Memaknai Kemerdekaan Yang Hakiki
Memaknai Kemerdekaan Yang Hakiki
Agus Fadilla Sandi, S.H., M.Ag.*
Dakwah Kemerdekaan
Pada tahun 636 M, Perang Qadisiyyah menjadi momen penentu antara kaum Muslimin dan Kekaisaran Persia. Dalam pertempuran tersebut, Persia, yang menganut agama Majusi, mengalami kekalahan besar. Pasukan Islam dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, yang sebelum pecahnya pertempuran telah mengirim beberapa utusan untuk mendakwahi para elite Persia. Para delegasi ini datang bergantian menemui Rustam Farrokhzad, jenderal Persia saat itu. Salah satu utusan yang diamanahi tugas oleh Sa’ad adalah Rabi’ bin ‘Amir.[1]
Perhatikanlah dialog antara Rabi’ bin ‘Amir, seorang sahabat Nabi ﷺ yang ikut dalam penaklukan Persia, dengan Rustam, pemimpin Persia. Dialog ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang tugas seorang Muslim dalam kehidupan dan makna hakiki tentang kemerdekaan. Rabi’ berkata,[2] “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari menyembah manusia kepada menyembah Rabb-nya manusia, dan dari ketidakadilan agama-agama kepada keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia kepada keluasan dunia dan akhirat. Hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman, Dia membolak-balikkannya sebagaimana Dia kehendaki. (Sesungguhnya engkau [Muhammad] tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki)” (QS. Al-Qasas [28]: 56).
Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman mendalam tentang tugas seorang Muslim dalam kehidupan ini. Rabi’ berkata, “Allah telah mengutus kami,” menunjukkan bahwa umat Muslim ditugaskan oleh Allah untuk membawa misi para rasul, karena tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad. Pernyataan ini menegaskan bahwa semua manusia di seluruh penjuru dunia adalah tanggung jawab umat Muslim. Inilah tugas umat Muslim yang dipahami oleh sahabat mulia ini.
Para sahabat juga tidak pernah putus asa dalam berdakwah. Mereka terus mengajak seseorang berkali-kali tanpa putus asa, karena mereka yakin bahwa hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman dan bisa dibolak-balikan sebagaimana Dia kehendaki. Tugas umat Muslim adalah mengajak semua orang kepada Allah ﷻ. Semua manusia yang jauh dari jalan Allah harus diajak kembali. Inilah makna kemerdekaan sejati menurut Islam, yakni bebas dari segala bentuk penghambaan kecuali kepada Allah ﷻ yang membawa keadilan dan keluasan baik di dunia maupun di akhirat.
Menjadi Hamba Allah yang Merdeka
Merdeka adalah kebebasan, lawan dari perbudakan. Kendati demikian, bagi seorang muslim, merdeka bukanlah berarti hidup bebas sekehendaknya, sebab sejatinya sifat manusia adalah bergantung. Maka, bergantunglah hanya kepada Allah ﷻ sebagai tempat sebaik-baiknya seorang hamba bergantung, sebagaimana firman-Nya,
ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlas [112]: 2).
Bergantung adalah sifat alami dari manusia, bahkan orang Ateis (tidak percaya Tuhan) sekalipun sesungguhnya mereka bergantung walau sayangnya mereka bergantung kepada akal dan hawa nafsunya semata. Untuk itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan,
الْعُبُودِيَّةُ للهِ هِيَ حَقِيْقَةُ الْحُرِيَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَتَعَبَدْ لَهُ، كَانَ عَابِدًا لِغَيْرِهِ.
“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki; barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306).[3]
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan dalam sebuah hadits tentang bahaya menjadi hamba harta dan kekayaan. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridha”. (HR. Bukhari no. 2887).[4] Hadits ini menunjukkan bagaimana dunia dan harta dapat memperbudak manusia dengan menumbuhkan sifat tamak dan ketidakpuasan yang mendalam.
Bukan hanya dunia dan harta, terkadang ada juga manusia yang bahkan menuhankan hawa nafsunya. Padahal hawa nafsu dapat menyesatkan manusia. Allah ﷻ berfirman,
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?“ (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23).
Kemerdekaan sejati bagi hamba Allah adalah tunduk sepenuhnya kepada Allah l, bukan hidup bebas tanpa batasan. Manusia secara alami bergantung, dan hanya Allah tempat bergantung yang hakiki. Menjadikan harta, dunia, atau hawa nafsu sebagai tuhan hanya akan membawa perbudakan dan kesesatan. Seorang Muslim yang merdeka adalah yang mengekang dirinya dari penghambaan kepada selain Allah dan berusaha bergantung hanya kepada-Nya.
Memaknai Kemerdekaan
Kemerdekaan yang hingga kini dirasakan dalam bentuk keamanan dan kesejahteraan adalah puncak dari kenikmatan. Perhatikanlah firman Allah dalam Surat Al-Fiil ayat 3-4 yang menerangkan tentang kedua jenis nikmat tersebut dan keharusan untuk beribadah kepada Allah sebagai Dzat pemberi nikmat.
Oleh karenanya, hendaknya setiap Muslim memaknai kemerdekaan ini sebagai momentum tunduk sepenuhnya kepada Allah l dan menjalankan misi dakwah untuk mengajak manusia kepada-Nya. Menjadi hamba Allah adalah bentuk kemerdekaan hakiki, bebas dari perbudakan duniawi seperti harta dan hawa nafsu. Memaknai kemerdekaan juga dapat dilakukan dengan mensyukuri nikmat keamanan dan kesejahteraan, berterima kasih kepada setiap pihak yang menjadi perantara kebaikan dan hadirnya kemerdekaan ini, seraya berupaya mengisi kemerdekaan dengan iman dan amal shaleh agar Allah l menjaga dan memberkahi negeri kita.
Maraji’ :
* Direktur MSQ Learning Center
[1] “Dialog Ibnu Amir Dan Jenderal Persia | Republika ID,” republika.id, diakses 13 Agustus 2024, https://republika.id/posts/15155/dialog-ibnu-amir-dan-jenderal-persia.
[2] “ص8 – كتاب كن صحابيا – موقف ربعي بن عامر مع رستم قائد الفرس – المكتبة الشاملة,” diakses 13 Agustus 2024, https://shamela.ws/book/37381/124#p7.
[3] dr Raehanul Bahraen Sp.PK M. Sc, “Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah,” Muslim.or.id (blog), 16 Agustus 2021, https://muslim.or.id/68193-kemerdekaan-yang-hakiki-menjadi-hamba-allah.html.
[4] “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 13 Agustus 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/14849.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!