Agar Silaturrahim Tak Ternoda Dosa

Agar Silaturrahim Tak Ternoda Dosa

Erry Satya Panunggal*

 

Ditilik dari asal katanya, silaturrahim berasal dari bahasa Arab, صِلَةُ الرَّحِمِ (shilaturrahîmi). Jika kita pecah, terdiri dari dua kata: silah, [arab: صِلَةُ] yang artinya hubungan dan rahim [arab: الرَّحِم] artinya rahim, tempat janin sebelum dilahirkan. Sehingga yang dimaksud silaturrahim adalah menjalin hubungan baik dengan kerabat, sanak, atau saudara yang masih memiliki hubungan rahim atau hubungan darah dengan kita.[1]

Ada juga makna lain dari silaturrahim, silah yang berarti “hubungan” dan rahim yang berarti “kasih sayang” atau “rahmat”[2]. Dalam Islam, silaturrahim bukan sekadar hubungan sosial, tetapi juga ibadah yang mendatangkan berkah serta keberkahan hidup.

Allâh ﷻ berfirman,

وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (QS. An Nisâ’ [4]: 1).

Meski demikian, momen istimewa silaturrahim di bulan Syawal tersebut terkadang dapat ternoda oleh kekhilafan kita dalam menjaga lisan dan perilaku. Dalam artikel singkat ini, penulis ingin membagikan rambu-rambu yang perlu kita perhatikan agar ibadah silaturrahim kita tidak ternoda dengan dosa.

Memilih waktu berkunjung yang tepat

Salah satu adab yang patut dijaga adalah memperhatikan jam berkunjung yang tepat. Adab ini saling berkaitan dengan menghargai privasi tuan rumah, kesiapan, serta kenyamanan mereka dalam menerima tamu[3].

Sebelum memasuki rumah seseorang, kita diajarkan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah. Hal ini sebagaimana Allâh ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nûr [24]: 27)

Tidak menanyakan hal-hal yang bersifat privasi

Di tengah asyiknya bersilaturrahim bersama keluarga, secara tak sadar meluncur perkataan atau pertanyaan yang dapat melukai hati saudara kita. Seperti di antaranya menanyakan hal-hal yang sifatnya masuk ranah privasi bagi lawan bicara. Sebagai contoh, menanyakan kapan akan berkeluarga, kapan akan punya atau menambah momongan, kapan akan membeli kendaraan, dsb.

Menyikapi hal ini, perhatikan sabda Nabi ﷺ dari Abu Musa Al-Asy’aribeliau bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ“Wahai Rasûlullâh! Siapakah kaum muslimin yang paling baik?”

Rasûlullâh ﷺ menjawab,

مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ

Seorang muslim yang tidak mengganggu orang lain dengan lisan atau tangannya.” (HR. Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42).

Maka penting menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang dapat menyakitkan[4]. Topik pembicaraan yang ringan seperti nostalgia masa kecil di kampung halaman, kuliner, dan hobi bisa menjadi pembuka pembicaraan yang dapat mendekatkan kita kepada lawan bicara[5].

Menghindari ghibah

Fenomena kurang elok yang kerap muncul di ajang silaturrahim yakni dinormalisasikannya ghibah. Pada suatu konten media sosial, disorot perilaku para biang gosip tersebut yang menguliti dan membumbui aib sesama Muslim. Semakin pelan dan lirih mereka saling bercakap, maka semakin besar dan bombastis aib saudara yang menjadi bahan pergunjingan.

Allâh ﷻ melarang ghibah dengan perumpamaan yang sangat keras dalam Al-Qur’an,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12).

Sedangkan Rasûlullâh ﷺ dengan arif mengingatkan bahwa ghibah dapat mengikis amal kebaikan yang sudah susah payah kita kumpulkan. Bahkan dijelaskan apabila kita sudah tidak memiliki amal kebaikan lagi, maka kita akan ditimpakan dengan dosa dari orang yang kita gunjingkan[6]. Oleh karena itu, kita dituntut bijak dalam meramu topik pembicaraan ketika bersilaturrahim dengan menghindari ghibah.

Menghargai hidangan dan pemberian tuan rumah

Di dalam Islam, seorang tuan rumah memang dianjurkan menyambut tamunya dengan sebaik-baiknya sebagai bagian dari adab memuliakan tamu. Sebaliknya, kita sebagai tamu juga dianjurkan untuk menghargai hidangan yang disuguhkan tuan rumah saat momen silaturrahim.

Salah satu bentuk menghargai hidangan adalah tidak mencela makanan yang disuguhkan kepada kita. Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu HurairahNabi ﷺ bersabda,

مَا عَابَ النَّبِيُّ ﷺ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Nabi  tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).

Sebagai tamu, tidak elok jika kita mengusulkan atau menentukan sesuatu untuk dihidangkan. Permintaan tamu itu bisa jadi membuat tuan rumah kesulitan untuk mengadakan hidangan itu. Jika tuan rumah menawarkan dua pilihan makanan kepadanya, hendaklah dia memilih makanan yang paling mudah di antara keduanya untuk disediakan tuan rumah.[7]

Saling memaafkan dan mendoakan ketika berpamitan

Meski telah memperhatikan adab dalam bersilaturrahim, namun sebagai manusia biasa sangat mungkin masih terjadi kekhilafan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Untuk itu, ketika akan pamit pulang ketika bersilaturrahim, tidak mengapa jika kita meminta maaf kepada tuan rumah serta mendoakan hal-hal baik kepada mereka[8]. Dengan demikian, kita dapat menutup silaturrahim tersebut dengan mengharap turunnya kebaikan-kebaikan dari Allâh ﷻ.

*  Tendik Divisi Administrasi Akademik FTI UII

Maraji’ :

[1] Ammi Nur Baits. “Silaturrahmi ataukah Silaturrahim” https://konsultasisyariah.com/19840-silaturrahmi-ataukah-silaturahim.html. Diakses pada 27 Maret 2025.

[2] Muhammadiyah.or.id. Silaturrahim atau Silaturahim?. Diakses dari https://muhammadiyah.or.id/2021/06/silaturrahim-atau-silaturahim/. Diakses pada 27 Maret 2025.

[3] Muhammadiyah.or.id. Adab Bertamu. Diakses dari https://muhammadiyah.or.id/2020/08/adab-bertamu/ pada 27 Maret 2025.

[4] Syarifudin. “Kenapa Anda Perlu Menjaga Lisan Saat Silaturahim Lebaran?”. Diakses dari https://www.indonesiana.id/read/163567/kenapa-anda-perlu-menjaga-lisan-saat-silaturahim-lebaran. Diakses pada 27 Maret 2025.

[5] Ega Syakila. “9 Bahan Obrolan Menyenangkan, Cocok untuk Kumpul Lebaran!”. Diakses dari https://www.idntimes.com/men/attitude/ega-syakila/bahan-obrolan-menyenangkan-cocok-untuk-kumpul-lebaran. \. Diakses pada 27 Maret 2025.

[6] Fiqihmuamalah.com. BAHAYA GHIBAH: JAUHI SEBELUM TERLAMBAT. Diakses dari https://fiqihmuamalah.com/?p=2061. Diakses pada 27 Maret 2025.

[7] Ahmad Syalabi Ichsan (2020). Ketika Islam pun Mengatur Adab Sajikan Makanan untuk Tamu. Diakses dari https://khazanah.republika.co.id/berita/qbu22a320/ketika-islam-pun-mengatur-adab-sajikan-makanan-untuk-tamu. Diakses pada 27 Maret 2025.

[8] Diah Ayu Agustina (2024). Doa Rasulullah ketika Bertamu. Diakses dari https://bincangsyariah.com/zikir-dan-doa/doa-rasulullah-ketika-bertamu/. Diakses pada 27 Maret 2025.

Download Buletin klik di sini