Penyakit-Penyakit Akidah

Penyakit-Penyakit Akidah

Jaenal Sarifudin*

 

Bismillahi, walhamdulillahi, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Waba’du.

Jika dipetakan, agama Islam secara garis besar mencakup tiga ajaran pokok yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Hal ini tercermin dalam trilogi iman, Islam dan ihsan. Iman membuahkan ajaran akidah (tauhid). Islam membuahkan aspek syariat (ibadah) sebagaimana yang tercermin dalam lima rukun Islam. Kemudian ihsan mencerminkan penekanan pada aspek akhlak, etika dan moralitas.

Di antara ketiganya, aspek iman (akidah) adalah ajaran yang menjadi dasar dan pondasi dari sebuah bangunan yang bernama agama. Jika akidah seseorang kuat, niscaya akan kokoh pula bangunan agama yang berdiri di atasnya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan di dalam firman Allah ﷻ,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ. تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25).

Makna kalimah thayyibah dalam ayat tersebut menurut para ahli tafsir adalah kalimat tauhid yang menjadi pilar dari keimanan.[1] Jika tauhid seseorang tertanam kuat laksana pohon yang subur dan akarnya menghunjam kuat, niscaya akan membuahkan kesalehan yang digambarkan dengan buah-buahan. Maka nilai-nilai akidah harus senantiasa dijaga dengan baik. Salah satu kunci menjaga bersihnya ruhani kita adalah dengan menjaga kemurnian akidah dari beberapa penyakit yang akan merusak. Berikut beberapa penyakit-penyakit akidah:

Beberapa Penyakit Akidah

  1. Syirik

Syirik artinya menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu. Pelakunya disebut musyrik. Syirik merupakan dosa terbesar dan sebesar-besar bentuk kezhaliman.[2] Mereka yang membawa mati dosa syirik dan tidak bertaubat maka tidak akan diampuni oleh Allah.[3] Syirik ada dua macam, yakni syirik jali (syirik yang terang-terangan) dan syirik khofi (syirik yang tersamar). Setiap muslim seharusnya mempelajari ilmu akidah dan tauhid dengan baik dan benar agar ia memiliki pemahaman yang kokoh. Perbuatan syirik juga bisa menghapus pahala yang telah dimiliki seseorang sebagaimana firman-Nya,

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu, sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65).

  1. Takhayul

Takhayul maknanya mempercayai hal-hal klenik yang sejatinya tidak ada. Pada gilirannya kepercayaan takhayul ini sering berujung memuja dan mengagungkan sesuatu yang tidak semestinya. Misalnya meyakini bahwa benda-benda “keramat” memiliki kekuatan tertentu dan akan memberikan keberuntungan atau menolak bala’. Di zaman modern ini, ternyata takhayul tidak lantas hilang. Beberapa waktu lalu misalnya ada fenomena spirit doll (boneka arwah) yang mengemuka di kalangan tertentu. Mereka meyakini bahwa boneka yang dimilikinya memiliki ruh, dapat berkomunikasi dan akan membawa keberuntungan.

Sebuah boneka jelas adalah benda mati. Ia tidak akan bergerak kecuali digerakkan oleh orang yang memegangnya. Kalaupun misalnya ada boneka yang ternyata bisa bergerak atau bahkan mampu berbicara, pastilah ada hal yang “tidak beres” di sana. Bisa jadi ada sebangsa jin jahat yang merasukinya. Jin memang memiliki kemampuan untuk merasuki makhluk hidup atau pun benda mati. Di dalam kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa Hubal, patung terbesar yang disembah kaum musyrikin Mekkah dahulu dapat berbicara karena dirasuki jin.[4] Ini juga merupakan cara jin atau setan untuk menyesatkan manusia.

  1. 3. Khurafat

Khurafat memiliki makna yang mirip dengan takhayul. Hanya ia memiliki kaitan dengan sisi kepercayaan yang telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat dan juga terkait dengan mitos legenda di masa lampau. Misalnya khurafat terkait terjadinya gerhana matahari yang dalam mitos katanya karena matahari dimakan raksasa sehingga terjadilah gerhana. Atau terkait terbentuknya fenomena alam tertentu yang dikait-kaitkan dengan hal yang tidak berdasarkan ilmu. Sisi yang bertentangan dengan akidah pada aspek khurafat ini adalah karena ia bisa menafikan apa yang disebut konsep sunnatullah. Yakni hukum yang Allah terapkan pada alam dan mekanisme ciptaan-Nya. Bahkan khurafat juga jelas bertentangan dengan nalar akal sehat yang menjadi sebab kemuliaan manusia dan juga bertentangan dengan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari sumber nilai kebenaran.

  1. Tathayyur

              Tathayyur secara bahasa bermakna berita burung. Hal yang tidak jelas. Tathayyur biasanya dilakukan dengan mengkait-kaitkan sesuatu dengan hal yang tidak berhubungan secara logis, namun diyakini ia menjadi sebab atas hal tertentu. Misalnya keyakinan kalau ada seseorang yang keduten mata kanannya maka ia dalam waktu dekat mau dapat rezeki nomplok. Kemudian juga misalnya hari pasaran kelahiran seseorang yang dikait-kaitkan dengan nasib dan kecocokannya dalam pekerjaan.

Selain itu juga ada masyarakat Jawa yang meyakini bahwa kalau seseorang menikah di bulan Muharram (Suro) maka bisa berakibat buruk (sial). Sebab Suro adalah bulan “keramat” yang dianggap sebagai bulan pantangan untuk menggelar hajat tertentu. Ini adalah beberapa contoh tathayyur yang bertentangan dengan nilai akidah. Sebab salah satu prinsip keimanan adalah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi hanyalah atas izin Allah. Hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan madlarat.

  1. Sihir

Sihir hakikatnya adalah bentuk kerjasama manusia dengan jin jahat (setan) untuk melakukan hal tertentu yang biasanya di luar hukum akal. Sihir ada yang bersifat memamerkan kemampuan, misalnya atraksi-atraksi menakjubkan tertentu yang di luar nalar. Ada juga bentuk sihir yang bertujuan mencelakai orang lain seperti santet. Atau sebaliknya, bertujuan untuk memberikan “keuntungan” yang sesungguhnya bersifat semu bagi seseorang seperti sihir pesugihan, penglarisan dan pengasihan. Melakukan perbuatan sihir jelas bertentangan dengan keimanan. Manusia dilarang menjadikan setan sebagai teman. Setan adalah musuh Allah dan musuh yang nyata bagi manusia. Firman Allah ﷻ,

إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُوا۟ حِزْبَهُۥ لِيَكُونُوا۟ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan adalah musuh nyata bagimu maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35]: 6).

  1. Ramalan Klenik

Ramal meramal yang tidak ada dasarnya adalah bertentangan dengan nilai akidah. Sebab manusia pada hakikatnya tidak mengetahui dan tak bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya,

وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

…Tidaklah satupun jiwa mengetahui apa yang akan dia lakukan besok, dan tidak ada satupun jiwa mengetahui di mana ia akan mati.” (QS. Luqman [31]: 34). Sehingga jika ada seseorang yang mengaku dapat mengetahui apa yang akan terjadi atau mampu meneropong nasib seseorang, maka ia adalah pembohong. Nabi mengecam orang yang mempercayai ramalan dalam sabdanya,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal kemudian ia membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammmad.” (H.R. Ahmad no. 9532).[5]

Maraji’ :

* Mahasiswa Pasca FIAI

[1] Abu Bakar Jabir al-Jazairi. Aisar at-Tafasir, Madinah, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukmi, 2007.

[2]  QS. Luqman [31]: 13.

[3]  QS. An-Nisa [4]: 116.

[4]  Abu Abdillah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.

[5] HR. Ahmad no. 9532. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Download Buletin klik di sini

Makna Ikhlas dalam Tazkiyatun Nafs

Makna Ikhlas dalam Tazkiyatun Nafs

Nada Kurnia Sari*

 

Pentingnya Tazkiyatun Nafs dalam Kehidupan 

Tazkiyah berasal dari kata zaka yang bermakna membersihkan atau memperbaiki. Dalam konteks ini, tazkiyatun nafs berarti proses membersihkan hati dari sifat-sifat buruk seperti riya, hasad, dan kesombongan, serta menggantikannya dengan sifat-sifat mulia seperti keikhlasan, tawakal, dan syukur.[1]

Tazkiyatun nafs, atau penyucian jiwa, bukan hanya sekadar konsep, tetapi jalan untuk mendidik hati dan kalbu agar senantiasa berada di posisi yang diridhai Allah l. Ketika jiwa telah bersih dari noda, hati akan menjadi cermin yang jernih, memantulkan cahaya keimanan dan kebaikan.

Namun, apa jadinya jika seseorang tampak luar biasa dalam ibadah, dan baik di mata manusia, tetapi ternyata muamalahnya kepada Allah buruk? Di tengah keramaian, ia tampak seperti wali Allah, tetapi dalam kesendirian menjadi walinya setan. Fenomena ini menunjukkan absennya tazkiyatun nafs dalam dirinya. Penyucian jiwa menjadi penentu apakah ibadah dan amal memiliki makna sejati atau justru kosong tanpa arah.

Allah ﷻ menjadikan tazkiyatun nafs sebagai salah satu misi utama Rasulullah ﷺ. Allah l berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah [62]: 2).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa misi utama Rasulullah adalah membimbing umat manusia untuk menyucikan jiwa, mengajarkan Al-Qur’an, dan hikmah. Hal ini menegaskan pentingnya tazkiyatun nafs sebagai kunci kebahagiaan hakiki.

Bahkan dalam firman Allah surah Asy-Syams ayat 1-10[2], di mana Allah menyebutkan sebelas sumpah beruntun untuk menegaskan bahwa hanya mereka yang menyucikan jiwa yang akan beruntung, sementara mereka yang mengotorinya akan merugi.[3]

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9-10)

Ikhlas: Kunci Utama Penyucian Jiwa 

Ibadah kepada Allah ﷻ tidak cukup hanya memperhatikan aspek lahiriah, seperti gerakan shalat atau bacaan dzikir. Ibadah harus mencakup hati, karena hati adalah inti dari hubungan seorang hamba dengan Sang Penciptanya. Ibadah hati memiliki banyak bentuk, tetapi yang paling utama adalah keikhlasan.

Ikhlas bermakna memurnikan niat hanya untuk Allah ﷻ, menjadikan Allah satu-satunya tujuan dari segala bentuk ketaatan.[4] Dalam surah al Bayyinah ayat 5, Allah ﷻ berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ

“Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas…” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Bahkan, keikhlasan akan menjadi perisai seorang hamba dari godaan setan,[5] di mana Iblis mengakui bahwa ia tidak mampu menggoda hamba-hamba yang ikhlas.

Seseorang yang mencintai Allah ﷻ akan menunjukkan kecintaan itu dalam setiap aspek kehidupannya. Semua aktivitasnya, mulai dari ibadah hingga interaksi sehari-hari, mencerminkan tujuan akhir yang ia harapkan ridha Allah ﷻ. Sebaliknya, orang yang hatinya terikat pada gemerlapnya dunia, seperti halnya harta, pangkat, dan pujian, cenderung kehilangan keikhlasan. Ibadahnya tidak lagi murni untuk Allah ﷻ, melainkan hanya rutinitas atau bahkan untuk mendapat pengakuan dari orang lain.

Tantangan dalam Menjaga Keikhlasan 

Menjaga keikhlasan bukanlah perkara mudah. Dunia menawarkan begitu banyak godaan yang bisa merusak niat. Banyak orang yang mengira mereka telah ikhlas, padahal sebenarnya tertipu oleh hawa nafsu.

Salah satu kisah yang menarik untuk direnungkan adalah tentang seorang lelaki yang selalu shalat di shaf pertama. Suatu hari, ia terlambat dan harus shalat di shaf kedua, ia merasa malu dilihat oleh orang-orang di sekitarnya. Saat itu, ia menyadari bahwa ketenangan hatinya selama ini saat berada di shaf pertama ternyata bukan karena Allah, tetapi karena pandangan orang lain.[6]

Kisah ini menjadi pengingat betapa sulitnya mencapai keikhlasan yang sejati. Betapa banyak amal yang  anggap ikhlas, tetapi sebenarnya telah tercampur dengan niat untuk mencari pujian atau pengakuan.

Langkah-Langkah Mencapai Keikhlasan 

Meski sulit, ikhlas bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diraih. Ada beberapa langkah yang bisa  tempuh untuk melatih diri menuju keikhlasan:

  1. Melawan hawa nafsu. Keikhlasan hanya bisa tumbuh dalam hati yang bersih dari keinginan duniawi. Oleh karena itu, harus melatih diri untuk memupus ketamakan terhadap harta, popularitas, dan kedudukan.
  2. Fokus pada akhirat. Menjadikan akhirat sebagai tujuan utama akan membantu menjaga keikhlasan. Ketika hati terfokus pada keridhaan Allah, godaan dunia akan terasa kecil.
  3. Membangun kebiasaan muhasabah. Introspeksi diri adalah kunci untuk mengevaluasi niat. Sebelum melakukan amal, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk siapa aku melakukan ini?”
  4. Menjaga amal tersembunyi. Salah satu cara melatih keikhlasan adalah dengan melakukan amal secara diam-diam, tanpa diketahui orang lain. Amal yang tersembunyi lebih kecil kemungkinannya untuk dicampuri oleh riya.
  5. Memohon taufik dari Allah l. Keikhlasan adalah anugerah dari Allah. Oleh karena itu, berdoalah agar Allah membersihkan hati dan memberikan taufik untuk selalu ikhlas dalam setiap amal.

Peringatan Bagi yang Lalai 

Allah memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang lalai dari keikhlasan. Allah ﷻ berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا. ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا.

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 103-105).

Allah ﷻ menjelaskan bahwa amal mereka yang tidak ikhlas akan menjadi sia-sia pada hari kiamat. Mereka akan melihat kebaikan-kebaikan mereka berubah menjadi keburukan karena niat yang salah.

Keikhlasan sebagai Jalan Keselamatan 

Ikhlas adalah syarat mutlak diterimanya amal dan kunci utama dalam proses tazkiyatun nafs. Tanpa ikhlas, amal hanya menjadi rutinitas tanpa nilai di sisi Allah ﷻ. Mari  jadikan ikhlas sebagai pondasi dalam setiap ibadah dan aktivitas, sehingga seluruh hidup  menjadi cerminan cinta kepada Allah dan harapan akan akhirat.

Semoga Allah ﷻ memberikan taufik kepada  semua untuk menjadi hamba-hamba yang ikhlas, yang setiap amalnya murni dipersembahkan hanya kepada-Nya.

Maraji’ :

* Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam.

[1] Said Hawwa, al-Mustakhalash fi Tazkiyat a-Anfus, alih bahasa oleh: Ainur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu. Jakarta: Robbani Press, 1999. h. 2.

[2] QS. Asy-Syams [91]: 1-10.

[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Imam al-Ghazali. Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As-Salaf. Beirut: Dar al-Qalam, t.t.

[4] Dedi Junaedi dan Sahliah Lia, “Ikhlas Dalam Al Qur’an,” Ta’lim JIAI 1, no. 2 (2019). h. 34–42.

[5] QS. Shad [38]: 83.

[6] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Imam al-Ghazali. Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As-Salaf. Beirut: Dar al-Qalam, t.t.

Download Buletin klik di sini

Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an

Rahasia Karyawan Dan Kepemimpinan Sukses Perspektif Al-Qur’an

Abu Musa Agus Fadilla Sandi*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh.

Dunia kerja modern saat ini mengalami fenomena yang memprihatinkan, seperti meningkatnya angka pengunduran diri karyawan (resign)[1] dan semakin meluasnya isu-isu tentang lingkungan kerja yang tidak sehat (toxic).[2] Tentu saja fenomena ini menuntut kita untuk mengevaluasi kembali model kepemimpinan dan pola hubungan antara pemimpin dan karyawan dalam sebuah organisasi.

Dalam Al-Qur’an ternyata terdapat petunjuk yang sangat relevan mengenai prinsip kepemimpinan yang dapat menjadi fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Allah ﷻ memberikan contoh-contoh teladan tentang pemimpin dan karyawan yang sukses. Maka dari itu, tulisan ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana rahasia kesuksesan karyawan dan pemimpin perspektif Al-Qur’an.

Karyawan yang Baik

Karyawan yang baik adalah aset penting bagi keberhasilan sebuah lembaga. Al-Qur’an menggambarkan kriteria karyawan sukses melalui kisah Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 26,

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai ayahku, jadikanlah dia sebagai pekerja kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk dipekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash [28]: 26).

Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa Nabi Musa layak untuk dipekerjakan karena ia memiliki dua sifat mulia ini: kekuatan dan amanah. Pekerja terbaik adalah yang memiliki keduanya—kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dan amanah dalam menjaga kepercayaan, tanpa berkhianat.[3] Dalam Tafsir Al-Baghawi, Nabi Musa dianggap kuat karena mampu mengangkat batu besar yang biasanya membutuhkan sepuluh hingga empat puluh orang, dan amanah karena menjaga kehormatan putri Syaikh Madyan (Nabi Syu’aib) dengan meminta mereka berjalan di belakangnya agar angin tak berhembus membentuk lekuk tubuh mereka.[4]

Kekuatan dan amanah adalah dua elemen penting untuk menjadi karyawan yang sukses. Kekuatan mencakup kemampuan fisik, mental, serta keahlian dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Amanah mencakup kejujuran, integritas, dan tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan. Modal kekuatan akan memastikan pekerjaan diselesaikan dengan efisien, sementara modal amanah akan menjaga kepercayaan dan kejujuran selama proses pelaksanaannya.

Di masa kini, kekuatan dapat bermakna kompetensi dalam keahlian dan kemampuan menghadapi tantangan kerja. Adapun amanah berarti menjaga etika kerja, tidak menyalahgunakan kepercayaan, dan berkomitmen pada tanggung jawab. Karyawan yang mampu memadukan kedua sifat ini akan menghasilkan kinerja maksimal dan penuh keberkahan.

Sebagai karyawan, mari belajar dari kisah Nabi Musa. Sudahkah kita cukup kompeten dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab? Sebagai pemimpin, jadikan kekuatan dan amanah sebagai pedoman dalam memilih tim. Karyawan terbaik adalah mereka yang bekerja dengan tangan yang terampil, hati yang tulus, dan jiwa yang jujur. Ikhtiar memadukan keahlian dan integritas akan menjadikan seseorang sebagai karyawan yang sukses berkualitas.

Pemimpin yang Saleh

Menjadi seorang pemimpin bukan berarti bebas bertindak sesuka hati. Setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, yang akan menimbang setiap kebaikan dan membalas semua perbuatan. Secara umum, pemimpin bermakna orang yang memimpin;[5] dalam konteks lainnya pengertian ini dekat dengan definisi bos, yakni seseorang yang berkuasa mengawasi dan memberi perintah kepada bawahan, baik dalam organisasi maupun perusahaan.[6]

Al-Qur’an telah membahas tema kepemimpinan yang sukses yang terdapat dalam kisah Syekh Madyan dan Nabi Musa. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 27,

قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakan hingga sepuluh tahun, itu adalah kebaikan darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS. Al-Qashash [28]: 27)

Ada dua aspek utama yang menunjukkan kesalehan Syekh Madyan sebagai seorang pemimpin. Pertama, kejelasan akad kerja yang ditawarkan, yaitu durasi delapan tahun dengan opsi tambahan hingga sepuluh tahun sebagai bentuk kebaikan dari Nabi Musa. Umar bin Khattab  z menjelaskan bahwa di antara bentuk kebaikan dalam menjaga hubungan adalah dengan setia pada komitmen yang telah disepakati.[7]

Kedua, kemudahan jenis pekerjaan yang dijanjikan. Syaikh Madyan menegaskan bahwa pekerjaannya tidak akan memberatkan, melainkan ringan dan mudah dijalani. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang saleh seharusnya senantiasa berusaha memperbaiki akhlaknya, dan apa yang diharapkan darinya menjadi nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.[8]

Kisah di atas mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin yang sukses adalah tentang memperlakukan bawahan dengan kejelasan dan kebaikan. Jadilah seperti Syaikh Madyan yang menjaga hak dan kewajiban karyawannya dengan bijaksana, serta bermuamalah baik dengan tidak memberatkan karyawannya.

Ikhtitam

Al-Qur’an memberikan pedoman yang sangat relevan dalam dunia kerja, baik untuk karyawan maupun pemimpin. Karyawan yang baik adalah mereka yang memiliki kekuatan dalam kompetensi dan amanah dalam menjalankan tugas. Sedangkan, pemimpin yang saleh adalah mereka yang memperjelas akad kerja dan mempermudah pekerjaan karyawannya.

Oleh karenanya, baik karyawan maupun pemimpin, mari kita amalkan nilai-nilai kekuatan, amanah, kejelasan dan kebaikan dalam kehidupan profesional kerja kita. Jadikan kisah ini sebagai inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi pada lingkungan kerja yang positif. Bersama-sama kita wujudkan dunia kerja yang produktif dan penuh keberkahan dengan mengikuti teladan yang telah dicontohkan di dalam Al-Qur‘an.

Maraji’ :

* Ketua Yayasan Markaz Studi Al-Qur’an

[1] Intan Rakhmayanti Dewi, “Musim Resign Bakal Makin Ganas, Lengah Bakal Ditinggal Karyawan,” CNBC Indonesia, diakses 1 Desember 2024, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240625132825-37-549132/musim-resign-bakal-makin-ganas-lengah-bakal-ditinggal-karyawan.

[2] “1 dari 5 Orang Merasa Tempat Kerjanya Toxic, Ada Apa?,” diakses 1 Desember 2024, https://lifestyle.kompas.com/read/2023/07/17/201538020/1-dari-5-orang-merasa-tempat-kerjanya-toxic-ada-apa?page=all#.

[3] Abdul Rahman bin Nasser bin Abdullah Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 2000), h. 614

[4] Abū Muḥammad al-Ḥusayn ibn Mas’ūd ibn Muḥammad ibn al-Farrā’ al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, Ar-Rābi’ah (Riyadh: Dār Ṭayyibah li an-Nashr wa at-Tawzī’, 1417), h. 530.

[5] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemimpin.

[6] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 1 Desember 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bos.

[7] al-Baghawī, Ma’ālim at-Tanzīl, h. 531.

[8] Al-Saadi, Taysir al-Kareem al-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan,  h. 614.

Download Buletin klik di sini

Ikhtiar Merawat Kewarasan: Seimbang Dunia & Akhirat

Ikhtiar Merawat Kewarasan: Seimbang Dunia & Akhirat

Ridho Frihastama*

 

Keseimbangan dalam hidup adalah kunci untuk meraih kebahagiaan yang sejati. Dunia yang penuh dengan godaan dan tantangan sering kali membuat manusia terjebak dalam kesibukan yang berlebihan, baik dalam mengejar kesuksesan duniawi maupun terlarut dalam pencarian spiritual yang berlebihan. Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan dalam mengejar dunia, namun juga tidak melupakan tanggung jawab kita terhadap kehidupan akhirat. Inilah yang disebut sebagai ikhtiar merawat kewarasan seimbang dunia dan akhirat.

Kewarasan dalam kehidupan sangat penting bagi setiap individu. Secara fisik, kewarasan merujuk pada kondisi tubuh yang sehat, bebas dari penyakit dan cacat yang mengganggu aktivitas. Namun, kewarasan yang lebih penting lagi adalah kewarasan mental dan spiritual. Kewarasan mental berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berpikir dengan jernih, mengelola emosi, serta membuat keputusan yang baik dan bijaksana. Sementara kewarasan spiritual berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan, serta pemahaman tentang tujuan hidup yang lebih tinggi.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, kewarasan sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Seseorang yang hanya fokus pada dunia tanpa memperhatikan aspek spiritualnya cenderung terjebak dalam keserakahan, stres, dan keputusasaan. Sebaliknya, seseorang yang terlalu fokus pada akhirat tanpa memperhatikan kewajibannya di dunia bisa mengalami kesulitan dalam menjalani hidup, bahkan terkadang mengabaikan hak-hak dirinya dan orang lain.

Islam Mengajarkan Keseimbangan

Islam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya keseimbangan dalam hidup. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al-Qashash [28]: 77).

Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak melupakan dunia dalam upaya kita meraih kebahagiaan akhirat. Kita harus berusaha sebaik mungkin dalam dunia untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik. Dunia bukanlah tempat yang harus ditinggalkan sepenuhnya, tetapi dunia adalah ladang bagi amal kita yang akan dipanen di akhirat. Sehingga kita harus mengelola keduanya dengan baik agar tidak ada yang terabaikan.

Merawat Kewarasan Duniawi

Kewarasan duniawi membutuhkan pengelolaan yang bijaksana terhadap waktu, energi, dan sumber daya yang ada. Dalam Islam, usaha untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup adalah hal yang dianjurkan, asalkan dilakukan dengan cara yang halal dan tidak melupakan syariat agama. Pada firman Allah ﷻ  surah Al-Qashash ayat 77, menggambarkan betapa pentingnya kita berikhtiar untuk meraih kehidupan yang baik di dunia, dengan mencari rizki yang halal, bekerja keras, dan tetap menjaga prinsip-prinsip moral yang diajarkan dalam Islam. Kewarasan duniawi ini dapat terjaga dengan menghindari sikap serakah, menyimpan harta dengan cara yang baik, serta tidak terjebak dalam keinginan dunia yang tiada habisnya.[1]

Islam mengajarkan kita untuk bekerja dengan tekun dan penuh dedikasi, tetapi juga mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam keserakahan dan cinta dunia yang berlebihan. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan duniawi adalah dengan berinfak dan bersedekah. Harta yang kita miliki bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk membantu sesama.

Merawat Kewarasan Akhirat

Merawat kewarasan akhirat tidak dapat dipisahkan dari kewarasan dunia. Seorang Muslim yang ingin meraih kebahagiaan di akhirat harus menjaga hubungan baik dengan Allah ﷻ, melakukan ibadah dengan tekun, dan berusaha menambah ilmu agama. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, ibadah bukan hanya untuk menenangkan hati, tetapi juga untuk menjadi bekal kita di akhirat kelak.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 133).

Ayat ini menunjukkan bahwa untuk meraih kebahagiaan di akhirat, kita harus mempersiapkan diri dengan amal shalih. Ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Namun, tidak hanya itu, sikap sabar, ikhlas, dan tawakal juga menjadi bagian dari kewarasan spiritual yang harus dijaga.

Selain itu, kita juga harus menjauhi sifat-sifat yang bisa merusak kewarasan, seperti riya, ujub (bangga diri), dan tidak ikhlas dalam beramal. Sehingga semua yang kita lakukan dapat membawa manfaat di dunia dan akhirat karena semata-mata untuk Allah ﷻ.

Mencapai Keseimbangan: Ikhtiar dan Tawakal

Mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat membutuhkan ikhtiar yang sungguh-sungguh. Namun, ikhtiar ini tidak akan lengkap tanpa tawakal kepada Allah. Tawakal adalah sikap menyerahkan hasil akhir hanya kepada Allah setelah berusaha dengan maksimal.[2] Dengan tawakal, kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita capai di dunia dan akhirat adalah atas izin dan kehendak-Nya.

Dari Umar bin Al-Khattab, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

لَو أَنَّكُمْ تَوكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطَاناً .

Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, 1:30; Tirmidzi, no. 2344; Ibnu Majah, no. 4164; dan Ibnu Hibban, no. 402).[3]

Tawakal bukan berarti kita tidak berusaha, tetapi meyakini bahwa segala yang kita usahakan adalah bagian dari takdir Allah, dan kita pasrahkan segala urusan kepada-Nya.

Merawat kewarasan dunia dan akhirat adalah tanggung jawab setiap Muslim. Dalam kehidupan yang serba cepat ini, kita sering kali terjebak dalam godaan duniawi atau bahkan terlalu terpaku pada urusan akhirat. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan antara keduanya. Dengan bekerja keras di dunia, menjalani ibadah dengan penuh keikhlasan, serta bertawakal kepada Allah, kita dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk menjaga kewarasan dalam setiap aspek kehidupan kita. Aamiin.

Maraji’ :

* Alumni Pendidikan Agama Islam FIAI UII Th 2015.

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Jangan Lupakan Nasib Kalian di Duniahttps://rumaysho.com/3335-jangan-lupakan-nasib-kalian-di-dunia.html. Diakses pada 3 Desember 2024.

[2] Zulfian. “Mengenal Konsep Tawakal Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari” dalam jurnal Pemikiran Islam, Vol.1, No.1, Tahun 2021. H 74-88.

[3] HR. Ahmad, 1:30; Tirmidzi, no. 2344; Ibnu Majah, no. 4164; dan Ibnu Hibban, no. 402. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat dan perawinya tsiqqah, terpercaya, termasuk perawi shahihain, selain ‘Abdullah bin Hubairah yang merupakan perawi Imam Muslim.

Download Buletin klik di sini

Cahaya Baru: Gen Z Muslim Menginspirasi Perubahan

Cahaya Baru: Gen Z Muslim Menginspirasi Perubahan

Dita Ayu Rahmawati*

 

Bismillah, alhamdulillah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Generasi Z, atau Gen Z, merujuk pada mereka yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010. Saat ini, generasi ini berada pada fase emas, yaitu masa muda, di mana kesehatan mental dan kematangan berpikir seharusnya mencapai puncaknya. Namun, Gen Z tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi, yang membawa dampak positif dan negatif bagi mereka.

Di era di mana informasi dapat diakses secara instan, banyak anggota generasi ini cenderung memiliki sifat malas bergerak (mager). Hal ini memengaruhi pola pikir dan perilaku mereka, membuat mereka enggan melakukan kegiatan yang memerlukan waktu dan usaha, seperti membaca buku tebal, memasak, atau berjalan kaki. Jika perilaku ini terus berlanjut, bisa mengikis nilai-nilai positif seperti kesabaran, ketekunan dalam berjuang, dan kemampuan menikmati proses.

Sebagai muslim dari generasi Z, kita seharusnya berupaya mencegah perilaku negatif tersebut agar tidak mengakar dalam diri kita. Perubahan diperlukan, dan perubahan ini hanya bisa datang dari diri kita sendiri.[1] Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11)

Gen Z Beraksi: Meraih Predikat Generasi Terunggul

Gelar sebagai generasi terbaik yang disematkan kepada para sahabat g adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi.[2] Mereka memiliki kekuatan mental, fisik, dan pemikiran yang luar biasa. Keterbatasan materi maupun non-materi tidak pernah menjadi penghalang bagi mereka dalam beribadah dan berkarya. Mereka rela bekerja keras, berkorban tenaga, menghadapi cercaan, dikeluarkan dari keluarga, bahkan mengorbankan nyawa demi Islam. Perjuangan mereka membuahkan hasil, sehingga hingga kini, dengan izin Allah ﷻ, manisnya Islam dapat dirasakan di berbagai penjuru dunia, bahkan di sudut-sudut yang terpencil.

Perubahan positif dapat terwujud dengan meneladani prinsip dan perilaku para sahabat. Berikut beberapa langkah bagi Gen Z untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, baik secara internal maupun eksternal:

Berkonsentrasi pada Allah

Maksud dari berkonsentrasi pada Allah ﷻ yaitu melakukan segala aktivitas, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dengan niat semata-mata untuk mencari rida-Nya. Allah ﷻ mengetahui semua perbuatan kita, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di hati. Belajar, bekerja, makan, beristirahat, bahkan mencari hiburan, semua perlu didasari niat untuk Allah ﷻ. Ketika segala sesuatu diniatkan untuk Allah ﷻ, semangat kita akan tetap menyala meskipun tidak ada paksaan, pujian, bayaran, atau persaingan.

Sebagaimana sahabat Abdurrahman bin Auf z, yang bekerja keras tanpa meminta, meskipun harta melimpah di hadapannya. Rasa malas akan sirna jika kita memiliki tekad yang kuat. Oleh karena itu, kita perlu menanamkan pada diri bahwa setiap waktu dan perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.  Dari ‘Abdullah bin ‘Umar zNabi ﷺ bersabda,

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)[3]

Menggali Potensi Diri

Kegagalan bukanlah sebuah kesalahan; justru dari kegagalan kita memperoleh pelajaran yang tidak diajarkan oleh kesuksesan. Seseorang yang pernah gagal cenderung memiliki mental yang lebih kuat dibandingkan yang tidak pernah mengalami kegagalan. Setiap individu memiliki kelebihan masing-masing, sehingga tidak perlu membandingkan kesuksesan diri dengan orang lain, terutama jika itu membuat kita merasa rendah diri.

Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda, sebagaimana para sahabat menggeluti bidang sesuai dengan kemampuan mereka. Abdullah bin Abbas cmeraih julukan “Turjamatul Qur’an” karena keahliannya dalam ilmu tafsir Al-Qur’an. Khalid bin Walid z dikenal sebagai ahli pedang dan strategi perang, sedangkan Utsman bin Affan zadalah seorang saudagar kaya yang dermawan. Oleh karena itu, saatnya kita fokus mengembangkan kemampuan diri tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain.

Produktif

Produktif berarti kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam jumlah besar.[4] Gen Z dikenal sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi di ujung jari mereka, dan ini memberikan potensi besar untuk menjadi produktif dalam berbagai aspek kehidupan. Produktivitas bagi Gen Z tidak hanya terbatas pada bekerja secara konvensional, tetapi juga mencakup kemampuan untuk multitasking, bekerja secara fleksibel, dan memanfaatkan platform digital untuk belajar, berkreasi, serta bekerja. Mereka sering menggunakan media sosial sebagai alat produktif untuk membangun merek pribadi atau bisnis, mempromosikan karya, dan mencari peluang karier. Namun, dengan kebebasan teknologi juga muncul tantangan untuk menjaga fokus dan disiplin di tengah gangguan digital yang melimpah. Oleh karena itu, bagi Gen Z, produktif berarti menemukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dengan bijak dan mengelola waktu serta energi dengan efisien.

Menjadi produktif adalah pilihan, begitu pula dengan malas; semua pilihan ini ditentukan oleh diri kita sendiri. Memulai hal baru yang positif memerlukan pelatihan dan kebiasaan. Perlu diketahui, Generasi Z yang dihadapkan pada pesatnya perkembangan teknologi, tidak hanya berjuang melawan diri sendiri, tetapi juga harus bersaing dengan teknologi yang terus berkembang. Sebagai makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan oleh Allah Ta’ala, Generasi Z muslim tentu tidak akan gentar, karena orientasi dari setiap aktivitasnya diarahkan kepada Sang Pemilik Alam Semesta.

Penutup
Generasi Z bukanlah generasi yang lemah; mereka hanya sering kali terpengaruh oleh berbagai kemudahan yang ada. Sebagai Generasi Z Muslim, sudah saatnya kita mengubah dunia dengan memperbaiki diri, mengutamakan Allah dalam setiap perbuatan dan pilihan hidup, serta terus mengasah kemampuan dan berkarya seluas mungkin. Dengan demikian, Generasi Z memiliki peluang besar untuk menjadi generasi unggul yang setara dengan para sahabat.

Maraji’ :

* Lulus Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Wadi Mubarak Bogor.

[1]Ismāʼīl ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr Al-Qurʼānul ʻAẓīm, ed. oleh Sāmī Ibn Muḥammad Sāmī Ibn Muḥammad. Dār Ṭībah li an-Nāsyir wa at-Tawzīʻ, 1999. Jilid 4, h. 69.

[2] Muḥammad ibn Ṣāliḥ ibn Muḥammad al-ʻUṡaimīn, Syarḥ Riyād aṣ-Ṣāliḥīn. Riyad: Dār al-Waṭan li an-Nasyr, 2005. Jilid 5, h. 373.

[3] Muslim ibn al-Ḥajjāj an-Nīsābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, ed. oleh Muḥammad Fuʼād ʻAbd al-Bāqī. Beyrut: Dār Iḥyāʼ at-Turāṡ al-ʻArabī, 2010. Jilid 2, h. 1459, no. 1829.

[4] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” diakses 25 September 2024, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/produktif.

Download Buletin klik di sini

Adab Ketika Hujan

Adab Ketika Hujan

Al Katitanji

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Rasa syukur yang mendalam dan pujian yang tinggi hanya untuk Allah ﷻ yang telah menurunkan air hujan dari ketinggian langit. Demikianlah hujan patuh dan tunduk mengikuti perintah Rabbnya membasahi bumi. Bagi setiap Muslim sangat penting mempelajari adab ketika hujan karena dengannya ia akan banyak mendapatkan pahala disisi Allah ﷻ. Agar dapat meraih pahala di sisi Allah untuk kehidupan hari kemudian, berikut adalah beberapa adab ketika hujan:

Hujan Membawa Berkah

Ketahuilah bahwa hujan membawa keberkahan untuk penduduk bumi, membawa banyak kebaikan untuk para petani, dan kesuburan bagi tumbuhan yang diharapkan hasilnya.

Allah ﷻ berfirman,

وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً مُّبَٰرَكًا فَأَنۢبَتْنَا بِهِۦ جَنَّٰتٍ وَحَبَّ ٱلْحَصِيدِ

Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak manfaatnya) lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qâf [50]: 9).

Sebagian orang mencela hujan karena aktivitas mereka terganggu, rencana mereka terhambat, janji-janji mereka dijadwal ulang dan sebagainya. Seorang Mukmin seharusnya menahan lisan agar tidak mencela turunnya air hujan, karena mencela air hujan adalah dosa. Siapa yang mencela hujan, dia telah mencela pencipta hujan itu sendiri. Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, Allah ﷻ berfirman,

يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِى الأَمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246).

Hadis ini dasar larangan mencela ciptaan Allah; mencela siang, malam, waktu, termasuk juga di dalamnya mencela cuaca karena dengan takdir Allah-lah terjadinya siang dan malam juga terjadinya panas dan hujan.[1]

Hujan adalah Rahmat Allah

Ketahuilah turunnya air hujan bagian dari rahmat Allah ﷻ yang diharapkan kehadirannya. Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya,

وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS Asy Syura [42]: 28).

Dalam Tafsir Muyassar dijelaskan, hanya Allah semata yang menurunkan hujan dari langit, dengannya Allah ﷻ menyelamatkan manusia setelah mereka berputus asa darinya, Dia menebarkan rahmat-Nya diantara makhluk-Nya lalu Dia meratakan hujan kepada mereka, Dialah penolong yang mengurusi urusan hamba-hamabNya dengan kebaikan dan karunia-Nya yang maha terpuji dalam pertolongan dan pengaturan-Nya.[2]

Memperbanyak Doa Ketika Hujan Turun

Dianjurkan untuk memperbanyak doa di waktu-waktu mustajab. Di antara waktu tersebut adalah ketika turun hujan. Berdasarkan salah satu riwayat dari Sahl bin Sa’d z, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078)

Dalam riwayat lain Nabi ﷺ bersabda,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (HR. Al Hakim)[3]

Doa Ketika Ada Angin Kencang

Ketika ada angin kencang dianjurkan membaca doa sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah x, ia berkata, “Apabila ada angin bertiup, Nabi ﷺ membaca doa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

Allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira mâ fîhâ wa khaira mâ ursilat bihi wa a’ûdzubika min syarrihâ wa syarrimâ fîhâ wa syarri mâ ursilat bihi” [Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus].” (HR. Muslim, no. 2122)

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah z, Nabi ﷺ membaca doa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا.

Allâhumma innî as-aluka khairahâ wa a’ûdzubika min syarrihâ” [Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini].” (HR. Abu Dawud, no. 3230, Ibnu Majah no. 1568)[4]

Doa Ketika Hujan Turun

Ketika mendapati hujan turun, dianjurkan untuk membaca doa, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, “Nabi ﷺ ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Allâhumma shayyiban nâfi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan An Nasâ’I no. 1523).

Dalam riwayat lain, beliau membaca,

اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا

Allâhumma shayyiban hanî’an” [Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat].” (HR. Abu Daud 5101 dan dishahihkan al-Albani)

Dzikir Setelah Turun Hujan

Dianjurkan untuk membaca doa tatkala hujan sudah reda. Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi ﷺ bersabda,

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ.

Muthirnâ bi fadhlillâhi wa rahmatih” [Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah].” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71).

Dzikir Ketika Melihat atau Mendengar Petir

Di antara adab ketika melihat atau mendengar petir, dianjurkan membaca dzikir. Dari Amir, dari ayahnya Abdullah bin Zubair berkata, “Apabila beliau mendengar petir, beliau berhenti bicara. Kemudian beliau mengatakan,

سُبْحَانَ الَّذِى يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ.

Subhânalladzî yusabbihur ra’du bihamdihi wal malâikatu min khîfatih” [Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya].”[5] (HR. Malik, no. 1839 dalam al-Muwatha’ dan Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 723).[6]

Doa Agar Hujan Berhenti   

Ketika turun hujan, kita berharap agar hujan yang Allah ﷻ turunkan menjadi hujan yang mendatangkan berkah dan bukan hujan pengantar musibah. Karena itu, ketika hujan datang semakin lebat, dan dikhawatirkan membahayakan lingkungan, kita berdoa memohon, agar hujan dialihkan ke daerah lain, agar lebih bermanfaat.[7]

Di Madinah pernah terjadi hujan satu pekan berturut-turut, hingga banyak tanaman yang rusak dan binatang kebanjiran. Para sahabat meminta pada Nabi ﷺ supaya berdoa agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau ﷺ berdoa,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا، للَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Allâhumma hawâlainâ walâ ’alainâ, Allâhumma ’alal âkâmi wal jibâli, wazh zhirâbi, wa buthûnil awdiyati, wa manâbitisy syajari” [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan membahayakan kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” (HR. Bukhari 1013 & Muslim 2116).[8]

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, orang tua, para guru dan memberikan pertolongan serta hidayah-Nya untuk dapat mengamalkan ilmu yang kita dapatkan. Âmîn.

Maraji’ :

[1] https://khotbahjumat.com/2356-mentadabburi-kebesaran-allah-pada-hujan.html. Diakses pada 20 November 2024.

[2] https://tafsirweb.com/9118-surat-asy-syura-ayat-28.html. Diakses pada 20 November 2024.

[3] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahihShohihul Jaami’ no. 1026.

[4] Majdi bin Abdul Wahab al Ahmad. Syarh Hisnul Muslim. (Tashih) Said bin Ali bin Wahfi al Qahthani, no. 166. Sukoharjo: Al Qowam. Cet. Ke-II. h. 284.

[5] QS. ar Ra’du [13]: 13.

[6] HR. Malik dalam Al Muwatha’ no. 1839, Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 723 dan sanadnya dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Adzka no. 230 dan Albani dalam Shahih Adabul Mufrad no. 556.

[7] Ammi Nur Baits. “Amalan Ketika Hujan.” https://konsultasisyariah.com/23819-amalan-ketika-hujan-bagian-02.html. Diakses pada 20 November 2024.

[8] Majdi bin Abdul Wahab al Ahmad. Syarh Hisnul Muslim. (Tashih) Said bin Ali bin Wahfi al Qahthani, no.170. Sukoharjo: Al Qowam. Cet. Ke-II. h. 288.

Download Buletin klik di sini

Taat dan Tawakal Kunci Menghilangkan Kecemasan

Taat dan Tawakal Kunci Menghilangkan Kecemasan

Arviyan Wisnu Wijanarko

*Alumni Ahwal Syakhshiyyah FIAI UII

 

Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan berbagai generasi setidaknya kita melihat bahwa Generasi Z atau yang biasa dikenal dengan Gen-Z ini sering sekali menjadi sorotan. Gen-Z merupakan istilah yang sering disangkut pautkan kepada orang-orang dengan rentang usia untuk saat ini yaitu sekitar 12-27 tahun di mana ciri khususnya generasi ini lebih melek terhadap kemajuan internet dan teknologi.

Dalam Islam, rentang usia Gen-Z ini mayoritas sudah memasuki masa baligh. Baligh sendiri merupakan istilah yang digunakan dalam terminologi Islam untuk mengkategorikan orang-orang tertentu bahwa telah mencapai usia dewasa dan dapat dibebankan kewajiban-kewajiban Islam di mana untuk mencapai kategori dewasa tersebut telah memenuhi setidaknya 3 syarat yaitu sempurna berumur 15 tahun, keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan.[1]

Sadar ataupun tidak sadar, Gen-Z yang masuk pada usia baligh sering mengalami gangguan kecemasan, khawatir dengan masa depan, bingung, tidak memiliki arah dan ketidakpastian atas keberlangsungan hidup serta overthinking atas kehidupan yang mana hal ini dikenal dengan Quarter Life Crisis.[2]

Tidak Ada Keraguan dalam Islam

Beruntungnya, menjadi Gen-Z yang beragama Islam sangat mudah mengatasi kecemasan yang berlebih. Sebagai kaum Muslimin harus percaya bahwa segala keresahan memiliki jalan keluar yang mana jalan keluar tersebut berada dalam satu panduan atau petunjuk berupa kitab yang suci dinamakan Al-Qur’an.

Sebagaimana firman Allah ﷻ,

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 2)

Al-Qur’an menjadi kitab yang sudah pasti tidak ada keraguan di dalamnya, dari awal al-Fatihah hingga akhir surah an-Nas tidak akan menemukan sebuah keraguan di dalamnya. Kemudian ayatnya berbunyi bahwa kitab ini sudah tidak diragukan dan menjadi “huda” pedoman serta petunjuk bagi orang Muslim yang bertakwa.

Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka menjelaskan bahwa sesungguhnya maksud dari “huda” adalah sebuah jawaban atas doa pada surah al-Fatihah yaitu meminta agar ditunjukan jalan yang lurus dan Allah ﷻ menjawab langsung dalam surah al-Baqarah ayat 2 ini dengan diberikannya kitab ini (Al-Qur’an) sebagai petunjuk yang tidak ada keraguan di dalamnya.[3]

Cara Menghilangkan Kecemasan Hidup

Dari sana Gen-Z dapat mengambil petunjuk untuk menghilangkan kecemasan dalam hidup serta kebimbangan akan masa depan. Dalam rangkuman ini akan menjelaskan bagaimana cara yang dianjurkan oleh Al-Qur’an untuk menghilangkan kecemasan hidup, memikirkan masa depan ataupun apabila sedang menghadapi cobaan.

  1. Taat Pada Ketentuan Allah ﷻ.

Tidak melampaui batas, jangan melanggar, taat sepertinya adalah kata-kata yang simple hanya mengikuti norma-norma yang ada, namun entah kenapa manusia sering kali membangkang dan melampaui batasan. Sehingga dalam hadis pun telah diungkapkan bahwa sesungguhnya semua manusia itu tempatnya salah, oleh karena itu terkadang kesalahan-kesalahan kecil pun tidak luput dari diri manusia. Karena manusia adalah tempatnya salah, agar manusia kembali kepada ketenangan yang dijanjikan oleh Allah ﷻ maka hendaknya manusia yang melakukan kesalahan tersebut sesegera mungkin untuk bertaubat, karena itu adalah sebaik-baiknya manusia.

Agar supaya tidak melanggar ketentuan Allah ﷻ serta melampaui batas maka Allah ﷻ telah memberikan sebuah petunjuk berupa Al-Qur’an yang mana orang-orang yang mengikuti petunjuk tersebut niscaya akan selamat. Bukankah kecemasan, bimbang dan takut akan masa depan yang tidak pasti serta hal lainnya timbul karena rasa takut akan tidak selamat?

Manusia diberikan akal dan pengetahuan oleh Allah ﷻ , akal dan pengetahuan tersebut digunakan oleh manusia untuk mencapai kedamaian, kebahagiaan, dan kenikmatan. Namun hal tersebut belum menjamin keselamatan karena bisa jadi kedamaian, kebahagiaan, serta kenikmatan yang didapatkan dari hasil yang tidak diridhai oleh Allah ﷻ sehingga pada masanya nanti tetap saja tidak selamat, oleh karena akan mencapai masa tidak selamat, timbullah kecemasan untuk menyelamatkannya. Kecemasan akan senantiasa didapat apabila tetap melanggar ketentuan Allah ﷻ.

Ketentuan-ketentuan Allah ﷻ wajib ditaati apabila ingin mencapai ketenangan, kedamaian, dan kenikmatan yang hakiki. Sebagai seorang muslim pasti percaya kehidupan setelah kematian yang kekal dan abadi, apabila ketentuan-ketentuan Allah ﷻ tidak dilanggar pasti tidak akan menimbulkan kecemasan di dunia maupun di akhirat. Walaupun manusia pasti terkadang terjerumus tidak sesuai dengan ketentuan Allah ﷻ, alangkah sempurnya sesegera mungkin kembali kepada-Nya dengan taubat nasuha.

  1. Tawakal Kepada Allah ﷻ.

Rasa cemas dan takut memang terkadang muncul dalam diri manusia oleh karena manusia pengetahuannya sangat terbatas. Kecemasan dan ketakutan ini terkadang menjadi dalil manusia berbuat melampaui batas tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan seperti misal mendatangi dukun, ahli nujum, dan lain sebagainya hanya untuk mendapatkan pengetahuan tentang masa depannya.

Dalam rasa takut dan cemas yang luar biasa hebat, Gen-Z hendaknya menghadirkan Tuhan dalam setiap rasa cemasnya. Mungkin Gen-Z sudah jarang datang ke dukun, ahli nujum, dan atau metode yang lainnya, akan tetapi lebih sering datang ke night club untuk sekedar menghilangkan beban pikiran dan yang paling sering yaitu galau berkepanjangan.

Panduan yang diberikan oleh Al-Qur’an agar Gen-Z selalu tawakal kepada Allah ﷻ sebagaimana surah Thaha memberikan contoh ketika Nabi Musa yang diselimuti rasa cemas dan takut menyelubungi hatinya saat ingin berdakwah kepada Fir’aun. Seketika Allah ﷻ menjamin Nabi Musa u ingat kepada-Nya maka rasa takut dan cemas seketika sirna dan menjamin semua akan baik-baik saja.[4]

Ketenangan juga turun ketika Nabi Muhammad n serta sahabatnya Abu Bakr yang tengah bersembunyi di dalam gua oleh karena dia diincar dan diburu oleh pemuda Quraisy. Abu Bakr risau, cemas akan masa depan Islam apabila mereka berdua diketahui oleh musuh dan dibunuh. Kemudian Rasulullah ﷺ memberikan kalimat tawakal yang membuat ketenangan datang kepada mereka berdua “innallaha ma’ana” sehingga terjamin sudah keselamatan Islam.

Wallâhu’alam bish shawâb.

Maraji’ :

[1] Yazid Muttaqin. “Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh” https://nu.or.id/syariah/tiga-tanda-seorang-anak-dikatakan-baligh-ZOGmU. Diakses pada 13 November 2024

[2] Fransiska Kaligis. “Riset: Usia 16-24 Tahun Adalah Usia Kritis Untuk Kesehatan Mental Remaja dan Anak Muda Indonesia” https://theconversation.com/riset-usia-16-24-tahun-adalah-periode-kritis-untuk-kesehatan-mental-remaja-dan-anak-muda-indonesia-169658. Diakses pada 13 November 2024

[3] Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. Tafsir Al Azhar Jilid 1. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD. 1990 M, Hal 114.

[4] Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. Tafsir Al Azhar Jilid 6. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD. 1990 M, Hal 4431-4432.

Download Buletin klik di sini

Hukum Ruqyah Dan Tata Cara Meruqyah

Hukum Ruqyah Dan Tata Cara Meruqyah

Al Katitanji

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Ketahuilah bahwa ruqyah bukanlah pengobatan alternatif yang dipahami oleh keumuman orang. Justru seharusnya ruqyah menjadi pilihan pertama pengobatan tatkala ada yang sakit. Karena kesembuhan datangnya dari Allah ﷻ, maka memohonlah kebaikan dan kesembuhan kepada Allah ﷻ sebelum kita mendatangi dokter atau tabib.

Allah ﷻ berfirman,

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,” (QS. Asy Syu’ara [26]: 80).

Hukum Ruqyah

Ruqyah adalah penyembuhan suatu penyakit dengan membaca ayat ayat suci al Qur’an, atau doa-doa kepada Allah.[1] Atau definisi lain Ruqyah adalah membacakan sesuatu pada orang yang sakit, bisa jadi karena terkena ‘ain (mata hasad), sengatan, sihir, racun, rasa sakit, sedih, gila, kerasukan, dan lainnya.[2]

Ruqyah hukum boleh jika memenuhi tiga syarat sebagaimana perkataan Ibnu Hajar v,

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الرُّقَى عِنْدَ اجْتِمَاعِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ أَنْ يَكُونَ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَبِاللِّسَانِ الْعَرَبِيِّ أَوْ بِمَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِهِ وَأَنْ يُعْتَقَدَ أَنَّ الرُّقْيَةَ لَا تُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا بَلْ بِذَاتِ اللَّهِ تَعَالَى.

Para ulama telah bersepakat bahwa ruqyah itu diperbolehkan jika memenuhi 3 persyaratan: (1) Ruqyah dengan firman Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifatNya; (2) Ruqyah dengan bahasa Arab atau jika selain bahasa Arab maka harus dipahami maknanya; (3) Hendaknya meyakini bahwasanya ruqyah tidaklah memberi pengaruh dengan sendirinya akan tetapi kembali kepada Allah.”[3]

Berdasarkan hadits dari Auf bin Malik ia berkata, “Kami diruqyah ketika masa Jahiliyah, lalu kami tanyakan, ‘Wahai Rasulullah ﷺ bagaimana pendapat baginda tentang hal itu?’ Maka beliau ﷺ bersabda,

اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِركًا

Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku, tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Muslim no. 2200).

Tata Cara Meruqyah[4]

  1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah ﷻ.
  2. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah ﷻ saat membaca dan berdoa.
  3. Ruqyah harus dengan al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.
  4. Membaca surah al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surah al Falaq, an Nâs, al Ikhlash, al Kafirun atau membaca seluruh al Qur’an.
  5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.
  6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi ﷺ. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.
  7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah.

Dalam riwayat disebutkan bahwa ‘Aisyah x pernah ditanya tentang tiupan Nabi ﷺ dalam meruqyah, Ia menjawab, “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR. Muslim)[5]

Dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan, “Maka aku membacakan al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. (HR. Abu Dawud, 4/3901).[6]

  1. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun.

Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah z, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

كُلُوْا الزَيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة

Makanlah minyak zaitun, dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah” (Hadits hasan, Shahihul Jami’ 2/4498).

  1. Jika meniupkan ke air, setelah itu airnya diminumkan kepada yang sakit, atau diusapkan kepada bagian tubuhnya yang sakit, atau dimandikan dengan air tersebut.

Dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan, “Maka aku membacakan al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. (HR. Abu Dawud, 4/3901).[7]

  1. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[8]

Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah , tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. (H.R. Muslim)[9]

  1. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya membaca doa-doa ruqyah.

Disebutkan dalam riwayat bahwa Utsman bin Abi Ash z mengadukan rasa sakit pada bagian tubuhnya kepada Nabi ﷺ semenjak ia masuk Islam. Lalu Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, agar meletakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillâh, 3 kali). Lalu ucapkan doa berikut,

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti.” (HR. Muslim no.2202)[10]

Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali. Atau membaca,

بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا

Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini.” (Shahihul Jami’, no. 346.)

Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[11]

  1. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi ﷺ meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Dari Ubay bin K’ab z, ia berkata, “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau ﷺ. Maka aku mendengar Beliau ﷺ membentenginya (ta’widz) dengan surah al Fatihah.” (HR. Ibnu Majah).[12]

Semoga Allah karuniakan kepada kita sehat dan ‘âfiyah.

Maraji’ :

[1] Firanda Andirja. Ruqyah Syar’iyah Panduan Singkat Bacaan dan Tata Cara Ruqyah Sesuai Sunnah. Firanda.com (PDF). h. 1.

[2] Muhammad Abduh Tuaskial. “Kriteria Ruqyah yang Dibolehkan” https://rumaysho.com/2383-kriteria-ruqyah-yang-dibolehkan.html. Diakses pada 12 November 2024.

[3] Fathul Baari 10/195.

[4] Risalah ini dikutip dari Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah. Dikoreksi Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Jibrin. Dan Abdullah bin Muhammad As Sadhan. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah. Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr. Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun 1426H. Referensi: https://almanhaj.or.id/2693-tata-cara-ruqyah-yang-benar.html. Diakses pada Rabu, 21 Jumadil Akhir 1445 H/ 3 Januari 2023 M.

[5] Kitab As Salam, 14/182.

[6] Kitab Al Fathu Ar Rabbani, 17/184.

[7] Kitab Al Fathu Ar Rabbani, 17/184.

[8] Fathul Bari 21/323. Cara ini dikatakan oleh Az Zuhri merupakan cara Nabi ﷺ dalam meniup.

[9] Syarah An Nawawi 14/180.

[10] Majdi bin Abdul Wahhab al Ahmad. Syarah Hishnul Muslim (ditashhih oleh Syaikh Said bin Ali bin Wahfi al Qahthani). Cairo: Al Maktabah Al Islamiyah. 2006. Cet ke-1. h.376. doa nomor 124.

[11] Fathul Bari (21/323). Cara ini dikatakan oleh Az Zuhri merupakan cara Nabi ﷺ dalam meniup. https://almanhaj.or.id/2693-tata-cara-ruqyah-yang-benar.html. Diakses pada 12 November 2024.

[12] Al Fathu Ar Rabbani (17/183). https://almanhaj.or.id/2693-tata-cara-ruqyah-yang-benar.html. Diakses pada 12 November 2024.

Download Buletin klik di sini

Menjadi Pemuda Terbaik Zaman Now

Menjadi Pemuda Terbaik Zaman Now

Agus Fadilla Sandi*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’d.

Di era modern yang penuh dengan tantangan ini, banyak pemuda zaman now yang mengalami kebingungan dalam menentukan arah hidup. Berdasarkan data terbaru, pemuda di Indonesia kini berjumlah sekitar 64 juta orang atau 24% dari populasi. [1] Jumlah yang signifikan ini menghadapi berbagai persoalan serius, salah satunya adalah kesehatan mental. [2] Laporan menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga pemuda di Indonesia mengalami masalah mental, seperti kecemasan dan depresi, yang tentunya ini dapat memengaruhi perkembangan dan potensi mereka.

Melihat besarnya tantangan tersebut, maka memahami dan membimbing generasi muda dalam menghadapi era modern dengan ketangguhan dan karakter unggul menjadi suatu keharusan yang mendesak. Oleh sebab itu, melalui artikel ini, kita akan menelaah beberapa kriteria pemuda terbaik menurut perspektif Islam. Diharapkan kajian ini mampu mendorong para pemuda zaman now untuk tumbuh menjadi sosok pribadi yang unggul dan bermanfaat bagi diri mereka sendiri, keluarga serta masyarakat sekitarnya.

Pertama, Pemuda yang Bermanfaat bagi Sesama

Dalam Islam, kualitas terbaik seseorang diukur dari seberapa bermanfaat ia bagi orang lain. Berkaitan dengan konteks pemuda, maka dapat diartikan ketika seorang pemuda aktif memberi dampak positif —baik di dunia nyata maupun digital maka sejatinya ia berperan dalam misi yang mulia dan mengikuti salah satu karakter terbaik yang disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dari Jabir bin ‘Abdillah z, Rasulullah n bersabda,

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426).[3]

Dalam hadis tersebut, Rasulullah ﷺ menekankan bahwa orang yang paling baik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Manfaat yang diberikan dapat berupa materi maupun non-materi. Dengan demikian, pemuda zaman now seharusnya berupaya menjadi individu yang mampu memberi manfaat melalui ilmu, bergabung dalam komunitas atau organisasi yang punya nilai manfaat terhadap umat, berbagi pengetahuan di media sosial, atau bahkan memberikan nasihat yang konstruktif kepada teman-teman dekatnya. Jangan lewati hari tanpa memberi arti!

Kedua, Pemuda Beradab

Menjaga adab yang baik merupakan kunci untuk menjadi pemuda terbaik di era modern ini. Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

“Sesungguhnya, orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi No. 2018).[4]

Nabi Muhammad ﷺ adalah sosok yang sangat beradab dan selalu mendorong umatnya untuk memiliki adab yang baik. Melalui hadis ini, beliau menggarisbawahi pentingnya berperilaku baik sebagai kriteria utama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bagi pemuda zaman now, menerapkan adab yang baik dapat diamalkan dalam keseharian dengan menunjukkan sikap sopan santun saat berinteraksi di dunia nyata maupun di media sosial, menghindari perdebatan negatif, dan tidak menyebarkan informasi hoaks yang dapat merugikan orang lain. Jadilah pribadi yang beradab, jangan sampai menjadi biadab!

Ketiga, Pemuda Pembelajar dan Pengajar Al-Qur‘an

Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah karakter terbaik seorang pemuda. Disebutkan dalam riwayat dari Utsman bin ‘Affan berkata bahwa Rasulullah  ﷺ bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 5027).[5]

Hadis ini menjelaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an mendapatkan kedudukan tinggi, baik di dunia maupun di akhirat.

Para pemuda memiliki kesempatan untuk meraih predikat terbaik ini dengan sungguh-sungguh belajar Al-Qur’an, mulai dari memperbaiki bacaannya, mengikuti kajian tajwid, tafsir, tadabbur maupun tahfizh Al-Qur’an baik secara offline atau online, berpartisipasi dalam organisasi atau aktivitas yang mendekatkan diri dengan Al-Qur‘an, serta ikut menyebarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui media sosial. Sungguh hari terbaik kita adalah hari yang dibersamai oleh Al-Qur’an!

Keempat, Pemuda Beriman dan Pejuang Kebenaran

Keprihatinan terhadap krisis iman dan keberanian di kalangan pemuda saat ini menjadi semakin nyata. Banyak pemuda yang terjebak dalam arus informasi dan godaan yang mengikis nilai-nilai spiritual dan moral. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah ﷻ telah mengisahkan sekelompok pemuda yang teguh beriman kepada Tuhan mereka dan mencari perlindungan untuk menjaga iman mereka. Allah ﷻ berfirman,

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِٱلْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا۟ بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَٰهُمْ هُدًى

“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. al-Kahf [18]: 13)

Sudah seharusnya pemuda zaman now memiliki iman yang kokoh dan keberanian dalam memperjuangkan kebenaran. Dalam praktik sehari-hari, pemuda dapat mengupayakan nilai mulia tersebut dengan cara aktif mengikuti kajian penguat keimanan, berteman dengan orang-orang saleh, menggunakan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai positif, serta ikut andil dalam aktivitas sosial yang mendukung keadilan. Dari Abu Sa’id Al Khudri z, Nabi ﷺ bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). [6]

Ikhtitam

Guna menghadapi tantangan masa kini diperlukan pemuda terbaik zaman now dengan karakter unggul, seperti; keberadaannya yang bermanfaat, pribadinya yang beradab, bermental pembelajar dan pengajar Al-Qur’an, tumbuh dengan keimanan serta berani memperjuangkan kebenaran. Kriteria-kriteria ini sungguh didambakan agar lahir para pemuda yang tampil di permukaan menjadi agen perubahan. Semoga Allah mudahkan. Âmîn.

* Ketua Yayasan Markaz Studi Al-Qur’an

Maraji’ :

[1] “Statistik Pemuda Indonesia 2023 – Badan Pusat Statistik Indonesia,” diakses 30 Oktober 2024, https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/29/18781f394974f2cae5241318/statistics-of-indonesian-youth-2023.html.

[2] GoodStats Data, “1 dari 3 Remaja Indonesia Alami Masalah Kesehatan Mental,” GoodStats Data, diakses 30 Oktober 2024, https://data.goodstats.id/statistic/1-dari-3-remaja-indonesia-alami-masalah-kesehatan-mental-GkFkh.

[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah dan dinilai hasan oleh Al-Albani. Diambil dari karya Ibn Hibban dan Al-Quda’i dalam Musnad Ash-Shihab, serta Mu’jam Al-Awsat oleh Ath-Thabrani. “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 31 Oktober 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/91818.

[4] “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 31 Oktober 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/36063.

[5] “شرح وترجمة حديث: خيركم من تعلم القرآن وعلمه,” موسوعة الأحاديث النبوية, diakses 31 Oktober 2024, https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/5913.

[6] Imam an-Nawawi, Syarah Riyadhus Shalihin jilid 1 (Gema Insani, 2023), h. 217.

Download Buletin klik di sini

Menyikapi Perbedaan Dalam Perspektif Historis

Menyikapi Perbedaan Dalam Perspektif Historis

Karimatul Ummah

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)

 

Dewasa ini umat Islam menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup berat. Selain tantangan eksternal seperti perang pemikiran dan peradaban, tantangan internal juga ikut menggerayangi tubuh umat Islam. Bahkan tantangan dari dalam inilah yang sebenarnya sangat berbahaya. Salah satunya adalah isu perbedaan yang sekarang ini -bagi sebagian besar kita- masih belum dapat menyikapinya dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri lagi, banyaknya berbagai golongan dan bahkan aliran yang ada dalam tubuh Islam sekarang ini memicu kontroversi tersendiri di kalangan kita, khususnya umat Islam di Indonesia. Tengok saja perdebatan yang sering terjadi antara sesama Muslim. Satu golongan menyalahkan golongan yang lainnya. Satu kelompok merasa hanya kelomoknya sajalah yang paling benar.

Maka serasa sangat penting sekali jika kita mencoba membuka mata dan pikiran kita lagi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Umat Islam sekarang harus pandai dalam menanggapi kondisi umat seperti ini. Di tengah panasnya temperatur perang pemikiran dan musuh-musuh Islam yang berada dalam selimut. Untuk itulah tulisan ini mencobanya memberikan pencerahan berpikir dalam menanggapi itu semua dari perspektif sejarah.

Perbedaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Perbedaan itu merupakan hal yang lumrah adanya. Karena pada dasarnya setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya. Ada yang diberikan Allah kepandaian dan kecerdasan yang baik dalam memahami ajaran agama Islam, namun ada juga yang tidak. Dari kalangan sahabat Rasulullah dulu, ada yang diberikan Allah hafalan yang kuat sehingga dapat menghafal wahyu al-Qur’an dan hadis Rasulullah, ada juga yang hafalannya kurang.

Pada masa Rasulullah ﷺ, perbedaan pun juga sudah terjadi. Namun setiap perbedaan pendapat dan permasalahan umat yang muncul dapat langsung diselesaikan melalui beliau. Pada masa Rasulullah ini sumber utama ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Oleh karena itulah tidak ada masalah internal berarti yang dapat mewarnai kehidupan umat Islam ketika itu. Tentu saja ini salah satu kelebihan bagi umat yang hidup di zaman tersebut. Sehingga tidak salah lagi apabila generasi Sahabat tersebut diberi julukan generasi terbaik.

Selanjutnya ketika Rasulullah ﷺ telah tiada, maka beberapa perbedaan di kalangan umat Islam ketika itu telah bermunculan. Mulai dari masalah pemerintahan, sampai akhirnya berujung kepada aliran keagamaan sendiri dalam Islam. Pada masa Sahabat ini, rujukan umat Islam adalah al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’, dan ra’yu. Dua rujukan terakhir ini adalah salah satu bentuk untuk menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang ada di kalangan Sahabat, selain adanya permasalahan yang baru muncul yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Namun meskipun demikian, tentu saja yang menjadi rujukan utama dan landasan dari dua rujukan terakhir tetap al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah.

Dakwah Islamiyah di masa Sahabat ini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perluasan wilayah Islamiyah ini adalah salah satu faktor adanya beberapa perbedaan di kalangan Sahabat. Perbedaan adat dan kultur masyarakat dari tempat yang berbeda-beda itulah sebab utamanya. Kultur Arab yang sangat kental pada masyarakat Madinah berbeda dengan kultur masyarakat Iraq yang ketika itu masih terpengaruh dengan budaya Persia, dan berbeda juga dengan kulturnya masyarakat Mesir dan Syam yang masih menyimpan nilai-nilai budaya Romawi.

Namun perbedaan yang terjadi di antara Sahabat akibat dari faktor tersebut masih dalam ruang lingkup untuk kemaslahatan umat Islam. Dan perbedaan yang terjadi ketika itu pun sangat sedikit sekali. Salah satu sebabnya karena para Sahabat masih banyak yang berada di Madinah, khususnya di zaman Khalifah Abu Bakar z dan Khalifah Umar ibn Khathab, sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Pada masa Tabi’in, wilayah Islam semakin luas lagi. Tentu saja semakin beragam pula kultur umat Islam yang melatarbelakanginya. Maka wajar ketika masa ini berkembang madrasah yang saling berbeda metode pengambilan hukumnya, khususnya dalam penggunaan ra’yu, yaitu Madrasah Ahlul Hadist di Madinah dan Madrasah Ahlul Ra’yi di Iraq. Salah satu faktor penyebab berkembangnya Madrasah Ahlul Hadis adalah pengaruh yang diterima Tabi’in dari para Sahabat seperti Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar. Sedangkan Madrasah Ahlul Ra’yi mendapat pengaruh dari Abdullah ibn Mas’ud zyang telah lama bermukim di Kufah sejak zaman Khalifah Umar ibn Khathab.

Beranjak ke masa Tabi’ tabi’in, kajian ilmu Fikih dan berbagai cabang ilmu lainnya mencapai puncak kegemilangannya. Di mana pada masa inilah banyak ulama-ulama Mujtahid bermunculan. Sebagai contoh, munculnya berbagai macam mazhab Fikih. Tentu saja perbedaan dalam ijtihad lebih beraneka ragam lagi.

Perbedaan pendapat yang muncul dikalangan ulama terdahulu sebenarnya hanya berkisar pada masalah furu’iyah atau cabang-cabang fikih saja. Itu pun disebabkan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Misalnya dalam menentukan suatu hukum yang belum ada dibahas dalam al-Qur’an dan Hadis, Imam Malik v mengedepankan perbuatan penduduk Madinah, karena menurut beliau segala sesuatu yang berkenaan dengan cara beribadah penduduk Madinah tidak mungkin kalau bukan hasil dari melihat perbuatan Rasulullah ﷺ yang diturun-temurunkan generasi ke generasi. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang lebih mengedepankan Ijma’ (kesepakatan para ulama) setelah Al-Qur’an dan Hadis.

Begitulah sekilas gambaran perjalanan perbedaan-perbedaan pendapat dalam Islam. Intinya agama Islam itu satu, dan tidak ada berbagai macam jenis Islam yang lainnya. Sedangkan perbedaan pendapat dan golongan itu adalah bentuk dari pengembangan pemikiran Islam. Namun perlu digaris bawahi, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut hanya dalam ranah furu’iyah saja. Jika kemudia perbedaan yang berkembang justru menjurus kepada perbedaan akidah dan tauhid, maka tentu saja dalam hal ini kebenaran atau yang haq itu harus kita kedepandakan. Karena batasan dan rambu-rambu yang digambarkan Islam dalam wilayah tauhid dan akidah itu sudah sangat jelas.

Jika ada yang mencoba untuk merubah rukun Iman dan rukun Islam, maka ini harus kita perangi. Jika ada yang mengatakan al-Qur’an hanyalah produk budaya, ini pun juga harus kita perangi. Jika ada yang memperbolehkan perkawinan homoseksual, pemikiran seperti ini jelas telah menyimpang dari koridor yang telah ditentukan Islam. Namun cara memeranginya pun juga harus baik. Jika kita diserang dengan pemikiran seperti itu, maka untuk membalasnya tentu saja juga dengan pemikiran juga, bukan malah dengan kekerasan.

Jika hal seperti ini yang terwujud di antara umat Islam di Indonesia sekarang ini, maka serasa indah Islam itu dijalankan. Penilaian-penilaian negatif tentang Islam dan perpecahan, Islam dan kekerasan, hingga Islam dan terorisme, harus segera kita hentikan. Caranya yaitu dengan membangun kembali image Islam yang cinta damai, yang profesional dalam menanggapi segala perbedaan. Image itu akan tumbuh tergantung bagaimana kita menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kita. Wallâhu’alam.[]

Download Buletin klik di sini