Simpul-Simpul Utang

Simpul-Simpul Utang

Muhammad Aziz Wirabrata*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari namanya kebutuhan, terkadang saat kebutuhan datang posisi kita terdesak dengan tidak adanya uang tunai yang harus segera dibayarkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Utang menjadi salah satu solusi saat terjadi hal tersebut, syariat islam telah mengatur tentang utang. Akan ada pembahasan singkat dari beberapa sisi tentang utang pada tulisan ini. Semoga pembahasan yang singkat ini bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca.

Pegertian Utang

Utang dalam Bahasa arab disebut dengan ad-Dain. Bentuk jamaknya ad-Duyun atau al-Adyun. Sebagaimana kata A’in, memiliki bentuk jamak al-Uyun dan al-A’yun.[1]  Secara istilah utang didefinisikan al-Qurthubi, hakekat ad-Dain (utang) adalah istilah untuk menyebut bentuk muamalah, dimana salah satu objeknya diserahkan secara tunai, sementara objek yang satunya tidak tunai dalam tanggungan.[2]

Hukum Berutang

Hukum asal dari berutang adalah boleh (jâ-iz). Allah ﷻ menyebutkan sebagian adab berutang di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

Rasulullah  pernah berutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki utang kepada seorang Yahudi, dan utang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah x, bahwasanya dia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ  اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Nabi  membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR. Al-Bukhari no. 2200).[3]

Tujuan Akad Utang

Akad utang masuk pada akad tabarru’at. Akad tabarru’at disebut juga akad sosial, dari tujuan akad tersebut kita sudah mengetahuinya. Namun, dilapangan banyak kita jumpai kesalahan dalam memahami tujuan akad utang maka terjatuhlah sebagian dari saudara kita kepada riba, semoga Allah jaga kita dari hal tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan transaksi utang:

  1. Mencatat Transaksi Utang-Piutang

Allah ﷻ berfirman,

Hal orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282).

  1. Menghadirkan Saksi

Allah ﷻ berfirman,

Persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika taka da dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang Perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)

  1. Dianjurkan ada barang gadai

Allah ﷻ berfirman,

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang mengutangi). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 283)[4]

Akibat Tidak Memahami Perbedaan Utang

Akad utang yang sesuai syariat dan tidak sesuai syariat (ribawi) samar bagi sebagian orang dan terkadang teranggap sama. Berikut akibat tidak memahami perbedaan utang dan riba:

  1. Terjatuh pada riba.
  2. Maraknya budaya berutang karena tidak memahami akibat dari utang ribawi.
  3. Terputusnya tali pertemanan maupun tali keluarga disebabkan oleh utang yang tidak selesai dengan baik.
  4. Mempunyai sangkaan bahwa berutang itu secara mutlak diharamkan oleh agama.

Solusi supaya terbebas dari utang

Bahwa bagi seseorang hendaknya berhati-hati dalam masalah utang. Tidak mudah berutang dan bila mampu segera dilunasi. Jadikan pelunasan sebagai prioritas utama tanpa harus banyak alasan dengan kebutuhan hidup yang tidak pernah terpuaskan. Terkadang tidak bisa dihindari seorang dalam kondisi tertentu membuat dirinya harus berutang, dengan keadaan seorang tersebut sudah mengerti perbedaan antara akad utang dan riba maupun seorang yang tidak mengerti perbedaannya. Solusi untuk kondisi ini ada dalam dua bagian. Kondisi sebelum mempunyai utang dan kondisi setelah punya utang.

Pertama, Kondisi sebelum punya utang:

  1. Mengecek kembali apakah hajat saat berutang itu pada kebutuhan utama

Kita jumpai banyak sekali seorang yang berutang pada suatu hajat yang sebenarnya itu tidak mendesak dirinya untuk berutang. Lebih parahnya lagi sebagian orang berutang untuk gaya hidup. Semoga Allah jauhkan kita semua dari hal ini.

  1. Jadikan utang sebagai solusi terakhir

Solusi terakhir untuk berutang adalah pilihan yang lebih baik. Seorang bisa mencoba menjual barang atau asset yang dia miliki dahulu supaya tidak memberatkannya dikemudian hari.

  1. Bila terpaksa berutang niatkan untuk melunasi

Sebagian orang terkadang setelah berutang tidak punya niat untuk mengambalikan dan terkesan menyepelekan utangnya. Ancaman ini ditegaskan oleh Nabi agar umatnya tidak meremehkan masalah hak orang lain.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Nabi bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Siapa saja yang meminjam harta orang lain dengan niat mengembalikannya, niscaya Allah akan melunasi utangnya. Siapa yang meminjam harta orang lain untuk dia habiskan maka Allah akan memusnahkannya.” (HR. Bukhari 18 & Ibn Majah 2504).[5]

  1. Menyiapkan barang gadai

Barang gadai disiapkan untuk menjamin kepercayaan pemberi utang. Supaya yang berutang juga tidak bermudah-mudah dalam utangnya.

Kedua, Kondisi setelah punya utang:

  1. Tidak menambah utang sebelum utang yang sebelumnya lunas

Sering terjadi pada seorang tabiat yang dinamakan gali lubang tutup lubang. Hal ini terjadi karena kurang sabar dalam proses pelunasan utang. Kondisi ini tidak memperbaiki keadaan seorang tersebut melainkan memperburuk keadaanya. Seorang baiknya tidak tergesa-gesa dan tergiur dengan tawaran utang lainnya, lebih lagi pada tawaran utang ribawi.

  1. Memperhatikan adab saat berutang

Hendaknya seorang saat berutang lalu ditagih tetaplah menjaga adabnya bilamana belum sanggup untuk membayar dan meminta tambahan waktu dengan cara yang baik. Kejadian yang terjadi seringkali kurang baiknya adab seorang yang berutang saat ditagih utangnya memaki dan berkata kasar.

Semoga dengan tulisan yang singkat ini dapat menambah ilmu dan menjadi pengingat untuk diri penulis pribadi dan semoga bisa bermanfaat untuk yang membaca. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik untuk kita semua.

* Laboran Rekayasa Tekstil FTI-UII

Maraji’ :

[1] al-Qamus al-Muhiht, 4/227.

[2]  Tafsir al-Qurthubi, 3/377 disebutkan dalam Ammi Nur Baits. #Ada Orang Utang. Yogyakarta: Pustaka Muamalah. 1443 H. Cet.k-2. h. 1.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. “Bahaya Kebiasaan Berutang”. https://muslim.or.id/13427-bahaya-kebiasaan-berutang.html. Diakses pada 25 Juli 2023.

[4] Ammi Nur Baits. “Adab al-Quran Terkait Utang”. https://konsultasisyariah.com/29554-adab-al-quran-terkait-utang.html. Diakses pada 25 Juli 2023.

[5] Ammi Nur Baits. #Ada Orang Utang. Yogyakarta: Pustaka Muamalah. 1443 H. Cet.k-2. H. 65.

Download Buletin klik disini

Janganlah Berputus Asa

Janganlah Berputus Asa

La Ardin Ma’ruf*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Sahabat ar-Rasikh yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Untukmu yang selalu merasa kesempitan dalam kehidupan. Yang ditelan kesedihan dan kesusahan, menjerit akan pertolongan. Namun belum ada yang dapat memberikan pengharapan. Janganlah berputus asa, karena pertolongan itu akan datang.

Jika dahulu engkau masih berseluncur di atas lautan dosa. Menikmati setiap maksiat yang berujung binasa. Merasa aman dari efek buruk yang akan melanda, sehingga berani menerobos perkara yang dilarang secara membabi buta. Kemudian terbesit suatu penyesalan atas dosa, namun beranggapan noda yang begitu banyak tidak dapat dihapus dengan upaya. Janganlah berputus asa dan berusahalah meraih ampunan Allah ﷻ.

Kenalilah Al-Ghafur dan Ar-Rahman

Jika upaya telah dikerahkan dan beranggapan ampunan sukar untuk didapatkan, namun masih mengharapkan pertolongan. Maka kenalilah yang menamakan diri-Nya Al-Ghafur dan Ar-Rahman, karena hanya Dia yang dapat memberikan harapan, di saat orang lain tak dapat diandalkan. Allah ﷻ selalu bersedia menerima keluhan atas dosa yang pernah dilakukan. Maka renungkanlah jawaban-Nya yang menggembirakan.

Allah ﷻ berfirman,

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar [39]: 53).

Ayat ini kaitannya dengan haknya orang yang bertaubat, karena Allah ﷻ akan mengampuni semua dosa yang orang itu bertaubat kepada-Nya.

Nabi ﷺ bersabda,

التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tanpa dosa”. (HR. Ibnu Majah, no. 4250).[1]

Diakhir ayat dinyatakan, bahwa Allah ﷻ Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, yang sangat luas rahmat dan kasih sayang terhadap hamba-Nya. Akan mengampuni segala dosa yang telah terlanjur mereka kerjakan, apabila benar-benar tobat dari kesalahan mereka. Banyak orang yang menyangka bahwa karena dosanya telah bertumpuk-tumpuk, maka tidak akan diampuni Allah ﷻ. Jadilah ia seorang yang berputus asa terhadap ampunan, rahmat, dan kasih sayang-Nya.

Barangsiapa bertaubat dan meminta ampun, Allâh ﷻ akan menerima taubatnya. Allâh ﷻ berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh?.” (QS. Ali Imran [3]: 135).

Jika dahulu kita telah melampaui batas, kemudian bertaubat atas seluruh dosa dan menyesali semua yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Yakinlah! Allah ﷻ tidak akan menyia-yiakan usaha kita. Dan ampunan-Nya diberikan kepada yang tidak berputus asa. Jika kita bertaubat dari semua dosa dan menyesalinya maka seperti orang yang tidak ada dosa.

Rasulullah ﷺ bersabda,

اَلنَّدَمُ تَوْبَةٌ.

Menyesal adalah taubat.” (HR. Ibnu Majah, no. 4252).[2]

Setelah mengetahui hanya Allah lah yang mampu menolong kita dari ketergelinciran dosa dan maksiat. Maka keputusasaan akan lenyap dengan harap yang disandarkan kepada yang memiliki ampunan, rahmat, dan kasih sayang. Dialah Allah yang menamakan dirinya al-Ghafur. Agar lebih kuat harapan  kepada al-ghafur, kita perlu tahu makna dari nama Allah (al-Ghafur). Dialah yang maha pengampun menyebutkan nama-Nya yang berbeda dari satu akar kata غفر, al-Ghafur  dalam QS. Asy-Syu’ara’[26]: 5, al-ghaffaar dalam Q.S az-Zumar[39]:5, dan al-Ghaafir dalam Q.S Ghafir[40]: 3.

Makna Allah al-Ghaffaar

Syaikh Abdul Aziz bin Nashir al- Julayyil mendefinisikan makna nama Allah al-Ghaffaar (الغفّار) ialah Yang Maha menutupi dosa-dosa hamba-Nya. Menutupi disini bermakna bahwa Allah tidak membongkar, menampakkan, membuka perbuatan buruk hamba-Nya dihadapan manusia.[3] Sehingga apa yang telah Allah tutupi dari dosa-dosa agar manusia tidak mengetahuinya, tidak pantas untuk kita membuka tutup itu.

Buah Memahami Makna Nama Allah

Kata syaikh, dengan kita memahami nama Allah yang agung ini, ada empat buah manis yang akan diperoleh:

  1. Semakin cinta kepada Allah ﷻ. Cinta tidak bertambah dengan sendirinya. Harus ada sebab yang mendasari untuk dipertahankan dan dikuatkan. Bayangkan setiap hari dosa yang kita lakukan begitu banyak dan setiap itu pula dosa akan ditutupi oleh Allah ﷻ. Padahal besok dosa yang sama kita ulangi lagi dan akan diikuti dengan dosa yang lain. Maka dengan memahami nama al Ghafur, al-Ghaffar dan al-Ghaafir, maka kita akan semakin cinta kepada Allah ﷻ.
  2. Akan muncul harap kita kepada Allah ﷻ. Sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Menutupi. Di mata orang lain, kita diangap baik. Seandainya mereka mengetahui dosa-dosa yang kita lakukan tentu anggap baik itu akan sirna. Maka adanya anggapan baik adalah modal untuk terus memperbaiki diri. Sehingga tumbuh keinginan dalam hati “Aku yang masih berlumuran dosa namun masih Engkau tutupi, maka aku akan berupaya untuk memperbaiki diri”.
  3. Tawashul dengan asmaul husna yaitu berdoa dengan nama-nama Allah al Ghafur, al-Ghaffar dan al-Ghaafir. Dikisahkan suatu ketika Abu bakar datang kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta diajarkan suatu doa yang dapat dibacakan dalam shalat. Maka Rasulullah ﷺ bersabda,

‏ قُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ‏‏.

Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang menyampuni dosa melainkan Engkau. Maka ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu dan kasihanilah diriku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari, no.834).[4]

Siapa yang disuruh oleh Nabi ﷺ untuk mengatakan pengakuan seperti itu? Dialah Abu Bakar manusia paling mulia di muka bumi setelah Nabi dan Rasul. Bagaimana dengan kita? Yang seharusnya lebih pantas untuk mengakui dosa dihadapan Allah yang Maha Luas Ampunan-Nya.

Kembali kepada makna bertawasul dengan nama Allah ﷻ. Pada doa di atas Nabi ﷺ mengakhiri doa dengan al-Ghafurur Rahim. Maka dianjurkan meminta sesuatu kemudian tutup atau buka doa dengan asmaul husna. Ini Tawasul yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah ﷺ.

  1. Berusaha untuk meneladani Asmaul Husna dalam kehidupan sehari-hari. Meneladani asmaul husna maksudnya jika Allah ﷻ maha menutupi dosa, maka teladanilah dalam menutupi dosa orang lain dan dosa kita.

* Musyrif di Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga

Maraji’ :

[1] Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[2] HR. Ibnu Majah, no. 4252, Ahmad, no. 3568, 4012, 4414 dan 4016). al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (no. 1307), al-Hakim (IV/243) dari hadits Anas, dan beliau menshahih-kannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6678). https://almanhaj.or.id/1378-menyesal-dan-berlepas-dari-kemaksiatan.html. Diakses pada 23 Juni 2024.

[3] Abdul ‘Aziz bin Nashir al Julayyil. Wallahul Asmaul Husna Faduuhu Biha. Riyad. 1436. h.30.

[4] Muhammad ibnu Ismail al Bukhari. Matan Shahih Bukhari. Qhohiroh: Darul Hadits. 1432 H/2010 M. Cet.Ke-24303. h. 145.

Download Buletin klik disini

Apa itu Haji Mabrur?

Apa itu Haji Mabrur?

Wakhid Aji Nugroho

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Sahabat ar-Rasikh yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Ibadah haji merupakan ibadah yang diimpikan oleh semua umat muslim di dunia. Dalam pandangan masyarakat muslim pada umumnya yang ada di Indonesia, haji sering dinilai sebagai puncak tujuan hidup manusia. Ada rasa kerinduan di dalam hati yang amat dalam akan kedekatan dengan Allah ﷻ dan Rasulullah yang para muslim yakini akan mereka dapatkan selama proses ibadah haji.

Allah ﷻ berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron [3]: 97).[1]

Pada saat ada sesorang yang akan melakukan ibadah haji sering kita dengar, “semoga menjadi haji mabrur”. Haji mabrur menurut Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu haji yang diberikan kebaikan dan kebajikan.[2] Doa ini merupakan harapan agar para jamaah haji menjadi probadi yang zuhud dengan dunia dan tidak membiasakan diri melakukan perbuatan maksiat.[3]

Dari Aisyah, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ: لاَ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol, Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur.”, Jawab Nabi .” (HR. Bukhari, no. 1520)[4]

Belajar Hidup Sederhana

Selain karena termasuk dalam rukun Islam yang kelima, haji merupakan wujud manisfestasi solidaritas dan ketundukan umat muslim kepada Allah ﷻ. Para jamaah haji diajarkan menyelami lebih dalam mengenai arti kesederhaan dan persaudaraan antar umat islam dari berbagai belahan dunia karena selama prosesi ibadah diharuskan hanya memakai pakaian ihram yang mana membangkitkan kesadaran bahwa setiap insan manusia di dunia ini memiliki kedudukan yang sama dan setara dihadapan Allah ﷻ kecuali dalam hal ketaqwaan.

Allah ﷻ berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat [49]: 13).

Belajar Ikhlas

Sama hal nya dengan ibadah kurban yang dijalankan setelah proses lontar jumrah oleh para jamaah haji, ibadah ini mengajarkan umat muslim untuk belajar ikhlas. Para jamaah haji harus rela mengorbankan harta yang cukup banyak serta menyiapkan badan yang fit untuk bisa menjalankan seluruh urutan ibadah haji mulai dari ihram dari Miqat, membaca talbiyah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah aqabah, tahallul, tawaf ifadhah, mabit di Mina, hingga yang terakhir yaitu tawaf wada.

Esensi dari rangkaian ibadah haji yang panjang ini yaitu keikhlasan. Ikhlas mengorbankan jiwa dan raga hanya untuk mendapatkan ridho dari Allah ﷻ semata.

Sebagaimana firman Allah ﷻ,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 162-163).[5]

Titik Balik Manusia kembali Pada Fitrah

Wukuf di Arafah merupakan puncak ibadah haji yang jika tidak dilaksanakan maka tidak sah haji seseorang. Seluruh jamaah haji tanpa terkecuali bahkan yang sedang sakit, tetap harus datang ke Arafah untuk berdiam diri pada saat wukuf. Wukuf di Arafah menjadi sangat penting bagi para jamaah haji karena pada saat itu lah waktu manusia akan dan harus bertolak. Bertolak dari seorang yang shalih menjadi orang yang muslih, dari seorang muslim menjadi orang yang mukmin, dari seorang yang angkuh menjadi orang yang patuh, dari seorang yang banyak melakukan kemaksiatan menjadi orang yang taat sepenuhnya kepada perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah f.[6]

Pada saat ini lah para jamaah haji diminta berdiam diri untuk merenungi, meminta ampunan dari Allah ﷻ, dan memutus segala yang bentuk keburukan dalam hati, pikiran, dan tindakan yang selama ini dilakukan. Puncak esensi dari menjalani wukuf di Arafah adalah kembali pada fitrah. Sadar dengan segenap keyakinan hati bahwa seluruh manusia di dunia ini diciptakan untuk berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan layaknya Nabi Adam dan Hawa. Dari mereka Allah ﷻ takdirkan kita menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku namun Allah ﷻ tidak melihat perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain, namun lebih kepada kesamaan aqidah dan tauhid kepada Allah ﷻ.

Dari An-Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Nabi bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim, no. 2586).[7]

Dari hal-hal yang disampaikan diatas, mari kita doakan semoga seluruh jamaah haji pada tahun 2024 ini menjadi haji mabrur, ibadah hajinya diterima oleh Allah ﷻ dan kesemuanya mengalami momen titik balik menjadi manusia yang penuh ketaatan kepada Allah ﷻ, yang dengan hal tersebut dimampukan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaiman firman Allah ﷻ,

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104).[8]

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. “Haji, Hikmah dan Pensyariatannya” https://rumaysho.com/36773-haji-hikmah-dan-pensyariatannya.html. Diakses pada 23 Juni 2024.

[2] KH. Asrorun Niam “Apakah Haji Mabrur Itu?” https://kemenag.go.id/nasional/apakah-haji-mabrur-itu-yg80jt.  Diakses pada 23 Juni 2024.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. “Menggapai Haji Mabrur” https://rumaysho.com/2616-menggapai-haji-mabrur305.html. Diakses pada 23 Juni 2024.

[4] Ibid

[5] Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. “Salah dalam Memahami Syirik” https://rumaysho.com/2767-salah-dalam-memahami-syirik.html. Diakses pada 23 Juni 2024.

[6]Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd. “Wukuf di Arafah dan Pengakuan Keterbatasan Diri Sebagai  Manusia” https://kemenag.go.id/kolom/wukuf-di-arafah-dan-pengakuan-keterbatasan-diri-sebagai-manusia-DcjQk. Diakses pada 23 Juni 2024.

[7] Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. “Syarhus Sunnah: Tak Boleh Mencela Sahabat Nabi” https://rumaysho.com/27164-syarhus-sunnah-tak-boleh-mencela-sahabat-nabi.html. Diakses pada 23 Juni 2024.

[8] Dr. KH. A. Juraidi, M.A. “Khutbah Jumat: Amar Makruf Nahi Munkar dalam Bingkai NKRI https://istiqlal.or.id/blog/detail/khutbah-jumat–amar-makruf-nahi-munkar-dalam-bingkai-nkri.html. Diakses pada 23 Juni 2024.

Download Buletin klik disini

Jemputlah Rezeki dengan Cara Yang Baik

Jemputlah Rezeki dengan Cara Yang Baik

Fauzi ‘Ibad Rahman*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat ar-Rasikh yang mencintai Allah ﷻ dan semoga pula dicintai Allah ﷻ, ketahuilah bahwa bekerja itu bukan persoalan keuntungan atau upah yang didapatkannya dengan jumlah banyak. Bekarja itu bukan hanya karena karir yang melejit mencapai puncak dalam sebuah instansi atau perusahaan. Bekerja itu bukan hanya datang tepat waktu kemudian pulang tepat waktu, namun tidak ada hasilnya karena yang dilakukannya di tempat kerjanya hanya nonton film, main game, youtub-an, facebook-an, whatsapp-an, dan yang semisalnya. Karena zaman sekarang sangat mudahnya kita mengakses segala yang diinginkannya. Allahul musta’an 

Perhatikan baik-baik bahwa bekerja itu adalah persoalan ibadah. Bekerja itu persoalan taqwa untuk menjemput sebagian rezeki yang telah Allah ﷻ tetapkan untuk setiap makhluk-Nya. Tidak usah  khawatir  dengan rezeki kita, Allah ﷻ sudah memberikan jatahnya masing-masing sesuai dengan yang Allah ﷻ kehendaki. Tugas kita adalah menjaga hati agar fokus lillâh  dalam berkerja dan membimbing hati agar tidak ada rasa dengki (hasad) pada partner kerja.

Makna Rezeki

Apa toh rezeki itu? Sederhananya rezeki itu adalah segala sesuatu yang mendatangkan manfaat yang Allah halalkan untuk makhluk-Nya, baik berupa hal yang nampak seperti harta, makanan, kendaraan, dan yang semisalnya atau berupa hal yang tidak nampak seperti ketenangan hati, kesehatan, pengetahuan, ilmu, akhlak mulia yang semisalnya. Adanya diri kita di muka bumi ini adalah rezeki, bisa bekerja adalah rezeki, terlebih bisa beribadah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah rezeki terbesar bagi manusia.

Imam an Nawawi mengisyaratkan makna rezeki dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141). Bahwa hakikat rezeki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rezeki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rezeki. Hilangnya kepenatan pikiran, tempat kerja yang nyaman, teman kerja yang shalih, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rezeki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi harta yang kita miliki.[1]

Rezeki Sudah Diatur

Jangan khawatir rezeki sudah diatur, dan sudah dibagi dengan adil. Allah ﷻ berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syûra [42]: 27)

Perhatikan di ayat yang lain, Allah ﷻ berfirman,

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. al-‘Ankabût [29]: 62).

Masyâ Allâh yang luar biasa adalah tidak satupun makhluk di muka bumi ini melainkan Allah telah memberi rezekinya tanpa kecuali. Allah ﷻ berfirman,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (al-Lauh al-Mahfuzh).” (Q.S. Hûd [11]: 6).

Ibnu Katsir berkata, “Allah ﷻ mengabarkan bahwasanya Dia Yang menjamin akan rezeki seluruh makhluk, dari seluruh binatang melata di bumi, besar kecil dan daratan atau lautannya.”[2]

Syaikh As Sa’dy berkata, “Maksudnya adalah seluruh yang berjalan di atas muka bumi baik dari manusia atau hewan darat atau laut, maka Allah telah menjamin rezeki dan makanan mereka, semuanya ditanggung Allah.”[3]

Jemputlah Rezeki Dengan Cara Yang Baik

Bekerja adalah sarana untuk menjemput rezeki, maka jemputlah rezeki dengan cara yang baik. Saat kita berkerja dengan baik (sesuai dengan aturan syariat) maka itu adalah ibadah. Konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan dengan cara yang baik adalah rezeki yang halal. Jangan sampai menjemput rezeki dengan cara yang tidak halal, seperti mengurangi timbangan, melakukan penipuan, dan bekerja tidak sesuai dengan akad kerja.

Misalnya, ketika kita sudah berjanji dalam kontrak kerja, hadir pada jam yang disepakati maka tunaikanlah itu sesuai dengan waktunya. Jika tidak terpenuhi, wajib baginya untuk minta izin pada pimpinan pada tempat kerjanya. Setidaknya ada infromasi agar tidak semua orang dibuatnya berprasangka yang diharamkan. Ini adab orang yang beriman, bukan merasa tidak bersalah, acuh, cuek dan tidak mahu tahu. Bekerjalah dengan cara yang baik karena hal ini berkaitan dengan halal dan haramnya rezeki (gaji) yang diterimanya. Apa iya kita kasih makan isteri dan anak-anak kita dengan yang haram (atau syubhat)?

Bekerja yang baik bukan hanya berkaitan cara kerja yang baik, namun bisa jadi tempat kerja (instansi atau perusahaan) yang tidak baik karena berkaitan dengan hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ seperti instansi ribawi, lokalisasi, club malam, tempat karaoke dan tempat hiburan maksiat lainnya. Meskipun dia pekerja sesuai dengan perjanjian, tiba dan pulang dari tempat kerja tepat waktu, bagus perangainya terhadap pimpinan dan teman sejawatnya. Ini semua berkonsekuensi pada rezekinya, caranya baik namun tempatnya tidak baik maka hasilnya haram.

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (H.R. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166).[4]

Semoga Allah ﷻ membimbing kita untuk menjemput rezeki dengan cara yang baik, menanamkan sifat zuhud terhadap dunia dan qanaah dari rezeki yang telah Allah tetapkan. Serta semoga Allah mengmpuni dosa-dosa penulis, kedua orang tuanya, dan kaum muslimin. Âmîn

* Warga Plosorejo RT 02 RW 18 Sardonoharjo Ngaglik Sleman D.I. Yogyakarta.

Maraji’ :

[1] Majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Disadur dari https://almanhaj.or.id/3722-rezeki-tidak-mesti-berwujud-materi.html. Diakses pada 19 Juni 2024.

[2] Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim, pada ayat di atas.

[3] Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman di dalam ayat di atas.

[4] Lihat Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866. Disadur dari https://rumaysho.com/11136-jatah-rezeki-halal-berkurang-gara-gara-pekerjaan-haram.html. Diakses pada 19 Juni 2024.

Download Buletin klik disini

Esensi Pengorbanan yang Hakiki: Oase Penyejuk Hati

Esensi Pengorbanan yang Hakiki: Oase Penyejuk Hati

Ridho Frihastama

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Kisah Penuh Hikmah

Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah salah satu kisah yang paling mengharukan dan penuh hikmah dalam sejarah Islam. Beliau adalah sosok teladan luar biasa dalam hal keimanan yang teguh, kesabaran yang tak tertandingi, dan tentunya pengorbanan yang hakiki.

Pengorbanan yang dimaksud bukanlah sekadar memberikan harta benda atau tenaga. Pengorbanan hakiki yang sejati adalah ketika kita rela menyerahkan sesuatu yang paling kita cintai demi meraih ridha Allah ﷻ. Kisah tentang kesediaan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk mengorbankan putranya, Ismail, menjadi ujian terberat yang pernah beliau hadapi. Perintah tersebut datang langsung dalam mimpi, yang diyakini oleh beliau sebagai wahyu dari Allah ﷻ.

Namun, bayangkanlah betapa beratnya ujian ini. Ismail adalah putra yang dilahirkan setelah penantian panjang, buah pernikahan Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar di usia yang sudah senja. Kehadiran Ismail tentu membawa kebahagiaan yang luar biasa bagi Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak ragu dengan perintah tersebut. Beliau yakin bahwa Allah ﷻ tidak akan pernah memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, beliau mempersiapkan diri untuk melaksanakan perintah tersebut.

Nabi Ibrahim merahasiakan perintah ini dari Ismail . Beliau mengajak Ismail pergi ke suatu tempat dengan alasan hendak beribadah. Sepanjang perjalanan, bisikan setan datang menggoda Nabi Ibrahim untuk membatalkan niatnya. Namun, dengan keimanan yang kokoh, beliau menolak bisikan tersebut.

Ketika sampai di tempat yang dituju, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menyampaikan perintah Allah ﷻ kepada Ismail. Alangkah luar biasanya, Ismail yang saat itu masih remaja, menerima perintah tersebut dengan penuh kesabaran dan kepasrahan. Beliau berkata kepada ayahnya,

يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Wahai ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 102).

Keadaan hening dan penuh ketegangan pun melanda. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memejamkan matanya dan bersiap untuk melaksanakan perintah tersebut. Namun, tepat pada saat itulah, Allah ﷻ menggantikan Ismail dengan seekor domba jantan untuk disembelih.[1]

Peristiwa ini diabadikan dalam firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shaffat [37] ayat 107,

وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Maka Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS Ash-Shaffat [37]: 107).

Hakikat Pengorbanan

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memberikan pelajaran berharga tentang hakikat pengorbanan. Pelajaran tersebut di antaranya:

  1. Ketaatan kepada Allah ﷻ diatas segalanya. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak mempertanyakan perintah tersebut, meskipun itu berarti harus mengorbankan putranya sendiri. Beliau hanya fokus untuk menjalankan perintah Allah ﷻ dengan penuh keikhlasan.[2]
  2. Kesabaran yang luar biasa. Baik Nabi Ibrahim ‘alaihis salam maupun Ismail, keduanya menunjukkan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi ujian berat tersebut. Mereka berdua sama-sama rela menerima takdir Allah ﷻ dengan penuh kepasrahan.[3]
  3. Menyikapi ujian dengan iman. Ujian yang datang tidak selalu berupa hal yang buruk. Bisa jadi, ujian tersebut merupakan cara Allah ﷻ untuk meningkatkan keimanan kita. Seperti halnya kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, ujian tersebut justru semakin meneguhkan keimanan beliau dan Ismail.
  4. Pengorbanan yang hakiki. Pengorbanan yang sejati bukanlah sekadar memberikan sesuatu yang mudah kita lepaskan. Pengorbanan yang hakiki adalah ketika kita rela menyerahkan sesuatu yang paling kita cintai demi meraih ridha Allah ﷻ.

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim bagaikan oase menyejukkan hati di tengah gemerlapnya dunia saat ini, di mana materialisme dan hedonisme menjamur. Ketaatan dan ketundukan beliau kepada Allah ﷻ, tanpa keraguan sedikitpun, menjadi teladan bagi kita dalam mematuhi aturan dan norma di tengah arus deras godaan.

Kasih sayang dan rela berkorban yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Ismail, mengingatkan kita untuk selalu memprioritaskan cinta kepada Allah dan sesama, serta rela beramal dan membantu orang lain yang membutuhkan. Kesabaran dan keteguhan hati mereka dalam menghadapi cobaan, menjadi pengingat bagi kita untuk selalu tegar dan pantang menyerah dalam menghadapi rintangan dan ujian dalam hidup.

Keberanian dan ketegasan Nabi Ibrahim o dalam menjalankan perintah Allah ﷻ, menjadi inspirasi bagi kita untuk berani menegakkan kebenaran dan menjalankan nilai-nilai syariat meskipun tidak populer. Di era sekarang ini, di mana kemudahan dan kenikmatan hidup seringkali membuat kita lalai, kisah pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menjadi tamparan keras untuk kembali ke fitrah kita sebagai manusia. Mari jadikan kisah ini sebagai refleksi diri, untuk mengevaluasi keimanan, ketaatan, dan pengorbanan kita dalam kehidupan.

Apakah kita sudah cukup taat kepada Allah ﷻ?

Apakah kita sudah cukup mengutamakan cinta kepada Allah dan sesama?

Apakah kita sudah cukup sabar dan tegar dalam menghadapi cobaan?

Apakah kita sudah cukup berani menegakkan kebenaran?

Apakah kita sudah cukup bersyukur dan gemar membantu orang lain?

Mari jadikan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai pemicu semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, lebih beriman, dan lebih bermanfaat bagi sesama. Ingatlah, Allah ﷻ selalu bersama hamba-Nya yang ikhlas dan mau berkorban. Yakinlah bahwa Allah ﷻ akan senantiasa melihat dan membalas setiap kebaikan yang kita lakukan, termasuk pengorbanan yang kita lakukan dengan penuh keikhlasan.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sehingga bisa menjadi seorang muslim yang semakin bertaqwa di hadapan Allah ﷻ.

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Pelajaran dari Kisah Nabi Ibrahim Menyembelih Ismail” https://rumaysho.com/11623-pelajaran-dari-kisah-nabi-ibrahim-menyembelih-ismail.html. Diakses pada 2 Juni 2024.

[2] Wiwit Hardi Priyanto. “Renungan Idul Adha: Nabi Ibrahim Sebagai Teladan” https://muslim.or.id/26535-renungan-idul-adha-nabi-ibrahim-sebagai-teladan.html. Diakses pada 2 Juni 2024.

[3] Muhammad Nur Faqih.  “Hikmah Berkurban” https://muslim.or.id/85722-hikmah-berkurban.html. Diakses pada 4 Juni 2024.

Download Buletin klik disini

Sisihkan Harta untuk Kurban, Pasti Allah akan Ganti 

Sisihkan Harta untuk Kurban, Pasti Allah akan Ganti 

Dwi Andini Prihastuti

*Alumni Teknik Industri UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat al-Rasikh yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Ketika Allah ﷻ mentakdirkan kita menjumpai hari-hari mulia pada bulan-bulan haram, yaitu Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, berharap kita bisa melaksanakan berbagai amal ketaatan dan menjauhi berbagai bentuk dosa dan maksiat.

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. at Taubah [9]: 36)

Saat kita memasuki bulan Dzulhijjah, sisihkan harta kita untuk ibadah kurban yang hanya terjadi setahun sekali. Amal shalih yang paling agung disisi Allah adalah amal yang dikerjakan di sepuluh awal Dzulhijjah. Dari Ibnu ‘Abbas berkata, Rasulullah bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968).

Hari yang Paling Mulia

Tidak ada amal yang lebih dicintai dan mulia disisi Allah ﷻ melebihi amal shalih yang dilakukan pada awal Dzulhijjah. Diantara amal shalih tersebut adalah menyisihkan harta untuk mewujudkan ibadah kurban dan menyembelih hewan kurban di hari raya kurban.

Disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Qurth, bahwa Rasulullah bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ

Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari Idul Adha dan yaumul qorr (hari tasyriq).” (HR. Abu Daud no. 1765).[1]

Hukum Berkurban

Sebagian ulama mengatakan ibadah kurban hukumnya wajib berdasarkan dalil al Qur’an surah al Kautsar ayat 2. Allâh ﷻ berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah salat dan berkurbanlah.” (QS. Al Kautsar [108]: 2).

Ayat ini menggunakan kata perintah dan hukum asal perintah menjukkan wajib.

Yang menunjukkan wajibnya pula ada larangan keras dari Nabi untuk tidak mendekati tempat shalat Nabi adalah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Pendapat inilah yang pegang oleh al Auza’i, Al Laits, Abu Hanifah dan sebagian riwayat dari Imam Ahmad serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[2]

Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih kurban adalah sunnah mu’akkadah. Inilah pendapat Madzhab Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, Al Muzani, Ibnu Mundzir, Dawud, Ibnu Hazm, dan selainnya.[3]

Di antara dalil mayoritas ulama adalah dari Ummu Salamah x, bahwa Rasulullah bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977).

Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul kurban itu sendiri.

Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih kurban itu wajib, maka cukuplah Nabi  mengatakan, “maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan.[4] Wa Allahu a’alam bish shawwab.

Hartanya, Pasti Allah akan Ganti!  

Melalui kurban, kita kembali diingatkan tentang pentingnya menghadirkan sikap pengorbanan. Sikap ini terwujud dalam bentuk saling peduli kepada sesama, berempati atas penderitaan mereka yang sakit, yang teraniaya, atau yang tengah memikul beban hidup yang teramat berat. Maka sisihkanlah harta yang kita miliki untuk kurban, Allah pasti akan ganti. Perhatikan firman Allah ﷻ,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’ [34]: 39)

Ibnu Katsir berkata, “Selama engkau menginfakkan sebagian hartamu pada jalan yang Allah perintahkan dan jalan yang dibolehkan, maka Allah-lah yang akan memberi ganti pada kalian di dunia, juga akan memberi ganti berupa pahala dan balasan di akhirat kelak.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:287-288)

Ibnu Katsir setelah mengutarakan hal di atas, beliau membawakan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,

قَالَ اللهُ: أَنْفِقْ يَا اْبْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ

“Allah Ta’ala berfirman: Bersedekahlah–wahai anak Adam–, Aku akan membalas sedekah kalian.” (HR. Bukhari, no. 5352 dan Muslim, no. 993)

Dalam ayat lain disebutkan pula,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245)[5]

Semoga Allah ﷻ memberkahi setiap harta kita dan semoga Allah ﷻ mudahkan bagi kita menyisihkan harta kita untuk kurban.

Maraji’ :

[1] Abu Daud no. 1765 Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Abu Ghazie As Sundawie. Soal Jawab Fiqih Kurban. (buku PDF). h. 6-8

[3] Abu Ghazie As Sundawie. Soal Jawab Fiqih Kurban. (buku PDF). h. 4-7

[4] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hukum Qurban” https://rumaysho.com/1981-hukum-berqurban.html. Diakses pada 31 Mei 2024.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Sedekah dan Qurban Pasti Akan Mendapat Rezeki Pengganti”  https://rumaysho.com/28848-sedekah-dan-qurban-pasti-akan-mendapat-rezeki-pengganti.html. Diakses pada 31 Mei 2024.

Download Buletin klik disini

Romantisme Doa, Dalam Mengubah Takdir

Romantisme Doa, Dalam Mengubah Takdir

Nur Laelatul Qodariyah*

*Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat al Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ, doa adalah senjata bagi kaum mukmin untuk bertahan diatas suatu kemustahilan diri sebagai manusia. Pertolongan dan senjata yang tidak bisa dilewatkan bagi para hambanya yang sedang berikhtiar untuk mencapai sesuatu kalau bukan doa, namun doa itu harus disertai kesadaran dan kepasrahan diri jangan sampai terlalu memaksa.  seperti halnya Nabi Yunus u ketika berada di dalam perut ikan, dalam doanya itu,

Allah ﷻ berfirman,

وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya [21]: 87).

Bayangkan saja Nabi Yunus berdoa dalam keadaan 3 kegelapan, yaitu kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan di dalam perut ikan. Dalam keadaan pasrah kemudian Allah ﷻ, mengabulkan doa Nabi Yunus.  Tidak hanya itu ada kisah umat terdahulu yaitu sepasang suami istri yang datang kepada Nabi Musa,[1] untuk meminta doa agar dirinya bisa memiliki anak, selepas di doakan Nabi Musa kemudian Allah ﷻ mengatakan bahwa mereka ditakdirkan untuk tidak memiliki anak. Berkali-kali datang namun jawabannya sama. Lalu kemudian ibu tersebut tiba-tiba membawa seorang anak perempuan. Nabi Musa pun terheran-heran, kenapa mereka memiliki anak. Kemudian Nabi Musa bertanya kepada Allah ﷻ. Kemudian Allah ﷻ, menjawab, dia telah berdoa kepadaku berkali-kali, namun dia tidak berputus asa, lalu kemudian mereka meminta sambil memujiku, lalu aku kabulkan keinginannya.

Doa adalah komunikasi terindah yang tercipta antara seorang hamba dengan tuhannya, dan doa juga sebagai medium yang banyak dijadikan sebagai pencipta ketenangan, kedamaian, dan ketentraman.[2][1] Apalagi doa itu disertai dengan hati yang ikhlas dan berharap hanya kepada Allah ﷻ, semua yang ada di dunia ini berada di dalam genggamannya. Tugas seorang hamba adalah meminta jika menginginkan sesuatu janji Allah ﷻ itu benar adanya.

Sekalipun doanya belum terkabul namun doa itu akan disimpan dilangit dan Allah ﷻ akan mengabulkan dengan cara-caranya. So, kenapa kita terus khawatir dengan sesuatu itu? mintalah, pujilah Allah ﷻ, Allah ﷻ Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, rahmat-Nya sangat besar, cara pandang Allah dan manusia itu berbeda. Nabi Musa tidak tahu bahwa tongkatnya akan membelah lautan, Nabi Ibrahim u tidak tahu kalau api yang membakarnya ternyata terasa dingin. Kadang kala terkabulnya doa itu berbeda disetiap orang, ada yang doanya memang langsung terkabulkan, dan ada pula yang ditunda atau digantikan sesuatu yang lebih baik dari pada keinginannya.

Jangan menyimpulkan bahwa doa kita tidak terjawab

Allah ﷻ jika sudah menghendaki sesuatu pasti akan terjadi dengan kuasanya, seperti halnya Nabi Zakaria[3] meyakini kemudian dia berdoa di tempat itu, memohon keturunan. Dan menepikan semua prediksi yang telah terjadi, kata orang tidak mungkin memiliki keturunan, kata orang istrinya divonis menopause dan mandul, dan kata Allah ﷻ terjadi dan maka terjadilah.  shalat disitu dikabulkan dan istrinya mengandung, kemudian istrinya melahirkan yang anaknya diberi nama Yahya. Allah ﷻ, akan memberikan rezeki yang tidak terbatas kepada hambanya, maka dari itu jadilah salah satunya. Dengan doa kau berbisik lirih namun semesta mendengar dentuman atas doa-doamu itu.

Doa adalah Media Komunikasi Tercanggih Sepanjang Masa

Setiap zaman, masa maupun waktu dalam peradaban manusia, komunikasi yang paling canggih yang tidak pernah musnah ialah doa. Dengan doa kita mengetahui bahwa, kemampuan atau keinginan manusia yang dianggap tidak mungkin akan terkabulkan dengan caranya Allah ﷻ. Kita kalau terlalu sering berfikir, gimana caranya terkabul, bagaimana bisa tercapai. Itu semua tidak ada gunannya. Tidak perlu memprediksi sesuatu atau takut akan sesuatu itu.

Allah ﷻ lebih tahu caranya dan Allah ﷻ yang akan memberikan jalan itu. Allah ﷻ itu baik banget ke kita, bayangkan saja segala nikmat yang telah diberikan Allah ﷻ ke kita. Kita masih disuruh untuk tetap meminta yang lain. Sangat besar rahmatnya Allah ﷻ, sampai-sampai jika ada takdir yang memang belum menjadi rezeki kita Allah ﷻ bisa beri itu kepada kita dengan doa kita. Allah ﷻ tuh gak pernah tega untuk menolak doa yang kita minta. Sedangkan kita ini sibuk dengan pikiran kita bagaimana? Dan aku harus gimana.

Nikmati apa yang sedang kau langitkan itu, berdoalah dengan penuh keyakinan, kita tidak tau caranya namun Allah ﷻ tau caranya. Kenapa harus bersusah hati dengan ketetapan yang diberikan Allah ﷻ untuk kita. Jangan pernah berfikir yang tidak-tidak dengan apa yang kau mintakan kepada Allah ﷻ berprasangka baiklah kepada Allah ﷻ, jangan sampai yang kita mintakan itu ternyata membuat kita celaka.

Minimal ketika kita punya masalah dan kemudian kita berdoa kepada Allah ﷻ, namun belum juga datang solusi maka yang akan kita terima adalah ketenangan, rasa tenang itu harganya mahal, ada banyak dari kita untuk mencapai sebuah ketenangan itu sampai berobat atau mengonsumsi obat-obatan agar lebih tenang. Maka percayalah dan sandarkan semua kepada Allah ﷻ, karena berdoa itu ibaratnya kita sedang menggayuh sepeda, diulang-ulang sampai kita menuju tujuan yang kita butuhkan.

Maraji’ :

[1] Sukron Abdilah, “Filosofi Doa”, cet. Ke-1 (Tanggerang:Alifia Books,2020),21

[1] Khazanah, “4 Cara Mengubah Takdir ala Pengikut Nabi Musa”, dikutip dari https://chanelmuslim.com/khazanah/4-cara-mengubah-takdir-ala-pengikut-nabi-musa diakses pada 20 Mei 2024.

[2] Sukron Abdilah. Filosofi Doa. Tanggerang: Alifia Books, 2020. cet. ke-1. h. 21.

[3] Adi Hidayat dalam ceramahnya di platfrom tiktok

Download Buletin klik disini

Larangan Ujaran Kebencian

Larangan Ujaran Kebencian

Azhar Rahmanto

*Staf Badan Penjaminan Mutu UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Sahabat al-Rasikh yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Pada saat ini kehidupan kita tidak bisa terlepas dari teknologi terutama pada penggunaan sosial media. Saat ini, jejaring sosial menjadi sarana penting untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi bagi semua pengguna di seluruh dunia. Media sosial juga menjadi tempat untuk mengekspresikan diri dengan cara mengunggah foto maupun video terkait informasi, kegiatan atau aktivitas yang sedang dilakukan, dan juga pencapaian yang telah diperoleh. Tidak hanya membagikan suatu hal di sosial media, pengguna juga bisa berkomentar terkait informasi yang dibagikan di sosial media.

Pedoman Bermuamalah di Media Sosial

Di Indonesia sendiri pemerintah secara tegas mengatur kegiatan di sosial media melalui undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu tujuan utama dari diterbitkannya UU ITE di Indonesia adalah untuk melindungi masyarakat dan pengguna internet lainnya dari berbagai tindak kejahatan online. Salah satu aturan yang tercantum di UU ITE adalah larangan Ujaran Kebencian yang secara jelas tercantum pada pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Maksud dari ujaran kebencian dalam UU ITE tersebut adalah menyebarkan informasi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[1]

Selain UU ITE yang resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, MUI selaku wadah organisasi musyawarah para Ulama, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim di Indonesia juga telah menetapkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Fatwa ini sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk menjadi panduan dalam menyikapi derasnya informasi di era media sosial saat ini khususnya untuk umat Islam di Indonesia. Dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tersebut juga tercantum panduan dan larangan terkait ujaran kebencian di sosial media.[2]

Larangan Ujaran Kebencian

Secara tegas agama Islam melarang untuk melakukan ujaran kebencian bahkan ujaran yang tidak bermanfaat pun dilarang secara tegas dalam Al Qur’an. Dalam Al-Hujurat ayat 11 dijelaskan tentang larangan terhadap perilaku ujaran kebencian, Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hujarat [49]: 11)

Dijelaskan dalam Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim,[3] Allah ﷻ melarang menghina orang lain, yaitu meremehkan dan mengolok-olok mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, Takabur itu adalah menentang kebenaran dan meremehkan orang lain, (menurut riwayat yang lain) dan menghina orang lain”. Makna yang dimaksud adalah menghina dan meremehkan mereka. Hal ini diharamkan karena barangkali orang yang diremehkan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih disukai oleh-Nya dari pada orang yang meremehkannya.

Ancaman bagi Pengumpat dan Pencela

Selain itu, dalam surat Al-Humazah ayat 1 juga tercantum larangan untuk berbuat ujaran kebencian, Allah ﷻ berfirman,

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,” (QS. Al-Humazah [104]: 1).

Dalam ayat tersebut terdapat lafal “wayl”, menurut As-Suyuthi lafal “wayl” dapat bermakna sebuah kutukan atau satu lembah di neraka Jahanam bagi seorang pengumpat atau pelaku ujaran kebencian.

Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat pertama ini bermakna azab yang sangat pedih. Kemudian, menurut Sayyid Qutb ayat ini merupakan bentuk ancaman yang sangat dahsyat, bahkan penggambaran siksaannya yang dijelaskan dalam ayat setelahnya merupakan penggambaran yang sangat pedih dan hina. Hal tersebut menandakan betapa hina-nya orang-orang yang melakukan ujaran kebencian.[4]

Sesungguhnya ucapan kita secara langsung maupun ketika berpendapat atau berkomentar di dunia online bisa menunjukkan bagaimana kualitas diri kita. Ucapan kita menunjukkan bagaimana isi kita. Maka, ketika kita banyak berkata kotor, kasar, tidak berguna, maka kita sebenarnya sedang menjatuhkan kehormatan diri kita sendiri. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah z, Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ

Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terlempar ke neraka sejauh antara jarak ke timur.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)[5]

Sedemikian agungnya agama kita. Bahkan kita tidak boleh mencela tuhan orang kafir karena akan muncul kemungkaran lebih besar yaitu mereka malah mencela Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am [6]: 108).

Dengan memerhatikan bagaimana Al-Qur’an dan hadits Nabi ﷺ melarang dan mengancam ujaran kebencian, kita sebagai muslim tentu harus menjaga lisan kita untuk tidak berbuat demikian. Semoga kita dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang keji. Âmîn.

Maraji’ :

[1] DPR RI. “UU 11 Tahun 2008”. https://www.dpr.go.id›doksetjen›dokumen. Diakses 30 Juli 2023.

[2] MUI, “Inilah Panduan Bermedia Sosial Sesuai Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017”. https://mui.or.id/mui-provinsi/mui-lampung. Diakses 31 Juli 2023.

[3] Hikmat bin Basyir bin Yasin. Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim. https://tafsirweb.com/9781-surat-al-hujurat-ayat-11.html. Diakses 31 Juli 2023.

[4] Ganjar Mutaqin. Larangan dan Ancaman Ujaran Kebencian dalam Al-Qur’an. https://bincangsyariah.com/kolom/larangan-dan-ancaman-ujaran-kebencian-dalam-al-quran/ . Diakses pada 31 Juli 2023.

[5] M. Saifudin Hakim. “Menjaga Lisan dari Ucapa-Ucapan Kotor” https://muslim.or.id/51938-menjaga-lisan-dari-ucapan-ucapan-kotor-bag-1.html. Diakses pada 31 Juli 2023.

Download Buletin klik disini

Mengapa Allah Menciptakan Malam untuk Tidur?

Mengapa Allah Menciptakan Malam untuk Tidur?

Ikke Pradima Sari

*Alumni Pendidikan Agama Islam

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Sahabat al-Rasikh yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Tidur merupakan aktivitas rutin untuk beristirahat yang dilakukan manusia. Sekitar sepertiga umur manusia, dihabiskan untuk tidur. Akan tetapi, pernahkah teman-teman berpikir mengapa Allah ﷻ ciptakan malam hari untuk tidur bagi manusia? Apakah ada alasan ilmiah yang membahas tidur di malam hari? Lantas, apa yang akan terjadi apabila manusia kurang atau tidak tidur?

Dibalik perintah dan larangan Allah ﷻ yang termaktub dalam al-Qur’an, tentu didalamnya mengandung kebaikan serta alasan ilmiah. Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam al-Qur’an surah an-Naba’ ayat 9-11,

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا، وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا، وَجَعَلْنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشًا،

Kami menjadikan tidurmu untuk beristirahat, Kami menjadikan malam sebagai pakaian, Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS. an-Nabâ’ [78]: 9-11).

Ternyata, dibalik penciptaan siang untuk beraktivitas dan malam untuk tidur atau beristirahat, erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh, sistem hormonal, sistem termogulasi, dan proses metabolisme dasar. Maka dari itu, mekanisme pengaturan waktu dalam tubuh atau ritme sirkadian menjadi penting untuk diperhatikan.

Ritme Sirkadian

Ritme sirkadian adalah perubahan fisik, mental dan perilaku organisme dalam interval 24 jam. Perubahan kontrol tubuh tersebut juga disebut dengan jam biologis tubuh. Ritme sirkadian dipengaruhi oleh berbagai faktor; seperti cahaya dan gelap, asupan makanan, aktivitas fisik, stres, suhu, serta lingkungan sosial[1]. Akan tetapi, faktor terbesar yang mempengaruhi perubahan kontrol tubuh manusia selama sehari adalah ‘cahaya’ dan ‘gelap’. Adanya sinar matahari di pagi hingga petang, serta gelapnya malam mempengaruhi perubahan kontrol tubuh pada makhluk hidup.

Jauh sebelum adanya penelitian dan teori terkait ritme sirkadian pada manusia, dengan detail Allah ﷻ menjelaskan makna dibalik penciptaannya cahaya di pagi hingga petang, dan gelap di malam hari. Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam al-Qur’an surah an-Nabâ’ ayat 11 merujuk pada tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah ﷻ menjadikan siang bersinar dan bercahaya, sehingga orang dapat bergerak didalamnya. Dengan cahaya matahari tersebut juga manusia dapat pergi untuk mencari nafkah, penghasilan, dan lain sebagainya. Penjelasan tersebut diperkuat dengan tafsir Ma’arif al-Qur’an oleh Mufti Muhammad Shafi yang menjelaskan bahwa selain membutuhkan tidur, manusia juga membutuhkan siang untuk beraktivitas mencari penghidupan.

Disamping lelahnya beraktivitas dari panjangnya siang, tentu manusia membutuhkan tidur atau istirahat. Secara keseluruhan, tubuh manusia memperoleh manfaat dari tidur. Apabila manusia kurang tidur, akan berdampak terhadap kesehatan fisik maupun mental.

Hikmah Tidur Terhadap Kesehatan Fisik dan Mental

Tidur memiliki peran penting terhadap kesehatan fisik dan mental. Hal ini dikarenakan proses yang terjadi selama tidur membantu meningkatkan aktivitas yang sehat pada otak, dan menjadi proses pemulihan secara keseluruhan bagi tubuh[2]. Dengan tidur, manusia dapat beristirahat sejenak setelah beraktivitas untuk mencari penghidupan di siang hari.

Menurut tafsir Al-Wajiz, surah an-Naba’ ayat 9 ini bermakna bahwa Allah menjadikan tidur sebagai jeda dari kegiatan, dan istirahat bagi badan. Karena, apabila manusia kerja terus-menerus sepanjang hari tanpa istirahat atau tidur, maka tubuh pun akan merasa kelelahan. Beberapa penelitian mengungkapkan dampak buruk akibat kekurangan tidur, diantaranya meningkatkan resiko obesitas, diabetes, sulit fokus, hingga gangguan pada jantung.

Disamping bermanfaat terhadap kesehatan fisik, tidur juga bermanfaat terhadap kesehatan mental. Merujuk pada tafsir Ma’arif al-Qur’an kata “سُبَاتًا” dalam ayat ini berasal dari kata sabt yang berarti terputus. Tidur merupakan aktivitas yang dapat memutus segala keresahan, kecemasan yang mungkin dialami seseorang.

Allah ﷻ menciptakan tidur untuk beristirahat dari kegelisahan tersebut. Sehingga, beberapa mufassir juga menerjemahkan “سُبَاتًا” sebagai istirahat. Pengaruh tidur terhadap kesehatan mental tersebut, diperkuat dalam beberapa penelitian. Diantaranya adalah penelitian oleh Taylor pada tahun 2005 yang menjelaskan bahwa orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 10 hingga 17 kali lebih besar mengalami depresi dan kecemasan secara klinis dibandingkan orang yang tidak menderita insomnia[3].

Pengaruh Ritme Sirkadian Terhadap Pembelajaran dan Memori

Pembahasan terkait pengaruh buruknya ritme sirkadian, kurang waktu tidur, dan terlalu banyak begadang terhadap kesehatan fisik dan mental mungkin seringkali kita dengar. Faktanya tidak hanya itu, tidur juga berpengaruh terhadap pembelajaran, memori (daya ingat) dan proses kognitif lainnya. Pertama, kurangnya tidur mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan untuk mempelajari sesuatu secara efektif. Kedua, tidur merupakan aktivitas penting karena membantu proses konsolidasi memori. Ketiga, dampak gangguan proses kognitif lainnya adalah kesulitan fokus dan belajar, berkurangnya keterampilan mengambil keputusan, dan buruknya kontrol emosi dan perilaku.

Tidur dan daya ingat merupakan hubungan yang kompleks. Menurut penelitian, individu yang memiliki tidak cukup waktu tidur memiliki kesulitan untuk mengingat sesuatu. Karena, selama tidur terjadi proses konsolidasi memori dalam otak. Konsolidasi memori adalah proses dimana informasi yang baru diperoleh atau dipelajari diubah dan disimpan dalam ingatan jangka panjang. Ingatan yang relevan, akan dipertahankan dan diakses pada masa mendatang, sedangkan ingatan yang tidak relevan akan dilepaskan[4]. Proses ini melibatkan perubahan struktural dan fungsional di otak. Dengan beristirahat dengan cukup, dapat membantu proses informasi baru saat terbangun. Sehingga, cara paling penting yang dapat kita lakukan untuk menjaga kapasitas memori kita adalah dengan tidur yang cukup[5].

Maraji’ :

[1] Laura. A. King. The Science of Psychology: An Apreciative View. New York: McGraw Hill Education. 2020 M. Cet.k-5. h. 356.

[2] Summer, Jay. 2024. Physical Health and Sleep, How are They Connected? Sleepfoundation.org/physical-health. Diakses pada 3 Mei 2024.

[3] Scott, Alexander J. “Improving sleep quality leads to better mental health: A meta-analysis of randomized controlled trials”, Vol. 60, Tahun 2021. h. 2.

[4] Simon, Katharine C. “The Functions of Sleep: A Cognitive Neuroscience Perspective”. Vol. 119, Tahun 2022. hal. 2

[5] Pacheco, Danielle. 2023. Memory and Sleep: How Deprivation the Brain.  sleepfoundation.org/how-sleep-works/memory-and-sleep Diakses pada 3 Mei 2024.

Download Buletin klik disini

Stay Positive dengan Berpikir Positif Pada Allah

Stay Positive dengan Berpikir Positif Pada Allah

Nida Nur Afifah

*Staf Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.

Sahabat al-Rasikh yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Setiap umat manusia yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah ﷻ. Umat beriman sejatinya bersabar saat ditimpa ujian. Namun, sebagai manusia biasa, pasti pernah merasa lelah dalam bersabar. Ujian merupakan objek stressor yang jika tidak dilandasi dengan keimanan secara langsung atau tidak langsung dapat berdampak buruk terhadap psikologis/mental maupun fisik seseorang. Menjadi mudah marah, galau, bahkan depresi. Sesungguhnya Allah Maha Besar lebih besar dari masalah kita. Dalam keadaan seperti ini perlu untuk mengubah mindset buruk (su’uzhan) menjadi pikiran positif (husnuzhan). Karena pikiran akan mempengaruhi sikap dan kondisi.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda,

قَالَ: يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ.

Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675).

Jangkauan manusia terhadap masa depan jauh lebih pendek daripada jangkauan Allah ﷻ. Maka sudah menjadi kewajiban bagi umat manusia untuk senantiasa berpikir positif terhadap ketentuan Allah ﷻ. Karena apapun yang telah Allah ﷻ tetapkan adalah sebaik-baik ketetapan.

Allah ﷻ berfirman,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).

Definisi Berpikir Positif pada Allah

Berpikir positif pada Allah ﷻ adalah perilaku hati dan kebaikan akhlak yang senantiasa mendorong seseorang berprasangka baik kepada Allah ﷻ yang ditandai dengan sikap tawakkal, merasakan kasih sayang, dan ampunan Allah ﷻ. Berpikir positif merupakan proses kognitif yang dapat mengubah mindset seseorang terhadap kehidupannya, dirinya, maupun lingkungannya. Dalam ajaran Islam menjelaskan bahwa prasangka, keyakinan, dan pola pikir individu sangatlah berpengaruh terhadap realitas kehidupan individu tersebut. [1]

Terhadap permasalahan dengan situasi yang tidak dapat dikendalikan, manusia pada hakikatnya dapat mengatasi dengan kontrol diri dan pikiran. Pikiran dan tindakan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Pikiran akan mempengaruhi tindakan seseorang. Oleh karenanya mengatur pikiran adalah hal mendasar yang krusial dilakukan. Berpikir positif sejatinya adalah bagian dari sikap mental atau ungkapan hati yang mencerminkan sebuah keyakinan dan keteguhan seseorang kepada Allah. Menurut ahli jiwa, kesehatan dipengaruhi oleh 70% pola pikir. Orang yang berpikiran positif jiwanya menjadi tenang dan tubuh menjadi rileks.[2]

Manfaat Berpikir Positif pada Allah

Berpikir positif pada Allah memiliki dampak positif, baik untuk kesehatan mental/psikologis dan juga kesehatan fisik.  Dampak positif untuk kesehatan mental sendiri diantaranya:

  1. Tidak mudah kecewa serta terhindar dari rasa, galau, disforia, depresi
  2. Menumbuhkan sifat optimis dan daya juang yang tinggi
  3. Jiwa menjadi tenang dan damai

Meneladani Kisah Nabi Ayyub

Sifat berpikir positif dapat diteladani dari kisah hidup Nabi Ayyub. Sebelum sakit, Nabi Ayyub merupakan sosok laki-laki yang gagah, memiliki harta berlimpah, memiliki istri yang shalihah, dan keturunan yang baik. Kemudian beliau mendapat ujian dari Allah dengan penyakit yang tidak ada obatnya sehingga mengalami tiga kondisi sekaligus yaitu kesakitan, kesedihan, dan kesendirian.

Nabi Ayyub diberikan penyakit berupa badan yang membusuk sehingga banyak belatung yang menempel. Orang-orang disekitarnya meninggalkan beliau, termasuk isteri-isteri dan anak-anaknya kecuali satu orang yang paling setia dan baik akhlaknya. Anak-anak Nabi Ayyub meninggal satu demi satu. Nabi Ayyub dan istrinya kemudian diasingkan pada sebuah tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan di tempat tinggalnya yang baru, beliau dan istrinya pun dikucilkan. Beliau dengan sabar dan lapang dada menerima musibah penyakit itu selama 18 tahun lamanya. Penyakit itu menggerogoti seluruh tubuhnya kecuali lidah dan hati. Dengan lidah dan hatinya itulah beliau senantiasa berdoa dan berdzikir pada Allah ﷻ.

Nabi Ayyub tidak pernah berburuk sangka pada ketetapan Allah. Selalu optimis dan berikhtiar dengan doa. Ujian yang diberikan Allah pada Nabi Ayyub tidak merubah akhlak mulianya. Senantiasa berpikir positif pada Allah, taat, dan ikhlas dalam beribadah. Beberapa lama kemudian Allah mencabut ujian yang diberikan kepada Nabi Ayyub dan mengembalikan nikmat sehat dan harta.

Dari kisah Nabi Ayyub ada poin-poin berpikir positif yang patut diteladani diantaranya,[3]

  1. Merubah dan menghilangkan prasangka buruk

Selama ditimpa ujian Nabi Ayyub o senantiasa mengatur mindset, berprasangka positif kepada Allah yaitu dengan menganggap bahwa penyakitnya bukan karena Allah tidak suka atau marah, tapi karena Allah ingin menguji beliau. Di samping itu juga menghilangkan prasangka buruk terhadap orang-orang yang mengucilkan beliau. Beliau merubah mindset dari berpikir negatif (su’uzhan) dengan berpikir positif (husnuzhan). Husnuzhan meningkatkan kesehatan secara fisik dan psikologis, menghilangkan depresi, dan membuat seseorang berusaha lebih keras untuk mencapai harapannya.

  1. Sabar dalam kesakitan, kesedihan dan kesendirian

Mampu mengendalikan emosi terlebih saat tubuhnya sakit serta orang-orang terdekat beliau mulai meninggalkan beliau.

  1. Bersyukur

Wujud syukur Nabi Ayyub menekankan pada gratefulness. Tidak hanya menekankan pada bentuk ekspresi maupun ungkapan terimakasih yang terlihat, tetapi mengarahkan pada kondisi kesadaran dalam diri yang lebih mendalam terhadap kondisi beliau. Disamping itu menjadikan beliau pribadi yang merasa cukup (qana’ah).

Semoga kita dapat meneladani dan mengambil hikmah dari kisah Nabi Ayyub Alaihissalam dan semoga Allah senantiasa menjaga kita dari pikiran yang dapat meruntuhkan mental, perbuatan, dan segala hal yang menjauhkan kita dari rahmat-Nya.

Maraji’ :

[1] Rusydi, Ahmad. “Husn Al-Zhann: Konsep Berpikir Positif Dalam Perspektif Psikologi Islam dan Manfaatnya Bagi Kesehatan Mental” dalam Proyeksi, Vol. 7 (1), Tahun 2012, h.1-31.

[2] Rahmah, Mamluatur. “Husnuzan Dalam Perspektif Al-Qur’an Serta Implementasinya Dalam Memaknai Hidup” dalam Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy, Vol. 2, No. 2, Tahun 2021.

[3] Harmaini. “Pikiran Positif Ala Nabi Ayyub AS” dalam Proyeksi Vol. 15 (1) 2020, h.22-34.

Download Buletin klik disini