasa-tempat-kerjanya-toxic-ada-apa?page=all#.
[3] Abdul Rahman bin Nasser bin Abdullah Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2000), h. 614
[4] Abū Muḥammad al-Ḥusayn ibn Mas’ūd ibn Muḥammad ibn al-Farrā’ al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, Ar-Rābi’ah (Riyadh: Dār Ṭayyibah li an-Nashr wa at-Tawzī’, 1417), h. 530.
[5] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemimpin.
[6] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bos.
[7] al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, h. 531.
[8] Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan, h. 614.