Bermanfaat atau Dimanfaatkan Orang Lain?
Bermanfaat atau Dimanfaatkan Orang Lain?
Raden Miftakhurozak Budi Nugraha*
Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh
Sahabat Al-Rasikh yang berbahagia. Dalam ajaran Islam, manusia senantiasa berhubungan dengan dua hal penting, yaitu menjaga hubungan dengan Allah ﷻ (ḥablun minallāh) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (ḥablun minannās). Menjaga hubungan dengan Allah ﷻ dapat dilakukan dengan memaksimalkan ibadah kepada-Nya sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Adapun menjaga hubungan dengan sesama manusia berkaitan erat dengan menjaga perilaku, akhlak, serta berbuat baik kepada orang lain.
Berbuat baik kepada sesama sejalan dengan sabda Rasûlullâh ﷺ. Dari Jabir bin ‘Abdillah , Rasûlullâh ﷺ bersabda:
المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949).[1]
Terdapat banyak cara untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain; membantu mereka yang sedang kesulitan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menjaga kelestarian lingkungan dan alam, bahkan menyapa dengan senyuman pun termasuk kebaikan yang bernilai ibadah.
Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran yang wajar secara manusiawi, yakni ketika kebaikan yang kita lakukan justru dimanfaatkan oleh orang lain. Lalu, di manakah garis batas antara ketulusan dalam membantu dengan situasi ketika seseorang dimanfaatkan hingga merugikan diri sendiri? Pertanyaan inilah yang sering menjadi ujian bagi keikhlasan dan kebijaksanaan dalam berbuat baik.
Bahaya Perbuatan Zalim
Meskipun Islam meninggikan derajat orang yang memberi manfaat, agama ini tidak mengajarkan kepasrahan buta yang membuka peluang bagi terjadinya eksploitasi, seolah-olah menjadi objek yang dimanfaatkan.
Secara terminologis, kata “dimanfaatkan” menggambarkan suatu kondisi di mana ada pihak yang berbuat zalim—yakni melakukan tindakan aniaya atau ketidakadilan—terhadap orang lain. Ketika seseorang dengan sengaja dan berulang kali mengambil keuntungan dari kebaikan orang lain hingga merugikannya, maka ia telah jatuh ke dalam perbuatan zalim yang dikecam dalam Islam.[2]
Islam memandang perbuatan zalim sebagai salah satu dosa besar. Dalam firman Allâh ﷻ surah Saba’ ayat 42. Allâh ﷻ berfirman:
وَنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلنَّارِ ٱلَّتِى كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ
“Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”. (QS Saba’ [34]: 42)
Orang yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan dari Allâh ﷻ, bisa berupa dijauhkannya dari nikmat Allâh ﷻ, mengalami kebangkrutan saat hari kiamat, mendapatkan hal buruk karena doa dari orang yang dizalimi.[3]
Niat Ikhlas Sebagai Pembeda Utama
Perbedaan antara perbuatan baik yang benar-benar bermanfaat dengan kondisi dimanfaatkan terletak pada niat yang melandasinya. Islam mengajarkan bahwa amal yang tulus harus dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allâh ﷻ, bukan karena ingin dipuji, dihargai, atau memperoleh imbalan dari manusia.
Sebaliknya, situasi “dimanfaatkan” sering kali berakar dari niat yang tidak sepenuhnya murni. Seseorang mungkin membantu bukan karena lillāhi ta’ālā, melainkan karena dorongan rasa sungkan, ingin diterima, atau takut mengecewakan orang lain. Ketika bantuan diberikan dengan niat seperti ini, hati menjadi rentan terhadap kekecewaan dan rasa diperlakukan tidak adil, terutama saat balasan atau penghargaan yang diharapkan tidak juga datang.
Menemukan Keseimbangan (Tawazun)
Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah prinsip At-Tawazun (keseimbangan), yang merupakan jantung dari ajaran Islam. Seorang Muslim dituntut untuk menyeimbangkan berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya: hak Allâh ﷻ untuk diibadahi, hak sesama manusia untuk dibantu, dan hak diri sendiri untuk dijaga.
Kebaikan yang ekstrem hingga merusak diri sendiri, menelantarkan keluarga, dan mengabaikan kewajiban-kewajiban primer lainnya bukanlah bentuk kedermawanan yang dipuji dalam Islam. Kebaikan yang sejati adalah kebaikan yang cerdas dan proporsional, yang dilakukan dalam koridor keseimbangan, di mana semua hak dapat terpenuhi secara harmonis.[4]
Menjadi Bermanfaat Namun Tetap Menjaga ‘Izzah
Menjaga ‘izzah (kemuliaan, kehormatan, dan harga diri) sambil tetap menjadi pribadi yang bermanfaat adalah inti dari karakter seorang mukmin yang kuat. Menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain namun ’Izzah tetap terjaga bisa dilakukan dengan membangun kesadaran bahwa segala yang kita lakukan harus diniatkan untuk beribadah kepada Allâh ﷻ, dan segala hal baik yang kita lakukan tidak membutuhkan validasi dari makhluk. Memberikan bantuan kepada orang lain harus disesuaikan dengan kapasitas yang kita miliki dan jangan memaksakan diri. Mengucapkan permohonan maaf bahwa kita tidak punya kapasitas pada hal itu lebih menenangkan dan lebih terhormat daripada berjanji lalu gagal memenuhinya.
Tegas dalam menetapkan batasan sangat penting untuk menjaga diri kita dari terganggunya kesehatan mental (mudah merasa marah, cemas, dan benci), menjaga keikhlasan karena kita tidak menolong berdasarkan rasa keterpaksaan, dan bisa menjadi sarana untuk mendidik orang lain agar lebih mandiri dan bertanggung jawab. Cara praktis menetapkan batasan namun dengan cara yang santun yaitu dengan mengenali batasan diri terlebih dahulu (batasan energi, waktu, finansial, atau emosi), gunakan komunikasi yang jelas dan jujur, serta kita bisa menawarkan alternatif lain. Tindakan tanpa ’Izzah dapat membuat kita cepat merasa lelah namun takut untuk menolak, sedangkan tindakan dengan ’Izzah, artinya kita berani menolak dengan bahasa yang santun karena keterbatasan diri.
Dengan demikian, seorang Muslim diajak untuk senantiasa melakukan rekalibrasi atas niat dan tindakannya. Menolak untuk dimanfaatkan bukanlah tanda kikir atau egois, melainkan sebuah wujud ketaatan pada prinsip keadilan dan penjagaan diri yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah ﷺ. Kebaikan yang hakiki adalah kebaikan yang memberdayakan, bukan yang melumpuhkan; sebuah kebaikan yang mengangkat derajat si penerima tanpa pernah merendahkan kehormatan dan martabat si pemberi. Inilah esensi dari menjadi bermanfaat dalam bingkai Islam yang seimbang dan sempurna.
* Tenaga kependidikan administrasi DLA UII
Maraji’ :
[1] Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949). Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426.
[2] Yulian Purnama, S.Kom. “Janganlah Berbuat Zalim!”.https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html/. Diakses pada 11 September 2025.
[3] Yayasan Al-Ma’soem Bandung. “Lima Bahaya dari Perbuatan Zalim”. https://almasoem.sch.id/saling-doa/lima-bahaya-dari-perbuatan-zalim/. Diakses pada 11 September 2025.
[4] Nabila Putri Ocktavia, Rizqdwan Dhuhakbar Hendyutama, Hasan Rama Sagita. “Mengenal Konsep Keseimbangan Hidup Dalam Islam: Menjaga Harmoni Antara Spiritual dan Duniawi”. https://informatics.uii.ac.id/2023/09/29/mengenal-konsep-keseimbangan-hidup-dalam-islam-menjaga-harmoni-antara-spiritual-dan-duniawi/. Diakses pada 11 September 2025




