Spirit Islam Untuk Merantau

Spirit Islam Untuk Merantau

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam menganjurkan kita untuk merantau sudah sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sejarah para Nabi selalu diwarnai dengan dunia pengembaraan atau dalam bahasa lain rihlah thalabul ‘ilmi. Tokoh-tokoh sukses dan hebat saat ini pun kisahnya tidak luput dari cerita tentang kisahnya dalam perantauan. Bagaimanapun, merantau merupakan suatu proses mematangkan diri baik di kampung orang, kota orang atau bahkan negeri orang.

Para perantau tentunya bersusah payah pergi jauh meninggalkan tempat tinggalkan demi menggapai tujuan mulia yakni menuntut ilmu. Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari buah perantauan. Dalam al-Qur’an pun Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kaum muslimin untuk merantau, karena dengannya kita bisa melihat kekuasaan Allah yang lebih luas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Sebagai manusia yang berakal, sudah seharusnya kita sadar. Karena sudah jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi itu terbentang dan mudah yakni untuk ditinggali dan dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makan sebagian dari rezeki-Nya. Alam semesta tidak selebar daun kelor. Islam membangkitkan kesadaran agar kita tidak menghabiskan waktu kita untuk molor. Banyak hal yang perlu kita eksplorasi. Sudah lama kita menjadi pengekor, sekarang sudah saatnya kita menjadi pelopor.

Sejarah tokoh Islam dalam Merantau

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Bin Al-Abbas bin Utsman Bin Syafi’ Asy-Syafi’i atau yang lebih akrab dengan julukan Imam Syafi’i v merupakan seorang ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara penuh hikmah. salah satu mujtahid mutlak yang dijuluki nasirussunnah waddin, penolong sunnah dan agama. Dari segi keilmuan, tentunya sudah tidak diragukan lagi akan kecerdasan beliau.

Para penulis biografi mencatat bahwa Imam Syafi’i merupakan seseorang yang lahir dari keluarga miskin. Sejak masih kecil, ia sudah ditinggal ayahnya dan menjadi seorang yatim. Menginjak usia 14 tahun, Imam Syafi’i memiliki keinginan besar untuk merantau, hal ini dikarenakan akan semangatnya beliau demi menuntut ilmu. Fatimah al-Azdiy, ibunda Imam Syafi’i memahami gelora semangat yang sedang bergejolak dihati anaknya untuk menggali ilmu Allah. Tidak ada pilihan lain selain melepas sang anak untuk menimba ilmu di negri orang.

Kepergian Imam Syafi’i ke banyak negeri mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad Iraq, hingga Mesir untuk menuntut ilmu bukanlah dari harta yang mengiringinya, akan tetapi untaian doa tulus nan indah yang mengantarkan kepergiannya “Ya Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam. Anakku ini akan berjalan jauh meninggalkanku menuju keridhoanmu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan utusanMu. Oleh karena itu, aku bermohon kepada Mu ya Allah, mudahkanlah urusannya, peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh ilmu yang berguna”.

Imam Syafi’i merupakan seseorang yang tekun dalam menuntut ilmu, karena ketekunannya, di usia sembilan tahun, Imam Syafi’i sudah mampu menghafal al-Qur’an dan sejumlah hadits. Bukan hanya hafalan, keilmuannya pun sudah luas dan mendalam. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, kemudian ibunya membawanya ke Makkah. Fatimah al-Azdiy, Ibu dua anak ini dengan keadaan miskin dan serba kekurangan memiliki cita-cita mulia untuk menjadikan anaknya menjadi anak yang berilmu.

Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak dapat menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan, sehingga dengan terpaksa beliau mencari kertas yang tidak terpakai, atau sudah terbuang tetapi masih dapat digunakan untuk menulis. Setelah usai mempelajari al-Qur’an dan hadits, Imam asy-Syafi’i melengkapi ilmunya denganmendalami bahasa dan sastra Arab. Karena itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung bersama Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik.

Hikmah dari Merantau

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan “menempuh jalan untuk mencari ilmu” ada dua bentuk. Pertama, menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu. Seperti misalnya berjalan menuju masjid atau tempat pengajian untuk menuntut ilmu. Kedua, menempuh jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, mempelajari, mengulang-ulang pelajaran, menelaah, menulis, membaca kitab dan memahaminya, serta perbuatan lainnya yang merupakan cara untuk mendapatkan ilmu.

Dengan ilmu, kunci-kunci kesuksesan akan dipegang oleh pemilik ilmu. Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya ia berilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendak ia berilmu. Barang siapa yang dunia dan akhirat, maka hendaknya ia berilmu. Orang yang berilmu maka akan Allah angkat derajatnya, dan dimudahkan jalan baginya menuju surga.

Nasehat Imam Asy-Syafi’i v

Selain hadits diatas, juga terdapat nasehat dari Imam Syafi’i agar seseorang pergi untuk merantau, meninggalkan zona nyaman, menuju wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, berkenalan dengan orang-orang baru karena dengan itu semua, secara implisit akan kita temukan banyak hikmah didalamnya. Nasihat ini diabadikan dalam bait-bait sya’irnya:

          Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman # Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

          Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) # Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

           Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan # Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

          Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa # Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

         Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam # tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

         Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang) # Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

        Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya # Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Dari bait diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya dengan merantau melakukan perjalanan, akan menantang, mendewasakan diri sekaligus memberikan peluang untuk mengeksplorasi pengalaman yang mana akan menjadi warisan berharga. Selama merantau, kita juga akan mendapatkan ganti dari apa yang kita tinggalkan, karena sesungguhnya nikmatnya hidup ada setelah lelahnya perjuangan. Hal terakhir yang perlu diingat bahwa kemuliaan itu tak kan didapat dengan kemalasan.

 

Referensi:

  1. Nihwan Sumuranje. 2016, Laku Kehidupan. Solo: Tinta Medina, hal. 31
  2. https://www.islampos.com/ketika-imam-syafii-menuntut-ilmu-1926/
  3. https://muslim.or.id/18863-gapai-surga-dengan-ilmu-agama.html

 

Ikke Pradima Sari

NIM 17422171

Pendidikan Agama Islam/FIAI

 

Mutiara Hikmah

Nabi shallallahu alaihi wa sallambeliau bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Dan Allah akan senantiasa meonolong hamba-Nya ketika hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699)

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *