Amalan yang Bisa Dilakukan Wanita Haid

Amalan yang Bisa Dilakukan Wanita Haid

Nur Diana Anggar Kusuma

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Sahabat Ar-Rasikh yang semoga senantiasa dirahmati Allah, satu bulan sudah kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan, bulan yang mulia, juga sebagai madrasah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah ﷻ. Hari kemenangan pun sudah kita rayakan, kemenangan melawan hawa nafsu pada diri kita.

Begitu luar biasanya keistimewaan bulan Ramadhan sehingga banyak orang berlomba-lomba dalam beribadah. Suasana selama bulan Ramadhan pun sangat luar biasa indah, bagaimana kita menyaksikan ibadah seperti candu, masjid-masjid dipenuhi dengan orang-orang bersahut-sahutan membaca Al-Qur’an, shalat berjamaah, berdzikir, iktikaf, dan kegiatan-kegiatan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah ﷻ.

Akan menjadi kebiasaan yang sangat bagus jika pasca Ramadhan seseorang masih mampu menjaga tilawahnya, masih mampu menjaga shalat malamnya, mampu menjaga sedekahnya, mampu menjaga shalat berjamaah di masjid, mampu menjaga dan mengelola amarahnya dan menjaga segala sesuatu yang biasa dilakukan di bulan Ramadhan.

Karena sesungguhnya Rabb yang disembah dibulan Ramadhan itu sama saja dengan Rabb yang disembahnya di bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan seterusnya. Jika seseorang mampu istiqamah dengan pola hidup di atas maka sesungguhnya ini merupakan salah satu indikator diterimanya ibadah Ramadhan kita, karena pada hakikatnya, “Balasan kebaikan itu adalah kebaikan setelahnya, dan balasan keburukan adalah keburukan setelahnya”.[1]

Tak Ada Yang Menghalanginya

Namun, bagaimana dengan perempuan yang sedang berhalangan (haid)? Dalam hati ingin sekali istiqamah menjalankan ibadah sebagaimana yang dilakukan pada bulan Ramadhan, namun tidak bisa menunaikan ibadah terutama shalat dan puasa. Lalu bagaimana caranya agar perempuan yang sedang haid tetap bisa memaksimalkan ibadah?

Sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna, tentunya ada solusi dari setiap permasalahan. Wanita haid tetap boleh melaksanakan amalan-amalan ibadah, kecuali ibadah-ibadah tertentu yang dilarang syariah. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu Al-Yaqin” (QS. Al-Hijr [15]: 99)[2]. Para ulama tafsir sepakat bahwa makna Al-Yaqin pada ayat di atas adalah kematian.

Amalan yang Bisa Dilakukan Wanita Haid

Pertama, berdzikir dan berdoa.

Salah satu ibadah yang tetap dapat dilakukan saat sedang haid adalah berdzikir dan berdoa. Berdzikir artinya mengingat Allah ﷻ agar dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Berdoa bisa dilakakukan kapan saja, misalnya doa setelah adzan, doa seusai makan, doa memakai baju atau doa hendak masuk WC, dll.

Imam Ibnu Baz mengatakan, “Wanita haid dianjurkan untuk berdzikir sebagaimana manusia lainnya, seperti membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, bertaubat, mendengarkan Al-Qur’an dari orang yang membacanya, ikut kajian, mendengarkan rekaman kajian ilmu atau tafsir, atau yang lainnya[3].

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad ﷺ ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi ﷺ bersabda padanya,

فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)[4].

Kedua, bersedekah, infak, atau amal sosial keagamaan lainnya.

Ibadah berikutnya yang bisa dilaksanakan saat sedang haid adalah sedekah. Amalan yang tetap bisa dilakukan  diantaranya berdoa, berdzikir,  dan  memperbanyak sedekah.[5] Sedekah adalah perbuatan yang memiliki dampak luar biasa, tidak hanya mengharap pahala dari Allah ﷻ tetapi juga memberi manfaat kepada orang lain.

Disebutkan dalam hadits dari Sa’id bin Abu Burdah, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ bersabda, “Setiap muslim itu harus bersedekah”, para sahabat bertanya, “Bagaimana jika dia tidak memiliki sesuatu (harta) yang akan disedekahkannya?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia bekerja hingga memperoleh hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan dengannya ia dapat bersedekah”, mereka bertanya lagi: “Jika ia tidak sanggup melakukannya?” Rasulullah menjawab, “Hendaklah ia membantu orang yang membutuhkan pertolongan”, mereka kembali bertanya, “Jika hal itu tidak sanggup ia lakukan?” Rasulullah menjawab, “Hendaklah ia memerintahkan suatu kebaikan dan menahan diri dari berbuat mungkar, itu merupakan sedekah baginya” (HR. Bukhari dalam kitab Zakat no. 1445, dan Muslim no. 1008).[6]

Ketiga, belajar ilmu agama.

Setelah dzikir dan sedekah, wanita yang sedang haid juga bisa melaksanakan ibadah dengan belajar ilmu agama atau menuntut ilmu agama. Menuntut ilmu adalah suatu hal yang sangat penting untuk mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Tanpa adanya ilmu, manusia tidak bisa melakukan segala hal.

Dalam mencari nafkah perlu ilmu, beribadah perlu ilmu, dan bahkan makan dan minum pun memerlukan ilmu. Dengan begitu menuntut ilmu merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditolak apalagi menyangkut dengan kewajiban seseorang sebagai hamba Allah ﷻ. Jika seseorang tidak memahami kewajibannya sebagai hamba, maka bagaimana bisa dia memperoleh kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.[7]

Menuntut ilmu bukan berarti harus mengikuti pendidikan formal, ilmu bisa didapatkan dari mana saja. Menghadiri kajian ilmu, tabligh akbar, membaca buku, atau menyimak majelis ilmu secara daring dari berbagai sosial media. Terlebih lagi, di era digitalisasi seperti saat ini kita bisa mendapatkan ilmu dari mana saja dalam genggaman tangan. Namun, kita juga perlu tabayyun dan memfilter berbagai ilmu yang kita dapat dengan memastikan kebenaran ilmu tersebut.

Sahabat Ar-Rasikh, masih banyak amal ibadah lainnya yang bisa menjadi sumber pahala bagi wanita haid. Karena itu, tidak ada alasan untuk bersedih atau tidak terima dengan kondisi haid yang dia alami. Dan begitu banyaknya kemudahan untuk mengerjakan ibadah meski sedang berhalangan sekalipun. Berdzikir, sedekah, dan menuntut ilmu adalah tiga contoh ibadah yang bisa dilakukan wanita yang sedang haid. Maka, tidak ada lagi alasan untuk tidak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat seluas-luasnya kepada sahabat Ar-Rasikh sekalian. Wa Allahu ‘alam.

Marâji’:

[1] Ilmiah, Wardatul, dkk. 2021. Pendidikan Karakter dalam Puasa Ramadhan. Jurnal Pendidikan Karakter “JAWARA” (JPKJ) Vol 7. 1 Juni 2021. h. 51-60.

[2] Senja, Ratu Aprilia. 2018. Mencari Pahala Disaat Haid. Surabaya: Pustaka Media.

[3] Ibid.

[4] Muhammad Abduh Tuasikal “Mendapati Haid Ketika Thawaf Ifadhah”

https://rumaysho.com/3667-mendapati-haid-ketika-thawaf-ifadhah.html. Diakses pada Selasa, 26 Maret 2024.

[5] Rosana, H. M. (2016). Ibadah Penuh Berkah Ketika Haid dan Nifas. Lembar Langit Indonesia.

[6] Faris, Luthfi Ahmad, dkk. 2024. Keutamaan Sedekah Secara Sembunyi-Sembunyi. SYNERGY Vol (1) No. 4. h. 266-274.

[7] Lubis, Z. 2016. Kewajiban Belajar. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumut Medan.

Download Buletin klik disini

Agar Mudik Kita Lebih Bermakna

Agar Mudik Kita Lebih Bermakna

Erry Satya Panunggal (Tendik FTI UII)

 

Mudik menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi menyambut Hari Raya Idul Fitri di Indonesia. Secara bahasa, kata mudik berasal dari bahasa Jawa Kuno muḍik, yakni dari kata uḍik yang artinya naik; maju (berjalan) ke hulu; menuju ke darat.[1] Membuncahnya kerinduan akan kampung halaman dan keinginan bertemu orang tua serta sanak keluarga membuat animo mudik seakan tak pernah surut. Di tahun 2023 saja, tercatat 123,8 juta orang atau 45% dari total populasi penduduk Indonesia yang menjalani ritual mudik lebaran ke kampung halaman.[2]

Meski mudik memang lebih lekat dengan tradisi kultural di tanah air, namun tidak ada salahnya jika kita sebagai seorang muslim juga menggali nilai-nilai positif di dalamnya sehingga dapat lebih memaknainya. Berikut beberapa tips yang dapat kita coba untuk membuat mudik kita menjadi lebih bermakna.

Meluruskan niat: birrul walidain

Niat menjadi pondasi utama seorang muslim sebelum menjalankan berbagai aktivitas. Suatu aktivitas yang didasari oleh niat yang mulia yakni mencari rida Allah l dan mengikuti tuntunan Rasul-Nya akan membawa keberkahan dan pahala kebajikan.[3] Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Begitupun dengan mudik. Jika kita gali dari aktivitas mudik, salah satu yang paling kental adalah nilai berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung tali silaturahmi.[4] Hal ini sejalan dengan ajaran birrul walidain. Allah ﷻ berfirman,

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisâ’ [4]: 36).

Begitu pentingnya birrul walidain dalam Islam, sehingga Allah ﷻ kerap menyambungkan perintah beribadah kepada-Nya dengan berbakti kepada kedua orang tua. Oleh karena itu, niatkanlah mudik kita dengan tujuan mengamalkan birrul walidain dan menyambung silaturahmi.

Menghindari mudharat ketika dalam perjalanan

Jauh ataupun dekat jarak yang kita tempuh selama mudik, hendaknya kita selalu berupaya menghindari mudharat yang dapat timbul dalam perjalanan. Keselamatan jiwa adalah prioritas utama yang perlu diperhatikan setiap pemudik. Sebagaimana tujuan dari hukum Islam adalah li jalb al-mashaalihi wa lidaf’i al-mafaasid, yaitu mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.

Memilih alat transportasi mudik yang aman dan nyaman menjadi ikhtiar yang tidak boleh disepelekan. Selanjutnya, mematuhi semua rambu-rambu lalu lintas jika kita berkendara dengan kendaraan pribadi. Sebab ketertiban dalam berlalu lintas adalah kemaslahatan, sedangkan melanggar lalu lintas adalah perbuatan yang mendatangkan mudharat.[5]

Kemudian menghormati hak-hak pengguna jalan lain. Selain itu, tidak memaksakan diri berkendara ketika badan sudah lelah atau sangat mengantuk. Tak kalah penting adalah mengawali perjalanan mudik kita dengan memanjatkan doa. Selama perjalanan, kita juga dapat menghiasi waktu-waktunya dengan berzikir maupun bershalawat.

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menjabarkan lima hal terkait doa berkendaraan, yaitu:[6]

  1. Membaca basmallah.
  2. Membaca doa, “Alhamdulillāhilladzī/subhānalladzī sakhkhara lanā hādzā wa mā kunnā lahū muqrinīna, wa innā ilā rabbinā lamunqalibūna”.
  3. Membaca hamdallah 3x.
  4. Membaca takbir 3x.
  5. Membaca doa, “Subhānaka innī zhalamtu nafsī faghfirlī fa innahū lā yaghfiruz dzunūba illā anta”.

Menanggalkan sifat sombong dan menyuburkan berbagi

Kerja keras dan kesuksesan yang kita upayakan dengan serius di tanah perantauan seringkali menjadi pintu bagi tumbuhnya benih-benih kesombongan. Secara tidak sadar, kita dapat terbujuk untuk membangga-banggakan kesuksesan yang berhasil diraih di depan sanak keluarga maupun tetangga secara berlebihan. Gus Baha dalam salah satu ceramahnya pernah berkata bahwa sesungguhnya sikap sombong dan tawadhu perbedaannya sangat tipis.[7] Oleh karena itu, semuanya kembali kepada niat dan tujuan diri kita ketika membincangkan kesuksesan tersebut.

Di sisi lain, mudik dapat menjadi waktu yang tepat untuk menyuburkan sikap berbagi dengan kerabat atau handai taulan yang kurang mampu di kampung halaman.[8] Hal ini akan meningkatkan solidaritas sesama serta menjadi bentuk syukur atas karunia Allah ﷻ kepada kita.

Menjaga lisan ketika bersilaturahmi

Mulutmu adalah harimaumu, demikian pepatah populer yang sangat familiar kita dengar. Di tengah asyiknya bersilaturahmi bersama keluarga, secara tak sadar meluncur perkataan atau pertanyaan yang dapat melukai hati saudara kita. Seperti di antaranya menanyakan hal-hal yang sifatnya masuk ranah privasi bagi lawan bicara. Sebagai contoh, menanyakan kapan akan berkeluarga, kapan akan punya atau menambah momongan, kapan akan membeli kendaraan, dsb.

Bagi penanya yang tidak sensitif, hal ini sering dianggap sebagai basa-basi untuk memantik pembicaraan yang lebih lanjut. Daripada tidak ada bahan obrolan, kilahnya. Namun bagi orang yang ditanya, pertanyaan tersebut dapat menyinggung atau melukai perasaan mereka. Oleh karenanya, bagi sebagian orang, momen silaturahmi yang seharusnya menyenangkan penuh suka cita, justru menjadi momok yang membuat tidak nyaman. Menyikapi hal ini, kita dapat berkaca pada sabda Rasulullah diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya” (HR. Al-Bukhari, no. 10).

Maka penting menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang kotor atau menyakitkan.[9] Topik pembicaraan yang ringan seperti nostalgia masa kecil di kampung halaman, kuliner, dan hobi bisa menjadi hal yang menarik dan mendekatkan kita kepada lawan bicara.[10]

Demikian hal-hal yang penulis rangkum agar mudik kita di saat lebaran nanti dapat lebih bermakna. Semoga bermanfaat.

Marâji’:

[1] “Hasil Pencarian – KBBI Daring”. kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses pada 14 Maret 2024.

[2] Isna Rifka Sri Rahayu. “Survei Kemenhub: Jumlah Pemudik Tahun Ini 193,6 Juta Orang”. https://money.kompas.com/read/2024/03/12/163000326/survei-kemenhub–jumlah-pemudik-tahun-ini-193-6-juta-orang. Diakses pada 13 Maret 2024.

[3] M. Ngisom Al-Barony. “Niat Penentu Amal Perbuatan”. https://jateng.nu.or.id/keislaman/niat-penentu-amal-perbuatan-c3xT3. Diakses pada 13 Maret 2024.

[4] K.H. Ahmad Misbah. “Berbakti kepada Orang Tua”. https://banten.nu.or.id/ramadhan/berbakti-kepada-orang-tua-2SpSG. Diakses pada 13 Maret 2024.

[5] Agus Hermanto. “Fiqih Lalu lintas: Mendatangkan Maslahat dan Menghindari Kemudharatan dalam Berkendara”. https://lampung.nu.or.id/opini/fiqih-lalu-lintas-mendatangkan-maslahat-dan-menghindari-kemudharatan-dalam-berkendara-7MxMN. Diakses pada 13 Maret 2024.

[6] Alhafiz Kurniawan. “Berharap Perjalanan Lancar? Amalkan Bacaan Ini saat di Atas Kendaraan”. https://jatim.nu.or.id/keislaman/berharap-perjalanan-lancar-amalkan-bacaan-ini-saat-di-atas-kendaraan-zef8p. Diakses pada 13 Maret 2024.

[7] Khalilatul Azizah. “Gus Baha: Benang Tipis antara Tawaduk dan Sombong”. https://www.islamramah.co/2022/07/9706/gus-baha-benang-tipis-antara-tawaduk-dan-sombong.html. Diakses pada 13 Maret 2024.

[8] Aru Lego Triono. “Tips Mudik Berkah dan Berpahala menurut Ketua PBNU”. https://m.nu.or.id/nasional/tips-mudik-berkah-dan-berpahala-menurut-ketua-pbnu-MgNJg. Diakses pada 13 Maret 2024.

[9] Syarifudin. “Kenapa Anda Perlu Menjaga Lisan Saat Silaturahim Lebaran?”. https://www.indonesiana.id/read/163567/kenapa-anda-perlu-menjaga-lisan-saat-silaturahim-lebaran. Diakses pada 14 Maret 2024.

[10] Ega Syakila. “9 Bahan Obrolan Menyenangkan, Cocok untuk Kumpul Lebaran!”. https://www.idntimes.com/men/attitude/ega-syakila/bahan-obrolan-menyenangkan-cocok-untuk-kumpul-lebaran. Diakses pada 14 Maret 2024.

Download Buletin klik disini

I’TIKAF: SELF HEALING TERBAIK

I’TIKAF: SELF HEALING TERBAIK

Suci Putriani Azhari, S.Pd

 

Belakangan ini kata healing menjadi kata yang sangat akrab dan cukup fenomenal di kalangan gen Z, tagar #healing menjadi hastag terpopuler di dunia yang ada berbagai media sosial. Foto-foto atau video yang menggunakan caption healing yang terdapat di media sosial berisi konten tentang alam, quotes, edukasi, dan jalan-jalan yang dimaknai sebagai bentuk kegiatan proses healing.  Hal yang demikian, terjadi karena seseorang mengalami kelelahan secara emosional yang dikarenakan oleh hal tertentu, seperti halnya mahasiswa yang mengalami stres karena tuntunan tugas, dan lain sebagainya sehingga seseorang ini memerlukan yang namanya penyegaran agar tidak terjebak pada stres yang berkepanjangan.

Bahkan sering juga kita mendengar teman-teman dari kalangan mahasiswa yang berkata, seperti, “Healing ke Pantai yuk!” atau “Habis ujian kita healing yuk buat refreshing pikiran”. Apakah makna healing pada kalimat diatas sudah tepat? Dan apakah setiap kita mengalami banyak tekanan dilampiaskan dengan healing yang dimaksud liburan? Yuk kita bahas dulu makna healing yang sebenarnya.

Makna Healing

Kata healing berasal dari bahasa inggris, yakni heal yang artinya penyembuhan. Dalam kajian ilmu psikologi, ternyata healing termasuk salah satu macam teknik terapi atau Mind Healing Techniqe (MHT) yang dikenal dengan istilah self healing, yaitu serangkaian pengertian dan juga keterampilan yang merupakan proses seseorang untuk bisa mengelola diri secara fisik, mental, emosi maupun spiritual agar hidupnya lebih selaras, lebih sehat, lebih waras dan lebih bahagia.[1]

Dalam jiwa manusia terdapat tujuh unsur energi yang sangat mempengaruhi kehidupan yang menjadi pondasi kesehatan dan kebahagian, yaitu energi ruhiyah, energi fitrah, energi qalbiyah (perasaan, pikiran bawah sadar), energi aqliyah (pikiran sadar), energi nafsiyah (keinginan, desire), energi jasmaniyah (fisik), dan energi karimiyah (nilai, value).[2] Ketujuh energi ini yang paling penting untuk diperbaiki adalah energi qalbiyah, karena sumber kebaikan dan keburukan fisik seseorang terletak pada hati. Sebagaiman hadits dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Beberapa penjelasan diatas menunjukkan bahwa healing dapat dimaknai sebagai penyembuhan untuk mendapatkan ketenangan dalam jiwa. Dalam ajaran Islam menjelaskan bahwa cara untuk mendapatkan ketenangan dalam jiwa adalah melalui dzikir kepada Allah ﷻ. Sebagaimana Allah ﷻ jelaskan dalam Al-Qur’an surah Ar-Ra’ad ayat 28,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentran dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).

Healing dengan I’tikaf

Jika melihat arti healing sesunguhnya bahwa penyembuhan bukanlah tentang traveling yakni mengunjungi tempat wisata, karena bisa saja ketika kita telah melakukan traveling bukan menemukan ketenangan tetapi sebaliknya. Meskipun demikian, kita juga perlu hilang sejenak untuk healing. Hilang yang dimaksud di sini adalah mengasingkan diri sementara dari kesibukan duniawi. Para ulama salaf juga memiliki tradisi hilang untuk healing, dalam hal ini Al-Qur’an mengabadikan situasi ini, yaitu keluarga Zakaria termasuk anak yatim yang diasuhnya, Maryam binti Imran Ibunda Isa yang mengalokasikan sejumlah waktu untuk beribadah di mihrab disebut dengan bilik privasi.

Allah ﷻ berfirman,

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا ٱلۡمِحۡرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزۡقٗاۖ قَالَ يَٰمَرۡيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَاۖ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ”Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan ini) Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikendaki-Nya tanpa hisab” (QS. Maryam [19]: 37).

Para pakar tafsir mengatakan bahwa Zakaria menempatkan Maryam di tempat yang mulia yang terletak di dalam masjid tidak ada yang dapat menemuinya selain Zakaria. Maryam melakukan ibadah di tempat tersebut dan ia pun melakukan kewajibannya. Ia senantiasa melaksanakan Ibadah siang dan malam. Maryam pun dijadikan permisalan oleh Bani Israil karena ibadahnya.[3]

Pada momentum Ramadhan merupakan healing terbaik yakni dengan melakukan tadzakkur dan tafakkur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Momen ini disebut dengan i’tikaf. I’tikaf artinya tinggal atau berdiam diri. I’tikaf merupakan momen menyibukkan diri, hati dan pikiran tertuju kepada Allah ﷻ dengan harapan bisa mendapatkan lailatul qadar, yakni malam yang dinilai lebih baik daripada seribu bulan. Konsep i’tikaf dari sekedar mengasingkan diri perlu memahami serba-serbi i’tikaf (fikih iktikaf) agar tidak terjebak kepada rutinitas tinggal di masjid, apalagi hanya beramai-ramai sehingga tidak memberikan dampak perubahan apapun sebelum dengan sesudah melakukan i’tikaf.

Serba-Serbi I’tikaf

Dalil bahwa hukum i’tikaf adalah mustahab, karena Nabi Muhammad ﷺ pernah melakukan i’tikaf di 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ, فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Muslim no. 1167).

Rukun I’tikaf

  1. Orang yang beri’tikaf (mu’takif); Muslim, Akil, Mumayyiz, dan Suci dari hadast besar[4]
  2. Niat beri’tikaf
  3. Tempat i’tikaf (mu’takaf fihi)
  4. Menetap di dalam masjid[5]

Hal yang membatalkan I’tikaf

  1. Bersetubuh
  2. Keluar dari masjid tanpa udzur syar’i
  3. Murtad
  4. Mabuk
  5. Haid dan nifas

Adapun Adab-Adab yang harus Dijaga ketika I’tikaf

  1. Menyibukkan diri dengan melalukan ibadah, seperti shalat, tilawah Al-Qur’an, dzikir, dan berdo’a
  2. Menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat
  3. Tidak keluar dari masjid selama i’tikaf
  4. Menahan diri dari kecenderungan mengikuti hawa nafsu

Marâji’:

[1] Ajeng Pratiwi, dkk, Nilai Sufistik dalam Prosedur Self Healing, dalam jurnal Syifa al-Qulub: Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik, 2020, h.19.

[2] E. Hafidhuddin Malik, Parenting Healing untuk Keluarga Bahagia, Jakarta: Adibintang, 2015, h.2.

[3] Brilly El-Rashid, Hilang untuk Healing dengan Istighfar, Jakarta: Brillyelrashid, 2024, h.7.

[4] Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi,2005. I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.

[5] Ansory, Isnan. 2020, I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ‘ied, dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing.

Download Buletin klik disini

Sempurnakanlah Ramadhanmu! 

Sempurnakanlah Ramadhanmu! 

Muhammad Irfan Dhiaulhaq AR

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam. Pada bulan ini, kaum muslimin diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh yang dilaksanakan dari terbit hingga terbenam matahari.[1] Aktivitas yang dilaksakan ketika bulan Ramadhan sangatlah beragam. Namun, sebagai seorang muslim yang sangat menjaga esensi ibadahnya sepatutnya kita dapat memaksimalkan sepenuhnya seluruh kebaikan serta hakikat ibadah puasa yang kita laksanakan. Ramadhan bukanlah hanya sebuah bulan dalam Islam. Ia adalah sebuah pola hidup, bagaimana seseorang bisa mengatur dunia dan akhiratnya dengan semaksimal mungkin, melatih raga dan jiwa nya agar mampu beribadah hanya fokus kepada Allah l.[2] Apabila kita menjalankan ibadah puasa tanpa ridh-Nya, niscaya kita akan hanya mendapatkan  rasa lapar dan dahaga tanpa adanya berkah dari Allah ﷻ.

Oleh karena itu, sepatutnya kita sebagai orang muslim selalu menghindari kegiatan atau aktivitas yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan esesensi dan hakikat ibadah puasa. Kegiatan tersebut dapat berupa suatu kegiatan yang sia-sia atau tidak ada manfaatnya sama sekali. Berikut beberapa tips agar ibadah kita di bulan Ramadhan lebih sempurna sesuai dengan petunjuk syariat:

Qiyamul-Lail di malam Ramadhan

Menjaga sepertiga malam terakhir bulan Ramadhan merupakan salah satu amalan terbaik yang dapat memaksimalkan potensi ibadah kita. Selain itu, mengerjakan shalat tarawih serta tadarrus al-Quran juga merupakan amalan yang dapat menyempurnakan bulan mulia ini.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Dengan selalu mengatur jadwal mengaji yang kita miliki serta menargetkan untuk khatam al-Qur’an beberapa kali dalam satu bulan seperti membaca one day one juz, dua lembar setelah shalat atau metode lainya. Hal tersebut dapat meningkatkan semangat kita untuk senantiasa membaca, memahami serta meningkatkan semangat al-Qur’an dalam jiwa kita.

Jauhi Perbuatan dan Ucapan Tercela

Perbuatan tersebut dapat berupa berbohong, memfitnah, menipu, berkata kotor, mencaci maki, membuat gaduh, menganggu orang lain berkelahi dan segala perbuatan yang dapat merugikan orang atau pihak lain serta tercela menurut ajaran Islam.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Maka sebagai seorang muslim, hendaknya menghindari seluruh aktifitas atau kegiatan yang tidak bermanfaat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apabila kita ada keinginan melakukan hal tersebut, maka sebaiknya kita selalu mengingat bahwa kita sedang menjalankan ibadah kepada Allah ﷻ yaitu berpuasa.

Tidak Berkumur atau Istinsyaq secara Berlebihan

Berkumur (Istinsyaq) merupakan salah satu rukun wudhu‘. Namun, apabila kita melakukanya berlebihan ketika berpuasa maka hal tersebut dapat mengurangi pahala puasa kita.

Dari Laqith bin Shabrah, Nabi ﷺ bersabda,

أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

Sempurnakanlah wudhu, bersungguh-sungguhlah ketika istisyaq (menghirup air ke dalam hidung), kecuali ketika kamu sedang puasa.” (HR. Nasa’i 87, Abu Daud 142, Turmudzi 788 – hadis shahih)

Maka dari itu pembaca yang dirahmati oleh Allah ﷻ, hendaknya kita menghindari untuk berkumur-kumur terlalu lama dalam wudhu‘. Karena hal tersebut dapat mengurangi atau menghilangkan esensi ibadah puasa kita.

Mengakhirkan Sahur dan Menyegerakan Berbuka

Ketika waktu sahur telah tiba, Rasulullah ﷺ menganjurkan untuk mengakhirkan waktu sahur. Selain dapat memaksimalkan ibadah puasa kita nantinya, hal tersebut juga dapat meningkatkan simpanan energi yang kita miliki ketika menjalankan ibadah puasa sehingga kita dapat memperbanyak amalan kebaikan didalamnya.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).

Sahurnya Nabi ﷺ dekat dengan waktu shubuh. Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ، قَالَ: قُلْتُ: كَمْ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةٍ

“Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah n lalu melaksanakan shalat. Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid, “Berapa jarak antara adzan dan sahur ?”. Dia menjawab : ‘seperti lama membaca 50 ayat’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian, ketika waktu berbuka tiba hendaknya kita dapat menyegerakan diri untuk berbuka dengan apa yang dapat kita konsumsi. Dari Sahl bin Sa’ad, beliau berkata bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,

نْ سَهْلِ بنِ سَعْدٍ، أَنَّ رسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: لاَ يَزالُ النَّاسُ بخَيْرٍ مَا عَجلوا الفِطْرَ متفقٌ عَلَيْهِ.

Umat ini akan senantiasa tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka (apabila telah masuk waktunya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

I‘tikaf di Masjid

Ibadah ini merupakan salah satu tips untuk lebih dekat kepada Allah ﷻ dengan cara berdiam diri di masjid untuk beberapa saat, terutama pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Banyak masjid-masjid yang mengadakan i’tikaf berjamaah untuk meramaikan 10 malam terakhir di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah x, ia berkata,

أَنَّ اَلنَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwasanya Nabi  biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).

Ketika hendak beri’tikaf di masjid, kita juga harus menjaga tata krama serta sopan santun sepanjang i’tikaf. Hal tersebut dapat kita lakukan dengan selalu menjaga kebersihan, ketertibah serta kerapian area tempat kita ber i’tikaf. Selain itu, kita dapat menyisipkan ibadah-ibadah didalamnya seperti berdzikir, membaca al-Qur’an serta menunaikan shalat  sunnah lainya. Dengan memaksimalkan seluruh perintah dan larangan tersebut, Insyaallah amalan puasa kita dapat penuh total dan berpahala maksimal dan diridhai oleh Allah l.[3]

Bârakallâhu fîkum.

Marâji’:

[1] Royanulloh, R., & Komari, K. (2019). Bulan Ramadan dan Kebahagiaan Seorang Muslim. Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, 2(2), 51–62. https://doi.org/10.15575/jpib.v2i2.5587

[2] Ilmiah, W. (2021). Pendidikan Karakter Dalam Puasa Ramadhan. Jurnal Pendidikan Karakter, 7.

[3] Anwar, S. (2020). Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan Di Masa COVID-19. Pimpinan Pusat Muhammadiyyah.

Download Buletin klik disini

Memetik Manfaat Waktu Sahar ketika Ramadhan

Memetik Manfaat Waktu Sahar ketika Ramadhan

Erry Satya Panunggal, S.IP.

*Kaur Data Akademik Fakultas Teknologi Industri UII

 

Bulan Ramadhan identik dengan aktivitas makan sahur guna mempersiapkan diri menjalani ibadah puasa hingga adzan maghrib. Selain bersantap sahur, sebenarnya banyak aktivitas lain yang tidak kalah mengandung keberkahan pada waktu tersebut. Hal ini utamanya banyak berhubungan dengan waktu sahar yang diyakini para ulama adalah waktu yang sangat baik untuk bermunajat dan memohon ampunan kepada Allah ﷻ.

Kapan Waktu Sahar itu?

Waktu sahar merujuk pada sesaat sebelum fajar shadiq tiba. Sedangkan kata “sahar” di dalam kamus bahasa bermakna akhir malam, sebelum terbit fajar, sedikit sebelum waktu subuh, dan ketika kegelapan malam bercampur dengan cahaya siang.[1]

Ustaz Adi Hidayat, dalam salah satu ceramahnya menyebut waktu sahar berlangsung pada 15-30 menit sebelum fajar.[2] Sedangkan Ustaz drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D. dalam laman Universitas Islam Indonesia, berpendapat waktu sahar berlangsung sekitar 10-20 menit sebelum adzan subuh.[3]

Sebagaimana difirmankan Allah ﷻ dalam surah Ali ‘Imran ayat 17 yang berbunyi,

ٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْمُنفِقِينَ وَٱلْمُسْتَغْفِرِينَ بِٱلْأَسْحَارِ

“(Juga) orang-orang yang sabar, benar, taat, dan berinfak, serta memohon ampunan pada akhir malam” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 17).

Keutamaan Waktu Sahar dan Amalan yang Dianjurkan

Ibnu Katsir ketika menafsirkan surah Ali Ali ‘Imran ayat 17 berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristighfar di waktu sahur. [4] Menurut sebuah riwayat, Nabi Ya’qub pada suatu waktu diminta oleh anak-anaknya untuk memohonkan ampun kepada Allah ﷻ atas kesalahan yang pernah mereka perbuat dalam kisah Nabi Yusuf u. Beliau menangguhkan memintakan pengampunan sampai waktu sahar. Sebab doa dan permohonan ampun terkabul pada waktu sahar.[5]

Di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ

Rabb kami Tabaaraka wa Ta’aalaa turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’anya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.” (HR Al-Bukhari No. 1145 dan Muslim No. 758)

Di kalangan sahabat, Abdullah ibnu Umar memberikan teladan bahwa setelah menjalankan shalat sunnah di malam hari, ia bertanya kepada pembantunya, Nafi Maula Ibnu Umar, apakah sudah masuk waktu sahur. Jika dijawab belum, Ibnu Umar akan melanjutkan shalatnya. Ketika dijawab sudah, Ibnu Umar pun kemudian menutup ibadah shalat sunnahnya dengan berdoa dan memohon ampun kepada Allah ﷻ hingga waktu Shubuh.

Dalam riwayat lain, kita menemukan salah seorang Assabiqunal Awwalun, yakni sahabat Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) yang melantunkan doa dalam sebuah sudut masjid, “Ya Tuhanku, Engkau telah memerintahkan kepadaku, maka aku taati perintah-Mu; dan ini adalah waktu sahur, maka berikanlah ampunan untukku.”

Sementara itu, Imam Nawawi berpendapat bahwa bentuk keberkahan makan sahur adalah umat muslim banyak yang berzikir maupun berdoa di waktu tersebut. Pada momen itulah, saat diturunkannya rahmat serta diterimanya doa dan istighfar.[6]

Berkaca pada uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah ﷻ, serta memanjatkan doa-doa terbaik kita di waktu sahar hingga azan subuh berkumandang.

Tidak mengherankan jika pada waktu tersebut dinilai sangat baik bagi kita untuk memohon ampun pada-Nya. Selain berkaitan dengan aspek spiritualitas, kondisi jiwa individu secara umum masih tenang dan belum banyak memikirkan hal-hal keduniawian. Terlebih dengan suasana malam yang hening, batin kita menjadi lebih terbuka untuk merenung dan bermuhasabah atas kesalahan yang pernah diperbuat sehingga meningkatkan ikatan penghambaan kepada Allah ﷻ.

Tantangan Memanfaatkan Waktu Sahar dan Kiat Mengatasinya

Meski telah menyadari besarnya manfaat dan keberkahan waktu sahar, tidak jarang diri kita dihinggapi rasa malas yang hebat untuk mengejar berbagai amalan utama di dalamnya. Salah satu tantangan adalah melawan rasa kantuk yang menghinggapi setelah santap sahur. Memang secara biologis, tubuh akan melepaskan hormon tertentu seperti serotonin dan melatonin ketika mencerna makanan. Peningkatan kedua hormon tersebut bisa menimbulkan rasa kantuk.[7]

Oleh karena itu, ada baiknya kita pandai-pandai mengatur asupan makanan yang masuk ke tubuh ketika sahur. Hindarilah makan secara berlebihan. Agar tidak mengantuk usai sahur, batasi diri dari menyantap makanan berat, berlemak, atau terlalu manis karena dapat membuat tubuh bekerja lebih keras untuk mencerna.[8]

Menyantap porsi asupan makanan secara proporsional juga akan memudahkan kita mengendalikan rasa kantuk yang datang setelahnya. Selain itu, minum air putih dengan baik juga membantu tubuh kita terhindar dari dehidrasi dan menghilangkan rasa kantuk usai sahur.

Selanjutnya, sejenak meletakkan gawai atau smartphone setelah sahur. Pascasahur, sering kita tertarik membuka gawai untuk mengakses update terkini pada kanal media sosial. Tidak kita sadari, aktivitas itu begitu mengasyikkan sehingga waktu sahur pun berlalu begitu saja tanpa amalan utama.

Terakhir adalah mempersiapkan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya. Memiliki waktu tidur yang terjadwal dan berkualitas akan sangat membantu tubuh kita bangun dengan kondisi segar sehingga tidak berat dalam menjalankan berbagai amalan yang menunggu di waktu sahar.

Marâji’:

[1] Farahidi, Kitāb al-‘Ain, kata Sahr, jilid. 3, h. 136.

[2] Sri Malahayati. “Keajaiban Waktu Sahar, Ustadz Adi Hidayat: Sekitar 20 Menit Menjelang Waktu Subuh”. https://www.jabartranding.com/khazanah/pr-6304581896/keajaiban-waktu-sahar-ustadz-adi-hidayat-sekitar-20-menit-menjelang-waktu-subuh. Diakses pada 4 Maret 2024.

[3] Lulu Yahdini. “Keutamaan Memperbanyak Amalan di Waktu Sahar”. https://www.uii.ac.id/keutamaan-memperbanyak-amalan-di-waktu-sahar. Diakses pada 4 Maret 2024.

[4] “Tafsir Surah Ali Imran, ayat 16-17”. http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-16-17.html. Diakses pada 4 Maret 2024.

[5] https://quran.nu.or.id/yusuf/98. Diakses pada 4 Maret 2024.

[6] Aya Ummu Najwa. “Mustajabnya Doa di Waktu Sahur”. https://narasipost.com/syiar/06/2021/mustajabnya-doa-di-waktu-sahur/. Diakses pada 4 Maret 2024.

[7] Nuriel Shiami Indiraphasa. “Sering Mengantuk setelah Sahur? Ahli Gizi Ungkap Penyebabnya”. https://www.nu.or.id/kesehatan/sering-mengantuk-setelah-sahur-ahli-gizi-ungkap-penyebabnya-ltP6J.  Diakses pada 4 Maret 2024.

[8] Nurul Faradila. “5 Tips Ampuh Usir Kantuk Setelah Santap Sahur, Dijamin Langsung Melek”. https://health.grid.id/read/353225328/5-tips-ampuh-usir-kantuk-setelah-santap-sahur-dijamin-langsung-melek. Diakses pada 4 Maret 2024.

Download Buletin klik disini

Beginilah Rasulullah ﷺ Berbuka Puasa

Beginilah Rasulullah Berbuka Puasa

Nur Laelatul Qodariyah

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, tinggal hitungan hari Ramadhan 1445 H menyapa kaum muslimin di seluruh dunia. Berbagai persiapan sudah dirancang dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah. Disamping persiapan ilmu tentang fikih Ramadhan, penting juga menjaga fisik agar kuat dalam beraktifitas di bulan Ramadhan.

Jangan sampai fisik kita kalah, jangan sampai tubuh kita lemah sehingga tumbang di tengah-tengah menjalani puasa wajib, karena kesempatan datang ketika kita berani untuk mengambilnya. Sehingga Terjaganya tubuh dari macam-macam penyakit adalah kenikmatan utama yang tidak bisa kita beli dengan uang. Sayangi dirimu sebagaimana Allah ﷻ menghidupkanmu dengan nafas yang panjang sampai saat ini. Sehingga menjaga diri juga termasuk dalam mensyukuri nikmat dari Allah ﷻ.

Badan yang sehat, aktivitas yang lancar akan membuat kita semakin bergembira untuk melakukan amalan-amalan sunnah di bulan Ramadhan. Dengan hal begitu jika badan kita sehat dengan puasa wajib yang akan kita jalankan maka kemungkinan besar sunnah-sunnahnya pun akan terlaksanakan dengan lancar.

Semakin khidmat orang yang menjaga diri entah itu dari hal sebab makanan atau minuman, maka orang tersebut juga akan merasakan manisnya menjaga amalan-amalan rohaninya agar tetap istiqamah menjalani kehidupan yang sementara ini.

Memilih makanan untuk berbuka puasa sama halnya dengan memilah resiko masalah kesehatan dalam tubuh. Jika makanan yang awal masuk salah Ketika sedang berbuka, maka tubuh akan bereaksi dengan apa yang kita cerna. Coba bayangkan jika pembaca berbuka puasa dengan sambal yang teramat pedas. Maka apa yang akan terjadi kemudian? Tentu saja lambung akan kaget dengan masuknya zat makanan yang pedas tersebut.  Dalam Islam Rasulullah ﷺ, telah mengajarkan kepada kita untuk berbuka puasa yang baik. Lalu seperti apakah Rasulullah ﷺ berbuka puasa?

Berbuka Puasa dengan Kurma atau air putih

Setelah berpuasa kurang lebih 13 jam di Indonesia, pasti kita akan mengalami rasa haus yang terasa amat tajam, perut seolah seraya berkata untuk segera memanggil-manggil makanan untuk di santap. Serba-serbi macam lauk telah dimasak untuk membatalkan puasa diwaktu berbuka. Saat itu pasti tidak sabar untuk segera menyantapnya. Namun perlu di ingat bahwa tergesa-gesa dalam mengambil makanan dalam satu lahapan akan membuat sistem pencernaan kaget. Bayangkan saja Ketika kamu berbuka puasa langsung minum 1 gelas es buah dalam satu tegukan ditambah makan satu penuh piring. Belum lagi cemilan-cemilan lainnya yang belum sempat dimakan di mulut. Gimana sumpeknya pencernaan di dalam sana berdesak-desakan dengan makanan yang tiba-tiba datang dengan sangat banyaknya.

Makanan yang dianjurkan untuk awal berbuka. Sahabat yang mulia Anas bin Malik berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Dahulu Rasulullah berbuka puasa dengan kurma muda, sebelum sholat Maghrib. Jika tidak ada kurma muda, maka dengan kurma matang. Jika tidak ada, maka beliau meminum beberapa teguk air.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 2650)[1]

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan, bahwa jika tidak ada kurma, hendaklah air sebagai gantinya, bukan kue yang manis-manis atau buah-buahan lainnya kecuali jika tidak dapati dari keduanya. Seperti halnya yang diajarkan Rasulullah ﷺ, beliau jika berbuka puasa langkah pertama adalah memasukan kurma ke mulut, kemudian mengunyah secara perlahan-lahan kurma tersebut agar membangunkan bagian sistem pencernaan satu persatu mulai dari mulut, tenggorokan, kemudian pembentukan air liur agar dapat memproses makanan tersebut sampai ke lambung dengan lancar.

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan, bahwa waktu berbuka sebelum shalat Maghrib. Namun tidak boleh dengan alasan berbuka, kemudian melalaikan shalat Maghrib berjamaah di awal waktu. Maka yang lebih baik adalah menunda makan malam, sampai setelah shalat Maghrib, agar tidak terlambat. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/33, no. 18372]

Gizi Seimbang

Seperti yang telah kita ketahui bahwa, puasa Ramadhan merupakan puasa wajib bagi umat muslim. Sehingga yang puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah ﷻ. Selama puasa juga ada penurunan asupan gizi yang kita makan dikarenakan jumlah makanan yang dikonsumsi berkurang. Meskipun jumlah makanan yang dikonsumsi berkurang, kualitas dari makanan tersebut harus di tingkatkan kebutuhan zat gizi sehari-hari.

Menurut Kemenkes,[2] pola makan dengan menu seimbang adalah pola makan dengan menu makanan yang memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Anjuran yang dikonsumsi dari Kemenkes RI adalah “Isi Piringku” dengan pembagian seperti hal berikut:

½ piring terdiri dari:

  • 2/3 makanan pokok seperti nasi, kentang ubi
  • 1/3 lauk pauk atau protein (nabati dan hewani) seperti daging, ayam, ikan, tahu atau tempe

½ piring lagi terdiri dari:

  • 2/3 sayuran seperti bayam, kangkung, wortel atau sawi
  • 1/3 buah seperti pisang, jeruk, alpukat, apel.

Manfaat Puasa dalam Perspektif Islam

Manusia adalah tempatnya salah, semakin manusia menuruti keinginan nafsunya maka manusia akan terdorong jauh dalam jurang kesesatan. Untuk hal tersebut puasa adalah pelindung bagi manusia agar terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat. disaat puasa kita harus mengontrol lisan, mengontrol hati, mengontrol perbuatan yang tercela.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 4: 115).[3] Berdasarkan hadits ini juga menerangkan bahwa puasa dengan mengharapkan pahala dari Allahﷻ, maka Allahﷻ juga akan mengangkat derajat yang tinggi bagi orang-orang yang senantiasa mengharapkan sesuatu hanya kepada Allah ﷻ.[4]

Marâji’:

[1] Anonim. “Adab Sunnah Saat Berbuka.” https://nasihatsahabat.com/adab-sunnah-saat-berbuka-puasa-2/. Diakses pada tanggal 24 Febuari 2024.

[2] Norhasanah, “penyuluhan Gizi Online dengan Media Video Audio Visual , Tetap Fit saat Puasa dan pasca puasa dengan gizi seimbang”, Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK),  Vol 3, No 1 (2021)

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. “Kajian Ramadhan 3: Puasa Karena Iman dan Mengharap Pahala.” https://muslim.or.id/17294-kajian-ramadhan-3-puasa-karena-iman-dan-mengharap-pahala.html. Diakses pada tanggal 24 Febuari 2024.

[4] Anita Widiasari, Agus Fakhruddin, “Manfaat Puasa dalam Perspektif Islam dan Sains” Al-Hikmah, Vol.7, No, 1 (2021)

Download Buletin klik disini

Bekal Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Bekal Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Nizar Sadat

(Mahasiswa FIAI)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Tinggal menghitung hari, seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia akan menyambut datangnya bulan yang suci Ramadhan. Semua umat muslim diseluruh dunia akan melaksanakan ibadah rukun Islam yang ke-3 yaitu puasa Ramadhan. Ketahuilah bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang banyak memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, dan ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadr. Perhatikan hadits dari Abu Hurairah z, dia berkata, ‘Tatkala Ramadhan tiba, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنَ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Telah datang kepada kalian,[1] (bulan) Ramadhan. Bulan berberkah yang Allah wajibkan puasa terhadap kalian. Di dalamnya, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahîm ditutup, dan para syaithan dibelenggu. Padanya, terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang kebaikan (bulan tersebut) diharamkan terhadapnya, berarti ia telah (betul-betul) diharamkan.” (HR. Ahmad no. 8631 dan an-Nasai’no. 2079)[2]

Hadits diatas menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan ini banyak sekali keistimewaan didalamnya, keistimewaan yang bisa diambil hanya setiap satu tahun sekali. Maka sebagai umat muslim sudah seharusnya bergembira untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Lantas, sebagai seorang muslim bagaimana bekal ilmu menyambut bulan suci Ramadhan?

Menyambutnya Dengan Senang Hati

Kaum muslimin di seluruh dunia ini pantas untuk menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan dengan senang hati dan gembira, karena disetiap kebaikan yang dilakukannya pasti akan dilipatgandakan oleh Allah U dengan kelipatan yang berlipat-lipat ganda. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Berdasarkan hadits ini, rasa senang gembira ini pastinya akan menuntun kita agar bisa memaksimalkan dan menjadikan bulan Ramadhan sebagai ajang kompetisi diri untuk mengambil segala bentuk pahala disetiap kebaikan yang kita kerjakan.

Mempersiapkan Fisik

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664) [3]

Fisik yang kuat akan menjadi peluang besar untuk melakukan ketaatan kepada Allah U. Sehingga muslim yang kuat akan semakin banyak melakukan kebaikan pada bulan Ramadhan, dan semakin banyak juga pahala yang akan didapat oleh dirinya. Maka dari itu, mempersiapkan fisik untuk menyambut bulan suci Ramadhan adalah salah satu yang kita perlu lakukan, karena umat muslim akan melaksanakan puasa selama 1 bulan. Selain mempersiapkan fisik, sebagai manusia yang berakal kita juga perlu menahan hawa nafsu ketika berpuasa, baik hawa nafsu untuk makan, minum, dan menahan hawa nafsu (tidak berhubungan suami istri ketika berpuasa).

Membekali Diri dengan Ilmu

Membekali diri dengan fiqih puasa sebelum Ramadhan akan menjadikan amalan di bulan Ramadhan akan semakin sempurna. Karena Islam mengajarkan agar setiap muslim berbekal ilmu sebelum berkata dan beramal. Memahami panduannya, sebelum beramal. Allah ﷻ berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu. (QS. Muhammad [47]: 19).

Kata imam Bukhari ketika beliau menjelaskan ayat ini,

باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ

Penjelasan, bahwa ilmu harus didahulukan sebelum berbicara dan beramal.” (Shahih Bukhari, 1/130).

Beramal dengan ilmu, dalam arti berdasarkan dalil, akan membuat amal kita semakin meyakinkan. Sebagai seorang muslim, berpuasa saja tidak cukup dengan menahan lapar dan haus, ada faktor lain yang harus dipelajari. Dari Abu Hurairah z berkata, “Rasûlullâh ﷺ bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. Ahmad no. 8693)[4]

Penting memahami fiqih puasa agar puasa kita berkualitas disisi Allah ﷻ dan menjadi wasilah diampuninya dosa-dosa kita. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah ﷻ. (Lihat Fathul Bari, 4: 115).[5]

Semoga kita bisa menyambut datangnya bulan suci Ramadhan ini dengan gembira dan segala bentuk niat, ikhtiar kita untuk menyambut bulan suci Ramadhan ini menjadi nilai ibadah di mata Allah ﷻ, dan semoga kita bisa di pertemukan di bulan suci Ramadhan tahun ini.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan” (HR. Ahmad 1/259) [6]

Marâji’:

[1] Dalam riwayat lain dengan redaksi أَتَاكُمْ (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad 225/9-Al-Fath Ar-Rabbani dan An-Nasa’i 129/4 dan dishahihkan oleh Al-AlBani dalam At-Targhib 490/1). https://pesantrenalirsyad.org/majelis-ramadhan-ke-2-keutamaan-ramadhan-dan-puasa/. Diakses pada 19 Februari 2024.

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasâ`iy, dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Tamâmul Minnah hal. 395 lantaran beberapa jalurnya.

[3] Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 5228). https://almanhaj.or.id/12492-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-allah-subhanahu-wa-taala-2.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

[4] HR. Ahmad no. 8693 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban: 8/257 dan Syeikh Albani dalam Shahih Targhib: 1/262. https://islamqa.info/id/answers/93723/bagaimana-menjaga-puasa-di-tengah-banyaknya-kemaksiatan-dimana-mana. Diakses pada 19 Februari 2024.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal “Kajian Ramadhan 3: Puasa Karena Iman dan Mengharap Pahala.” https://muslim.or.id/17294-kajian-ramadhan-3-puasa-karena-iman-dan-mengharap-pahala.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

[6] Muhyidin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar, Daarul Hadits, Kairo, Mesir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (1/259), Ibnu Suniy dalam ’Amalul Yaum wal Lailah, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/1399), An Nawawi dalam Al Adzkar (245). Hadits ini dinilai dho’if oleh; Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (2/65), Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Tabyinul ‘Ajb (19), Syu’aib Al Arnauth menilai sanadnya dho’if dalam tahqiq musnad Imam Ahmad (1/259). Ringkasnya, riwayat yang menyebutkan do’a bulan Rajab tersebut adalah riwayat yang dho’if. Sehingga sikap kita terhadap do’a tersebut adalah tidak menganggapnya sebagai sabda Nabi n. https://muslim.or.id/21263-ya-allah-berkahilah-kami-di-bulan-rajab.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

Download Buletin klik disini

Hukum Nazar Ketika Pemilu, Ingat Ada Kafaratnya

Hukum Nazar Ketika Pemilu, Ingat Ada Kafaratnya

Much Diki Mualimin

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Beberapa hari terakhir, sedang riuh-riuhnya tahun politik dimana sebagian masyarakat yang menjadi pendukung calon yang akan maju menjadi anggota parlemen melakukan berbagai bentuk aksi agar calon yang didukungnya bisa menang dalam pemilihan umum, salah satu bentuk aksi yang dilakukannya adalah dengan melakukan nazar. Perlu diketahui bahwasanya nazar itu tergolong ke dalam beberapa bentuk, mulai dari perkara-perkara yang sifatnya ibadah, mubah, atau bahkan yang bentuknya maksiat, dan tentunya semua hal itu ada konsekuensi di dalamnya.

Hukum Nazar

Nazar ialah mewajibkan pelakunya untuk melakukan suatu hal tertentu yang sebenarnya tidak wajib. Jumhur ulama mengatakan nazar hukumnya makruh, bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya haram karena Nabi ﷺ melarangnya, hal ini berdasarkan penjelasan dari hadits Nabi ﷺ.

Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

نَهَى النَّبِىُّ ﷺ عَنِ النَّذْرِ قَالَ: إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Nabi ﷺ melarang untuk bernazar, beliau bersabda, ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (H.R. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)

Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda,

لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (H.R. Muslim no. 1640)

Di dalam hadits orang yang bernazar dikatakan bakhil (kikir/pelit—ed) dikarenakan biasanya seseorang akan mau melakukan ketaatan kepada Allah jika dirinya telah memperoleh manfaat[1]. Kenapa disebut bakhil (kikir/pelit—ed) bagi orang yang bernazar? Karena jika ia tidak bakhil harusnya ia tetap melaksanakan amalan tersebut tanpa nazar. Dan dia bakhil, karena seakan-akan ia ingin melakukan transaksi tukar menukar dengan Allah l.[2]

Tetapi jika seseorang sudah mengucapkan nazar maka ia wajib memenuhinya, berdasarkan firman Allah ﷻ,

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (Q.S. Al Hajj [22]: 29)

Dari ‘Aisyah x, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (H.R. Bukhari no. 6696)

Kafarat Nazar

Perlu diketahui ketika seseorang telah mengucapkan nazar, maka nazar tersebut wajib ia tunaikan, jika ada suatu hal dimana dia tidak dapat menunaikan nazar maka ada kewajiban bagi dirinya untuk menebus nazar yang dinamakan kafarat. Sebagaimana dalam sabda Nabi ﷺ, dari Ibnu Abbas c berkata,

وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ

Siapa yang bernazar dan tidak mampu (menunaikannya), maka menebus dengan tebusan (kaffarah) sumpah.” (H.R. Abu Dawud)[3]

Adapun kafarat sumpah dijelasakan pada firman Allah d dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 yaitu, 1) Membebaskan budak, 2) Memberikan makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau 3) Puasa tiga hari.

Adapun nazar yang sifatnya perbuatan maksiat maka ia tidak boleh melaksanakanya tetapi wajib menebus kafarat. Serupa juga nazar yang bentuknya perbuatan ekstrim atau diluar kemampuannya, maka hal itu harus dilihat dari kondisinya. Maka dari itu tidak bisa seseorang bermudah-mudahan dalam bernazar.

Bentuk Nazar

  • Nazar dalam bentuk ketaatan.

Jika nazarnya dalam bentuk ketaatan kepada Allah d seperti puasa sunnah, shalat sunnah, sedekah, i’tikaf, dan semisalnya maka harus ditunaikan. Sebagai contoh pernyataan “Demi Allah jika saya diangkat jabatan menjadi begini, maka saya akan menyedekahkan sebagian gaji saya untuk panti asuhan”. Namun jika hal itu terjadi tetapi terkendala suatu hal atau dia tidak mau menunaikannya maka dia harus membayar kafarat seperti kafarat sumpah.

  • Nazar dalam bentuk maksiat.

Nazar ini tidak boleh ditunaikan tetapi sebagai gantinya dia harus menebus kafarat, sebagai contoh “Jika si A yang menduduki jabatan begini saya akan mengajak teman-teman saya traktir ke diskotik”, atau dalam bentuk hal yang ekstrim contohnya “kalau si A yang menduduki jabatan ini maka saya berani akan menyayat pergelangan tangan saya!”. Maka nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan.

  • Nazar yang berkontradiksi dengan nash.

Seperti contoh sebagaimana keterangan hadits Nabi ﷺ, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar dia mengatakan bahwa dia berpuasa namun bertepatan pada hari nahr (hari raya Idul Adha), dari Ziyad bin Jubair dia berkata, “Saya bersama dengan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya kepadanya seraya mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu selama saya masih hidup. Ternyata hari itu bertepatan dengan hari nahr (hari raya idul adha)” maka beliau menjawab, “Allah telah memerintahkan untuk memenuhi nazar dan melarang kita berpuasa pada hari nahr (Hari raya idul adha)”. Dia mengulanginya dan beliau mengatakan yang sama tanpa ada tambahan.” (H.R. Bukhori no. 6212)

Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan berpuasa sunnah ataupun nazar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka dari itu dia harus menebusnya dengan kafarat sebagaimana kafarat sumpah.

Semoga dengan penjelasan ini dapat menyadarkan kita untuk tidak menyepelekan dalam perkara nazar dan bisa menjadi nasihat bagi kita ketika melakukan amalan benar-benar ikhlas untuk Allah ﷻ.

Marâji’:

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hukum Seputar Nazar” https://rumaysho.com/1731-seputar-hukum-nazar.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

[2] Ratno Abu Muhammad. “Hukum Bernazar dan Cara Membayar Kafarat” https://bimbinganislam.com/hukum-bernazar-dan-cara-membayar-kafarat/. Diakses pada 19 Februari 2024.

[3] Hafidz Ibnu Hajar berkomentar dalam Bulugul Maram sanadnya shahih dan Hafidz menguatkan status sampai sahabat Nabi (waqf).

Download Buletin klik disini

Spirit Islami Menakar Kualitas Pemimpin Negeri

Spirit Islami Menakar Kualitas Pemimpin Negeri

Agus Fadilla Sandi

Mahasiswa Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‘an (IIQ) Jakarta

 

Urgensi Pemimpin

Pemimpin memiliki peran yang sangat krusial dalam suatu negeri. Pemimpin dengan kualitas yang baik akan berpotensi mengeluarkan kebijakan yang baik, sedangkan pemimpin yang buruk bisa jadi melahirkan kebijakan yang buruk pula. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 58)

Saking pentingnya eksistensi seorang pemimpin, hingga Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Lantas Fudhail ditanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”[1]

Pernyataan di atas mencerminkan sebuah kesadaran akan dampak luas yang dapat dihasilkan oleh kepemimpinan yang baik. Pemimpin bukan hanya figur otoritatif, tetapi juga pilar utama dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat dan negara. Terkhusus bagi Indonesia —negara mayoritas berpenduduk muslim[2]– yang kini akan memasuki momentum pemilihan pemimpin negeri, maka penting untuk mengetahui bagaimana spirit Islami dalam menakar kualitas pemimpin negeri?

Pemimpin Terbaik

Menghadirkan pemimpin dengan kualitas terbaik merupakan keharusan yang mendasar. Spirit Islami telah memberikan gambaran pemimpin terbaik melalui Hadis Rasulullah berikut. Dari ‘Auf bin Malik, Nabi ﷺ bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ،

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka….” (H.R. Muslim No. 1855)

Nabi ṣallāllāhu ʿalayhi wa sallam menjelaskan bahwa pemimpin terbaik bagi suatu negeri adalah mereka yang adil dalam pemerintahannya. Hubungan di antara mereka dan yang dipimpinnya diwarnai oleh kasih sayang dan rasa cinta. Sebagaimana disebutkan, “Dan kalian mendoakan untuk mereka dan mereka pun mendoakan untuk kalian.” Doa di sini mencakup arti permohonan, yaitu kita berdoa untuk kebaikan pemimpin kita dan sebaliknya, sehingga terjalinlah hubungan saling mencintai dan mendukung antara keduanya.[3]

Pemimpin terbaik berdasarkan hadis di atas adalah; Pertama, Kalian mencintai dan mendoakan Pemimpin. Artinya, orang-orang yang dipimpin mencintai pemimpin mereka dan bukti cinta itu salah satunya diwujudkan melalui doa kepada pemimpinnya. Kedua, Pemimpin yang mencintai dan mendoakan kalian. Pemimpin mencintai orang-orang yang ia pimpin. Pemimpin mengupayakan kemaslahan bagi rakyatnya dan senantiasa mendoakan mereka. Pada akhirnya, mencintai pemimpin dan mencintai yang dipimpin simultan menciptakan hubungan timbal balik yang memperkuat ikatan antara pemimpin dan rakyat.

Pemimpin Terburuk

Pemimpin di suatu negeri memegang peranan penting dalam menentukan arah dan nasib bangsa. Lalu bagaimana jadinya jika kualitas pemimpinnya buruk? Dalam lanjutan hadis sebelumnya disebutkan pula perihal pemimpin yang buruk. Nabi ﷺ bersabda,

وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ، قَالُوا: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ؟ قَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“…Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”   Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (H.R. Muslim No. 1855)

Nabi ﷺ menyebutkan dalam hadis di atas bahwa pemimpin dan penguasa yang paling buruk adalah mereka yang dibenci oleh rakyat dan rakyat tidak suka pada mereka. Di saat yang sama, pemimpin tersebut juga membenci rakyat dan tidak suka pada rakyat. Selanjutnya rakyat melaknat mereka dan mereka pun melaknat rakyat. Hubungan saling benci dan saling melaknat merupakan hubungan terburuk antara para penguasa dan yang dipimpin.[4]

Tentunya ini menjadi peringatan keras tentang bahayanya pemimpin yang buruk bagi suatu negeri. Pemimpin dengan kualitas yang buruk lambat laun akan menjadi ancaman yang luar biasa bagi kehidupan bersama. Hal demikian disebabkan oleh adanya kutukan yang dapat menghambat kemajuan dan keberkahan suatu negeri.

Bagaimana Kualitas Pemimpin Pilihanmu?

Pilihlah pemimpin yang kaucintai dan dekat dalam doa di hati! Pemimpin yang dicintai dan didoakan oleh rakyatnya cenderung menciptakan hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara pemerintah dan rakyat. Sebaliknya, pemimpin yang tidak dicintai dan tidak didoakan rakyatnya dapat menyebabkan ketidakstabilan perjalanan suatu bangsa. Oleh karenanya, penting untuk memilih dan mendukung pemimpin dengan kualitas terbaik, seiring doa semoga tercapai kemajuan dan kebahagiaan bersama.

Spirit Islami telah menekankan pentingnya eksistensi pemimpin bagi suatu negeri. Firman Allah menegaskan akan urgensi memberikan amanah kepada yang berhak dan keharusan berlaku adil. Pun Hadis Rasulullah memberikan gambaran utuh tentang pemimpin terbaik dan terburuk. Ini semua menjadi landasan Islami bagi setiap muslim dalam menakar kualitas pemimpin negeri. Semoga Allah karuniakan kita pemimpin terbaik bagi negeri ini, pemimpin yang di antara kita terjadi relasi saling mencintai dan mendoakan setulus hati.

Marâji’:

[1] Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Asbahani, Hilyat al-Awliya’ wa Ṭabaqat al-Asfiya’, vol. 8 (Mesir: Al-Sa’adah, 1996), h. 77.

[2] Ahmad Sarwat, Lc., MA., Negara Islam Dilema dan Pro Kontra (Jakarta: Lentera Islam, 2019); Data Indonesia, “Jumlah Penduduk Muslim Indonesia Terbesar di Dunia pada 2022,” Dataindonesia.id, diakses 4 Februari 2024, https://dataindonesia.id/ragam/detail/populasi-muslim-indonesia-terbesar-di-dunia-pada-2022.

[3] “Ad-Durar As-Saniyyah – Al-Mawsu’ah Al-Hadithiyyah – Sharuh Al-Ahadith,” dorar.net, diakses 4 Februari 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/152215.

[4] “Ad-Durar As-Saniyyah – Al-Mawsu’ah Al-Hadithiyyah – Sharuh Al-Ahadith.”

Download Buletin klik disini

Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Resdiyanti Permata Putri,

Alumni Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

 

Istilah golput selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.[1] Alasan masyarakat untuk golput saat ini semakin beragam. Pertama, munculnya sikap apatis terhadap politik sehingga tidak mencari tahu dan tidak ingin mengetahui visi-misi serta kandidat-kandidat yang mencalonkan diri. Kedua, tidak memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan pemilu.[2]

Apa Dampak Ketika Memilih untuk Golput?

Setidaknya terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pasangan calon dan partai dengan pendukung terbanyak yang visi misinya mungkin tidak relevan dengan kemajuan Indonesia dapat memenangkan pemilu. Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat karena ketika kita tidak menggunakan hak suara dengan baik, maka sama saja kita membiarkan pemimpin zalim dan tidak amanah memimpin negeri. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang diambil dapat bertentangan dengan syari’ah dan aspirasi-aspirasi masyarakat tidak dapat tersalurkan dengan baik.

Kedua, memberikan lampu hijau kepada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan dalam politik. Jika masyarakat sudah terlanjur apatis terhadap politik, maka pejabat-pejabat yang terpilih untuk menduduki kursi legislatif dan eksekutif bisa saja menganggap bahwa tidak akan ada yang peduli apabila mereka merencanakan agenda tertentu. Alhasil, pemilu semakin terkesan negatif di kalangan masyarakat karena melahirkan pejabat-pejabat yang tidak amanah, yang padahal akar dari permasalahan itu sendiri adalah masyarakat yang acuh terhadap riwayat kepemimpinan dan kinerja para pejabat dan partai pengusungnya.[3]

Sebaiknya Seorang Muslim Menyikapi Pemilu

Meski Islam sendiri tidak mengatur secara pasti tentang pelaksanaan pemilu karena sejarah mencatat bahwa pemilihan-pemilihan khulafaurrasyidin dipilih melalui berbagai metode yang berbeda dan tidak sama dengan sistem yang saat ini dipraktikkan di Indonesia, namun sejatinya sejarah pun menyiratkan umat Islam untuk tidak apatis dan acuh dalam urusan pemilihan pemimpin. Dalam surat An-nisa ayat 58 Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….”. (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58).

Secara tidak langsung, ayat tersebut menegaskan kita untuk wajib memilih pemimpin yang amanah. Jika dikaitkan dengan konteks pemilu, maka sebagai muslim sudah seharusnya kita tidak hanya berpikir bahwa kita berhak untuk memilih paslon yang menurut kita baik dari segi visi-misi hingga program-program kerjanya, namun kita juga berkewajiban untuk memberikan suara kepada paslon yang terbaik menurut kita. Menurut Tafsir Al-Nasafi, ayat tersebut bermakna perintah Allah bagi para hamba-Nya untuk dapat menjalankan amanah yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya, termasuk amanah untuk memilih pemimpin[4].

Selain itu,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Masa’il Asasiyah Wathaniyah atau masalah strategis kebangsaan yang diputuskan pada 26 Januari 2009 dengan judul Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum. Dalam ijtima’ tersebut salah satunya menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan usaha untuk memilih pemimpin yang dapat merealisasikan cita-cita bangsa sesuai aspirasi masyarakat. Kemudian isi fatwa juga  menyebutkan hukum bagi masyarakat yang tidak memilih pemimpin sesuai syarat-syarat syar’i atau tidak menggunakan hak pilih hukumnya haram. Meski terdapat pro-kontra pada kalangan ulama terkait fatwa ini, MUI sebetulnya hanya berupaya untuk menghindarkan masyarakat muslim dari golput dan mendorong masyarakat muslim untuk memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan syar’i. Sebab adanya seorang pemimpin atau kepala negara menurut Ibnu Khaldun dapat diartikan sebagai khalifah, yang menggantikan peran Nabi dalam menjaga agama dan kesejahteraan rakyat[5].

Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa keberadaan seorang pemimpin sangatlah penting. Al-Ghazali berpendapat memilih pemimpin atau kepala negara merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh terlupakan. Lebih lanjut Ibn Taimiyyah menganalogikan urgensi keberadaan sosok pemimpin bagi suatu negara dengan ungkapan “enam puluh tahun di bawah Sultan yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa Sultan”[6].

Dalam tingkatan kelompok terkecil sekalipun Islam sangat mewajibkan adanya seorang pemimpin. Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang artinya “jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.

Kriteria Pemimpin

Para ilmuwan terdahulu, seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan Abdul Qadim Zalum telah menjabarkan kriteria calon pemimpin ideal diantaranya muslim, berakal, sehat jasmani, adil, merdeka, memiliki integritas pribadi, bersih dari sifat tercela, serta memiliki kemampuan manajerial dalam mengatur dan mengelola kepentingan umum[7].

Sedangkan MUI menyatakan pemimpin yang baik diantaranya adalah beriman dan bertakwa, jujur/siddiq, terpercaya/amanah, aktif dan inspiratif/tabligh, mempunyai kemampuan/fathanah, serta memperjuangkan kepentingan umat Islam. Meskipun pada praktiknya tidak ada calon pemimpin yang seratus persen sesuai dengan kriteria ideal, Ibn Taimiyyah menganjurkan kita untuk memperhatikan dua syarat paling utama, yaitu kemampuan memimpin rakyat yang berpedoman pada keadilan dan ketaatan hukum serta amanah yang diwujudkan dengan adanya rasa takut kepada Allah, bukan kepada manusia.

Penutup

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan upaya untuk memilih pemimpin negara dan kepala daerah. Dalam setiap pemilu, selalu ada sebagian masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak suara atau golput. Sebagai muslim yang baik, kita tidak seharusnya masuk dalam kelompok ini karena ajang pemilu dapat menentukan pemimpin seperti apa yang akan kita taati selama 5 tahun ke depan. Jika kita memilih pemimpin yang zalim atau memilih tidak menggunakan hak suara dan membiarkannya digunakan untuk pihak-pihak tertentu, sama saja kita mengkhianati amanah Allah terhadap kita. Jadi, apakah Anda yakin masih ingin menjadi kaum golput?

Marâji’:

[1] Anonim. “Apa Itu Golput dan Pengaruhnya Terhadap Politik Berintegritas” https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230809-apa-itu-golput-dan-pengaruhnya-terhadap-politik-berintegritas. Diakses pada 1 Februari 2024.

[2] Sodikin. “Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam” dalam Jurnal AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 01 No.15, Tahun 2015. h. 59.

[3] Ibid.

[4] AM Mahmud. “Golput dalam Perspektif Islam” https://www.uin-suska.ac.id/blog/2017/02/14/golput-dalam-perspektif-islam-am-mahmud/. Diakses pada 1 Februari 2024.

[5] Munawir Syadzali. Islam dan Masalah Ketatanegaraan. Jakarta : UI Press. 1993. h. 102.

[6] Agus Halimi. “Pemilu dan Partisipasi Umat Islam” dalam Jurnal MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. 1 No.19, Tahun 2003. h.48-57.

[7] Ibid.

Download Buletin klik disini