MENIKAH
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(QS al-Nûr [24]: 32)
Suatu malam di ruang tengah rusunawa. Beberapa mahasiswa senior—yang bertugas memandu mahasiswa baru—sedang berkumpul. Salah seorang mereka sudah lebih dahulu membangun mahligai rumah tangga. Saya tertarik untuk bertanya lebih jauh. Apa alasan teman saya tersebut memilih menyegerakan pernikahan. Sederhana saja jawabnya. “Kita tidak tahu umur kita sampai kapan. Bagaimana bila maut menjemput sementara kita belum menyempurnakan separuh agama?” tuturnya.
Dialog singkat tersebut disadari atau tidak menjadi inspirasi bagi saya. Sebelumnya, saya telah banyak membaca tulisan tentang pernikahan. Selain itu, dalam banyak kesempatan saya sering menyambung-kaitkan diskusi dan obrolan dengan pernikahan. Hal itulah yang membuat seorang adik tingkat menjuluki saya “lelaki janur kuning”. Pada akhirnya, saat itu saya tetaplah laki-laki lajang yang paham pernikahan sebatas teori. Masalah praktik tentu kalah telak dengan mereka yang sudah menikah.
Di kesempatan lain, saya sharing dengan seorang sahabat yang juga sudah menikah. Dia menikah di semester akhir, sebelum lulus kuliah. Isterinya juga masih kuliah. Pilihannya untuk menikah meskipun masih kuliah ternyata banyak membawa berkah. Allah, katanya, banyak memberikan kemudahan. Akhirnya, dia mendorong saya untuk mengikuti jejaknya: menikah. Intinya, kalau tekad sudah bulat maka jalan kebaikan akan terbuka lapang. Dari situ, saya memutuskan untuk menikah segera.
Saya paham betul konsekuensi dari pilihan saya. Ayah menghendaki saya menikah bila sudah selesai S2. Suatu ketika—bahkan—ayah saya bilang yang kurang lebih begini: “Kalau mau lanjut sampai S3, bapak sanggup membiayai asal kamu tidak nikah dulu…” Hal itulah yang menjadi tantangan saya ketika memutuskan untuk menikah segera. Bagi saya, tidak ada yang sukar kalau komunikasi saya jalankan dengan strategi yang benar. Solusinya, saya menikah tetapi berjanji melanjutkan studi.
Benar bahwa menikah bukan urusan yang sederhana. Apalagi dihadapkan dengan persepsi orang tua bahwa menikah harus bermula dari kemapanan hidup. Anak baru boleh menikah bila sudah jelas kerjanya, sudah pasti penghasilannya, sudah punya ini dan itu, dan seterusnya. Hal tersebut tentu tidak salah. Masalahnya, dalam suasana yang demikian orang tua justru membolehkan anaknya menjalin hubungan dengan lawan jenis. “Kalau pacaran dulu boleh tetapi kalau nikah nanti…”
Menurut saya ini adalah logika yang tidak tepat selain bertentangan dengan syariat. Seorang anak sebaiknya sejak dini dididik mental dan karakternya. Ketika anak meminta izin untuk menikah maka orang tua tidak perlu khawatir. Orang tua percaya bahwa pilihan itu sudah berdasarkan pertimbangan anaknya. Sang anak mungkin masih belum punya banyak bekal. Tetapi orang tua yakin anaknya akan berusaha keras mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Orang tua semestinya mendukung anaknya untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab. Sebaliknya, orang tua harus berusaha membatasi buah hatinya untuk menjalin “hubungan” dengan lawan jenis sebelum menikah. Pasalnya, pergaulan muda-mudi saat ini sudah teramat memprihatinkan. Dimana komunikasi antar sesama sangat mudah dilakukan. Sementara orang tua tidak selamanya mampu mendampingi anaknya. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan “kepastian” kepada anaknya.
Pilihan anak untuk menikah kalau begitu tidak lepas dari bagaimana sikap orang tua. Anak juga tidak boleh berputus asa ketika orang tua—awalnya—tidak membolehkan. Boleh jadi orang tua sedang menguji seberapa kuat keinginan anak. Menikah hanya sebagai percobaan, pelarian, atau benar-benar untuk membangun kehidupan yang lebih jelas dan menenangkan. Jadi, untuk menjembataninya komunikasi yang intensif menjadi penting. Selain terus berdoa supaya Allah memberikan kelancaran.
Pengalaman saya, orang tua memang berat untuk memberikan izin menikah. Namun saya terus berkomunikasi/mendekati orang tua dengan cara dan strategi khusus. Setelah melalui proses nan panjang, orang tua mengizinkan saya menikah. Bahkan saya sempat terharu ketika ditelfon oleh ayah. Sikap ayah yang awalnya keras sekeras batu (melarang saya menikah) berubah menjadi lembut selembut sutra. “Kalau memang kamu mantap nikah, pulang nanti beli perhiasan sama ibumu untuk lamaran,” tuturnya.
Saya yakin banyak teman-teman yang ingin menyegerakan pernikahannya. Secara umur mungkin masih cukup muda. Kuliahnya juga masih di semester akhir. Kalau tidak, baru saja lulus namun belum jelas lapangan kerjanya. Problem lainnya, orang tua masih belum memberikan lampu hijau. Lebih penting lagi, belum tahu mau menikah dengan siapa. Itu semua adalah lika-liku untuk menuju kemuliaan hidup. Hal tersebut harus dimaknai sebagai dinamika yang nantinya menjadi kenangan manis.
Perlu saya tegaskan pula bahwa menikah bukan semata urusan pemenuhan kebutuhan biologis. Meskipun banyak yang berujar: “Menikah itu enaknya hanya 5 persen. Selelebihnya, yang 95 persen, enak banget…” Ingat, ada tujuan lain yang lebih penting. Disamping menikah adalah bentuk ketaatan kepada syariat, khususnya sunnah Rasulullah `. Dengan menikah, kesempatan untuk meraih kemuliaan menjadi semakin besar. Pintu dosa semakin tertutup rapat, pintu kebaikan terbuka lebar.
Saya sering membuat perumpamaan. Kalau memegang wanita bukan mahram (bukan isteri) itu jelas berdosa. Tetapi kalau yang dipegang dengan mesra adalah isteri justru menjadikan Allah ridha. Memandang wanita lain lebih dari batas wajar jelas tidak boleh. Sementara memandang isteri dengan kasih sayang menjadikan Allah menyayangi kita. Artinya, wujud aktivitas yang bernilai baik dan tidak itu sama. Pembeda yang menjadikannya berpahala atau berdosa adalah status; dia isteri kita atau bukan.
Kaya?
Saya senang sekali dengan kata-kata berikut. “Jangan menunggu bahagia hingga engkau tersenyum. Tetapi tersenyumlah untuk menjemput kebahagiaan. Tak perlu menunggu kaya hingga engkau bersedekah. Tetapi bersedekahlah supaya engkau kaya. Jangan menunggu kaya hingga engkau menikah. Tetapi menikahlah supaya engkau kaya.” Kalau begitu, bahagia dan kaya itu adalah proses aktif bukan menunggu, berpangku tangan, alias pasif.
Sesuai dengan firman Allah di atas, bahwa yang miskin akan dikayakan oleh-Nya. Karunia Allah sungguh teramat luas yang artinya sangat mudah bagi-Nya untuk memberikan kecukupan. Pilihan menikah kalau begitu harus disertai keyakinan akan ke-MahaBesaran-Nya. Tidak perlu khawatir akan kekurangan dengan menikah. Sebab, sekali lagi Allah sudah menjanjikan bagi mereka yang memilih jalan yang benar. Tentu kecukupan itu tidak datang begitu saja, perlu diusahakan dengan gigih.
Pertanyaannya selanjutnya; apakah kaya selalu berwujud materi? Benar bahwa kaya selama ini sering dimaknai sebagai kecukupan harta (materi). Sementara kaya yang sejati justru kekayaan hati (ghina an-nafs). Meskipun untuk mendapatkan kekayaan hati itu boleh jadi karena adanya dukungan materi (ghina al-māl). Sebaliknya, tanpa materi boleh jadi ketenangan atau kekayaan jiwa akan didapat. Mereka yang menikah harus paham betul dengan konsepsi kekayaan yang sejati tersebut.
Ketika menikah sudah pasti kaya karena telah memiliki pasangan hidup yang sah, legal, resmi, dan menjadi sarana untuk meraih barakah. Bersama isteri tercinta, kemanapun pergi hati terasa tenang, batin terasa aman, tidak ada yang perlu dicemaskan. Mengeluarkan uang—meskipun jumlahnya banyak—untuk kebutuhan isteri adalah sedekah dan kebaikan. Ketika raga begitu lelah beraktivitas ada isteri yang setia menanti di rumah. Itulah kekayaan hati.
Kekayaan lain adalah bahwa dengan menikah kita memiliki kekuatan yang lebih. Karena suami dan isteri ibarat dua sayap dari seekor burung. Sayap yang terpisah, kemana dia mampu mengudara? Tentu tidak mampu kemana-mana. Sementara dua sayap yang bersatu mampu mengudara ke angkasa. Artinya, suami dan isteri harus mampu bersinergi, berjuang seiring-sejalan, saling menguatkan dan meyakinkan. Begitu nasihat salah seorang guru saya.
Menikah tentu saja terkait pilihan masing-masing insan. Namun yang jelas dengan menikah, meminjam bahasa Salim A. Fillah, kita mendapatkan “Lapis-lapis Keberkahan”. Tergantung kapan kita mau mendapatkan keberkahan yang berlapis tersebut. Kalau keinginan sudah mengebu, persiapan sudah mulai ditata, ada kekhawatiran berbuat zina maka wajib hukumnya menikah. Namun kalau masih mampu menahan dan mashlahat tidak menikah lebih besar, menunda tidak menjadi persoalan.
Akhīran, menikah adalah fitrah manusia. Dengan menikah, kita mendapatkan keturunan. Keturunan tersebut yang akan memperpanjang kebaikan kita di dunia. Sebab, umur kita terbatas; cepat atau lambat kita akan menghadap. Dengan menikah, kita berupaya melahirkan generasi terbaik yang kelak menjadi tabungan kita. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk menemukan sayap yang masih terpisah. Bagi yang sudah menemukan, semoga langgeng dan barakah. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam
Mutiara Hikmah
DOA KEPADA PENGANTINبَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْكَمُاَ فِيْ خَيْرٍ.
“Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.” (HR Penyusun-penyusun kitab Sunan, kecuali al-Nasai dan lihat Shahih al- Tirmidzi 1/316).
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!