Menyikapi Hawa Nafsu

Menyikapi Hawa Nafsu

Ridho Frihastama

 

Hawa nafsu adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang sering menjadi ujian dalam setiap langkah kehidupan. Dalam Islam, hawa nafsu dipandang sebagai potensi yang perlu dikendalikan dengan bijak agar tidak menjerumuskan seseorang pada perilaku yang dilarang.

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Dalam kaitannya dengan hawa nafsu, hati berfungsi sebagai pemimpin yang mengendalikan pikiran dan tindakan, oleh karena itu menjaga hati dari dorongan hawa nafsu adalah kewajiban setiap Muslim.

Pada zaman modern ini, pengaruh hawa nafsu semakin besar dengan hadirnya berbagai godaan yang datang melalui kemajuan teknologi dan media sosial. Fenomena-fenomena terkini yang terjadi di masyarakat menunjukkan bagaimana hawa nafsu dapat menuntun seseorang pada perilaku yang menyimpang.[1] Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menyikapi hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan kedalaman pemahaman agama, terutama dalam menghadapi tantangan zaman sekarang.

Hawa Nafsu dalam Konteks Kehidupan Sehari-hari

Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu bukanlah musuh yang harus dihancurkan, melainkan kekuatan yang harus diarahkan pada hal-hal yang baik dan bermanfaat. Namun, jika tidak dikendalikan dengan iman dan takwa, hawa nafsu dapat menjadi musuh yang besar. Allah ﷻ berfirman,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا.

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan keburukan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams [91]: 7-10)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan dengan potensi untuk baik dan buruk, tergantung pada bagaimana kita mengelola hawa nafsu yang ada dalam diri kita.

Saat ini, banyak kasus yang muncul di masyarakat terkait dengan kurangnya kontrol terhadap hawa nafsu, seperti kecanduan media sosial, perjudian, pergaulan bebas, dan konsumsi berlebihan. Teknologi yang berkembang pesat, terutama dengan hadirnya internet dan media sosial, memperburuk keadaan ini. Manusia mudah terjebak dalam kecanduan terhadap hal-hal yang bersifat sementara, seperti,

  1. Kecanduan Media Sosial

Salah satu dampak paling nyata dari kurangnya pengendalian hawa nafsu adalah kecanduan media sosial. Banyak orang terjebak dalam perasaan ingin selalu mendapat perhatian dan pengakuan dari orang lain melalui “like” dan komentar positif.[2] Keinginan untuk mendapatkan pengakuan ini sering kali mendorong individu untuk menampilkan diri mereka secara tidak autentik, atau bahkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, hanya demi popularitas.

Islam mengajarkan untuk tidak terjebak dalam pujian duniawi yang sementara. Allah ﷻ berfirman
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura [42]: 20).

Dalam hal ini, media sosial menjadi arena yang bisa membangkitkan hawa nafsu yang tidak terkendali, jika kita tidak menyikapinya dengan bijak. Kita harus selalu ingat bahwa pengakuan dari manusia bukanlah tujuan utama dalam hidup ini, tetapi ridha Allah ﷻ lah yang seharusnya menjadi prioritas.

  1. Kasus-Kasus Penyimpangan Seksual

Kasus penyimpangan seksual yang semakin marak belakangan ini juga merupakan dampak dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Baik dalam kehidupan nyata maupun dunia maya, banyak orang terjerumus dalam pergaulan bebas yang merusak martabat diri mereka dan merusak tatanan sosial. Penyalahgunaan media sosial, seperti pornografi dan prostitusi online, adalah contoh nyata bagaimana hawa nafsu yang tidak terkendali dapat merusak kehidupan sosial dan spiritual seseorang.

Dalam Islam, menjaga kesucian diri dan menjauhi perbuatan zina merupakan kewajiban. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra [17]: 32).

Dalam konteks ini, setiap Muslim harus menjaga diri dari godaan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan mereka pada perbuatan dosa. Menjaga pandangan, berbicara dengan adab, serta menjaga batasan-batasan pergaulan adalah cara yang dapat dilakukan untuk menghindari perbuatan tercela ini.

  1. Konsumsi Berlebihan (Konsumerisme)

Dalam dunia yang serba modern ini, hawa nafsu juga seringkali terlihat dalam bentuk kecenderungan konsumtif yang berlebihan. Periklanan dan budaya konsumsi yang gencar dapat menggugah hawa nafsu manusia untuk terus membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Meskipun hal ini tidak langsung merugikan orang lain, namun dampak psikologisnya cukup besar, yaitu timbulnya perasaan tidak puas dan keserakahan.[3] Islam mengajarkan prinsip kesederhanaan dalam hidup. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf [7]: 31)

Dalam menghadapi arus kapitalisme yang ada, seorang Muslim diajarkan untuk bisa mengendalikan hawa nafsunya dalam hal konsumsi, memilih mana yang penting dan bermanfaat, serta tidak terjebak dalam budaya yang mengarah pada konsumsi berlebihan.

Mengendalikan Hawa Nafsu: Kunci Kehidupan yang Seimbang

Untuk menghadapi hawa nafsu yang kerap mengganggu, Islam memberikan berbagai cara untuk mengendalikannya. Pertama, dengan meningkatkan kualitas ibadah. Shalat yang khusyuk dan doa yang penuh kesadaran dapat membantu seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengingatkan dirinya akan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Kedua, dengan memperdalam ilmu agama. Mengetahui hakikat hidup dan tujuan diciptakannya manusia akan menuntun seseorang untuk mengarahkan hawa nafsunya pada tujuan yang lebih mulia. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,” (QS. An Naziât [79]: 40).

Ketiga, pentingnya memiliki teman yang baik dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang positif dan teman yang memiliki prinsip agama yang kuat dapat membantu seseorang untuk tetap berada di jalan yang benar dan tidak terpengaruh oleh hawa nafsu yang buruk.

Menghadapi hawa nafsu di zaman yang serba penuh dengan godaan ini bukanlah perkara mudah. Namun, sebagai umat Islam, kita dituntut untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam hidup, mengendalikan hawa nafsu, dan tetap mengutamakan keridhaan Allah ﷻ dalam setiap aspek kehidupan. Dengan kesadaran dan pemahaman agama yang kuat, kita dapat menghadapi segala tantangan zaman ini dengan meminimalkan tergelincir dalam kesalahan. Hawa nafsu, jika tidak dikendalikan bisa membawa kehancuran, namun jika dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi sumber kekuatan untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga dengan menyadari pentingnya menjaga hawa nafsu, kita dapat senantiasa mengendalikan diri, menuntun hati pada jalan yang benar, dan selalu berada dalam lindungan rahmat Allah ﷻ. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Rahmatiah. “Pemikiran Tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam” dalam Jurnal Sulesana, Vol.11 No. 2, Tahun 2017. h. 40.

[2] Cal Newport. Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. New York: Portfolio/Penguin. 2019. h. 31.

[3] Asad Zaman. “Islamic Economics: A Survey of the Literature” dalam Munich Personal RePEc Archive. Tahun 2019. h. 24.

Download Buletin klik di sini

Refleksi Diri: Menemukan Makna di Balik Setiap Langkah

Refleksi Diri: Menemukan Makna di Balik Setiap Langkah

Ridho Frihastama*

 

Tahun berganti, waktu terus berjalan, dan setiap detik yang berlalu adalah kesempatan bagi kita untuk merenung dan melakukan refleksi diri. Di dalam Islam, refleksi diri bukan hanya sekadar menghitung pencapaian atau kegagalan, tetapi juga sebagai bagian dari proses spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Oleh karena itu, dalam menghadapi fenomena yang terjadi selama setahun terakhir, marilah kita mengambil pelajaran yang dapat membimbing kita menuju masa depan yang lebih baik. Dalam tulisan ini, kita akan membahas pentingnya refleksi diri dalam kehidupan seorang Muslim, serta bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu untuk memperbaiki diri dengan landasan ajaran Islam.

Fenomena Selama Setahun Terakhir: Perenungan atas Kehidupan

Setiap tahun memberikan warna tersendiri dalam kehidupan kita. Mungkin selama setahun terakhir, kita menghadapi berbagai ujian hidup, baik dalam bentuk kesulitan ekonomi, masalah keluarga, atau persoalan pribadi lainnya. Ada pula kebahagiaan yang kita raih, seperti pencapaian tujuan, pertumbuhan dalam karier, atau hubungan yang semakin erat dengan orang-orang terdekat. Semua pengalaman tersebut merupakan bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.

Namun, seringkali kita terlalu sibuk mengejar dunia tanpa memberikan ruang untuk merenung. Padahal, dalam ajaran Islam, merenung dan mengintrospeksi diri merupakan langkah penting untuk mencapai kesempurnaan hidup.[1] Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab, beliau mengatakan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

“Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal” (HR. Tirmidzi)[2]

Hadis ini mengajarkan kita bahwa refleksi atas perbuatan kita di masa lalu sangat penting untuk memperbaiki diri. Refleksi diri bukan berarti berlarut-larut dalam penyesalan, tetapi untuk memperbaiki kelemahan dan memperkuat kelebihan yang kita miliki.

Refleksi Diri: Menghadapi Masa Lalu dengan Bijak

Menghadapi masa lalu dengan bijak adalah kunci untuk memulai tahun yang baru dengan lebih baik. Dalam Islam, Allah mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam penyesalan yang berkepanjangan, karena setiap kesalahan atau dosa dapat diampuni-Nya melalui taubat. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka—dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?—dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 135)

Ini adalah salah satu cara untuk menenangkan hati. Dengan mengingat Allah ﷻ dan memohon ampunan-Nya, kita bisa melepaskan beban masa lalu dan memulai perjalanan hidup yang baru dengan hati yang lebih ringan. Untuk itu, setiap Muslim harus berusaha memohon ampunan Allah ﷻ atas segala dosa yang dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Refleksi Diri dalam Menghadapi Masa Depan

Setelah merenungkan perjalanan hidup di masa lalu, langkah selanjutnya adalah menyambut masa depan dengan penuh harapan. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk tidak terlalu memikirkan masa depan yang belum pasti, tetapi tetap berusaha semaksimal mungkin dengan tawakkal kepada Allah ﷻ. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi).

Masa depan memang penuh ketidakpastian, tetapi kita diajarkan untuk tidak takut dan tidak khawatir berlebihan. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, lebih ikhlas dalam menjalani kehidupan.

Islam juga mengajarkan pentingnya menetapkan niat dan tujuan yang baik dalam setiap langkah hidup. Dalam hadis disebutkan dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).[3]

Oleh karena itu, menyambut masa depan dengan niat yang tulus untuk selalu berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah adalah langkah yang tepat. Setiap amal yang dilakukan, baik yang besar maupun yang kecil, harus dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk mencari ridha Allah ﷻ.

Tahun Baru: Waktu untuk Perubahan

Tahun baru menjadi momen yang baik untuk menetapkan resolusi dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, dalam Islam, perubahan bukanlah hal yang hanya dilakukan pada awal tahun saja, tetapi setiap saat. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Perubahan harus dimulai dari dalam diri. Perubahan yang dimaksud adalah peningkatan dalam ibadah, akhlak, dan hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, jika kita merasa kurang dalam menjalankan shalat, maka saatnya untuk meningkatkan kualitas shalat kita. Jika kita merasa belum cukup sabar atau rendah hati, maka saatnya untuk melatih kesabaran dan kerendahan hati. Perubahan ini tentu tidak mudah, namun dengan doa dan usaha yang keras, Allah akan memberikan pertolongan.

Penutup: Refleksi Diri sebagai Sarana untuk Mendekatkan Diri kepada Allah

Sebagai penutup, refleksi diri adalah salah satu cara untuk menyadari betapa banyaknya karunia yang Allah berikan, serta untuk mengetahui kekurangan diri yang harus diperbaiki. Dalam Islam, hidup ini adalah ujian, dan setiap refleksi atas kehidupan yang kita jalani adalah sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan amal kita. Dengan menyadari kesalahan dan terus memperbaiki diri, kita akan semakin dekat dengan tujuan utama kita sebagai hamba Allah, yaitu meraih ridha-Nya. Di awal tahun baru ini, marilah kita menyambutnya dengan hati yang bersih, penuh harapan, dan niat yang baik untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita.

Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah kehidupan ini, dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha untuk berbuat baik. Âmîn.

Maraji’ :

* Alumni Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia

[1] Ari Wahyudi. “Intropeksi Diri Akhlak yang Terlupa” https://muslim.or.id/8067-introspeksi-diri-akhlak-yang-terlupa.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[2] Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin 1/319.

[3] Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45.

Download Buletin klik di sini

Jagalah Amanahmu

Jagalah Amanahmu

Ridho Frihastama

 

Amanah adalah konsep yang sangat mendalam dalam Islam. Dalam ajaran Islam, setiap individu memikul amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Salah satu amanah terbesar yang diberikan kepada umat manusia adalah kepemimpinan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan fenomena adanya pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya. Fenomena ini sangat memprihatinkan, karena dapat merugikan banyak pihak dan berpotensi merusak tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin dalam Islam dan bagaimana menjaga amanah agar tidak disalahgunakan.

Konsep Amanah dalam Islam

Amanah dalam Islam bukan sekadar kepercayaan yang diberikan oleh sesama manusia, tetapi juga merupakan tanggung jawab yang datang dari Allah ﷻ. Allah ﷻ menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, yang artinya manusia diberi tugas untuk mengelola dan memimpin alam semesta ini dengan bijaksana dan adil. Kepemimpinan adalah salah satu amanah yang diberikan kepada seseorang, baik itu pemimpin dalam lingkup keluarga, masyarakat, atau negara.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa [4]: 58).

Ayat ini menunjukkan bahwa amanah adalah hak yang harus disampaikan dengan adil kepada yang berhak. Dalam konteks kepemimpinan, amanah berarti tanggung jawab besar yang harus dilaksanakan dengan kejujuran, integritas, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Pemimpin yang menyalahgunakan amanahnya berarti tidak hanya telah mengecewakan rakyat atau umat yang dipimpinnya, tetapi juga melanggar ketentuan Allah ﷻ.

Fenomena Penyalahgunaan Kepemimpinan

Dalam sejarah kehidupan umat manusia, kita tidak jarang menyaksikan pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya. Penyalahgunaan kekuasaan ini sering kali terjadi dalam bentuk korupsi, penindasan terhadap rakyat, penyalahgunaan wewenang, hingga penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di level pemerintahan, tetapi juga dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam organisasi, perusahaan, bahkan dalam keluarga.

Penyalahgunaan kepemimpinan sering kali muncul karena kurangnya kesadaran akan beratnya amanah yang dipikul, ketidakjujuran, dan rasa serakah. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat menekankan integritas dan keadilan dalam memimpin. Pemimpin yang tidak dapat menjaga amanahnya akan menghadapi pertanggungjawaban yang berat, baik di dunia maupun di akhirat.[1]

Tanggung Jawab Pemimpin dalam Islam

Islam sangat menekankan pentingnya amanah dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin, baik di tingkat negara, masyarakat, atau keluarga, harus menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggung jawab.

Dari ‘Abdullah bin ‘UmarNabi ﷺ bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).[2]

Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah. Pemimpin yang tidak menjalankan amanahnya dengan baik akan menghadapi konsekuensi yang sangat berat.[3] Tidak hanya itu, dalam hadis lain Rasulullah ﷺ juga menyebutkan bahwa pemimpin yang berlaku zalim dan menyalahgunakan kekuasaannya akan menghadapi azab yang pedih di akhirat kelak.

Dari Ma’qil Bin Yasâr berkata, aku mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari, no. 7150 dan Muslim, no. 142).[4]

Bahaya Penyalahgunaan Amanah Kepemimpinan

Penyalahgunaan amanah oleh seorang pemimpin tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga berakibat pada kerugian yang besar bagi masyarakat atau umat yang dipimpinnya. Pemimpin yang tidak adil akan menciptakan ketidakpuasan, ketidakstabilan, dan ketegangan dalam masyarakat. Ketika pemimpin lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan tertentu, maka kepercayaan rakyat kepada pemimpin akan hilang, yang dapat merusak tatanan sosial.

Dalam konteks negara, penyalahgunaan kekuasaan dapat mengarah pada korupsi, penindasan, dan ketidakadilan yang merugikan rakyat banyak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan yang diajarkan dalam Islam. Islam sangat mengutuk praktik korupsi dan penindasan, serta mengajak umatnya untuk selalu berlaku adil dalam segala hal.

Menjaga Amanah Kepemimpinan

Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, seorang pemimpin harus selalu menjaga niatnya dan mengingat bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga amanah kepemimpinan antara lain:

  1. Berlandaskan pada prinsip keadilan dan kebenaran. Pemimpin harus selalu berusaha untuk berlaku adil dalam setiap keputusan yang diambil, tanpa memihak pada satu pihak atau golongan tertentu. Keputusan yang diambil haruslah berdasarkan pada kebenaran dan bukan kepentingan pribadi.
  2. Menjaga integritas dan kejujuran. Pemimpin harus memiliki integritas yang tinggi, yang tercermin dalam kejujuran dan transparansi dalam menjalankan tugas. Pemimpin yang jujur akan selalu memperoleh kepercayaan dari rakyat atau umat yang dipimpinnya.
  3. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Pemimpin harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Allah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan laporan yang jelas tentang penggunaan sumber daya dan anggaran.
  4. Menjaga ketakwaan kepada Allah. Seorang pemimpin yang takut kepada Allah akan selalu menjaga amanah dengan baik. Ketakwaan akan menjadi pengingat bagi pemimpin untuk tidak tergoda oleh hawa nafsu dan keserakahan, serta untuk senantiasa berbuat adil dan mengutamakan kepentingan umat.

Akhirnya, setiap pemimpin harus menyadari bahwa amanah kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dalam kehidupan ini, kita hanya diberikan kesempatan untuk menjalankan amanah. Ketika dunia ini berakhir, kita akan diminta pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kita, termasuk dalam hal kepemimpinan. Oleh karena itu, menjaga amanah adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa dianggap remeh.

Menjaga amanah, khususnya dalam kepemimpinan, adalah tugas yang sangat berat namun sangat mulia. Pemimpin yang amanah akan membawa kebaikan bagi dirinya sendiri dan umat yang dipimpinnya. Penyalahgunaan kekuasaan hanya akan merugikan banyak pihak dan mengundang murka Allah. Semoga kita semua dapat menjaga amanah dengan sebaik-baiknya, menjalankan tugas kita dengan adil, dan senantiasa bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kita ambil. Wallahu a’lam.

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Jangan Mengkhianati Amanat” https://rumaysho.com/7919-jangan-mengkhianati-amanat.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[2] Shahih Bukhari, no. 893, dalam kitab “Al Ahkam Al Sulthaniyah Wa al wilayat Al diniyah” karya Mawardi, Abi al Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al Basari al Baghdadi.

[3] Ibnu Kastir, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1988], juz IV, h. 29.

[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab al-Ahkâm bab manistur’iya ra’iyyatan falam yanshah, no. 7150.

Download Buletin klik di sini

Memahami Makna Kalimat Tauhid Lâ Ilâha Illallâh

Memahami Makna Kalimat Tauhid Lâ Ilâha Illallâh

Yanayir Ahmad, S.T*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Kalimat Ilâha Illallâh adalah inti dari ajaran Islam. Dengan kalimat ini, seseorang memproklamirkan keimanannya kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Kalimat ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, bahkan menjadi pembeda antara keimanan dan kekufuran. Namun, agar kalimat ini benar-benar bermanfaat bagi seseorang, ia harus memahami dan mengamalkan maknanya dengan benar.

Dalil tentang Lâ Ilâha Illallâh

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18).

Firman ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ sendiri menyatakan keesaan-Nya sebagai satu-satunya yang berhak disembah, sebuah kebenaran yang juga diakui oleh para malaikat dan orang-orang yang berilmu, mempertegas bahwa ibadah hanya layak ditujukan kepada-Nya.

Dalam ayat lain, Allah ﷻ berfirman,

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy v mengatakan dalam tafsirnya bahwa dalam ilmu harus ada pengakuan hati dan mengetahui makna yang diharuskan untuk diketahui, dan secara sempurnanya adalah mengamalkan keharusannya. Inilah ilmu yang diperintahkan oleh Allah, yaitu ilmu tentang mentauhidkan Allah ﷻ. Ilmu ini wajib ‘ain hukumnya atas setiap orang dan tidak bisa gugur bagi siapa pun juga, bahkan semua orang sangat memerlukannya.[1]

Makna Kalimat Lâ Ilâha Illallâh

Makna kalimat ini adalah “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.” Dengan memahami makna ini, kita menyadari bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Semua bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kesyirikan yang harus ditinggalkan.

Kesalahan dalam Memahami Makna Kalimat Tauhid

Terdapat beberapa makna Ilâha Illallâh yang tidak tepat yang sering disalahpahami oleh sebagian orang, berikut sebagiannya:

  1. Dimaknai dengan; “Tidak ada Tuhan (yang disembah) kecuali Allah.” Makna ini tidak tepat, karena seolah-olah berarti semua yang disembah, baik secara benar maupun salah, dianggap sebagai Allah. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan ajaran tauhid yang menegaskan bahwa hanya Allah yang layak disembah dengan benar.
  2. Dimaknai dengan; “Tidak ada pencipta kecuali Allah.” Makna ini tidak keliru sebenarnya, tapi ini hanya mencakup sebagian dari makna kalimat Ilâha Illallâh saja, dan bukan makna ini yang jadi maksud utama. Kaum musyrikin zaman Nabi Muhammad ﷺ pun mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, tetapi mereka tetap menyekutukan Allah dalam ibadah. Jika makna ini saja yang diterima, perselisihan antara Nabi dan kaumnya tidak akan terjadi.
  3. Dimaknai dengan: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah.” Meskipun ini bagian dari konsekuensi tauhid, tapi kalau memaknainya dengan makna ini saja maka tidak cukup. Jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak menetapkan hukum, tetapi masih menyembah selain-Nya, maka tauhidnya belum sempurna.

Rukun Lâ Ilâha Illallâh

Kalimat lâ Ilâha Illallâh memiliki dua rukun utama:

  1. Penafian (yakni pada kalimat: Lâ Ilâha): Bagian ini menafikan ibadah dari segala sesuatu yang disembah selain Allah. Dengan kata lain, kita menolak segala bentuk penyembahan kepada berhala, manusia, jin, atau apapun selain Allah.
  2. Penetapan (yakni pada kalimat: Illallâh): Bagian ini menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Semua bentuk penghambaan harus murni untuk Allah saja.

Dalil Tentang Kedua Rukun Kalimat Tauhid di Atas

Allah ﷻ berfirman,

فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا

“Barang siapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).

Ayat ini menunjukkan bahwa penafian terhadap thagut (segala sesuatu yang disembah selain Allah) dan penetapan keimanan kepada Allah adalah inti dari kalimat tauhid.

Kisah Nabi Ibrahim juga memberikan contoh jelas. Ketika beliau berkata kepada ayahnya dan kaumnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِۦٓ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ. إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى فَإِنَّهُۥ سَيَهْدِينِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dia yang menciptakanku. Maka sesungguhnya Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 26-27).

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim menafikan penyembahan terhadap selain Allah dan menetapkan hanya Allah yang layak disembah.

Kapan Kalimat Ini Bermanfaat?

Kalimat Ilâha Illallâh akan bermanfaat bagi seseorang jika memenuhi dua syarat utama:

  1. Memahami Maknanya: Seseorang harus memahami bahwa kalimat ini mengandung penafian segala bentuk ibadah kepada selain Allah dan penetapan ibadah hanya kepada-Nya.
  2. Mengamalkan Konsekuensinya: Memahami saja tidak cukup. Seseorang harus mengamalkan kalimat ini dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan hanya menyembah Allah semata.

Penutup

Kalimat Ilâha Illallâh adalah fondasi utama keimanan. Kalimat ini tidak cukup hanya diucapkan, tetapi juga harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Memahami makna yang benar dari kalimat ini sangat penting, karena kesalahpahaman dapat melemahkan, bahkan membatalkan keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita pelajari dan renungkan makna kalimat tauhid ini dengan hati yang ikhlas, agar kita bisa menjalani hidup dengan sepenuhnya tunduk kepada Allah ﷻ, satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Semoga Allah ﷻ memberikan kita ilmu yang bermanfaat, pemahaman yang benar, dan keteguhan dalam menjalankan ajaran-Nya. Âmin. Wabillāhul taufiq. Washallāhu ‘alā muhammadin wa a’lā ālihi washahbihi wasallam.

Maraji’ :

* Alumni Teknik Elektro UII ’17

[1] Abdullah bin Ahmad Al-Huwail. At-Tauhid Al-Muyassar. Riyadh: Dar Atlas. 2015 M. Cet.k-4. Tulisan ini dikembangkan dari tulisan beliau dari halaman 13-14.

Download Buletin klik di sini

Menutup Akhir Tahun dengan Penuh Cinta: Perjalanan Menemukan Kebahagiaan

Menutup Akhir Tahun dengan Penuh Cinta: Perjalanan Menemukan Kebahagiaan

Nizar Sadat*

 

Sahabat pembaca yang semoga dalam lindungan Allah ﷻ. Disebutkan dalam riwayat dari Habib bin ‘Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma’dy Kariba –dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma’di Kariba-, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ

Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.” (HR. Bukhari, Adabul Mufrod no. 421/542).[1]

Saat ini, momentum akhir tahun adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi kebahagiaan dan cinta dalam hidup. Manusia bukan seperti hari, pekan, bulan maupun tahun yang terus berubah dan akan terus berubah untuk dapat dicintai. Melainkan cukup menjadi diri sendiri dengan segala kebaikan yang ada dalam dirinya.

Lantas bagaimana untuk menutup akhir tahun dengan penuh cinta?

Cinta bukan hanya tentang pasangan, antara laki-laki dan Perempuan. Erich Fromm Ahli Psikologi dan Filsafat dalam bukunya “The Art of Loving”, mengatakan bahwa cinta bukan hanya sekedar emosi atau perasaan spontan, tetapi sebuah keterampilan yang harus dipelajari dan dilatih.[2] Maka dari itu, melewati momen satu tahun kebelakang adalah bagian yang penting, dengan begitu kita dapat mensyukuri dan tidak menyesali momen-momen yang sudah berlalu satu tahun belakang.  

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari satu tahun kebelakang, pelajaran yang sudah berlalu dihiasi dengan penuh suka dan duka. Terkadang kebahagiaan tidak selalu ditemukan setelah melewati hal yang besar, akan tetapi melalui hal-hal yang kecil kebahagiaan akan muncul jika manusia senantiasa bersyukur. Maka dari itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menutup akhir tahun dengan cinta dan menemukan kebahagiaan sehingga dapat menjalani tahun yang akan datang dengan penuh cinta dan bahagia.

Mensyukuri Pencapaian dan Pelajaran yang Didapat

Menutup tahun dengan bersyukur dan bahagia sudah seharusnya dilakukan oleh manusia, karena kebahagiaan terkadang datang dari hal yang kecil bahkan luput dari pandangan manusia. Allah ﷻ berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“(Ingatlah ketika tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (Q.S. Ibrahim [14]:7).[3]

Mulailah dari mensyukuri pencapaian yang kecil. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278)[4]. Hadits ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rizki yang banyak, rezeki yang sedikit dan tetap terus Allah beri sulit untuk disyukuri? Bagaimana mau disyukuri? Sadar akan nikmat tersebut saja mungkin tidak terbetik dalam hati.[5]

Jadilah Manusia Pemaaf

Dari Abu Hurairah zbahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ

Dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)”. (HR Muslim no. 2588)

Setiap manusia di dunia ini pasti pernah merasakan sakit hati atau terluka, baik melalui perbuatan maupun perkataan dari orang lain. Perasaan sakit hati itu adalah yang meninggalkan beban emosional, seperti mudah marah, dendam, rasa bersalah, dan kesedihan. Jika dibiarkan terus menerus maka hal ini akan menghalangi manusia akan bersyukur, merasakan cinta, dan kebahagiaan. Maka dari itu, hadits diatas sudah memberikan pelajaran bahwa dengan menjadi manusia yang pemaaf maka hadiahnya adalah kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat.

Berbagi Cinta kepada Orang lain

Cara paling sederhana membawa kebahagiaan dalam hidup adalah dengan berbagi cinta kepada orang lain, berbagi cinta dalam hal ini bukan tentang hubungan romantis, akan tetapi tentang kasih sayang, hubungan baik dengan orang lain, dan berbagi kebaikan kepada orang lain.

Dari Abu Hamzah Anas bin Malikpembantu Rasulullah ﷺ, dari Nabi ﷺ bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45).[6]

Berbagi cinta kepada orang lain memiliki dua manfaat, yaitu membuat diri sendiri bahagia dan membuat orang lain bahagia juga. Selain menjadi orang yang beriman seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ dalam hadits di atas, berbagi cinta juga dapat meningkatkan kebahagiaan, membentuk hubungan yang lebih baik, mengurangi stress, dan menjadi sumber inspirasi untuk orang lain.

Menetapkan Niat dan Harapan Baru

Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya dan setiap awal yang baru selalu memberikan kesempatan untuk bisa merefleksikan masa lalu dan merancang yang akan datang. Menetapkan niat dan harapan untuk tahun baru yang akan datang bukan tentang resolusi saja tetapi tentang niat bagaimana manusia bisa menyelaraskan diri dengan tujuan kedepan.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907) [7].

Sesuai dengan hadits diatas, maka dengan niat yang jelas dan harapan yang kuat maka akan tercipta hidup yang lebih bermakna dan lebih bahagia. Menetapkan niat dan harapan baru adalah cara untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna yang dilengkapi dengan cinta dan kebahagian.

Menutup akhir tahun ini dengan penuh cinta dan harapan baru di tahun yang akan untuk menemukan kebahagiaan berarti dapat mensyukuri pelajaran dan capaian yang sudah didapat, mampu menjadi manusia yang pemaaf, berbagi cinta kepada manusia lain, dan menetapkan niat dan harapan baru. Cinta yang sejati dimulai dari diri sendiri dan kebahagian harus ada untuk menemani setiap langkah yang akan berlalu. Wa Allâhu a’lam.

Maraji’ :

* Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UII angkatan 2021.

[1] HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani. Disebutkan dalam Muhammad Abduh Tuasikal. “Aku Mencintaimu Karena Allah”  https://rumaysho.com/6319-aku-mencintaimu-karena-allah.html. Diakses pada 3 Desember 2024.

[2] Berliana Intan Maharani. “Kisah Abu Qilabah, Sahabat Nabi yang Selalu Bersyukur dan Sabar” https://www.detik.com/hikmah/kisah/d-6689231/kisah-abu-qilabah-sahabat-nabi-yang-selalu-bersyukur-dan-sabar/. Diakses pada 26 April 2023.

[3] Fromm E. The Art Of Loving. Gramedia Pustaka. 2020.

[4] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Bersyukur Dengan yang Sedikit” https://rumaysho.com/1975-bersyukur-dengan-yang-sedikit.html. Diakses pada 3 Desember 2024.

[6] Adiba A Soebachman. Pesan-Pesan Cinta Jalaludin Rumi. Araska; 2024.

[7] Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45.

Download Buletin klik di sini

Perilaku Imma’ah dalam Islam

Perilaku Imma’ah dalam Islam

Rofiqotun Nadilah*

 

Imma’ah atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan inkonsistensi atau ikut-ikutan (orang yang suka mengekor orang lain) merupakan suatu hal yang berkaitan dengan mentalitas atau sikap negatif yang harus kita hindari. Seseorang yang tidak mempunyai prinsip, ikut kesana-kemari mengikuti arah angin, sesuai dengan isu yang sedang beredar, atau sesuatu yang sedang viral dan menjadi trend, bahkan sesuatu yang berkembang sesuai dengan selera dan keinginannya. Tentu ini sebuah sikap yang tidak diharapkan dan tidak selayaknya dimiliki oleh seorang muslim. Bahkan dalam berbagai pandangan dan keyakinan pun, sifat ini adalah salah satu sifat yang tidak terpuji.

Dari Hudzaifah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا

Janganlah kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan: ‘Jika manusia-manusia berbuat baik, kami pun berbuat baik; jika mereka berbuat kezhaliman, kami juga akan berbuat zhalim’. Akan tetapi kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berlaku zhalim”. (HR. Tirmidzi, no.1930, beliau menyatakan haditsnya Hasan)

Dari hadits tersebut kita diingatkan untuk tidak berlaku imma’ah, yang mana sikap kita ditentukan oleh bagaimana orang-orang yang ada di sekitar kita. Hendaknya perkuatkan diri kita untuk tetap kokoh dalam berbuat kebaikan.[1]

Arus informasi yang semakin deras membuat gelombang trend silih berganti membanjiri aktivitas sehari-hari masyarakat di sekitar kita. Sifat imma’ah pun tumbuh subur bak jamur di musim hujan, mengisi jiwa-jiwa yang kosong akan prinsip iman dan identits diri. Contoh saja seorang penggemar terhadap artis idolanya, atau yang dikenal dengan istilah Celebrity Worship dimana hal tersebut dapat diartikan sebagai kecintaan berlebih terhadap idolanya.[2]

Saat sang idola menebarkan trend berpakaian terbuka, maka buru-burulah sang penggemar membeli pakaian yang sama dan ikut-ikutan terbuka. Tak peduli pantas atau tidak, tak peduli rapi dan sopan atau bahkan memalukan, terlebih khususnya pada wanita pun beramai-ramai berani membuka auratnya. Tak peduli harus seberapa dalam merogoh kocek untuk membeli baju-baju bermerk, tas-tas branded, alat elektronik mahal, atau kendaraan terbaru pun nekat dibeli hanya untuk mengikuti trend, demi gaya hidup bahkan hanya untuk sekedar pengakuan dari orang lain.

Mengapa Muncul dan Lahir Sifat Imma’ah?

Pertama, lemahnya keyakinan kepada Allah ﷻ. Saat ia melihat kebatilan semakin kuat serta memiliki kedudukan, sementara ia tidak yakin bahwa ia akan menang dan Allah ﷻ akan  memberikan pertolongan. Pada akhirnya ia lebih berpihak kepada kebatilan karena ragu akan pertolongan Allah ﷻ, ia memindahkan prinsipnya karena ia melihat tidak ada harapan. Padahal boleh jadi orang beriman diuji dan diberikan kekalahan, tapi ia tetap harus yakin bahwa Allah ﷻ pada akhirnya akan memberikan kemenangan bagi mereka yang berada di jalan kebenaran.

Kedua, berorientasi syahwat. Apabila orientasi hidup seseorang berupa terpenuhinya syahwat duniawi baik itu syahwat harta, syahwat popularitas, syahwat jabatan atau kedudukan, maka ia akan mengikuti segala penawaran yang membuka jalan untuk memenuhi keinginan-keinginan nafsunya. Ketika ia ditawarkan kesana dengan iming-iming yang besar sesuai dengan tujuan syahwatnya, maka ia akan ikut kesana. Lalu ternyata ada lagi yang menawarkan kesini dengan iming-iming yang besar dan sesuai dengan syahwatnya juga, dan akhirnya ia ikut kesini. Jadi, seseorang yang memiliki orientasi syahwat, maka sulit seseorang tersebut memiliki sifat konsisten, ia akan berubah-ubah, berbeda degan seseorang yang memiliki prinsip.

Ketiga, lemah pemahaman. Terkadang, seseorng yang memiliki keyakinan dan tidak disupport oleh pemahaman yang kuat dan bagus, maka ia akan rentan dihadapkan dengan syubhat. Sebagaimana seseorang yang telah memiliki keyakinan yang benar, lalu ia dihadapkan dengan suatu keyakinan lain yang disertai dengan dalih-dalih yang terkesan menarik. Karena tidak memiliki pemahaman yang baik, akhirnya ia meninggalkan dan ikut pandangan yang baru, padahal pandangan yang baru bisa saja buruk dan sesat. Maka, apabila seseorang memiliki keyakinan yang kuat disertai dengan pemahaman yang kuat, dia tidak akan mudah tergiur dengan tawaran-tawaran yang lain.

Keempat, tidak continue dalam pembinaan. Seseorang yang membiarkan dirinya tidak terawat ibarat tanaman yang awalnya cantik nan indah, dan berikutnya tidak lagi disiram dan dirawat dengan baik, maka bisa jadi ia akan layu dan bahkan mati. Sebagaimana keimanan kita, harusnya selalu dirawat, dibina dan jangan dibiarkan layu karena kita lalai. Apabila iman kita biarkan terbengkalai tidak terurus setiap hari, maka akan berpotensi besar terkena syubhat, lama kelamaan ia akan lemah. Pada akhirnya ia akan menanggalkan prinsipnya dan berpindah pada prinsip yang lain.

Kelima, terpedaya dengan nilai materialisme. Di zaman sekarang ini, nilai-nilai materialisme menjadi acuan kesuksesan dan keberhasilan. Seseorang dikatakan berhasil apabila ia memiliki rumah mewah, kendaraan mewah, jabatan yang tinggi, serta berpenampilan modis dengan menggunakan barang-barang branded. Itulah gambaran kehidupan materialistis yang hanya dilihat dari banyaknya harta seseorang namun mengenyampingkan bagaimana perilakunya, tidak peduli halalkah cara mereka dalam mencari harta atau bahkan sebaliknya. Sehingga tidak sedikit orang yang ingin seperti mereka, dan salah satu konsekuensinya ia harus meninggalkan prinsip-prinsipnya dan berpindah kepada pandangan-pandangan yang mengandung kebathilan.

Bagaimana Agar tidak Imma’ah?

Melihat sebab muncul dan lahirnya sifat imma’ah, maka ada beberapa hal yang harus kita lakukan, diantaranya: memperkuat keyakinan kita kepada Allah ﷻ dan ajaran-Nya. Salah satunya dengan banyak mengikuti majlis-majlis ilmu agar semakin sering kita medapatkan bimbingan, arahan dan peringatan. Maka hal tersebut akan menghadirkan kekuatan jiwa dan kekuatan hati kita untuk senantiasa selalu berada di jalan Allah ﷻ. Orientasi hidup kita haruslah akhirat. Bagaimana kita berfikir agar akhirat kita selamat dan akhirat kita bahagia, karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki.

Meningkatkan pemahaman terhadap ajaran Allah ﷻ agar tidak mudah terpedaya dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan. Tidak pernah bosan dalam membina diri, baik secara pribadi dengan melakukan berbagai rangakian ibadah seperti dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, atau juga dengan bantuan orang lain seperti ulama atau ustadz dan ustadzah agar kita kokoh dalam sikap dan prinsip kita. Terakhir, kita harus memahami hakikat dunia fana, bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat merupakan tempat kehidupan yang abadi.

Maraji’ :

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

[1] Adil Fathi Abdullah. Keep Positive Thinking: 20 Tips Membangun Kepribadian Islami (Faishal Hakim Halimy, Terjemahan). Depok: Gema Insani. 2014. h. 42.

[2] Fransiska Vania. “Gambaran Celebrity Worship pada Dewasa Awal Penggemar K-Pop” dalam Jurnal Psikologi Malahayati, Vol. 05 No. 02, Tahun 2023, h. 274.

Download Buletin klik di sini

Peran Akidah Dalam Mencegah Cyberbullying

Peran Akidah Dalam Mencegah Cyberbullying

Desi Rahmawati*

Fenomena Cyberbullying

Cyberbullying atau perundungan dunia maya merupakan tindakan perundungan atau bullying dengan menggunakan teknologi digital yang dapat berdampak pada fisik dan mental seseorang. Teknologi digital yang dimaksud seperti Twitter, Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram dan TikTok.

Cyberbullying merupakan tindakan berulang yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu terhadap seseorang dilatarbelakangi karena ketidaksamaan mindset atau amarah yang bertujuan untuk menakuti atau menghinanya. Cyberbullying tidak memandang usia dan gender korban, cyberbullying dapat terjadi pada lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, masyarakat, komunitas, dan tempat lainnya.[1] Contoh cyberbullying yang sering terjadi menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF):[2]

  1. Menyebarkan kebohongan atau memposting pada media sosial berkaitan dengan privasi seseorang
  2. Mengirimkan pesan yang tidak sopan atau menyakitkan melalui kolom komentar pada media sosial seseorang
  3. Mengatasnamakan dengan membuat akun palsu atau meretas akun seseorang serta mengirimkan pesan yang merugikan orang lain
  4. Mengucilkan dari game online atau grup pertemanan
  5. Memaksa untuk mengirimkan foto sensual atau dilibatkan dalam percakapan seksual
  6. Menghasut orang lain untuk mempermalukan atau melecehkan seseorang

Lalu, bagaimana jika kita pernah mengalami hal-hal di atas?

Apabila pernah mengalami tindakan-tindakan cyberbullying seperti di atas,

  1. Perbanyak istighfar dan bertaubat kepada Allah Swt, memohon perlindungan agar dijauhkan dari fitnah dan kesewenang-wenangan orang lain;
  2. Perbanyak muhasabah atas setiap perilaku yang dilakukan sebelumnya;
  3. Segera konsultasikan dengan orang terdekat yang dianggap dapat menjaga privasi untuk dilakukan penanganan lebih lanjut;
  4. Batasi diri dan bijak dalam menggunakan media sosial.

Akidah bagi Seorang Muslim

Akidah adalah kepercayaan yang timbul dari pengetahuan dan keyakinan. Orang yang “mengetahui” dan menempatkan kembali kepercayaan kuat akan Keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, petunjuk wahyu dan aturan-aturan hukum Ilahi mengenai pahala dan siksa, disebut mu’min (orang beriman).[3]

Sebagai orang yang beriman, kita diwajibkan menghiasi diri kita dengan al akhlakul karimah atau sifat-sifat yang mulia dan menjauhkan diri kita dari al akhlakul mazmumah atau sifat-sifat yang tercela. Mukmin yang senantiasa menghiasi dirinya dengan al akhlakul karimah, maka sifat mulia tersebut akan mendorong dirinya untuk senantiasa melakukan hal yang bermanfaat dan positif bagi dirinya sendiri maupun orang lain, hal tersebut akan mendorong terciptanya kebahagiaan hidup baik saat di dunia ataupun di akhirat. Sebaliknya apabila terlalu menghiasi dengan sifat-sifat tercela, maka sifat tersebut akan mendorong dirinya melakukan hal-hal buruk yang membawa kemudharatan bagi dirinya maupun orang lain.

Tauhid bersandingan dengan akhlak. Orang yang sudah belajar tauhid, mempunyai ikatan yang lebih dekat dengan Allah. Aktivitasnya dijaga agar selalu baik, karena dilihat Allah, jadi mustahil mengeluarkan kata-kata kotor. Ikatan tersebut disebut dengan akad, semakin kuat ikatan tersebut disebut dengan Akidah. Umat Islam yang sudah mempunyai ikatan dekat dengan Allah, akhlaknya berubah, dari jahiliyah menjadi terbuka.

Akidah yang benar mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Akidah yang benar akan memberikan kebaikan pada diri sendiri dan orang lain. Sebaiknya, akidah yang rusak akan membawa kepada keburukan. Seseorang yang mempunyai akidah yang kuat, akan beribadah kepada Allah ﷻ dengan Ikhlas, khusyuk, mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Seseorang yang mempunyai akidah kuat, akan memiliki akhlak yang baik ketika dia bermuamalah dan bergaul dengan manusia.

Seseorang yang mempunyai akidah yang kokoh, akan tertanam pada dirinya sifat-sifat yang baik, sabar ketika mendapat musibah, bersyukur saat memperoleh nikmat dari Allah ﷻ, bertaubat dan beristighfar saat melakukan dosa. Akidah yang kuat, Allah l senantiasa menjaga hambanya dari syubhat dan kerancuan-kerancuan. Akidah yang kuat, Allah ﷻ akan menjaga seseorang dari musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar. Akidah yang kuat, ibarat seperti pohon yang kuat, mempunyai akar yang kokoh dan cabangnya menjulang ke atas. Belajar dan mengamalkan akidah yang benar adalah fardhu’ain, wajib bagi seorang musilm dan muslimah, mulai dari perkara-perkara mendasar. Dengan akidah, kita akan dimudahkan masuk ke dalam surga-Nya dan dijauhkan dari neraka.

Peran Akidah dalam Mencegah Cyberbullying

Islam jelas melarang terhadap perilaku menghujat dan merendahkan sesama makhluk ciptaan-Nya. Al Quran sebagai pedoman hidup manusia dalam semua aspek kehidupan. Larangan terhadap bullying dalam Al Quran dijelaskan dalam surah al Hujurat ayat 11,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan), lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah panggilan yang buruk atau fasik setelah beriman. Dan barang siapa tidak melakukan taubat, mereka itulah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. al Hujurât [49]: 11).

Dalam tafsir Ibnu Katsir, menjelaskan kata yaskhar (memperolok-olokkan) berarti menghina atau meremehkan mereka. Hal ini sangat dilarang, karena bisa saja orang yang diremehkan tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah l dari pada orang yang meremehkannya.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa akhlak seseorang sudah diatur oleh Al Quran. Apabila keimanan seseorang sudah kuat, maka akan mempunyai ikatan yang lebih kuat kepada Allah ﷻ dan mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, senantiasa menjaga perilakunya dari perbuatan-perbuatan tercela. Hal tersebut juga akan terimplementasikan dalam tindakan kesehariannya, salah satunya salam bermuamalah kepada sesama manusia baik secara dunia maya maupun tatap muka.

Dengan demikian, akidah mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya cyberbullying. Akidah mempunyai peran dalam pembentukan karakter seseorang. Oleh sebab itu, penting untuk menanamkan akidah sejak dini. Orang tua mempunyai peran penting dalam mengajarkan rukun-rukun iman yang menjadi nilai dasar dalam pembentukan akidah anak. Ketika akidah sudah melekat dalam diri anak, maka ia akan menjadi seseorang yang beriman dan mempunyai kepribadian kuat. Selain itu, segala sikap dan perbuatannya senantiasa dilakukan hanya karena Allah ﷻ.

Maraji’ :

* Staf Jurusan Studi Islam FIAI UII

[1] Annastasya dkk. “Cyberbullying di Media Sosial Instagram Ditinjau dari Perspektif Islam” dalam Jurnal Multidisiplin Ilmu, Vol. 1 No. 3, Tahun 2022. h.136.

[2] Unicef. “Cyberbullying: Apa itu dan Bagaimana Menghentikannya” https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying. Diakses pada 30 Agustus 2024.

[3] Ananda Prathiwi. “Peran Akidah dalam Mencegah Cyberbullying di Media Sosial (Studi Analisis Terhadap Instagram Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam)” dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1 No. 1, Tahun 2021. h.61.

Download Buletin klik di sini

Penyakit-Penyakit Akidah

Penyakit-Penyakit Akidah

Jaenal Sarifudin*

 

Bismillahi, walhamdulillahi, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Waba’du.

Jika dipetakan, agama Islam secara garis besar mencakup tiga ajaran pokok yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Hal ini tercermin dalam trilogi iman, Islam dan ihsan. Iman membuahkan ajaran akidah (tauhid). Islam membuahkan aspek syariat (ibadah) sebagaimana yang tercermin dalam lima rukun Islam. Kemudian ihsan mencerminkan penekanan pada aspek akhlak, etika dan moralitas.

Di antara ketiganya, aspek iman (akidah) adalah ajaran yang menjadi dasar dan pondasi dari sebuah bangunan yang bernama agama. Jika akidah seseorang kuat, niscaya akan kokoh pula bangunan agama yang berdiri di atasnya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan di dalam firman Allah ﷻ,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ. تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25).

Makna kalimah thayyibah dalam ayat tersebut menurut para ahli tafsir adalah kalimat tauhid yang menjadi pilar dari keimanan.[1] Jika tauhid seseorang tertanam kuat laksana pohon yang subur dan akarnya menghunjam kuat, niscaya akan membuahkan kesalehan yang digambarkan dengan buah-buahan. Maka nilai-nilai akidah harus senantiasa dijaga dengan baik. Salah satu kunci menjaga bersihnya ruhani kita adalah dengan menjaga kemurnian akidah dari beberapa penyakit yang akan merusak. Berikut beberapa penyakit-penyakit akidah:

Beberapa Penyakit Akidah

  1. Syirik

Syirik artinya menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu. Pelakunya disebut musyrik. Syirik merupakan dosa terbesar dan sebesar-besar bentuk kezhaliman.[2] Mereka yang membawa mati dosa syirik dan tidak bertaubat maka tidak akan diampuni oleh Allah.[3] Syirik ada dua macam, yakni syirik jali (syirik yang terang-terangan) dan syirik khofi (syirik yang tersamar). Setiap muslim seharusnya mempelajari ilmu akidah dan tauhid dengan baik dan benar agar ia memiliki pemahaman yang kokoh. Perbuatan syirik juga bisa menghapus pahala yang telah dimiliki seseorang sebagaimana firman-Nya,

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu, sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65).

  1. Takhayul

Takhayul maknanya mempercayai hal-hal klenik yang sejatinya tidak ada. Pada gilirannya kepercayaan takhayul ini sering berujung memuja dan mengagungkan sesuatu yang tidak semestinya. Misalnya meyakini bahwa benda-benda “keramat” memiliki kekuatan tertentu dan akan memberikan keberuntungan atau menolak bala’. Di zaman modern ini, ternyata takhayul tidak lantas hilang. Beberapa waktu lalu misalnya ada fenomena spirit doll (boneka arwah) yang mengemuka di kalangan tertentu. Mereka meyakini bahwa boneka yang dimilikinya memiliki ruh, dapat berkomunikasi dan akan membawa keberuntungan.

Sebuah boneka jelas adalah benda mati. Ia tidak akan bergerak kecuali digerakkan oleh orang yang memegangnya. Kalaupun misalnya ada boneka yang ternyata bisa bergerak atau bahkan mampu berbicara, pastilah ada hal yang “tidak beres” di sana. Bisa jadi ada sebangsa jin jahat yang merasukinya. Jin memang memiliki kemampuan untuk merasuki makhluk hidup atau pun benda mati. Di dalam kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa Hubal, patung terbesar yang disembah kaum musyrikin Mekkah dahulu dapat berbicara karena dirasuki jin.[4] Ini juga merupakan cara jin atau setan untuk menyesatkan manusia.

  1. 3. Khurafat

Khurafat memiliki makna yang mirip dengan takhayul. Hanya ia memiliki kaitan dengan sisi kepercayaan yang telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat dan juga terkait dengan mitos legenda di masa lampau. Misalnya khurafat terkait terjadinya gerhana matahari yang dalam mitos katanya karena matahari dimakan raksasa sehingga terjadilah gerhana. Atau terkait terbentuknya fenomena alam tertentu yang dikait-kaitkan dengan hal yang tidak berdasarkan ilmu. Sisi yang bertentangan dengan akidah pada aspek khurafat ini adalah karena ia bisa menafikan apa yang disebut konsep sunnatullah. Yakni hukum yang Allah terapkan pada alam dan mekanisme ciptaan-Nya. Bahkan khurafat juga jelas bertentangan dengan nalar akal sehat yang menjadi sebab kemuliaan manusia dan juga bertentangan dengan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari sumber nilai kebenaran.

  1. Tathayyur

              Tathayyur secara bahasa bermakna berita burung. Hal yang tidak jelas. Tathayyur biasanya dilakukan dengan mengkait-kaitkan sesuatu dengan hal yang tidak berhubungan secara logis, namun diyakini ia menjadi sebab atas hal tertentu. Misalnya keyakinan kalau ada seseorang yang keduten mata kanannya maka ia dalam waktu dekat mau dapat rezeki nomplok. Kemudian juga misalnya hari pasaran kelahiran seseorang yang dikait-kaitkan dengan nasib dan kecocokannya dalam pekerjaan.

Selain itu juga ada masyarakat Jawa yang meyakini bahwa kalau seseorang menikah di bulan Muharram (Suro) maka bisa berakibat buruk (sial). Sebab Suro adalah bulan “keramat” yang dianggap sebagai bulan pantangan untuk menggelar hajat tertentu. Ini adalah beberapa contoh tathayyur yang bertentangan dengan nilai akidah. Sebab salah satu prinsip keimanan adalah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi hanyalah atas izin Allah. Hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan madlarat.

  1. Sihir

Sihir hakikatnya adalah bentuk kerjasama manusia dengan jin jahat (setan) untuk melakukan hal tertentu yang biasanya di luar hukum akal. Sihir ada yang bersifat memamerkan kemampuan, misalnya atraksi-atraksi menakjubkan tertentu yang di luar nalar. Ada juga bentuk sihir yang bertujuan mencelakai orang lain seperti santet. Atau sebaliknya, bertujuan untuk memberikan “keuntungan” yang sesungguhnya bersifat semu bagi seseorang seperti sihir pesugihan, penglarisan dan pengasihan. Melakukan perbuatan sihir jelas bertentangan dengan keimanan. Manusia dilarang menjadikan setan sebagai teman. Setan adalah musuh Allah dan musuh yang nyata bagi manusia. Firman Allah ﷻ,

إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُوا۟ حِزْبَهُۥ لِيَكُونُوا۟ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan adalah musuh nyata bagimu maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35]: 6).

  1. Ramalan Klenik

Ramal meramal yang tidak ada dasarnya adalah bertentangan dengan nilai akidah. Sebab manusia pada hakikatnya tidak mengetahui dan tak bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya,

وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

…Tidaklah satupun jiwa mengetahui apa yang akan dia lakukan besok, dan tidak ada satupun jiwa mengetahui di mana ia akan mati.” (QS. Luqman [31]: 34). Sehingga jika ada seseorang yang mengaku dapat mengetahui apa yang akan terjadi atau mampu meneropong nasib seseorang, maka ia adalah pembohong. Nabi mengecam orang yang mempercayai ramalan dalam sabdanya,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal kemudian ia membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammmad.” (H.R. Ahmad no. 9532).[5]

Maraji’ :

* Mahasiswa Pasca FIAI

[1] Abu Bakar Jabir al-Jazairi. Aisar at-Tafasir, Madinah, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukmi, 2007.

[2]  QS. Luqman [31]: 13.

[3]  QS. An-Nisa [4]: 116.

[4]  Abu Abdillah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.

[5] HR. Ahmad no. 9532. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Download Buletin klik di sini

Makna Ikhlas dalam Tazkiyatun Nafs

Makna Ikhlas dalam Tazkiyatun Nafs

Nada Kurnia Sari*

 

Pentingnya Tazkiyatun Nafs dalam Kehidupan 

Tazkiyah berasal dari kata zaka yang bermakna membersihkan atau memperbaiki. Dalam konteks ini, tazkiyatun nafs berarti proses membersihkan hati dari sifat-sifat buruk seperti riya, hasad, dan kesombongan, serta menggantikannya dengan sifat-sifat mulia seperti keikhlasan, tawakal, dan syukur.[1]

Tazkiyatun nafs, atau penyucian jiwa, bukan hanya sekadar konsep, tetapi jalan untuk mendidik hati dan kalbu agar senantiasa berada di posisi yang diridhai Allah l. Ketika jiwa telah bersih dari noda, hati akan menjadi cermin yang jernih, memantulkan cahaya keimanan dan kebaikan.

Namun, apa jadinya jika seseorang tampak luar biasa dalam ibadah, dan baik di mata manusia, tetapi ternyata muamalahnya kepada Allah buruk? Di tengah keramaian, ia tampak seperti wali Allah, tetapi dalam kesendirian menjadi walinya setan. Fenomena ini menunjukkan absennya tazkiyatun nafs dalam dirinya. Penyucian jiwa menjadi penentu apakah ibadah dan amal memiliki makna sejati atau justru kosong tanpa arah.

Allah ﷻ menjadikan tazkiyatun nafs sebagai salah satu misi utama Rasulullah ﷺ. Allah l berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah [62]: 2).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa misi utama Rasulullah adalah membimbing umat manusia untuk menyucikan jiwa, mengajarkan Al-Qur’an, dan hikmah. Hal ini menegaskan pentingnya tazkiyatun nafs sebagai kunci kebahagiaan hakiki.

Bahkan dalam firman Allah surah Asy-Syams ayat 1-10[2], di mana Allah menyebutkan sebelas sumpah beruntun untuk menegaskan bahwa hanya mereka yang menyucikan jiwa yang akan beruntung, sementara mereka yang mengotorinya akan merugi.[3]

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9-10)

Ikhlas: Kunci Utama Penyucian Jiwa 

Ibadah kepada Allah ﷻ tidak cukup hanya memperhatikan aspek lahiriah, seperti gerakan shalat atau bacaan dzikir. Ibadah harus mencakup hati, karena hati adalah inti dari hubungan seorang hamba dengan Sang Penciptanya. Ibadah hati memiliki banyak bentuk, tetapi yang paling utama adalah keikhlasan.

Ikhlas bermakna memurnikan niat hanya untuk Allah ﷻ, menjadikan Allah satu-satunya tujuan dari segala bentuk ketaatan.[4] Dalam surah al Bayyinah ayat 5, Allah ﷻ berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ

“Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas…” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Bahkan, keikhlasan akan menjadi perisai seorang hamba dari godaan setan,[5] di mana Iblis mengakui bahwa ia tidak mampu menggoda hamba-hamba yang ikhlas.

Seseorang yang mencintai Allah ﷻ akan menunjukkan kecintaan itu dalam setiap aspek kehidupannya. Semua aktivitasnya, mulai dari ibadah hingga interaksi sehari-hari, mencerminkan tujuan akhir yang ia harapkan ridha Allah ﷻ. Sebaliknya, orang yang hatinya terikat pada gemerlapnya dunia, seperti halnya harta, pangkat, dan pujian, cenderung kehilangan keikhlasan. Ibadahnya tidak lagi murni untuk Allah ﷻ, melainkan hanya rutinitas atau bahkan untuk mendapat pengakuan dari orang lain.

Tantangan dalam Menjaga Keikhlasan 

Menjaga keikhlasan bukanlah perkara mudah. Dunia menawarkan begitu banyak godaan yang bisa merusak niat. Banyak orang yang mengira mereka telah ikhlas, padahal sebenarnya tertipu oleh hawa nafsu.

Salah satu kisah yang menarik untuk direnungkan adalah tentang seorang lelaki yang selalu shalat di shaf pertama. Suatu hari, ia terlambat dan harus shalat di shaf kedua, ia merasa malu dilihat oleh orang-orang di sekitarnya. Saat itu, ia menyadari bahwa ketenangan hatinya selama ini saat berada di shaf pertama ternyata bukan karena Allah, tetapi karena pandangan orang lain.[6]

Kisah ini menjadi pengingat betapa sulitnya mencapai keikhlasan yang sejati. Betapa banyak amal yang  anggap ikhlas, tetapi sebenarnya telah tercampur dengan niat untuk mencari pujian atau pengakuan.

Langkah-Langkah Mencapai Keikhlasan 

Meski sulit, ikhlas bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diraih. Ada beberapa langkah yang bisa  tempuh untuk melatih diri menuju keikhlasan:

  1. Melawan hawa nafsu. Keikhlasan hanya bisa tumbuh dalam hati yang bersih dari keinginan duniawi. Oleh karena itu, harus melatih diri untuk memupus ketamakan terhadap harta, popularitas, dan kedudukan.
  2. Fokus pada akhirat. Menjadikan akhirat sebagai tujuan utama akan membantu menjaga keikhlasan. Ketika hati terfokus pada keridhaan Allah, godaan dunia akan terasa kecil.
  3. Membangun kebiasaan muhasabah. Introspeksi diri adalah kunci untuk mengevaluasi niat. Sebelum melakukan amal, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk siapa aku melakukan ini?”
  4. Menjaga amal tersembunyi. Salah satu cara melatih keikhlasan adalah dengan melakukan amal secara diam-diam, tanpa diketahui orang lain. Amal yang tersembunyi lebih kecil kemungkinannya untuk dicampuri oleh riya.
  5. Memohon taufik dari Allah l. Keikhlasan adalah anugerah dari Allah. Oleh karena itu, berdoalah agar Allah membersihkan hati dan memberikan taufik untuk selalu ikhlas dalam setiap amal.

Peringatan Bagi yang Lalai 

Allah memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang lalai dari keikhlasan. Allah ﷻ berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا. ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا.

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 103-105).

Allah ﷻ menjelaskan bahwa amal mereka yang tidak ikhlas akan menjadi sia-sia pada hari kiamat. Mereka akan melihat kebaikan-kebaikan mereka berubah menjadi keburukan karena niat yang salah.

Keikhlasan sebagai Jalan Keselamatan 

Ikhlas adalah syarat mutlak diterimanya amal dan kunci utama dalam proses tazkiyatun nafs. Tanpa ikhlas, amal hanya menjadi rutinitas tanpa nilai di sisi Allah ﷻ. Mari  jadikan ikhlas sebagai pondasi dalam setiap ibadah dan aktivitas, sehingga seluruh hidup  menjadi cerminan cinta kepada Allah dan harapan akan akhirat.

Semoga Allah ﷻ memberikan taufik kepada  semua untuk menjadi hamba-hamba yang ikhlas, yang setiap amalnya murni dipersembahkan hanya kepada-Nya.

Maraji’ :

* Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam.

[1] Said Hawwa, al-Mustakhalash fi Tazkiyat a-Anfus, alih bahasa oleh: Ainur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu. Jakarta: Robbani Press, 1999. h. 2.

[2] QS. Asy-Syams [91]: 1-10.

[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Imam al-Ghazali. Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As-Salaf. Beirut: Dar al-Qalam, t.t.

[4] Dedi Junaedi dan Sahliah Lia, “Ikhlas Dalam Al Qur’an,” Ta’lim JIAI 1, no. 2 (2019). h. 34–42.

[5] QS. Shad [38]: 83.

[6] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Imam al-Ghazali. Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As-Salaf. Beirut: Dar al-Qalam, t.t.

Download Buletin klik di sini

Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an

Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an

Abu Musa Agus Fadilla Sandi*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh.

Dunia kerja modern saat ini mengalami fenomena yang memprihatinkan, seperti meningkatnya angka pengunduran diri karyawan (resign)[1] dan semakin meluasnya isu-isu tentang lingkungan kerja yang tidak sehat (toxic).[2] Tentu saja fenomena ini menuntut kita untuk mengevaluasi kembali model kepemimpinan dan pola hubungan antara pemimpin dan karyawan dalam sebuah organisasi.

Dalam Al-Qur’an ternyata terdapat petunjuk yang sangat relevan mengenai prinsip kepemimpinan yang dapat menjadi fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Allah ﷻ memberikan contoh-contoh teladan tentang pemimpin dan karyawan yang sukses. Maka dari itu, tulisan ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana rahasia kesuksesan karyawan dan pemimpin perspektif Al-Qur’an.

Karyawan yang Baik

Karyawan yang baik adalah aset penting bagi keberhasilan sebuah lembaga. Al-Qur’an menggambarkan kriteria karyawan sukses melalui kisah Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 26,

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai ayahku, jadikanlah dia sebagai pekerja kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk dipekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash [28]: 26).

Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa Nabi Musa layak untuk dipekerjakan karena ia memiliki dua sifat mulia ini: kekuatan dan amanah. Pekerja terbaik adalah yang memiliki keduanya—kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dan amanah dalam menjaga kepercayaan, tanpa berkhianat.[3] Dalam Tafsir Al-Baghawi, Nabi Musa dianggap kuat karena mampu mengangkat batu besar yang biasanya membutuhkan sepuluh hingga empat puluh orang, dan amanah karena menjaga kehormatan putri Syaikh Madyan (Nabi Syu’aib) dengan meminta mereka berjalan di belakangnya agar angin tak berhembus membentuk lekuk tubuh mereka.[4]

Kekuatan dan amanah adalah dua elemen penting untuk menjadi karyawan yang sukses. Kekuatan mencakup kemampuan fisik, mental, serta keahlian dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Amanah mencakup kejujuran, integritas, dan tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan. Modal kekuatan akan memastikan pekerjaan diselesaikan dengan efisien, sementara modal amanah akan menjaga kepercayaan dan kejujuran selama proses pelaksanaannya.

Di masa kini, kekuatan dapat bermakna kompetensi dalam keahlian dan kemampuan menghadapi tantangan kerja. Adapun amanah berarti menjaga etika kerja, tidak menyalahgunakan kepercayaan, dan berkomitmen pada tanggung jawab. Karyawan yang mampu memadukan kedua sifat ini akan menghasilkan kinerja maksimal dan penuh keberkahan.

Sebagai karyawan, mari belajar dari kisah Nabi Musa. Sudahkah kita cukup kompeten dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab? Sebagai pemimpin, jadikan kekuatan dan amanah sebagai pedoman dalam memilih tim. Karyawan terbaik adalah mereka yang bekerja dengan tangan yang terampil, hati yang tulus, dan jiwa yang jujur. Ikhtiar memadukan keahlian dan integritas akan menjadikan seseorang sebagai karyawan yang sukses berkualitas.

Pemimpin yang Saleh

Menjadi seorang pemimpin bukan berarti bebas bertindak sesuka hati. Setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, yang akan menimbang setiap kebaikan dan membalas semua perbuatan. Secara umum, pemimpin bermakna orang yang memimpin;[5] dalam konteks lainnya pengertian ini dekat dengan definisi bos, yakni seseorang yang berkuasa mengawasi dan memberi perintah kepada bawahan, baik dalam organisasi maupun perusahaan.[6]

Al-Qur’an telah membahas tema kepemimpinan yang sukses yang terdapat dalam kisah Syekh Madyan dan Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 27,

قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakan hingga sepuluh tahun, itu adalah kebaikan darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS. Al-Qashash [28]: 27)

Ada dua aspek utama yang menunjukkan kesalehan Syekh Madyan sebagai seorang pemimpin. Pertama, kejelasan akad kerja yang ditawarkan, yaitu durasi delapan tahun dengan opsi tambahan hingga sepuluh tahun sebagai bentuk kebaikan dari Nabi Musa. Umar bin Khattab  z menjelaskan bahwa di antara bentuk kebaikan dalam menjaga hubungan adalah dengan setia pada komitmen yang telah disepakati.[7]

Kedua, kemudahan jenis pekerjaan yang dijanjikan. Syaikh Madyan menegaskan bahwa pekerjaannya tidak akan memberatkan, melainkan ringan dan mudah dijalani. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang saleh seharusnya senantiasa berusaha memperbaiki akhlaknya, dan apa yang diharapkan darinya menjadi nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.[8]

Kisah di atas mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin yang sukses adalah tentang memperlakukan bawahan dengan kejelasan dan kebaikan. Jadilah seperti Syaikh Madyan yang menjaga hak dan kewajiban karyawannya dengan bijaksana, serta bermuamalah baik dengan tidak memberatkan karyawannya.

Ikhtitam

Al-Qur’an memberikan pedoman yang sangat relevan dalam dunia kerja, baik untuk karyawan maupun pemimpin. Karyawan yang baik adalah mereka yang memiliki kekuatan dalam kompetensi dan amanah dalam menjalankan tugas. Sedangkan, pemimpin yang saleh adalah mereka yang memperjelas akad kerja dan mempermudah pekerjaan karyawannya.

Oleh karenanya, baik karyawan maupun pemimpin, mari kita amalkan nilai-nilai kekuatan, amanah, kejelasan dan kebaikan dalam kehidupan profesional kerja kita. Jadikan kisah ini sebagai inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi pada lingkungan kerja yang positif. Bersama-sama kita wujudkan dunia kerja yang produktif dan penuh keberkahan dengan mengikuti teladan yang telah dicontohkan di dalam Al-Qur‘an.

Maraji’ :

* Ketua Yayasan Markaz Studi Al-Qur’an

[1] Intan Rakhmayanti Dewi, “Musim Resign Bakal Makin Ganas, Lengah Bakal Ditinggal Karyawan,” CNBC Indonesia, diakses 1 Desember 2024, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240625132825-37-549132/musim-resign-bakal-makin-ganas-lengah-bakal-ditinggal-karyawan.

[2] “1 dari 5 Orang Merasa Tempat Kerjanya Toxic, Ada Apa?,” diakses 1 Desember 2024, https://lifestyle.kompas.com/read/2023/07/17/201538020/1-dari-5-orang-merasa-tempat-kerjanya-toxic-ada-apa?page=all#.

[3] Abdul Rahman bin Nasser bin Abdullah Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2000), h. 614

[4] Abū Muḥammad al-Ḥusayn ibn Mas’ūd ibn Muḥammad ibn al-Farrā’ al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, Ar-Rābi’ah (Riyadh: Dār Ṭayyibah li an-Nashr wa at-Tawzī’, 1417), h. 530.

[5] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemimpin.

[6] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bos.

[7] al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, h. 531.

[8] Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan,  h. 614.

Download Buletin klik di sini