Menyikapi Hawa Nafsu

Menyikapi Hawa Nafsu

Ridho Frihastama

 

Hawa nafsu adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang sering menjadi ujian dalam setiap langkah kehidupan. Dalam Islam, hawa nafsu dipandang sebagai potensi yang perlu dikendalikan dengan bijak agar tidak menjerumuskan seseorang pada perilaku yang dilarang.

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Dalam kaitannya dengan hawa nafsu, hati berfungsi sebagai pemimpin yang mengendalikan pikiran dan tindakan, oleh karena itu menjaga hati dari dorongan hawa nafsu adalah kewajiban setiap Muslim.

Pada zaman modern ini, pengaruh hawa nafsu semakin besar dengan hadirnya berbagai godaan yang datang melalui kemajuan teknologi dan media sosial. Fenomena-fenomena terkini yang terjadi di masyarakat menunjukkan bagaimana hawa nafsu dapat menuntun seseorang pada perilaku yang menyimpang.[1] Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menyikapi hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan kedalaman pemahaman agama, terutama dalam menghadapi tantangan zaman sekarang.

Hawa Nafsu dalam Konteks Kehidupan Sehari-hari

Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu bukanlah musuh yang harus dihancurkan, melainkan kekuatan yang harus diarahkan pada hal-hal yang baik dan bermanfaat. Namun, jika tidak dikendalikan dengan iman dan takwa, hawa nafsu dapat menjadi musuh yang besar. Allah ﷻ berfirman,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا.

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan keburukan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams [91]: 7-10)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan dengan potensi untuk baik dan buruk, tergantung pada bagaimana kita mengelola hawa nafsu yang ada dalam diri kita.

Saat ini, banyak kasus yang muncul di masyarakat terkait dengan kurangnya kontrol terhadap hawa nafsu, seperti kecanduan media sosial, perjudian, pergaulan bebas, dan konsumsi berlebihan. Teknologi yang berkembang pesat, terutama dengan hadirnya internet dan media sosial, memperburuk keadaan ini. Manusia mudah terjebak dalam kecanduan terhadap hal-hal yang bersifat sementara, seperti,

  1. Kecanduan Media Sosial

Salah satu dampak paling nyata dari kurangnya pengendalian hawa nafsu adalah kecanduan media sosial. Banyak orang terjebak dalam perasaan ingin selalu mendapat perhatian dan pengakuan dari orang lain melalui “like” dan komentar positif.[2] Keinginan untuk mendapatkan pengakuan ini sering kali mendorong individu untuk menampilkan diri mereka secara tidak autentik, atau bahkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, hanya demi popularitas.

Islam mengajarkan untuk tidak terjebak dalam pujian duniawi yang sementara. Allah ﷻ berfirman
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura [42]: 20).

Dalam hal ini, media sosial menjadi arena yang bisa membangkitkan hawa nafsu yang tidak terkendali, jika kita tidak menyikapinya dengan bijak. Kita harus selalu ingat bahwa pengakuan dari manusia bukanlah tujuan utama dalam hidup ini, tetapi ridha Allah ﷻ lah yang seharusnya menjadi prioritas.

  1. Kasus-Kasus Penyimpangan Seksual

Kasus penyimpangan seksual yang semakin marak belakangan ini juga merupakan dampak dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Baik dalam kehidupan nyata maupun dunia maya, banyak orang terjerumus dalam pergaulan bebas yang merusak martabat diri mereka dan merusak tatanan sosial. Penyalahgunaan media sosial, seperti pornografi dan prostitusi online, adalah contoh nyata bagaimana hawa nafsu yang tidak terkendali dapat merusak kehidupan sosial dan spiritual seseorang.

Dalam Islam, menjaga kesucian diri dan menjauhi perbuatan zina merupakan kewajiban. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra [17]: 32).

Dalam konteks ini, setiap Muslim harus menjaga diri dari godaan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan mereka pada perbuatan dosa. Menjaga pandangan, berbicara dengan adab, serta menjaga batasan-batasan pergaulan adalah cara yang dapat dilakukan untuk menghindari perbuatan tercela ini.

  1. Konsumsi Berlebihan (Konsumerisme)

Dalam dunia yang serba modern ini, hawa nafsu juga seringkali terlihat dalam bentuk kecenderungan konsumtif yang berlebihan. Periklanan dan budaya konsumsi yang gencar dapat menggugah hawa nafsu manusia untuk terus membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Meskipun hal ini tidak langsung merugikan orang lain, namun dampak psikologisnya cukup besar, yaitu timbulnya perasaan tidak puas dan keserakahan.[3] Islam mengajarkan prinsip kesederhanaan dalam hidup. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf [7]: 31)

Dalam menghadapi arus kapitalisme yang ada, seorang Muslim diajarkan untuk bisa mengendalikan hawa nafsunya dalam hal konsumsi, memilih mana yang penting dan bermanfaat, serta tidak terjebak dalam budaya yang mengarah pada konsumsi berlebihan.

Mengendalikan Hawa Nafsu: Kunci Kehidupan yang Seimbang

Untuk menghadapi hawa nafsu yang kerap mengganggu, Islam memberikan berbagai cara untuk mengendalikannya. Pertama, dengan meningkatkan kualitas ibadah. Shalat yang khusyuk dan doa yang penuh kesadaran dapat membantu seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengingatkan dirinya akan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Kedua, dengan memperdalam ilmu agama. Mengetahui hakikat hidup dan tujuan diciptakannya manusia akan menuntun seseorang untuk mengarahkan hawa nafsunya pada tujuan yang lebih mulia. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,” (QS. An Naziât [79]: 40).

Ketiga, pentingnya memiliki teman yang baik dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang positif dan teman yang memiliki prinsip agama yang kuat dapat membantu seseorang untuk tetap berada di jalan yang benar dan tidak terpengaruh oleh hawa nafsu yang buruk.

Menghadapi hawa nafsu di zaman yang serba penuh dengan godaan ini bukanlah perkara mudah. Namun, sebagai umat Islam, kita dituntut untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam hidup, mengendalikan hawa nafsu, dan tetap mengutamakan keridhaan Allah ﷻ dalam setiap aspek kehidupan. Dengan kesadaran dan pemahaman agama yang kuat, kita dapat menghadapi segala tantangan zaman ini dengan meminimalkan tergelincir dalam kesalahan. Hawa nafsu, jika tidak dikendalikan bisa membawa kehancuran, namun jika dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi sumber kekuatan untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga dengan menyadari pentingnya menjaga hawa nafsu, kita dapat senantiasa mengendalikan diri, menuntun hati pada jalan yang benar, dan selalu berada dalam lindungan rahmat Allah ﷻ. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Rahmatiah. “Pemikiran Tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam” dalam Jurnal Sulesana, Vol.11 No. 2, Tahun 2017. h. 40.

[2] Cal Newport. Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. New York: Portfolio/Penguin. 2019. h. 31.

[3] Asad Zaman. “Islamic Economics: A Survey of the Literature” dalam Munich Personal RePEc Archive. Tahun 2019. h. 24.

Download Buletin klik di sini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *