REFLEKSI AKHIR TAHUN

REFLEKSI AKHIR TAHUN

Oleh Suci Putriani Azhari*

 

Makna Refleksi

Makna refleksi sama halnya dengan muhasabah. Menurut bahasa muhasabah berasal dari kata حَاسَبَ – يُحَاسِبُ – مُحَاسَبَةً yang artinya menghitung. Sedangkan muhasabah yang di maksud disini adalah intropeksi atau evaluasi diri atas setiap perbuatan yang telah dilakukan yakni merenungkan kembali kekurangan-kekurangan agar dapat diperbaiki untuk kedepannya.

Perintah refleksi telah termaktub dalam surah al-Hasyr [59] ayat 18, Allah l berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” [Q.S al-Hasyr [59]: 18)

Ayat diatas menerangkan adanya perintah untuk bertakwa kepada Allah sebanyak dua kali. Perintah pertama Allah mengajak orang-orang beriman melaksanakan perintah Allah sesuai dengan kemampuan masing-masing dan meninggalkan larangan-Nya dengan maksimal. Adapun perintah yang kedua, yakni perintah untuk bermuhasabah, merefleksi, mengintropeksi, dan memperbaiki diri dari perbuatan yang telah dilakukan.[1]

Di penghujung tahun ini hendaknya kita melakukan refleksi atau mawas diri atas perbuatan yang telah dilakukan. Apabila dalam tahun ini kita melakukan hal yang baik maka pertahankan, namun apabila masih terdapat kekurangan maka hendaknya kita memperbaiki dan jangan terlalu mengikuti hawa nafsu.

Refleksi diri tidak hanya dilakukan di akhir tahun sebagai perbaikan untuk menghadapi tahun selanjutnya, akan tetapi refleksi diri juga penting dilakukan untuk mengahadapi kematian. [2] Ada nasehat sangat menyentuh iman dari sahabat Umar bin Khaththab a, beliau berkata: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sungguh akan lebih meringankan diri kalian di dalam hisab, jika hal ini kalian telah melakukan hisab terhadap diri kalian. Dan hisablah untuk menghadapi hari yang paling besar, “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu) tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)” (Q.S. al-Haqqah [69]: 18)[3]

Kata menagih diri dalam hadits diatas berarti membuat perhitungan pada diri sendiri saat di dunia sebelum diperhitungkan ketika datang hari kiamat.

 

Refleksi Yang Salah

Fenomena sekarang ini, saat pergantian tahun banyak yang melakukan kesalahan dalam merefleksikan akhir tahun dengan berbagai macam cara, diantaranya ada yang karaoke, bergadang semalam suntuk, bakar-bakar, bermain petasan, berkumpulnya laki-laki dan perempuan hingga larut (khalwat, bahkan ada yang melakukan hal keji dan itu dianggap suatu hal yang biasa. Padahal kelak di akhirat kita akan ditanyakan tentang umur, harta, kesempatan, dan waktu yang kita miliki selama di dunia.

Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi n bersabda: “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (H.R. Tirmidzi no. 2417)

 

Momentum Terbaik Refleksi Diri

Adanya pergantian tahun adalah momentum terbaik untuk melakukan refleksi diri. Refleksi ini yakni melakukan evaluasi dan bersikap kritis terhadap diri sendiri untuk mengenali kembali kelebihan dan kekurangan dalam diri, baik hubungan kita dengan Allah maupun hubungan dengan manusia.

Hubungan dengan Allah diantaranya mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbaiki ibadah dan amal shalih serta bertaubat kepada Allah atas segala perbuatan buruk yang telah dilakukan selama ini.

Sedangkan hubungan dengan manusia yakni dengan memperbaiki interaksi dan saling memaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Tujuan dari melakukan refleksi diri adalah sebagai upaya menyucikan jiwa untuk menjadi pribadi yang lebaik baik di kemudian hari.

 

Cara Terbaik Refleksi Akhir Tahun

Adapun cara terbaik melakukan refleksi diri, yakni dengan bertaubat kepada Allah agar diberikan ampunan atas kesalahan yang pernah dilakukan dan berdo’a agar selalu diberikan istiqomah dalam melakukan hal-hal baik. Alangkah baiknya jika ditambah dengan melakukan amalan-amalan sunnah, seperti melakukan ibadah shalat malam atau shalat tahajud, karena di waktu tahajud merupakan salah satu waktu terbaik untuk bertaubat memohon ampunan dan rahmat Allah.

Saat melakukan refleksi diri maka iringilah dengan tangisan, karena dengan tangisan jiwa akan menjadi semakin lembut. Sekiranya tidak dapat menangis, boleh jadi karena hati sedang sakit. Berusahalah untuk menangis karena menyesali dosa dan takut kepada Allah, sesungguhnya tangisan itu dapat menjauhkan seseorang dari api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah dari sahabat Ibnu Abbas c, Nabi n bersabda: “Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (begadang) untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.” (H.R. Tirmidzi)[4]

 

Manfaat Refleksi Diri

Refleksi diri memiliki peran  yang sangat penting dalam pembinaan jati diri, diantara manfaat yang dirasakan saat melakukan refleksi diri adalah:

  1. Mengetahui kekurangan (aib) sendiri.
  2. Memiliki kesempatan untuk memperbaiki interaksi/ muamalah dengan Allah dan manusia.
  3. Mendatangkan kecintaan Manusia.[5]

 

Mutiara Hikmah

Muhammad bin Wasi’ v berkata,

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ

Andaikan dosa itu memiliki bau, tentu tidak ada dari seorang pun yang ingin duduk dekat-dekat denganku.” (Muhasabah An-Nafs, hal. 37. Lihat A’mal Al-Qulub, hlm. 373.)

* Alumnus FIAI UII

[1] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2006, vol 14, hal.129-130

[2] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tarmidzi, Jami’ Tirmidzi, Riyadh: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah, tt., hadits, no. 2459, hal. 402

[3] Tahdzib Madarijis Salikin I:176

[4] Hadits ini shahih ligairihi –yaitu shohih dilihat dari jalan lainnya- , sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at Targib wa at Tarhib no. 1229

[5] Abu Salman al-Jawy, Amalan Satu Jam Memperlancar Rezeki dengan Muhasabah, (Jakarta: al-Maghfirah,2002), hal. 60

FAKTOR PEMBATAL KEISLAMAN

FAKTOR PEMBATAL KEISLAMAN 

Oleh: Nanang Qosim

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam Agama yang Sempurna

            Islam adalah agama yang sangat sempurna dari berbagai sisi, tidak diragukan lagi kesempurnaan Islam sebagai agama yang wajib diyakini oleh seluruh makhluk Allah, baik itu manusia dan jin. Tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban kita sebagai makhluk-Nya  adalah ikhlas dan ittiba’. Allah l telah berfirman “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 3)

Imam Ibnu Katsir v berkata, “Ini merupakan kenikmatan Allah l yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah l telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya. Dan (tidak pula membutuhkan) nabi selain nabi mereka; oleh karena itu, Allah l menjadikannya (Nabi Muhammad n) sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau syari’atkan, dan setiap apa yang beliau beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya.” (Tafsir al-Qur‘ânil Azhîm 3/23)

Karena Islam telah sempurna, dan telah dijelaskan oleh salafush shalih dalam kalam-kalam (kutub) mereka. Tidak diragukan lagi jika ada seseorang melakukan penambahan,  pengurangan bahkan tidak menyakini sebagian syari’at atau seluruhnya maka dia bisa dipastikan telah batal keislamannya. Fenomena ini telah banyak bermunculan di zaman kita ini. Adanya budaya syirik yang dibungkus dengan kearifan budaya lokal, munculnya nabi-nabi baru yang disertai dengan syariat baru, dan tersebarnya pemikiran-pemikiran sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.

Fenomena ini secara sadar ataupun tidak sadar telah menghancurkan bangunan Islam yang kokoh dari diri seseorang. Ada banyak faktor kenapa fenomena ini muncul. Berikut kita kaji bersama faktor-faktor munculnya pembatal keislaman yang pada akhirnya seseorang melakukan perbuatan pembatal-pembatal keislaman, baik secara sadar ataupun tanpa sadar. Semoga Allah membimbing kita diatas hidayah taufiq-Nya.

    1. Iman yang Lemah (dha’îful îmân)

Iman dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan di dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Asy-Syâfi’î v berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena (melakukan) kemaksiatan”. Kemudian ia (Asy-Syâfi’î) membaca ayat ini, “Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya’ (Q.S. al-Mudatstsir [74]: 31)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ’, 9/114-115; Dârul-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1409).

Ibnul Qayyim v dalam ungkapannya menyampaikan, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat–tingkat (Ighâtsatu al-Lahafân 2/142).

    1. Tidak adanya majelis ilmu.

Majelis ilmu menjadi sebab terbesar bertambahnya keimanan, begitu pula perbuatan maksiat dan dosa karena sebab kebodohan. Kebodohan muncul karena sebab tidak adanya majelis ilmu dan penyeru (da’i) yang menyeru kepada jalan yang haq. Perbuatan jahil menjadi faktor penyebab perbuatan maksiat dan dosa menjadi hal yang lumrah karena hilangnya majelis ilmu dan penyeru (da’i) yang shalih. Disinilah pentingnya majelis ilmu karena akan mengantarkan pelakunya pada keimanan yang  kokoh. Salah satu hilangnya majelis ilmu adalah dicabutnya ilmu dengan diwafatkannya para ulama.

Syaikh Ali Hasan berkata, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu, syetan masuk kepada orang- orang yang cetek ilmunya, ia menghiasi ‘kebatilan’ dengan hal yang indah-indah, sehingga mereka terjerumus dalam perangkapnya, maka ilmu yang bermanfaat merupakan kunci bagi segala kebaikan dan penolak segala kejahatan.” (Mawarid al-Amân, hlm.412,  footnote no.1)

    1. Menjalarnya penyakit syubhat dan syahwat (ikhtaraqa al-maradh asy-syubhat wa syahwat)

Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya selain penyakit syubhat dan syahwat. Jika penyakit ini sudah menjalar dan mengakar, maka tidak bisa diobati kecuali hidayah Allah datang menyapa. Allah l berfirman, “Didalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 10).

Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullâhu ta’âlâ menjelaskan yang dimaksud penyakit dalam ayat ini adalah penyakit syubhat dan syahwat.  Syubhat artinya keraguan, samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat ini misalnya kufur, kemunafikan, kekafiran, kebid’ahan dan kesesatan lainnya. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusak ilmu dan keyakinannya.

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Penyakit syahwat adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Penyakit syahwat ini misalnya zina, mencuri, minum khamr, ghibah, namimah, riya, rakus terhadap harta, mengharapkan kekuasaan atau jabatan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Penyakit syahwat akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini. (Durus min al-Qur’ân al-Karîm oleh Dr. Shalih bin Fauzan, hlm. 86-87, cet. Dâr al-Âshimah –dengan sedikit tambahan)

    1. Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratubissu’).

Nafsu kita ketengahkan menjadi salah satu faktor penyebab seseorang melakukan pembatal keislaman karena nafsu itu menyeru kepada perbuatan maksiat, dosa, sikap durhaka dan mendahulukan dunia. Sedangkan Allah l menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsunya. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman, “Adapun orang yang durhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka surgalah tempat tinggalnya.” (Q.S. an-Nazi’ât [79]: 37-41)

Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan. Dalam khutbah hajah Rasulullah n mengajarkan kepada para sahabat untuk berlindung dari kejahatan nafsu, “Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita.”

    1. Adanya dukungan kearifan budaya lokal

Islam tidak melarang adat dan budaya setempat, selama adat istiadat dan budaya itu tidak menyalahi syariat. Namun kaum muslimin kadang tidak bisa membedakan antara sunnah dan bid’ah, tauhid dan syirik, haq dan bathil. Ketidaktahuan inilah yang menjadi penyebab seseorang melestarikan budaya lokal yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam. Adat istiadat dan budaya yang mengandung kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan kebanyakan masyarakat sampai saat sekarang ini tidak saja dilakukan secara tertutup dan tersembunyi oleh orang perorang, tetapi malah dilakukan secara demonstratif dan terbuka dengan cara berjama’ah serta dijadikan agenda khusus oleh pemerintah daerah setempat  dengan dalih kearifan budaya lokal dan untuk menarik kunjungan wisata. Sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya. Ya Allah ampuilah dosa kami, dan tetapkanlah kami diatas hidayah-Mu. []

Mutiara Hikmah

Dari ‘Ali a, ia berkata, “Rasulullah n bersabda kepadaku:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي ، وَسَدِّدْنِي

 “Ya Allah, berilah aku hidayah dan berilah aku kebenaran”

Dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الهُدَى وَالسَّدَادَ

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu hidayah dan kebenaran”

(HR. Muslim, no. 2725)

PANDUAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

PANDUAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

Oleh: Khalida Maryam*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Indahnya kehidupan ini dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai panduan dalam bertoleransi antar umat beragama juga berperilaku sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang sudah tertulis dalam al-Qur’an surat al-Hujurât ayat 13, Allah l  berfirman:  “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (Q.S. al-Hujurât []: 13)

Di dalam ayat tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa dalam kehidupan bersosial ini pasti akan selalu ada perbedaan baik dari segi suku, bangsa, agama, kebudayaan dan masih banyak lagi. Meskipun begitu, tetapi dihadapan Allah kita semua derajatnya sama, sama-sama manusia yang terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana ketakwaan kita disisi Allah l selama hidup di muka bumi ini dan bagaimana perlakuan kita terhadap saudara-saudara kita terutama kepada masyarakat yang hidup bertetangga dengan kita.

 

Makna Tasamuh

Dalam Islam, toleransi sering juga disebut dengan tasamuh. Tasamuh merupakan lapang dada, yaitu sikap tidak terburu-buru menerima atau menolak saran atau pendapat orang lain, sekalipun hal tersebut menyangkut pada masalah agama. Dipikirkannya dalam-dalam, dipertimbangkannya masak-masak baru menentukan sikap, menerima atau menolak dengan bijaksana.

Dari pengertian diatas bisa dikatakan bahwa pada dasarnya toleransi bukan hanya sebatas menghormati dan menghargai sesama saja, tetapi lebih dari itu adalah sebagai bentuk kelapangan hati untuk menerima perbedaan yang perlu usaha keras untuk disatukan ataupun menerima hal-hal yang tidak berkenan atau bahkan berlawanan arah dengan yang kita inginkan. Namun yang kita ketahui selama ini, toleransi merupakan bentuk kehormatan kita terhadap saudara-saudara kita yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Sehingga apapun yang mereka lakukan terkadang bertentangan dengan apa yang selama ini kita lakukan. Meskipun terkadang bertentangan, namun kita tidak boleh mencaci atau menyalahkan perbedaan tersebut dan yang perlu kita lakukan adalah menghargai perbedaan yang tercipta sehingga kita bisa mencapai kerukunan bersama.

 

Toleransi Pada Masa Nabi  ﷺ 

Kita ketahui toleranasi pada zaman kenabian tidaklah mudah karena selama Nabi Muhammad n berdakwah untuk menyebarkan agama Islam maka dakwah tersebut selalu di ganggu oleh kaum kafir Quraisy pada masa itu. Berbagai cara dilakukan oleh kaum kafir Quraisy agar dapat menghentikan dakwah Nabi Muhammad ﷺ bahkan hingga rencana pembunuhan Nabi Muhammad ﷺ .

Hingga pada akhirnya terjadilah semacam negosiasi antara umat muslim dan kaum kafir tentang pertukaran dalam beribadah dan menyembah Tuhan. Pada saat itu kaum kafir akan bersedia untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad ﷺ dengan syarat umat muslim juga harus menyembah berhala sebagai ajaran mereka meski dalam waktu sepekan. Karena tawaran ini menyelisihi wahyu dari Allah l, maka Allah l menurunkan surat al-Kâfirûn ayat 1-6 sebagai bentuk jawaban dari negosiasi yang terjadi pada saat itu. Dari surat al- Kâfirûn itulah terdapat sebuah ayat yang berbunyi ‘lakum dînukum waliya dîn’ “yang berarti untukku agamaku, untukmu agamamu.”

Kita tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa Rasulullah n bergaul dengan orang-orang non muslim sebagaimana pergaulan seseorang dengan keluarganya. Dari Anas a meriwayatkan sebuah sikap Rasulullah yang sangat menakjublan, ia berkata, “Ada seorang anak Yahudi menjadi pelayan Nabi Muhammadﷺ , kemudian anak itu jatuh sakit, lalu Nabi Muhammad n mendatangi rumahnya untuk menjenguknya, kemudian beliau duduk di sisi kepalanya, seraya bersabda kepadanya, “Masuklah Islam”. Lalu anak itu melihat kepada ayahnya yang pada saat itu ada di sisinya, kemudian sang ayah berkata, “Taatilah Abdul Qasim, kemudian anak itu masuk Islam, lalu keluarlah Rasulullah ﷺ dari rumah anak tersebut seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkannya dari api neraka.”

Dari kisah diatas bahwa Rasulullah n memperkerjakan anak Yahudi untuk menjadi pelayan Rasulullah ﷺ . Hal itu tidak menghalangi beliau untuk hidup bersama-sama dengan para pemeluk agama lain di dalam kota Madinah al-Munawwarah dengan kehidupan yang biasa. Kemudian anak Yahudi itu jauh sakit, lalu Rasulullah n mendatangi rumah anak Yahudi tersebut untuk menjenguknya.

Kita sama-sama mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pada saat itu menjadi penguasa tertinggi di Madinah al-Munawwarah, sedangkan anak Yahudi itu tidak merasa sungkan untuk menjadi pelayan beliau, padahal anak Yahudi tersebut beragama selain Islam. Di zaman millenial ini sangat sulit sekali ditemukan seorang pemimpin negara atau presiden yang menjenguk pelayannya ketika sedang sakit apalagi pelayan tersebut tidak seagama dengan pemimpin negaranya. Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa ternyata begitu indah sikap toleransi yang terjalin antara Rasulullah n dengan pelayannya tersebut yang berasal dari kalangan Yahudi. Sehingga apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan pelayannya merupakan bentuk toleransi antar umat beragama dan menggambarkan bahwa Nabi Muhammad n itu adalah toleran. Dari kisah tersebut menggambarkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memiliki kasih sayang yang amat tinggi pada sesama manusia.

Allah l berfirman:  “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah []: 8) Dalam ayat tersebut, ungkapan “an-tabaruhum” sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, mempunyai pengertian berbuat baik terhadap mereka.

Dari ayat tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa perbuatan baik memiliki satu tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan berperilaku adil dengan alasan bahwa Allah l menyandarkan kata berbuat adil kepada kata berbuat baik, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 tersebut “an tabaruhum wa tuqsitu ilahim” yang artinya adalah berbuat baik dan berlaku adil.

Selama ini kita seringkali membaca sejarah Nabi Muhammad n namun seringkali lupa atau bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk sekedar memaknai kisah-kisah inspiratif tersebut untuk diambil pelajarannya dan diaplikasikan  pada masa ini. Kita perlu memperhatikan bagaimana al-Qur’an dan as-Sunnah memberi peringatan dan pelajaran tentang segala bentuk peristiwa dan persoalan yang terjadi di muka bumi ini termasuk dalam hal toleransi kepada sesama umat beragama. Wa Allâhu a’lam.[]

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah a, ia berkata, ”Rasulullah n pernah mencium Hasan, putra Ali di mana saat itu ada Aqra’ ibnu Hâbis At Tamimi sedang duduk di samping beliau. Dia lalu berkata, “Saya punya sepuluh orang anak dan tidak pernah satupun dari mereka yang saya cium.” Rasulullah ﷺ  memandang dan bersabda:

مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ

Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (H.R. Muslim no. 2318)

* Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional FPSB UII

MENELADANI FATIMAH PUTRI RASULULLAH

MENELADANI FATIMAH PUTRI RASULULLAH

Oleh: Iin Fadila Ramadhani*

 

Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang yang menganut agama Islam, kita memerlukan sebuah petunjuk agar jalan yang kita tempuh membawa kita kepada surga-Nya. Karena memang kehidupan akhirat adalah tujuan akhir dari penciptaan manusia dan merupakan kehidupan yang kekal serta abadi, oleh karena itulah Allah l mengutus para-Nabi dan Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupan.

Siapa yang tidak mengenal Fatimah? Putri bungsu Rasulullah ﷺ yang dilahirkan melalui ibundanya Khadijah binti Khuwailid yang berasal dari keluarga bangsawan dan memiliki kedudukan serta kemuliaan di kalangan Quraisy.[1] Dalam meneladani Fatimah, alangkah lebih baiknya kita terlebih dahulu mengetahui sejarah lahirnya Fatimah hingga bagaimana ia menjalani kehidupan, sehingga kita sebagai umat islam dapat meneladani setiap proses kehidupan yang dijalaninya.

 

Kelahiran Sayyidah Fatimah

Pada saat Fatimah dilahirkan, Ibundanya yakni Khadijah mengutus seseorang ke tempat Wanita Quraisy dan Bani Hasyim agar mereka dating dan menolongnya namun Wanita-wanita Quraisy tersebut menolak dan membuat Khadijah menjadi sedih. Atas dasar itu turunlah ke tempat Khadijah wanita-wanita dan para malaikat dari langit yang membuat Khadijah merasa takut. Lalu salah seornag diantaranya berkata “Jangan sedih, Wahai Khadijah. Kami diutus Tuhanmu kepadamu, dan kami adalah saudara-saudaramu.” Khadijah pun melahirkan Fatimah dalam keadaan suci, dan bersinarlah cahaya darinya. Dikatakan bahwa tidak ada tempat pun di bumi disebelah timur maupun barat melainkan bersinar dengan cahaya itu.[2]

Fatimah lahir lima tahun sebelum Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu atau lebih tepatnya pada hari jum’at 20 Jumadil Akhir tahun kelima sebelum bit’tsah. Dinamakan Fatimah karena karena dalam keadaan suci dan bersih. Pemberian nama “Fatimah” ini juga dikarenakan Allah l telah berjanji akan menghindarkan Fatimah (Fathomaha) dan para pencintanya dari siksa neraka pada hari kiamat.[3] Sedangkan Az-Zahra berasal dari kata “Zahara”, “Yazharu”, “Zuhran” yang memiliki arti bercahaya, bergemilang dan mekar semerbak. Kata “Zahrah” juga berarti bunga. Fatimah mendapatkan nama “Zahra” dikarenakan kulitnya yang putih nan bersih, seolah-olah bercahaya cemerlang.[4]

Selain itu, Fatimah memperoleh banyak julukan karena perangai dan akhlakhnya yang mulai. Julukannya yang utama adalah Az-Zahra (yang Cemerlang), Kaniz (terpelihara), At-Thahirah (Perempuan Suci), Ummul Aimmah (Ibu para Imam), Sayyidah (Pemuka yang mulia, penghulu), Nisa’ Al-Alamin (Perempuan paling utama sejagat) dan banyak lagi julukan lainnya, sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhlak (2020) yang ditulis Sihabul Milahudin.[5]

Wujud lahiriah Fatimah ini merupakan cerminan dari wujud fisik Rasulullah ﷺ. Keterangan ini diperkuat lagi oleh Aisyah Ummul Mukminin j yang mengatakan bahwasanya “Aku belum pernah melihat seorang hamba Allah, yang baik sifat maupun ucapannya sehingga menyerupai Rasulullah ﷺ kecuali Fatimah”.

Fatimah tumbuh dan dibesarkan dalam suasana dan lingkungan kenabian. Sebagai Putri manusia termulia di muka bumi ini, ia tentunya menyadari kedudukannya di umat islam yakni memiliki tugas dimasa depan sebagai seorang ibu yang akan melestarikan keturunan Rasulullah ﷺ.

 

Keteladanan Fatimah

Dalam meneladani Fatimah dapat kita lakukan dengan dua cara yakni, meneladani secara langsung dan tidak langsung. Meneladani secara langsung dapat difahami dengan kita melakukan apa yang dilakukan oleh Fatimah. Sedangkan meneladani secara tidak langsung artinya hakikat dari perkataan serta perbuatan Fatimah harus dianalisa terlebih dahulu, hingga nanti akan mendapatkan sebuah kesimpulan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan.[6]

Kehidupan yang dijalani Fatimah tidak jauh dari apa yang diajarkan oleh ayahandanya, Nabi Muhammad ﷺ baik dibidang keagamaan maupun di bidang kehidupan sehari-hari yang tentunya berdasarkan akhlak dan budi pekerti luhur yang baik. Hal itulah yang menjadikan Fatimah sebagai Wanita peramah yang berhati lembut, sabar, tenang, anggun, berpandangan jauh, teliti, cermat dan selalu menjaga kesucian diri. Sungguh sifat yang patut diteladani oleh umat islam lebih khusus lagi oleh Muslimah.

Kecintaan Rasulullah ﷺ kepada putri bungsunya itu terlihat dari sebuah peristiwa dimana Fatimah tidak merasakan kasih sayang ibundanya, Khadijah dikarenakan beliau lebih dulu wafat yang juga disusul oleh paman ayahandanya yakni Abu Thalib. Sehingga sebagai pengganti kasih sayang ibundanya tersebut, Rasulullah ﷺ semakin mencurahkan perhatiannya kepada putri bungsunya itu. Rasululllah ﷺ menegaskan bahwasanya “Fatimah adalah bagian dari aku. Barangsiapa yang membencinya berarti membenci aku”[7]

Fatimah tidak pernah menggunakan lisannya kecuali untuk mengatakan sesuatu yang benar. Sehingga setiap ucapannya selalu dikatakannya dengan jujur, dan tidak pernah menyebutkan keburukan seseorang, ataupun menyebutkan orang lain dengan kata-kata yang buruk.[8] Begitu mulianya perilaku serta perbuatan yang dilakukan oleh Fatimah yang tentunya atas pengajaran Rasulullah ﷺ. Bahkan pada saat Fatimah telah menikah dengan suaminya, Rasulullah ﷺ tetap memberikan bimbingan serta pengarahan kepada putri dan menantunya tersebut.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwasanya Maryam adalah teladan bagi para Wanita di zamannya, sedangkan Fatimah adalah teladan wanita bagi seluruh alam dari awal hingga akhir nanti.[9] Sehingga jelas bahwasanya kita sebagai muslimah patut untuk meneladani setiap gerak kehidupan Fatimah. Kedudukan beliau yang tinggi harusnya menjadikan kita lebih bersemangat dalam meneladaninya. Karena dengan mengikuti Fatimah yang merupakan wanita ahli surga, maka jalan yang kita telusuri akan mengantarkan kita kepada surga-Nya.

Dalam menjalani kehidupan, kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari apa yang telah dialami oleh Fatimah yang tentunya mengandung suri tauladan yang bermanfaat bagi kehidupan kita saat ini. Seperti kehidupan pernikahan yang dijalani Fatimah, hal tersebut menggambarkan kesanggupan dan kesabaran yang amat besar dalam menanggung penderitaan hidup, karena seluruh hidupnya penuh dengan kerja keras dan perjuangan. Tentunya hal ini tidak sebanding dengan kenikmatan yang akan diperoleh di akhirat kelak.

Kezuhudan dan ketekunan beribadah yang dilakukan oleh Fatimah juga dapat menjadi pelajaran berharga yang patut kita contoh. Fatimah hidup sebagai seorang wanita yang penuh bakti dan senantiasa bersujud kepada Allah. Kesibukannya setiap hari yang penuh dengan perjuangan tidak mengurangi kezuhudan dan ketekunan Fatimah dalam beribadah. Fatimah sangat memahami dan menghayati nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya. Ia juga mengetahui dengan baik bagaimana seharusnya menghadapi kehidupan. Oleh karena itulah seluruh kehidupannya merupakan petunjuk bagi seluruh wanita. Wa Allâhu a’alam.[]

 

Mutiara Hikmah

Nabi ﷺ bersabda,

أَفْضَلُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ: خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَمَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Wanita-wanita terbaik di surga yaitu; Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam bintu Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Firaun.” (H.R. Ibnu Abdil Bar, al-Isti’ab 2/113).

 

Marâji:

* Mahasiswi Prodi Akhwal al Syakhshiyyah FIAI UII 2019

[1] Ibrahim Amini. Fatimah Az-Zahra Wanita Teladan Sepanjang Masa. Jakarta: Penerbit Lentera, 1989. hal. 14

[2] Bihàr Al-Anwar. XVI. Hal.80-81

[3] Alhamid Alhusaini. Fatimah AzZahra Puteri Tercinta Rasulullah S.A.W. Jakarta: Penerbit Bacalah, 2002. hal. 2

[4] Ibid., hal. 3

[5] Abdul Hadi. Kisah Teladan Fatimah Az-Zahra Anak Perempuan Nabi Muhammad. Dikutip dari https://tirto.id/kisah-teladan-fatimah-az-zahra-anak-perempuan-nabi-muhammad-ggU2 pada 5 Desember 2021

[6] Saleh Lapadi. Sayyidah Fathimah Az-Zahra as Teladan Wanita Seluruh Alam. Dikutip dari https://salehlapadi.wordpress.com/2007/06/24/sayyidah-fathimah-az-zahra-as-teladan-wanita-seluruh-alam/ pada 5 Desember 2021

[7] Ibid,. hal. 9

[8] Sri Ningsih. Meneladani Akhlak Mulia Sayyidan Fatimah Az-Zahra. Dikutip dari https://muslima.hops.id/meneladani-akhlak-mulia-sayyidah-fathimah-az-zahra/ pada 5 Desember 2021

[9] Biharul Anwar. Jilid 43. Hal. 22 hadist ke-20

IKHTIAR MEMUPUS PERASAAN DENGKI

 

IKHTIAR MEMUPUS PERASAAN DENGKI

Oleh: Genta Ramadhan*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kisah Qabil dan Habil

Salah satu penyakit hati yang bisa merusak kebahagiaan dan persaudaraan ialah penyakit dengki. Penyakit ini sudah diketahui dalam kisah Qabil dan Habil dalam memperebutkan sesuatu yang berharga, yaitu wanita. Kisah ini tercatat dalam surat al-Maidah ayat 27-31. Dari sini, kita dapat memetik sebuah hikmah bahwa perasaan dengki dapat mencelakai diri sendiri dan orang lain.

Kisah ini berawal dari perintah Nabi Adam o kepada Habil dan Qabil untuk melakukan pernikahan silang. Iqlima  (saudari Qabil) menikah dengan Habil dan Labuda (saudari Habil) menikah dengan Qabil. Rupanya, Qabil dipengaruhi oleh rayuan iblis sehingga ia tetap pada pendiriannya (menolak) perintah Nabi Adam o. Qabil menolak karena ia tidak sudi adik kandungnya menikah dengan Habil.[1]

Berkali-kali Nabi Adam o membujuk Qabil agar menerima keputusannya, namun tidak membuahkan hasil. Hingga suatu hari, Nabi Adam o memerintahkan Qabil dan Habil untuk mempersembahkan hasil usaha terbaik di sebuah bukit. Habil mempersembahkan  domba terbaik miliknya sedangkan Qabil mempersembahkan biji-biji gandum dengan kualitas rendah. Alhasil, Habil berhak menikahi Iqlima. Dan Qabil terpaksa menerima keputusan yang tidak sesuai ekspetasinya.

Akal Qabil semakin tidak jernih karena dipenuhi perasaan dengki dan rayuan iblis yang mengajak bermaksiat. Dengan perasaan dengki, ia membunuh Habil di suatu ladang dengan melemparkan batu besar hingga meninggal. Setelah puas membunuh saudaranya, Qabil dilanda kebingungan dan penyesalan akibat kebodohannya. Maka Allah memberikan ilham kepada Qabil tentang cara menguburkan mayat Habil. Kisah Habil dan Qabil merupakan kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.

 

Sindrom SMS

Dengki atau hasad merupakan perasaan tidak senang terhadap nikmat/capaian orang lain yang Allah tetapkan. Singkatnya dengki itu merupakan sindrom SMS (susah melihat senang dan senang melihat susah). Sikap ini sangat berbahaya karena memupuskan amal kebaikan seseorang, merusak diri sendiri, dan merusak tali persaudaraan. Rasulullah n bersabda: “Jauhilah olehmu sifat hasad karena sesungguhnya hasad itu dapat menghilangkan           segala kebaikan sebagaimana api melahap kayu yang kering.” (H.R Abu Daud)[2]

Kita tidak bisa memungkiri bahwa setiap di antara kita pasti memiliki potensi membangkitkan perasaan dengki. Bahkan kita pernah merasakan gejolak dengki dalam hatinya karena sebab tertentu. Perasaan ini wajar dialami semua orang manakala ada seseorang berhasil menggungguli capaian hidup kita. Namun, sebisa mungkin kita harus membuang sifat dengki yang disebabkan oleh gejolak nafsu (energi negatif) itu sendiri.

Namun, ada beberapa dengki yang diperbolehkan dengan maksud memotivasi orang agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar c. “Tidak diperbolehkan iri hati kecuali dua hal: seseorang yang diberi Allah, Al-Qur’an, dan menyibukkan diri siang dan malam dan seseorang yang diberi harta kemudian dari harta tersebut diinfakkan pada siang dan malam hari.” (H.R. Bukhari).[3]

Selain dua hal tersebut, kita tidak boleh dengki atas nikmat Allah berikan kepada orang lain. Nikmat tersebut bisa berupa dapat pekerjaan yang layak, dapat beasiswa full funded, istri yang shalihah, dan sesuatu yang terlihat indah di mata orang lain. Sebab masing-masing orang punya takaran rezeki, ujian, dan zona waktu tersendiri. Oleh karena itu, kita harus bersabar, berikhtiar, dan kanaah manakala kita belum bisa merasakannya. Boleh jadi, capaian hidup yang dinikmati orang sekarang tidak baik bagi diri kita.

 

Kiat-Kiat Mengatasi Dengki

Perasaan hasad tersebut harus dibuang jauh-jauh karena merugikan diri sendiri dan orang lain. Bahkan persaudaraan yang terjalin selama bertahun-tahun dapat kandas karena penyakit dengki. Berikut ini kiat-kiat mengatasi perasaan dengki dalam diri seseorang.

  1. Memohon Perlindungan kepada Allah

Seyogyanya, kita berdoa kepada Allah agar hati kita senatiasa berada dalam ketaatan. Sebab, hati manusia dapat berubah, baik menjadi jahat, setiap saat. Hendaknya kita membiasakan berdoa (diutamakan selepas shalat) kepada Allah agar terhindar dari penyakit hati, salah satunya dengki. Jika hati terbesit berbuat dengki karena sesuatu, minimal kita dapat mencegahnya dengan menyibukkan kegiatan yang bermanfaat. Berikut ini doa memohon perlindungan dan dihindarkan dari sifat dengki.

Allah l berfirman: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman sebelum kami dan janganlah Engkaulah membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang beriman. Ya Rabb, sesunngguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 10).

  1. Mengetahui dampak buruk perilaku dengki

Salah satu kunci menghindari perilaku dengki ialah mengetahui bahaya penyakit dengki itu sendiri. Bayangkan, jika hati seseorang dipenuhi rasa dengki pasti hatinya akan terasa sempit dan cenderung berbuat menyakiti diri sendiri dan orang lain. Kalau pun berhasil menjatuhkan orang lain, pasti akan ada hasrat melakukan sesuatu yang lebih berbahaya. Hidupnya pun tak nyaman dan amalan kebaikan seseorang pun menjadi sia-sia. Sungguh mengerikan kan?

  1. Menyambung tali silaturrahim dan berperilaku mushlih.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa silaturrahim menjadi kunci keberkahan hidup seseorang. Perasaan dengki bisa pupus bila seseorang terbiasa bersilaturahmi dengan orang lain. Selain bisa mengetahui kesan sebenarnya tentang orang lain, silaturrahim bisa mempererat rasa persaudaraan antar sesama manusia.

Namun, jika kita mendapati seseorang, entah teman atau siapapun, yang menaruh dengki terhadapmu, maka kita harus berinisiatif untuk mengetuk hati seseorang ke arah jalan yang benar. Cara tersebut cukup sulit dan membutuhkan waktu karena setiap punya prioritas kesibukan masing-masing. Bisa jadi orang yang menaruh kedengkian terhadap kita karena kesalahan yang kita perbuat. Jika kita sudah berikhtiar mengajak orang tersebut agar berhenti berbuat dengki namun tidak menggubrisnya, maka hanya kepada Allah kita bertawakal. Tugas manusia ialah mengajak/mengingatkan kebaikan bukan memberi hidayah.[4]

 

 

 

 

Mutiara Hikmah

Dari Abdullah bin Mas’ud a, bahwa Rasulullah n bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْن:ِ رَجُلٌ آتاَهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَ عَلىَ هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتاَهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara: seseorang yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya harta lalu dia menginfaqkannya dalam kebenaran dan seseorang yang Allah berikan kepadanya hikmah (ilmu) lalu dia mengamalkan serta mengajarkannya.” (H.R. al-Bukhari, 1/73, Muslim, 1/ 816)

 

Marâji:

* Alumnus S1 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

[1] Suryatiningsih, “Kisah Qabil dan Habil, Anak Kembar yang akan Dinikahkan Nabi Adam dengan Saudara Kembarnya”, 18 Juli 2021, https://portaljogja.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-252237711/kisah-qabil-dan-habil-anak-kembar-yang-akan-dinikahkan-nabi-adam-dengan-saudara-kembarnya.

[2] Lihat di Andika Rahmawan, “Mengatasi Penyakit Hasad”, 23 September 2021, https://suaramuhammadiyah.id/2021/09/23/mengatasi-penyakit-hasad/

[3] Muhammad Hafil,Dua Iri Hati yang Diperbolehkan, 29 Februari 2020, https://www.republika.co.id/berita/q6fuct430/dua-iri-hati-yang-diperbolehkan

[4] Agus Yulianto, “Menjadi Generasi Mushlih”, 27 Januari 2021,  https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/18/01/27/p36xkn396-menjadi-generasi-mushlih

KEISTIQAMAHAN KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

KEISTIQAMAHAN KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

Oleh: Azizaturrohmah*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Kata istiqamah sudah tidak asing lagi bagi telinga seorang muslim. Kata ini sering muncul ketika kita mengikuti pengajian atau acara lain yang sejenisnya. Selain itu, sering juga muncul keitka kita senang membutuhkan motivasi untuk kesuksesan kita. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi?

 

Arti Istiqamah

Pengertian istiqamah dalam Mu’jam Mufradãt al-Faẓi Alqurãn merupakan jalan menuju kebenaran contohnya dalam (Q.S. al-Fatihah [1]: 6) yang berbunyi اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ yang artinya “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” bahwa Istiqamah menguatkan seseorang keapada jalan yang lurus, yaitu tetap berusaha dalam kebenaran walaupun dengan berbagai rintangan yang dihadapi.[i]

Secara bahasa istiqamah diartikan secara luas yaitu teguh, tetap, sedangkan secara istilah adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk tetap teguuh pada jalan yang lurus atau jalan kebenaran tanpa ada kebengkokan terhadapnya. Kata istiqamah ini selalu diartikan dalam arti positif. Menurut Al-Jauẓiyah istiqamah adalah kata Jãmi’ (memiliki arti yang banyak) yang dapat diafilikasikan pada setiap aspek kehidupan pada setiap ajaran Islam.[ii]

Kata istiqamah sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk dikerjakan. Namun, dalam menjalankan istiqamah tidak mudah. Kita harus selalu sabar dan taat kapada Allah l secara terus-menerus sehingga apa yang kita inginkan dapat diraih atas izin Allah l.

 

Istiqamah Untuk Mendapatkan Hasil Terbaik

Istiqamah dalam urusan dunia bisa dicontohkan dengan konsisten belajar. Belajar adalah hal yang sangat penting dan utama dalam usaha untuk meraih cita-cita atau impian. Misalkan kita mengharapkan untuk bisa melanjutkan ke universitas terbaik di Indonesia, tidak hanya butuh ucapan saja, namun harus dengan belajar secara konsisten. Belajar saja tidak cukup, namun juga harus konsisten. Dengan cara belajar secara terus-menerus, materi yang telah dipelajari tidak akan terlupakan, dan juga dalam menghadapi soal atau semacamnya menjadi lihai karena sudah terbiasa. Hal tersebut juga akan berdampak baik untuk hasil akhirnya, yaitu mendapatkan hasil yang terbaik dan akan dengan mudah mencapai apa yang kita harapkan sebelumnya.

Selain urusan dunia, istiqamah juga perlu diterapkan dalam urusan akhirat. Seperti contohnya dalam menghafal al-Qur’an. Orang yang berhasil menyelesaikan hafalan Qur’an sampai 30 juz, mereka tidak semua orang yang pintar, cerdas, maupun jenius. Hal yang mereka terapkan adalah keistiqamahan. Istiqamah dalam menyetor hafalan, dan juga memuroja’ahnya. Banyak orang pintar dan cepat dalam menghafal, namun tidak istiqamah dalam menjaga hafalannya, maka ayat yang telah dihafal akhirnya perlahan-lahan memudar. Hal ini menyebabkan proses dalam menghafal al-Qur’an menjadi lama dan juga dapat menciptakan dosa karena telah melupakan ayat al-Qur’an yang sudah dihafalkan. Maka dari itu, untuk seorang yang sedang berjuang untuk menjadi hafidz Qur’an hendaklah menjaga hafalannya dengan cara istiqamah dalam muraja’ah. Setelah menjadi hafidz karena selalu istiqomah dalam menghafal dan menjaganya, maka di akhirat nanti ayat-ayat Al-Qur;an yang telah dihafal dapat menolong para penghafalnya atau menjadi syafa’at kelak di hari akhir nanti.

 

Agar Dapat Istiqamah

Istiqamah akan sangat sulit dilakukan jika sebelumnya tidak pernah melakukannya. Maka dari itu, istiqamah dilakukan dengan berproses atau perlahan-lahan. Pada awalnya memang sangat memerlukan kerja keras atau paksaan dari diri sendiri, namun seiring berjalannya waktu paksaan itu akan hilang karena sudah merasakan kenikmatan dalam sebuah kegiatan yang dilakukan dengan istiqomah.

Seseorang yang ingin istiqamah dalam suatu kegiatan, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah niat. Niat yang lurus dan tidak menyimpang. Niatkan juga melakukan sesuatu tersebut hanya karena mengharap ridho dari Allah l. Dengan itu, ketika kita menjalankan suatu kegiatan tersebut akan dinilai ibadah dan juga akan dimudahkan jalannya oleh Allah l dalam meraihnya.

Selain usaha dari diri sendiri dalam melakukan istiqamah, langkah kedua adalah faktor yang datang dari luar diri kita, yaitu lingkungan. Kita harus bisa mencari lingkungan yang baik dan orang-orang yang baik juga. Hal itu sangat penting karena mereka akan mendukung usaha kita. Jika kita bergaul di lingkungan dan orang-orang kurang baik, kita akan kesulitan dalam menjalankan istiqamah tersebut. Cara ini sangat diperlukan karena orang-orang yang baik akan memiliki toleransi yang tinggi terhadap kegiatan yang kita lakukan, mereka pastinya juga akan lebih mendukung dan membrerikan semangat kepada kita.

Hal ketiga yang tak kalah penting dilakukan oleh orang yang berusaha istiqamah adalah do’a dan dzikir kepada Allah l. Kita sebagai seorang muslim dan manusia biasa yang lemah tidak berdaya selain dengan kekuatan Allah, maka harus sepatutnya kita selalu berdo’a dan mengingat Allah l kapan saja dan dimana saja. Seberapapun usaha keras yang kita lakukan, jika kita tidak mengingat Allah l di dalamnya dan tidak mau berdo’a, maka usaha itu terbilang isa-sia-sia. Allah l yang punya segalanya, maka dari itu kita juga harus meminta segalanya kepada Allah l. Sejatinya semua kegiatan atau apapun itu jika tidak dalam kendali dan kehendak Allah l, maka tidak akan pernah terjadi. Kita harus meminta pertolongan kepada-Nya agar selalu diberikan hati yang bersih dan dapat melakukan kegiatan yang baik secara istiqomah.

 

Keutamaan Istiqamah

Istiqamah mempunyai banyak keutamaan, seperti menjadikana jiwa tenang karena hati yang selalu terpaut kepada Allah l, merupakan amalan yang terpuji dan dicintai Allah  l yang tentunya jika dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah l, wujud bersyukur atas nikmat Allah dengan menggerakkan mengoperasikan anggota tubuh, hati, dan pikiran kita untuk selalu dalam jalan kebenaran, serta mendapat jalan yang lurus dari Allah l. Di lihat dari keutamaan tersebut, sampai ada pepatah arab yang berbunyi:

اَلْإِسْـتِقَـامَةِ خَيْرٌ مِـنْ اَلْفِ كَــرَامَةٍ # ثُبُــوْتُ الْكـَـرَامَةِ بـِدَوَامِ الْإِسْـتِقـَـامَةِ

“Istiqamah lebih utama dari seribu karomah, dan tumbuhnya karomah dengan menjaga istiqamah.”

Kita tahu bahwa karomah itu sulit digapai. Dan di sini dijelaskan bahwasanya istiqomah lebih baik daripada seribu karomah. Artinya, keutamaan seseorang yang menjaga ibadah dan amalnya dengan istiqomah akan mendapatkan keutamaan berlipat-lipat.

Dalam usaha untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat, maka kita harus percaya dan yakin kepada Allah l, bahwa suatu saat nanti kesuksesan tersebut akan bisa kita peroleh. Selain yakin, kita juga harus terus berdo’a dan berusaha. Usaha tersebut dilakukan secara konsisten. Seseorang yang melakukan usaha dengan istiqamah tidak akan pernah merasakan rugi waktu dan lainnya, namun kenikmatan dan pahala yang terus mengalir yang akan mereka dapatkan. Semoga kita selalu dapat mejalankan usaha untuk meraih keinginan dan impian kita dengan istiqamah secara benar, sehingga terdapat keberkahan dan dan pahala nantinya. Aamiin allahumma aamiin. Wa Allâhu a’lam bi ash-shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Allah l  berfirman:

 

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Hud [11]: 112)

Marâji’:

*  Mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam FIAI UII

[i] Hasibuan R. M., Penafsiran Ibn Kasir Tentang Ayar-Ayat Istiqamah, dalam Jurnal Al-I’jaz Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2020, hal. 6.

[ii] Hasibuan R. M., Penafsiran Ibn Kasir Tentang Ayar-Ayat Istiqamah, dalam Jurnal Al-I’jaz Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2020, hal. 8-9.

 

File Lengkapnya bisa diakses pada link berikut ini

https://drive.google.com/file/d/1QduVBMdlDIItRdIYb-CLaQxhhO0i2wiy/view?usp=sharing

 

 

 

 

 

 

MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN

MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN

Oleh: Nurul Syifa Azzahra*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Penyebutan ilmu matematika secara khsusus dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tersurat, namun disebutkan secara tersirat. Sebagaimana penyebutan bilangan-bilangan (angka) yang merupakan sebuah dasar dari matematika. Penyebutan angka-angka ini menunjukkan perhatian al-Qur’an terhadap bidang ilmu, khususnya matematika. Juga bukanlah secara kebetulan atau asal bunyi.  Semuanya telah ditetapkan dengan komposisi yang jelas dan akurat. Tidak ada  kesalahan sedikitpun. “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 2).

Al-Qur’an ini mencakup segala tata aturan kehidupan, dan selalu dijadikan hujjah bagi segala hal yang berkaitan dengan ibadah ataupun yang lainnya. Al-Qur’an yang tiada keraguan didalamnya adalah petunjuk bagi manusia khususnya mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah l. Al Qur’an sebuah kitab suci agama Islam sebagai sumber pokok ajaran agama. Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi setiap insan untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat.

 

Sumber Ilmu

Dalam al-Qur’an terdapat pentunjuk bagaimana manusia cara memperoleh ilmu pengetahuan. Ditemukan banyak ayat yang memberi isyarat kebenaran ilmu pengetahuan dan hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu ada dua  sumber, yaitu pertama ayat al-Matluwah (yang dapat dibaca) yakni al-Qur’an dan kedua ayat al-Majluwah (yang dapat dilihat) yakni alam semesta. Keduanya bersumber dari Allah l ayat al-Matluwah adalah firmannya dan ayat al-Majluwah adalah ciptaannya. Inilah hakikat ilmu pegetahuan yang tak terbatas.

Al-Qur’an dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia secara langsung, sebagaimana diberikan kepada para Nabi dan Rasul. Allah l memberikan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan para Nabi dan Rasul melalui proses  pembelajaran dan aktualisasi potensi akal dan qalbu serta indera yang telah Allah l anugerahkan kepada manusia sejak lahir. Maka ilmu pengetahuan hendaknya di abadikan untuk Allah l, yaitu ketika seseorang yang berilmu maka seharusnya semakin bertambah ilmunya semakin bertambah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah l.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an memberikan petunjuk dan dorongan agar manusia menggunakan akal pikiran, hati, indera mata, telinga untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan. Hakikat ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran, maupun intuisi, serta mengandung nilai-nilai logika, estetika, hikmah, rahmah dan petunjuk bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di kemudian hari. al-Qur’an banyak mengandung nilai-nilai empirik serta isyarat yang diberikan pengetahuan baik melalui ayat-ayat tertulis yaitu al-Qur’an, maupun ayat-ayat yang terbentang luas dialam semesta beserta isinya.

 

Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Allah l telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an. Manusia hanya tinggal menggali dan mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada. Antara ilmu pengetahuan dan al-Qur’an terdapat kaitan erat. Akan tetapi keterkaitan antara keduanya disesuaikan dengan porsi yang sesuai.

Al-Qur’an ini digunakan untuk mengembangkan matematika, misalnya dalam al-Qur’an terdapat bahwa al-Qur’an berbicara mengenai kelompok, golongan, atau kumpulan. Dalam al-Qur’an surat Fathir [35]: 1 dan surat An-Nur [24]: 45. Berdasarkan dua ayat tersebut terdapat dua konsep yang terkandung di dalamnya dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Pertama, konsep mengenai kelompok atau kumpulan objek-objek dengan sifat tertentu yang disebut dengan himpunan. Kedua, konsep bilangan yang dalam masing-masing ayat tersebut dinyatakan dalam banyak sayap dan banyak kaki. Itu merupakan konsep yang berkaitan dengan himpunan. Himpunan adalah kumpulan objek-objek yang terdefinisi dengan jelas.[1]

 

Keajaiban Statistik

Al-Qur’an sendiri telah memberikan bukti konkret tentang statistika. Dalam al-Qur’an terdapat keajaiban statistik (statistical miracle) dalam penyebutan kata. Dalam masalah mengumpulkan data matematika yaitu mencatat atau membukukan data, al-Qur’an juga membicarakannya.[2]

Matematika digunakan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah l yang termuat dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, Matematika digunakan dalam konteks fikih, yaitu penentuan ukuran dua kulah, shalat, puasa, zakat, haji, dan pembagian harta waris (faraid). Matematikawan Muslim terdahulu mempelajari Matematika terutama untuk masalah faraid, pembuatan kalender, penentuan arah kiblat, perhitungan waktu shalat, penentuan nilai zakat, dan untuk muamalah lainnya. Matematika diajarkan dengan tujuan untuk digunakan dalam melaksanakan tugas penghambaan sekaligus tugas kekhalifahan.

Matematika diajarkan dalam rangka mengembangkan potensi intelektual sekaligus potensi spiritual. Penyebutan  اَفَلَا تَتَفَكَّرُوْنَ  (apakah tidak berpikir), اَفَلاَ تَعْقِلُونَ  (apakah tidak bernalar), dan اَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ  (apakah tidak belajar) mendorong manusia untuk mengembangkan potensi intelektualnya. Potensi intelektual tidak cukup karena al-Qur’an juga menyebutkan potensi spiritual untuk dikembangkan, misalnya pada Q.S Ali Imrân [3]: 13, Q.S. al-A’râf [7] :179, dan Q.S. al-Hajj [22]: 46. Otak (head/kognitif) dan hati (heart/afektif) dikembangkan melalui pembelajaran Matematika untuk menghasilkan amal saleh (hand/psikomotorik).

 

Matematika dan Kandungan Nilai-Nilai al-Qur’an

Matematika dikaitkan dengan kandungan nilai-nilai al-Qur’an. Matematika dilandasi nilai-nilai al-Qur’an untuk mengembangkan akhlaqul karimah dalam rangka mencipta manusia menjadi khairaummah yang diliputi ‘amilushshalihah. Nilai-nilai al-Qur’an diinternalisasi melalui Matematika. Kajian terkait internalisasi nilai Islami dalam Matematika telah dilakukan. Dilakukan internalisasi nilai-nilai al-Qur’an melalui materi aljabar. Strategi internalisasi yang dilakukan adalah; infusi (menekankan aspek nilai al-Qur’an yang ada dalam materi), analogi (melakukan analogi nilai kebaikan), uswah hasanah (menunjukkan perilaku yang patut dicontoh terkait matematika misalnya kejujuran, kesungguhan, ketepatan, ketaatan, dan ketelitian).[3]

Matematika merupakan ilmu yang berkembang sehingga pada zaman dahulu hanya ditemukan dasar-dasarnya saja tidak seperti zaman sekarang. Sejarah Matematika juga tidak banyak orang yang tahu sehingga sebagian orang menganggap Matematika bukan ilmu yang harus dipelajari oleh umat Islam, padahal pada masa kejayaan Islam, Matematika merupakan kajian yang sangat penting. Mengenai sejarah Matematika dapat dilihat bahwa para ilmuwan Muslim ikut berkontribusi dalam mempelajari dan mengembangkan Matematika. Salah satu ilmuwan yang paling terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia dijuluki dengan gelar “bapak Aljabar” karena dia menemukan dasar Matematika dengan konsep yang mudah, penemu angka nol, dan penemu ilmu tertinggi dalam Matematika yaitu logaritma.

Matematika termasuk ilmu yang datang dari Allah l. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan Matematika, yaitu mengenai bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional. Matematika sangat bermanfaat karena dapat membantu manusia dalam beribadah, yaitu salat, zikir, dan masalah faraid. al-Qur’an banyak menunjukkan fenomena “ketelitian” dan bukti untuk semua makhluk cerdas di alam semesta. Bukti bahwa al-Qur’an tidak tercampur oleh keinginan manusia. Sifat manusia dari Nabi Muhammad n tidak dapat menginterfensi al-Qur’an. Wa Allâhu a’lam bi ash shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Ibnu Mas’ud a, Rasulullah n bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الدِّينَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ، فَمَنْ أَعْطَاهُ اللهُ الدِّينَ، فَقَدْ أَحَبَّه.

Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada hamba yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Namun Allah tidak memberi (ilmu) agama kecuali kepada orang yang Dia cintai. Karena itu, siapa yang Allah beri (ilmu) agama, berarti Allah mencintainya.” (H.R. Ahmad 3672, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 34545)

 

Marâji’:

* Mahasiswi Prodi Ilmu Kimia FMIPA

[1] Bush & Young, 1873: 2 Buku Digital

[2] Salah satunya disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi [18]: 49

[3] Abdussakir dan Rosimanidar. T.t. Model integrasi Matematika dan Alquran serta praktik pembelajarannya. Buku Digital

 

File lengkapnya dapat di wonload pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/10QT-ttKnIaEU-_mHl88M2SziCXxV5-SU

HIKMAH KEHIDUPAN

HIKMAH KEHIDUPAN

Oleh: Muhammad Khusnul Khuluq Talijiwa[1]

 

Makna Hikmah

Hikmah terambil dari kata “hakama” yang pada mulanya yang berarti menghalangi. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantarkan kepada yang baik dan menghindarkan yang buruk.[2] Hikmah juga diartikan sebagai manfaat yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dalam berbagai hal. Sebut saja hikmah kehidupan yang artinya adalah manfaat dari berbagai macam kejadian di kehidupan yang menimpa kita dan kemudian kita bisa mengambil pelajaran atas terjadinya kejadian-kejadian tersebut. Menilik dari sebuah pepatah Arab yang berbunyi.

مَنْ عَرَفَ اللّٰهَ أَزَالَ التُّهْمَةَ # وَقَالَ كُلُّ فِعْلِهِ بِالحِكْمَةِ

Barang siapa mengenal Allah, pasti ia menghilangkan buruk sangka pada-Nya. Dan Ia berkata bahwa di setiap perbuatan-Nya selalu disertai dengan hikmah”.

Disini dapat kita artikan bahwa di setiap kejadian pasti ada pelajaran yang terkandung didalamnya, dan tidak semua orang akan sadar akan hikmah tersebut karena hikmah memiliki makna yang sangat dalam.

Saya akan beri sebuah permisalan agar kita sama-sama mengerti dan dapat memahami. Di suatu pagi ada seorang anak yang terlambat bangun untuk pergi ke sekolah, kemudian ia menyalahkan ibunya karena tidak membangunkannya karena memang ia tinggal seorang diri dengan ibunya dan ayahnya telah lama meninggal. Sesampainya di kelas, spontan gurunya langsung menyuruhnya untuk pulang ke rumah tanpa mengikuti pembelajaran di sekolah. Mungkin sekilas anak itu marah hebat kepada ibunya dan ingin mencacinya sepulang sekolah, tetapi ternyata ia terkejut ketika hendak memasuki kamarnya. Ibunya yang sudah tua tergeletak di dapur karena terpeleset, lantas ia memanggil warga sekitar dan melarikannya di rumah sakit. Sekarang apa hikmah yang terkandung dalam cerita singkat tersebut? Sudah pasti apabila ia datang ke sekolah tepat waktu dan mengikuti pembelajaran sekolah hingga usai, ibunya tidak segera ditolong dan kemungkinan terburuknya bisa saja ibunya meninggal seketika.

 

Jangan Berandai-Andai  

Maka dari itu, kurangilah kata-kata yang menunjukkan bahwa kita sedang berandai-andai terhadap sesuatu karena itu menunjukkan bahwa kita tidak bersyukur terhadap pemberian dari Allah l yang secara tidak langsung akan menjadikan-Nya murka kepada kita. Ada satu hadits nabi yang menceritakan tentang pengandai-andaian ini. Rasulullah n bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan”.(H.R. Muslim)[3]

Sebenarnya kata pengandaian disini memiliki hukum yang bermacam-macam tergantung kepada tujuan dari pengandaian tersebut. Apabila kita mengandai-andai terhadap musibah yang Allah l berikan, atau mengandai-andai bukan untuk kebaikan kita akan mendapatkan dosa dari pengandai-andaian tersebut. Tetapi apabila pengandai-andaian kita bertujuan untuk mendapatkan kebaikan maka kita akan mendapatkan ganjaran pahala dari pengandai-andaian tersebut. Dan yang banyak kita lakukan sebagai manusia adalah pengandai-andaian terhadap takdir Allah l yang diberikan kepada kita terkhusunya terkait dengan musibah.

Apakah kita menyadarinya? Mungkin terkadang kita tidak sadar ketika mengatakannya karena terlalu larut dalam kesedihan. Seperti kecelakaan yang terjadi, baik itu kecelakaan kecil maupun besar. Tiba-tiba sempat terbesit dalam benak kita “Andai saja tadi saya tidak pergi ke pasar”, memang perkataan ini remeh tetapi dapat menimbulkan murka Allah l. Karena secara tidak langsung kita protes terhadap takdir yang diberikan oleh Allah l, apa salahnya kita mensyukuri musibah tersebut dengan selalu mengambil pelajaran di setiap kejadian kehidupan ini. Tidak mungkin keadaan berubah setelah kita berandai-andai justru dengan itu kita bisa mendapatkan dosa besar. Cukuplah untuk selalu percaya bahwa Allah l akan mengganti kesyukuran kita dengan hal yang lebih baik, entah di dunia ataupun kelak di akhirat.

 

Ucapan Orang Munafik

Bahkan telah diceritakan dalam al-Qur’an tentang orang-orang munafik yang berandai-andai dalam tragedi perang Uhud. Sebagaimana firman Allah l dalam surah Ali ‘Imrân ayat 168 yang berbunyi: Orang-orang (munafik) yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar”.(Q.S. Ali’Imrân [3]:168)

Ada cerita unik ketika terjadinya peperangan Uhud yang berkisah tentang mereka (orang-orang munafik) yang berandai-andai jikalau saudara mereka tidak ikut berperang bersama nabi Muhammad n tentu mereka tidak akan terbunuh di medan perang sebagaimana kenyataan yang terjadi. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki sifat suka mengeluh terhadap hal-hal yang tidak mereka sukai, itu memang fitrah manusia.

Bahkan Allah l sudah menceritakan semua itu dalam al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam surah al-Ma’ârij ayat 19-25 yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.(Q.S. al-Ma’ârij [70]: 19-25)

Allah l telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa manusia memang diciptakan dengan sifat suka mengeluh ketika ditimpa musibah tetapi pelit setelah mendapat kebaikan. Kecuali mereka yang senantiasa menjaga sholatnya dan memberikan hartanya kepada yang berhak. Lagi-lagi disini sholat sangat berperan penting untuk menjaga kebiasaan manusia yaitu mengeluh, karena mereka yang selalu sholat pasti tahu dan sadar apabila Allah l senantiasa berada di dekat mereka sehingga meskipun mereka ditimpa musibah dan keburukan, tetap saja bersyukur kepada-Nya.

 

Hikmah Kehidupan

Kembali ke hikmah kehidupan, sebenarnya pelajaran-pelajaran yang dapat kita ambil dari berbagai macam kejadian bisa kita jadikan sebagai acuan dasar untuk bertindak dalam keseharian. Bahkan musibah yang didapat oleh tetangga juga bisa kita jadikan pelajaran, seperti ketika mereka kemalingan. Pada akhirnya kita bisa antisipasi agar tidak terjadi hal serupa tersebut di rumah kita. Dan dari sini juga kita bisa menjadi pribadi yang bijak dalam menentukan tindakan sehari-hari, kita menjadi lebih berhati-hati lagi dan tidak ceroboh.

Sekian panjang lebar terkait Islam dan kepribadian para pemeluknya, kemudian saya akan melanjutkan pembahasan seputar segala sistem kehidupan yang beredar di sekitar kita yang tentunya kita akan berfikir tentang bagaimana jika sistem-sistem tersebut kita rubah dengan sistem yang diajarkan oleh Islam.

 

Mutiara Hikmah

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash c berkata: ‘Aku telah mendengar n bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.

 “Allah telah menuliskan takdir makhluk-makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. (H.R. Muslim)

Marâji:

[1] Mahasiswa Prodi Arsitektur FTSP UII

[2] Muhammad Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. Vol I. Jakarta: Lentera Hati, 2002. hal.327

[3] أبي معاذ طارق بن عوض الله بن محمد، جامع المسائل الحديثية، طارق 5 (القاهرة : دار ابن عفان، 2006)، 308

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1EyIbOfGHD7gUFyqzsLeVbeUnHPFherbP

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

Oleh: Uun Zahrotunnisa[i]

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Allah l merupakan dzat Yang Maha Kekal, berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya yang bersifat fana (sementara). Semua yang hidup tentu akan mati silih berganti. Siklus yang biasa terjadi, namun masih banyak orang yang tidak siap jika apa yang dimiliki akan diminta kembali oleh sang Ilahi Rabbi bahkan raganya sendiri. Ketika lisan manusia mudah untuk mengatakan “segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya” tetapi tidak demikian dengan hati. Rasa takut kerap menyelimuti tiap kali seseorang dihadapkan pada sebuah kematiaan hal ini dikarenakan semasa hidup manusia lengah oleh tipu daya setan yang menyuguhkan gemerlap keduniawian dan membuat lupa akan esensi hidup yang sebenarnya yaitu beribadah. Setelah dicabutnya ruh dari raga maka fase selanjutnya adalah manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas umur yang digunakan selama hidup di dunia, habis karena hal yang bermanfaat atau sia-sia begitu saja. Jika amal ibadahnya selama di dunia hanya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan menganggap perbuatan tersebut baik maka orang itu termasuk kedalam golongan orang-orang yang merugi seperti halnya firman Allah l di dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 103-104.[i]

 

Luruskan Niat

Menurut kutipan ayat diatas kita dapat direlevansikan dengan keadaan saat ini dimana setiap kesibukan yang dilakukan oleh manusia belum tentu juga memberikan manfaat bagi kehidupan di akhirat. Kita tentu sering mendengar di dalam forum baik diskusi, kajian sampai khutbah bahwa asal dari semua perbuatan itu adalah niat. Niat melakukan sesuatu jika pada awalnya disandarkan pada kehidupan dunia saja, niscaya kesuksesan dan kebahagiaan hanya akan diperoleh di dunia. Berbeda halnya jika perbuatan yang diniatkan untuk dunia serta akhirat, maka Insya Allah akan mendapat kebahagiaan kedua-duanya. Sebab jika kita lihat lebih dekat tentang amalan-amalan yang dikerjakan oleh seseorang selama hidup pada akhirnya setelah kematian hanya ada tiga perkara yang tidak terputus yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak sholeh. Usaha dan kerja keras yang dilakukan selama duni demi mengumpulkan pundi-pundi uang dan harta berharga tidaklah dibawa mati. Oleh sebab itu perkara amal jariyah merupakan salah satu urgensi yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing pribadi, bukan berarti perkara yang lain luput dari perhatian melainkan tetap memiliki peranan penting untuk selalu diingat untuk bekal kehidupan selanjutnya.

 

Kiat-kiat Masuk Surga

Semua orang tentu berharap masuk surga, namun perlu diingat harapan tidak sekedar keinginan semata tanpa adanya usaha nyata. Contohnya jika ada seorang mahasiswa yang ingin lulus dengan predikat cumlaude maka artinya mahasiswa tersebut harus bekerja keras dan pantang menyerah dalam belajar agar bisa mewujudkan cita-cita tersebut. Sama halnya dengan urusan akhirat, seorang muslim jika ingin masuk surga dan mendapatkan ridha dari Allah l. Maka ia harus senantiasa taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perbuatan sederhana yang menjadi amal shalih bagi seseorang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak harus menunggu waktu luang dan rezeki yang lapang adalah sebagai berikut:

  1. Taat kepada Allah l.

Derajat seseorang tidak ditentukan oleh harta, pangkat dan jabatan selama di dunia, melainkan ketakwaaannya kepada Allah l. Sebagai zat yang Maha Agung. Allah l. Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi pada diri hamba-Nya bahkan yang tidak terlihat sekalipun. Seharusnya hal ini memberikan keyakinan kepada diri kita untuk selalu

bermuhasabah dan berusaha melaksanaan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takut kepada Allah l, juga memberikan dorongan kepada manusia untuk selalu mengerjakan amal shalih. Dalam Q.S. Ali Imran [3]: 136 dijelaskan orang yang termasuk dalam kategori takwa adalah sebagai berikut:

  1. Selalu memohon ampun kepada Allah l.
  2. Bershadaqah ketika lapang maupun sempit.
  3. Mampu menahan amarah.
  4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.

 

  1. Tolong menolong sesama manusia

Saling membantu sesama makhluk hidup khususnya manusia merupakan salah satu dari sekian banyak amal shalih yang dianjurkan oleh agama Islam, bahkan Allah l firman,  “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S. Mâ’idah [5]: 2)[i]

Dewasa ini sikap tolong-menolong harus lebih sering dibiasakan sebab dengan perubahan zaman yang semakin modern mengharuskan seseorang untuk tanggap terhadap kemajuan teknologi yang merubah pola perilaku manusia berpotensi memiliki sikap apatis. Esensi tolong menolong terkikis seiring perubahan zaman mendorong kita untuk terus melestarikan rasa kepedulian terhadap sesama. Selain itu dari kutipan ayat diatas Allah l. menyeru kepada seluruh makhluknya untuk tolong- menolong dalam kebaikan, karena dengan kebaikan Allah l  akan menurunkan Ridha-Nya.[ii]

 

  1. Memuliakan Orang Tua

Berbuat baik kepada orang tua dan memuliakannya merupakan kewajiban seorang anak. Sebab orang tua merupakan wasilah Allah l. menumbuhkan seorang anak untuk menjadi dewasa dan dapat mengenal Allah l. kemudian beribadah kepada Nya. Birr al-Walidain menjadi tanggung jawab seumur hidup bagi seorang anak kepada orang tua sebab, kasih sayang dan segala sesuatu yang dibutuhkan seorang anak yang telah diberikan orang tua tidak akan pernah terbayarkan.[iii] Sehingga memperlakukan orang tua dengan berbuat baik merupakan keniscayaan seorang anak, setelah beriman kepada Allah l. Perintah berbuat baik kepada orang tua dipertegas dalam surat Luqman ayat 14, Allah l berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (Q.S. Luqman [31]: 14)

Memuliakan orang tua tidak hanya dilakukan selama mereka masih hidup di dunia, melainkan ketika mereka sudah meninggal dunia. Wujud memuliakan orang tua ketika sudah meninggal adalah dengan membacakan al-Qur’an serta mendo’akan keduanya.

 

Mutiara Hikmah 

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang ituhanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya…” (H.R. Bukhari, kitab Bad’i al-Wahyi, hadits no. 1, kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689 & H. R Muslim, kitab al-Imarah, hadits no. 1907)

[i] Mahasiswi Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII angkatan 2019

[i] K. A. RI, Alqur’an Terjemahan dan Tajwid. Bandung: Yayasan Darul Qur’an Nusantara, 2014.

[ii] S. Delvia, “Mengulas Tolong Menolong Dalam Perspektif Islam,” PPKn dan Huk., vol. 14, no. 2, hal. 113, 2019.

[iii] N. I’anah, “Birr al-Walidain Konsep Relasi Orang Tua dan Anak dalam Islam,” Bul. Psikol., vol. 25, no. 2, hal. 114–123, 2017, doi: 10.22146/buletinpsikologi.27302.

[i] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1zpc9k3pqnJ5ggzjlL7eMNvqeyPNWFECh

HUTANG DAN PENTINGNYA DICATAT

HUTANG DAN PENTINGNYA DICATAT

Oleh:  Uyu Fauziah, SH.

Alumnus Program Studi Hukum Islam FIAI UII

 

Pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah l. Zaman yang semakin desruptif  memang menandakan keberadaban yang semakin maju. Kebutuhan sekunder sekalipun pada  zaman saat ini menjadi hal yang tidak bisa dilewatkan juga, nyaris seperti kebutuhan primer,  sehingga menuntut orang-orang yang berkemampuan rendah juga harus memiliki kebutuhan  yang sekunder tersebut.

Penggunaan handphone misalnya. Di masa pandemi Covid-19  penggunaan handphone apalagi bagi anak-anak sekolah daring sangat diharuskan. Padahal  handphone adalah kebutuhan sekunder. Sehingga orang yang tidak mampu beli handphone  harus berhutang dan yang tidak mampu beli paket internet juga harus hutang. Maka dengan  demikian walaupun kebutuhannya sekunder, tetapi harus tetap terpenuhi, yaitu dengan cara  berhutang.

Hukum hutang-piutang sendiri adalah mubah, meminjamkan hukumnya sunah  mu’akad, bisa wajib apabila yang meminjam dalam keadaan amat terdesak. Dan haram  hukumnya apabila yang memberikan hutang meminta tambahan syarat-syarat tertentu dalam  mengembalikan hutang. Namun perlu diingat, hutang sedikit maupun banyak penting untuk  dicatat, karena sifat manusia yang sering lalai dan tidak mau ada kerugian antara pihak yang  berhutang maka penting untuk dicatat.

 

Apa Itu Hutang? 

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah l.Apabila ditanya apa itu hutang  pasti sudah tidak asing lagi dengan kata tersebut. Ada yang bilang bahwa janji adalah termasuk  hutang, kemudian ada yang memahami hutang adalah pemotongan sebagian hartanya kepada  orang lain yang membutuhkan agar dapat dikembalikan.

Menurut terminologi, hutang adalah memberikan sebagian harta yang dimiliki dan terdapat  klausula untuk dikembalikan serta dapat ditagih[1]. Dalam Islam hutang itu sendiri memiliki  dasar hukum dalam al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 245,.

Allah l berfirman, “Barangsiapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik.  Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan pelipatan yang banyak.  Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”  (Q.S. al-Baqarah [2]:245)

Menilik dari hukum positif, hutang merupakan sesuatu yang muncul dari sebuah  perikatan atau perjanjian. Oleh sebab itu Soedewi Sofwan menyebutkan istilah Belanda  verbiteniss sebagai perutangan, sebab menurutnya verbiteniss adalah suatu hubungan hukum  yang seseorang mengharapkan sesuatu prestasi (sikap berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,  memberikan sesuatu) dari orang lain.[2]

 

Rasulullah Memandang Utang 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hukum berhutang tergantung kondisi yang  memberikan hutang dan yang berhutang. Dari Abu Hurairah a, dari Nabi Muhammad  n bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta seseorang (berhutang) yang  bermaksud untuk membayarnya maka Allah akan melaksanakan pembayarannya tersebut. Dan  barangsiapa yang mengambilnya (berhutang) dengan maksud merusak (tidak mau membayar  dengan sengaja) maka Allah akan merusak orang itu” (H.R. Bukhari)

Rasulullah n memulai misi kesuksesan dalam dunia bisnis adalah dengan berhutang  terlebih dahulu kepada Khadijah x yang kelak menjadi istrinya[3] . Beliau  membawa beban barang-barang dagangan yang dipinjamkan dari Khadijah x untuk diperjualkan kemudian hasil penjualan dibagikan sesuai dengan akad.

Walaupun demikian Rasulullah n melarang para sahabatnya untuk memelihara hutang  ketika ingin berjihad. Sehingga sering kali Rasulullah n menyuruh para sahabatnya untuk  membayar hutang-hutangnya sebelum melakukan jihad. Hal ini tidak terlepas dari sabda  Rasulullah n dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah n bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (H.R. Muslim no. 1886). Juga Rasulullah n tidak mau men-shalatkan jenazah yang diketahui memiliki hutang.

Sehingga sebisa mungkin apabila memiliki kemampuan membayar atau apabila memiliki  kemampuan untuk menahan diri dari hutang sebaiknya menjauhi diri dari hutang. Karena  hutang membuat seseorang banyak pikiran di malam hari dan membuatnya hina di siang hari.

 

Pencatatan Utang 

Allah l berfirman,“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu melakukan hutang-piutang untuk  waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di  antara kamu menuliskan dengan benar. Janganlah penulis menolak menulisnya sebagaimana  Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)

Ayat ini berbicara mengenai pencatatan hutang-piutang baik kecil maupun besar  hendaknya dicatat. Guna dari pencatatan hutang ini adalah untuk menghindari perselisihan,  keadilan dan sebagai bukti apabila dari salah satu pihak telah ada yang berdusta.

Hendaknya dalam pencatatan hutang ini menunjuk seorang penulis diantara yang  berhutang dan penulis ini harus bertakwa kepada Allah l dan bersikap adil. Dan janganlah  orang yang ditunjuk tersebut menolak untuk menulis karena pandai menulis adalah anugrah  dari Allah l.Dalam tafsir jalalayn menyebutkan bahwa orang yang diberikan ilmu lebih oleh Allah l untuk menulis hutang-piutang tersebut jangan kikir untuk menuliskannya karena tidak semua  orang diberikan kemampuan untuk menulis khususnya dibidang hutang-piutang.[4]

Dalam hal hutang-piutang juga membutuhkan saksi-saksi agar apabila ada kecurangan  dalam hal pencatatan maka keterangan para saksi bisa menjadi alat bukti yang mendukung alat bukti catatan hutang. Hendaknya saksi-saksi lebih dari satu orang yang fungsinya menurut Quraish Shihab adalah untuk saling mengingatkan apabila salah satu saksi lupa. Betapa pentingnya pencatatan hutang ini untuk keberlangsungan baik dalam hubungan  baik selanjutnya antara yang berhutang dan menghutangkan juga menjalankan bentuk syariat  Allah l. Pencatatan hutang hendaknya dilakukan baik hutang tersebut memiliki besaran yang  kecil atau besar, baik dalam bentuk benda atau perbuatan janji.

Apabila ditilik dari surat al-Baqarah ayat 282 tersebut juga sudah jarang yang  mengimplementasikan kegiatan tersebut, walaupun demikian penulis memiliki saran agar  apabila memiliki hutang dan mencari petugas pencatat hutang maka datangi saja Notaris. Selain  memiliki ilmu yang lebih, Notaris juga adalah pejabat yang dituntut adil oleh negara. Apabila  tidak memiliki cukup uang untuk membayar Notaris maka Notaris juga harus memberikan bantuan cuma-cuma sesuai dengan pasal 37 ayat 1 UUJN. Dan carilah Notaris yang taat kepada  Allah  l karena pasti melakukan hal yang dikutip oleh surat al-Baqarah ayat 282 tersebut. Wa Allâhu a’lam.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Shuhaib al Khair, Rasulullah n bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (H.R. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

 

Marâji’:

[1] Isnaini Nurkomariah. Konsep Hutang Menurut Ibnu Taimiyah dan Muhammad Syarif  Chaudry. Bengkulu: Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi  Islam IAIN Bengkulu. 2015. Hal. 16.

[2] Marthasia Kusumaningrum. Perkembangan Pengertian Utang Menurut Undang-Undang  Kepailitan Indonesia. Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program  Pascasarjana Universitas Diponegoro. 2011. Hal. 50.

[3] Ady Cahyadi. Mengelola Hutang Dalam Prespektif Islam. Jakarta: Jurnal Bisnis dan  Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah. Vol.4, No. 1, April  2014. Hal. 70.

[4] tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-282#tafsir-jalalayn (diakses 17 Oktober 2021 Pukul 19.21)