Jemputlah Rezeki dengan Cara Yang Baik

Jemputlah Rezeki dengan Cara Yang Baik

Fauzi ‘Ibad Rahman*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat ar-Rasikh yang mencintai Allah ﷻ dan semoga pula dicintai Allah ﷻ, ketahuilah bahwa bekerja itu bukan persoalan keuntungan atau upah yang didapatkannya dengan jumlah banyak. Bekarja itu bukan hanya karena karir yang melejit mencapai puncak dalam sebuah instansi atau perusahaan. Bekerja itu bukan hanya datang tepat waktu kemudian pulang tepat waktu, namun tidak ada hasilnya karena yang dilakukannya di tempat kerjanya hanya nonton film, main game, youtub-an, facebook-an, whatsapp-an, dan yang semisalnya. Karena zaman sekarang sangat mudahnya kita mengakses segala yang diinginkannya. Allahul musta’an 

Perhatikan baik-baik bahwa bekerja itu adalah persoalan ibadah. Bekerja itu persoalan taqwa untuk menjemput sebagian rezeki yang telah Allah ﷻ tetapkan untuk setiap makhluk-Nya. Tidak usah  khawatir  dengan rezeki kita, Allah ﷻ sudah memberikan jatahnya masing-masing sesuai dengan yang Allah ﷻ kehendaki. Tugas kita adalah menjaga hati agar fokus lillâh  dalam berkerja dan membimbing hati agar tidak ada rasa dengki (hasad) pada partner kerja.

Makna Rezeki

Apa toh rezeki itu? Sederhananya rezeki itu adalah segala sesuatu yang mendatangkan manfaat yang Allah halalkan untuk makhluk-Nya, baik berupa hal yang nampak seperti harta, makanan, kendaraan, dan yang semisalnya atau berupa hal yang tidak nampak seperti ketenangan hati, kesehatan, pengetahuan, ilmu, akhlak mulia yang semisalnya. Adanya diri kita di muka bumi ini adalah rezeki, bisa bekerja adalah rezeki, terlebih bisa beribadah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah rezeki terbesar bagi manusia.

Imam an Nawawi mengisyaratkan makna rezeki dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141). Bahwa hakikat rezeki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rezeki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rezeki. Hilangnya kepenatan pikiran, tempat kerja yang nyaman, teman kerja yang shalih, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rezeki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi harta yang kita miliki.[1]

Rezeki Sudah Diatur

Jangan khawatir rezeki sudah diatur, dan sudah dibagi dengan adil. Allah ﷻ berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syûra [42]: 27)

Perhatikan di ayat yang lain, Allah ﷻ berfirman,

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. al-‘Ankabût [29]: 62).

Masyâ Allâh yang luar biasa adalah tidak satupun makhluk di muka bumi ini melainkan Allah telah memberi rezekinya tanpa kecuali. Allah ﷻ berfirman,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (al-Lauh al-Mahfuzh).” (Q.S. Hûd [11]: 6).

Ibnu Katsir berkata, “Allah ﷻ mengabarkan bahwasanya Dia Yang menjamin akan rezeki seluruh makhluk, dari seluruh binatang melata di bumi, besar kecil dan daratan atau lautannya.”[2]

Syaikh As Sa’dy berkata, “Maksudnya adalah seluruh yang berjalan di atas muka bumi baik dari manusia atau hewan darat atau laut, maka Allah telah menjamin rezeki dan makanan mereka, semuanya ditanggung Allah.”[3]

Jemputlah Rezeki Dengan Cara Yang Baik

Bekerja adalah sarana untuk menjemput rezeki, maka jemputlah rezeki dengan cara yang baik. Saat kita berkerja dengan baik (sesuai dengan aturan syariat) maka itu adalah ibadah. Konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan dengan cara yang baik adalah rezeki yang halal. Jangan sampai menjemput rezeki dengan cara yang tidak halal, seperti mengurangi timbangan, melakukan penipuan, dan bekerja tidak sesuai dengan akad kerja.

Misalnya, ketika kita sudah berjanji dalam kontrak kerja, hadir pada jam yang disepakati maka tunaikanlah itu sesuai dengan waktunya. Jika tidak terpenuhi, wajib baginya untuk minta izin pada pimpinan pada tempat kerjanya. Setidaknya ada infromasi agar tidak semua orang dibuatnya berprasangka yang diharamkan. Ini adab orang yang beriman, bukan merasa tidak bersalah, acuh, cuek dan tidak mahu tahu. Bekerjalah dengan cara yang baik karena hal ini berkaitan dengan halal dan haramnya rezeki (gaji) yang diterimanya. Apa iya kita kasih makan isteri dan anak-anak kita dengan yang haram (atau syubhat)?

Bekerja yang baik bukan hanya berkaitan cara kerja yang baik, namun bisa jadi tempat kerja (instansi atau perusahaan) yang tidak baik karena berkaitan dengan hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ seperti instansi ribawi, lokalisasi, club malam, tempat karaoke dan tempat hiburan maksiat lainnya. Meskipun dia pekerja sesuai dengan perjanjian, tiba dan pulang dari tempat kerja tepat waktu, bagus perangainya terhadap pimpinan dan teman sejawatnya. Ini semua berkonsekuensi pada rezekinya, caranya baik namun tempatnya tidak baik maka hasilnya haram.

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (H.R. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166).[4]

Semoga Allah ﷻ membimbing kita untuk menjemput rezeki dengan cara yang baik, menanamkan sifat zuhud terhadap dunia dan qanaah dari rezeki yang telah Allah tetapkan. Serta semoga Allah mengmpuni dosa-dosa penulis, kedua orang tuanya, dan kaum muslimin. Âmîn

* Warga Plosorejo RT 02 RW 18 Sardonoharjo Ngaglik Sleman D.I. Yogyakarta.

Maraji’ :

[1] Majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Disadur dari https://almanhaj.or.id/3722-rezeki-tidak-mesti-berwujud-materi.html. Diakses pada 19 Juni 2024.

[2] Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim, pada ayat di atas.

[3] Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman di dalam ayat di atas.

[4] Lihat Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866. Disadur dari https://rumaysho.com/11136-jatah-rezeki-halal-berkurang-gara-gara-pekerjaan-haram.html. Diakses pada 19 Juni 2024.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *