MENGAMALKAN KEBIASAAN MASYARAKAT DALAM KACAMATA ISLAM

Oleh:  Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Pembaca yang budiman, setiap manusia tentunya hidup dalam lingkungan yang memiliki kebiasaan berbeda-beda. Sebagai agama yang sempurna, syariat Islam telah mengatur hal tersebut. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah (non-ibadah). Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum asal semua perkara selain ibadah. Mengapa hal ini penting? Karena hal tersebut memiliki konsekuensi hukum halal dan haram. Sebuah hadits menyebutkan, “Kemudian Allah Ta’ala  mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya, serta menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan maka hukumnya dimaafkan.” (H.R. Abu Daud).

Sehingga hukum asal semua perkara selain ibadah (seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan muamalat) adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya dalam masalah pakaian, hukum asalnya mubah, seperti bolehnya memakai baju kemeja karena tidak ada larangannya di dalam syariat. Tetapi menjadi terlarang jika laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra karena ada dalil yang melarangnya, Nabi bersabda, “Sutra ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku dan halal bagi kaum wanitanya” (H.R. Ahmad).

Setiap pakaian yang terbuat dari sutra, baik baju, celana, kaos kaki, topi, dan lain sebagainya, hukumnya haram bagi laki-laki. Namun, Nabi mengizinkan memakai sutra bagi laki-laki yang sedang menderita sakit gatal-gatal, kudis, dan sebagainya. Dibolehkan juga memakai sutra bagi laki-laki yang berperang ketika sedang menghadapi musuh.[1]

 

Hukum Asal Ibadah adalah Haram

Hal ini berbeda dengan hukum asal ibadah. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya. Suatu perkataan atau perbuatan tidak bisa disebut sebagai ibadah sampai mendapatkan label ibadah dari Allah dan rasul-Nya. Hal ini sebagaimana di dalam firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad) ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’” (Q.S. Yunus [10]: 59).

Ibadah adalah jalan menuju Allah. Manusia tidak mungkin sampai ke tujuan kecuali dengan menempuh jalan yang telah Allah tetapkan. Tanpa keterangan dari Allah dan rasul-Nya, itu bukanlah ibadah yang disyariatkan.[2] Ibadah yang dilakukan tanpa niat hanya akan mendatangkan kelelahan. Niat tanpa keikhlasan tak lebih dari perbuatan riya’. Sedangkan ikhlas tanpa mengikuti petunjuk Nabi juga akan percuma.[3] Maka, seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dituntut untuk meluruskan niatnya, menumbuhkan rasa ikhlas, dan beribadah mengikuti petunjuk Nabi.

Jadi, kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Jika kebiasaan yang berlaku di masyarakat bertentangan dengan syariat, maka wajib meninggalkan kebiasaan tersebut. Contoh kebiasaan yang bertentangan dengan syariat adalah menyembelih hewan kepada selain Allah. Misalnya menyembelih hewan untuk sesajen. Ini termasuk kesyirikan.

Syirik adalah mempersembahkan sebagian ibadah kepada selain Allahﷻ, dengan menjadikan sebagian diantaranya untuk Allah, dan sebagian lainnya untuk selain Allah, seperti jin, manusia, malaikat, patung, pohon, bintang, batu, atau makhluk-makhluk lainnya, termasuk juga menyembelih hewan untuk mereka. Siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia telah menyekutukan Allah, menyembah selain Allah, dan membatalkan keislamannya.[4]

Janganlah kita mempertahankan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat ini walaupun kebiasaan tersebut sudah dilakukan dari dulu bahkan sudah dilakukan dari generasi-generasi sebelumnya”. Allah telah memberitahukan di dalam firman-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 170).

Ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang yang bandel dan mempertahankan keyakinan bathil mereka dengan dalih mempertahankan apa yang selama ini mereka terima dari nenek moyang mereka.[5] Kita hidup di dunia ini wajib mematuhi aturan yang Allah atur di dalam syariat-Nya. Sebagaimana hadis dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nashir a dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum. Maka janganlah kalian melampauinya. Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya…” (H.R. Daruquthni).

Maksud hadits ini adalah bahwa Allahﷻ mewajibkan berbagai macam kewajiban berupa ketaatan dan ibadah seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua dan sebagainya dari berbagai kewajiban.[6] Hendaknya sikap seorang muslim mencukupkan diri dengan perkara yang halal dan meninggalkan perkara yang haram. Jangan pula mendekati perantara-perantara yang mengantarkan kepada hal yang Allah haramkan. Perhatikanlah batasan-batasan Allahﷻ dengan tidak melampaui dan juga tidak melanggarnya.[7]

 

Faidah Ilmu

Dari penjelasan di atas, ada beberapa faidah ilmu yang dapat kita ambil:

  1. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah.
  2. Hukum asal semua perkara selain ibadah adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
  3. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya
  4. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

Pembaca yang budiman, hal seperti ini penting untuk diketahui agar kita tidak terombang-ambing dalam mengamalkan agama dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita mengetahui batasan-batasan halal dan haram dalam berinteraksi dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan juga tidak terjerumus dalam melakukan hal yang dianggap ibadah padahal bukan termasuk ibadah yang mengakibatkan amal yang kita lakukan menjadi sia-sia bahkan menjadi dosa karena membuat sesuatu yang baru dalam agama.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam mempelajari ilmu syar’i sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allahﷻ tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu Abbas RA berkata:

 

فَكُلُّ خُلَّةٍ هِيَ عَدَاوَةٌ إِلَّا خُلَّةُ الْمُتَّقِيْنَ

Maka setiap persahabatan akan menjadi permusuhan kecuali persahabatan orang-orang yang bertaqwa

(Tafsir Ath-Thabari 21/638)

 

[1] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

[2] Muhammad Abu Rivai. Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Bandung: Ellunar. 2017 M. Cet.k-1. hal. 74.

[3] Salim bin ‘Ied al-Hilali. Mubthilatul A’mal fi Dhau’il Qur’an al-Karim was Sunnah ash-Shahihah al-Muthahharah. Alih bahasa Badrusalam. Penyebab Rusaknya Amal Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2015 M. hal. 3.

[4] Abdul Aziz bin Baz. Subulus Salam – Syarh Nawaqidhil Islam. Alih bahasa Umar Mujtahid. Syarah Nawaqidhul Islam – Penjelasan Pembatal-pembatal Keislaman. Bekasi: Pustaka Dhiya’ul Ilmi. 2019 M. Cet.k-1. hal. 20.

[5] Supriyanto Pasir. Tafsir Is’af  al-Qashirin Surat al-Fatihah dan al-Baqarah. Sleman: Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI UII). 2019 M. Cet.k-1. hal. 288.

[6] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 471.

[7] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

 

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *