PINTU-PINTU REZEKI

Oleh: Qonitah Cahyaning Tyas*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Membahas rezeki memang berkaitan dengan sesuatu yang diberikan oleh Allahﷻ  kepada makhluk hidup. Seperti yang telah diketahui, sesuai dengan kenyataan hidup, maka rezeki yang Allah berikan kepada sang hamba itu sangat banyak macamnya, ada makanan, harta, pakaian atau beberapa hal-hal lainnya yang mungkin menjadi kebutuhan manusia. Tetapi, manusia juga perlu memahami apa arti atau makna rezeki menurut al-Qur’an dan dari mana saja pintu-pintu rezeki terbuka.

Rezeki ada yang bersifat umum dan bersifat khusus. Rezeki yang sifatnya umum (ar-rizq al-‘am) yaitu segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan, berupa harta, rumah, kendaraan,  kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir.

Rezeki yang sifatnya khusus (ar-rizq al-khash) yaitu segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah. Inilah rezeki yang Allah berikan khusus kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Inilah rezeki yang hakiki, yang menghantarkan seseorang akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.[1]

Pemahaman yang baik terhadap rezeki juga dapat berdampak baik bagi individu seseorang maupun masyarakat, seperti terwujud dalam perilaku jujur dalam bertransaksi, mencari keberkahan dalam rezeki yang diberikan atau lainnya. Sedangkan pemahaman yang salah terhadap rezeki juga dapat berakibat buruk kepada masing-masing individu dan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan perilaku-perilaku seperti menghambur-hamburkan harta atau materialisme.[2]

 

Makna Rezeki dalam al-Qur’an

Ada banyak lafadz rezeki dalam al-Qur’an, dan memiliki makna yang berbeda, diantaranya:

  1. Bermakna pemberian, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 3, “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
  2. Bermakna makanan, dalam surat al-Baqarah ayat 25, “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan disana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.
  3. Bermakna hujan yang salah satunya ada pada surat adz-Dzariyat ayat 22, Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu”
  4. Bermakna nafkah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 233, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…….”
  5. Bermakna Pahala, seperti pada surat Ali Imron ayat 169, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”
  6. Bermakna Surga, salah satunya ada pada surat Taaha ayat 131, “Dan janganlah engkau tunjukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
  7. Bermakna Syukur pada surat al-Waqi’ah ayat 82, Dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan-Nya.”
  8. Bermakna buah-buahan yang ada di surat Ali Imran ayat 37, “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dia kehendaki tanpa perhitungan.”[3]

Maka, dapat disimpulkan bahwa makna rezeki menurut bahasa ada dua makna, yang pertama adalah pemberian dan kedua adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, baik yang ia makan ataupun yang ia pakai. Sedangkan dari segi istilah, rezeki adalah ungkapan dari sesuatu yang Allah berikan kepada makhluk. Berarti makna rezeki adalah pemberian dan juga sesuatu yang Allah sampaikan kepada makhluk-Nya dan yang bermanfaat bagi makhluk-Nya.[4]

 

Pintu-Pintu Rezeki Menurut al-Qur’an

Allah telah menetapkan empat hal pada diri manusia sejak ia masih berada dalam kandungan sang ibu, diantaranya adalah rezeki, ajal, amal dan jodoh. Tak ada yang tau ukuran rezeki yang telah Allah tetapkan untuk makhuk-Nya.[5] Memang, rezeki manusia dan makhluk lainnya itu hanya Allah yang tau, maka sebaiknya seorang manusia juga yakin akan ketetapan yang sudah Allah tentukan sebelumnya, tetapi manusia juga dapat berusaha dan tetap bersandar kepada Allah agar Allah dapat membuka pintu-pintu rezeki, dan diantara sebab pintu rezeki terbuka menurut Al-Qur’an adalah berikut ini:

  1. Rezeki yang dijamin Allah

Allah Pencipta seluruh yang ada di alam ini, dan tentu Allah menjamin rezeki makhluk-Nya, seperti firman Allah dalam Surat Hud ayat 6, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Q.S. Hud [11]: 6)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ayat tersebut menegaskan sesnungguhnya tidak ada makhluk yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya. Jaminan rezeki dari Allah untuk seluruh makhluk memiliki arti yang luas, seperti tumbuhan yang juga mampu bertahan hidup atau makhluk lainnya yang bisa menghidupi dan lain-lain.[6]

  1. Rezeki karena usaha

Dalam firman Allah surat al-Mulk ayat 15, “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya, dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Ayat diatas menjelaskan bahwa alam ini diciptakan Allah untuk memudahkan makhluk dalam memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu, Allah memerintahkan manusia untuk menjelajahi alam ini untuk mencari rezeki yang halal.[7]

  1. Rezeki karena bersyukur

Ada kata-kata usaha tidak akan mengkhianati hasil, dan memang jika kita berusaha maka kita akan mendapatkan hasilnya. Dengan begitulah, maka sudah sepatutnya kita sebagai makhluk Allah bersyukur kepada-Nya. Karena janji Allah kepada orang yang bersyukur akan ditambah nikmat kepada mereka,[8] seperti dalam Surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatla)h, ketika Tuhanmu memaklumkan; “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Kyu), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim [14]:7)

Itulah beberapa sebab-sebab pintu-pintu rezeki dapat terbuka dari Allah, menurut Al-Qur’an. Sebenarnya masih ada beberapa cara untuk membuka pintu rezeki dari Allah, seperti pintu rezeki yang terbuka karena beristighfar, pintu rezeki yang terbuka karena bersedekah dan pintu rezeki yang terbuka dengan taqwa seseorang. Yang terpenting dari itu semua adalah percaya bahwa rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-Nya itulah rezeki yang terbaik.[]

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki“ (Q.S. Hûd [11]:6)

 

Marâji’:

* Penyusun adalah mahaasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII

[1] Lebih lanjut https://muslim.or.id/7401-memahami-dua-jenis-rezeki.html

[2] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki dalam Perspektif Al-Qur’an dalam Jurnal Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadits, Vol. 4 No.2, 2020, hal. 467-480

[3] Achmad Kurniawan Pasmadi. Konsep Rezeki dalam Al-Qur’an dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. 6 No. 2 Agustus 2015, hal. 132-146

[4] Ibid

[5] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki.,

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

 

Download Buletin klik disini

 

 

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allahﷻ. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allahﷻ menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allahﷻ dengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab radhiyallahu “anhu berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, Itulah shalatnya orang munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas radhiyallau ‘anhu, mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

 

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI TAHUN BARU ISLAM, 1 MUHARRAM 1443 HIJRIYAH

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allahﷻ adalah bulan Muharram atau biasa disebut bulan haram (al-ashurul harum), Allahﷻ berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, di dalam dua belas bulan, Allahﷻ telah memberikan empat bulan yang istimewa agar kita senantiasa lebih meningkatkan kualitas ibadah kita dan meninggalkan kemaksiatan. Seperti halnya berbuat kebaikan kepada sesama manusia, dzikir, sedekah dan lain-lain.

 

Hijrahnya Rasulullah

Peristiwa Hijrahnya Rasulullah ke Madinah merupakan salah satu bentuk transformasi dan perlindungan untuk kaum muslimin, terhadap  penindasan dan kekerasan yang dilakukan kaum musrikin. Hijrahnya Rasulullah ke Madinah itu bukan karena takut akan terbunuh atau meninggal oleh kaum musrikin, tapi karena komitmen untuk menjaga umat Islam di mekah maka dari itu Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah.

Allahﷻ berfirman,”Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat ) bertanya, “bagaimana kamu ini?” mereka menjawab, “kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)” mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” maka orang-orang itu tempatnya di neraka jahanam, dan (jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali”  (Q.S. an-Nisâ’ [4] : 97).[1]

 

Musahabah diri

Makna tahun baru Islam, merupakan momen pergantian kalender Islam dalam hijriyah agar kita bisa merenungi kesalahan-kesalahan yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. dan juga harapan atau resolusi agar kedepanya bisa lebih baik dari tahun berikutnya. Allahﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Hasyr [59]: 18).

Dengan selalu merenungi dan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di tahun sebelumnya, akan membuat hati dan pikiran mudah terkontrol sehingga akan lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam bertindak dikemudian hari.

 

Memperbanyak Amalan Ibadah

Bulan Muharram adalah bulan yang sangat dimuliakan,. maka dengan itu dengan memperbanyak amalan ibadah seperti puasa, sedekah merupakan salah satu bentuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Seperti hadis berikut, Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu ia berkata,  Rasulullah bersabda, ““Seutama-utama puasa setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (H.R. Muslim, no. 1982).”.”  (H.R. Muslim, no. 1982).[2]

Manusia memang tidak luput dengan kesalahan , semua yang telah ditetapkan oleh Allahﷻ tidak bisa dirubah kecuali dengan kehendak-Nya .maka dengan itu kita sebagai manusia  selalu diingatkan  untuk selalu berikhtiar dan berdoa agar bisa mencapai Ridho-Nya.

 

Motivasi diri

Peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah merupakan suatu hikmah yang perlu diambil dan dijadikan motivasi, bahwa Rasulullah bersama dengan para sahabatnya dalam menegakan Islam itu penuh dengan perjuangan dan banyak sekali pahlawan Islam yang telah mati syahid, demi untuk membela dan menegakan Islam. Untuk itu kita sebagai umat muslim perlu menghargai dan meneladani setiap perjuanganya dengan cara; semangat belajar, semangat ibadah, mematuhi peraturan Allahﷻ dan menjauhi larangan-Nya.

Allah lberfirman, “Dan dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”(Q.S. At-Talaq [65]: 3).

Dari ayat diatas menjelaskan bahwa semua orang mempunyai rezekinya masing-masing. untuk itu kita sebagai manusia harus terus berjuang dan memotivasi diri sendiri. agar nantinya apa yang menjadi keinginan dan cita-cita bisa terwujud dengan arah dan jalan yang benar sesuai dengan ketentuan dalam islam.

 

Momen Perubahan Menuju Kebaikan

Setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya menginginkan perubahan yang lebih baik, seperti halnya ditahun baru Islam ini. Perlu lembaran baru untuk memulai sebuah transformasi agar ada perubahan menuju kebaikan. Allahﷻ berfirman, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”.” (Q.S. al-Baqarah [2] : (217).

 

Pengingat Diri Akan Akhlak Mulia

Dalam tahun baru Islam ini  sebagai pengingat kita akan akhlak mulia, karena untuk menjadi pribadi yang baik tidak cukup untuk mempelajari ilmu pengetahuan saja. Banyak orang yang berilmu tapi tidak berakhlak. Allahﷻ berfirman,“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusushan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An-Nahl [16]: (90).

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa butir Akhlak yang Allah ungkap yaitu: ikhlas, sabar, bersyukur, pemaaf, mengerjakan yang makruf, jangan menggunjingkan satu sama lain (berghibah), bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha penyayang, Ta’aruf (saling kenal- mengenal) dan silaturrahim, dan tawakkal.

Dari pernyataan di atas tidak mengungkapkan semua penjelasan dari al-Qur’an. Salah satu Akhlak mulia adalah Ikhlas dan sabar. Menurut al-Imam al-Mar’asyi, ikhlas merupakan kesamaan amalan seorang hamba yang dilakukannya antara lahir maupun batin. Sedangkan menurut Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengatakan bahwa hakikat keikhlasan adalah berlepas diri dari sesuatu selain Allahﷻ, yaitu bersihnya perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha Allahﷻ dan pahala dari-Nya. ikhlas juga dapat dimaksudkan jika kita bisa melupakan pandangan mahluk hingga kita tidak melihat dan memperhatikan lagi apa dan siapa kecuali hanya Allah sang pencipta.

Selanjutnya sabar. Sabar merupakan salah satu bentuk akhlak mulia, para ulama menetapkan sabar dalam tiga dimensi, yaitu:

  • Sabar terhadap semua perintah Allahﷻ, agar dipatuhi dan dijalankan peintah Allahﷻ
  • Sabar terhadap semua yang dilarang Allahﷻ, agar dijauhi, ketika Allahﷻ melarang sesuatu, pasti karena ada ketidak-baikan pada sesuatu yang dilarang tersebut. Hamba yang dilarang, justru karena Allahﷻ tidak ingin hamba tersbut terjatuh pada lembah kehinaan dan kenistaan. Oleh karena itu, Allah menyiapkan adzab sebagai hukuman (punishment) bagi hamba yang selalu ingkar hingga akhir hayatnya.
  • Sabar terrhadap semua ujian Allahﷻ, baik berat maupun ringan. Ada yang mengira bahwa ujian itu hanya kalau terasa sulit, jangan salah, baik terasa senang maupun susah keduanya adalah ujian, terhadap nikmat kita diuji Allah, apakah kita termasuk yang akan besyukur, ataukah malah kufur.[3]

 

 

* Penyusun adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[1] Muidigital, “Tahun baru Islam 1443 Hijriyah, Reaktualisasi Makna Hijrah”, dikutip dari https://mui.or.id/opini/31002/tahun-baru-islam-1443-hijriyah-reaktualisasi-makna-hijrah/ diakses pada hari Minggu 15 Agustus 2021

[2] H.R. Muslim no.1982. Shahih menurut Ijma’ Ulama

[3] Hadi yasin, “Ayat-Ayat Akhlak Dalam Al-Quran: membangun keadaban menuju kemuliaan peradaban”, dikutip dari https://core.ac.uk/download/286345557.pdf diakses pada hari Senin 16 Agustus 2021

 

Download Buletin klik disini

 

JANGAN PERNAH LELAH UNTUK KEMBALI

Oleh: Yonatan Y. Anggara*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kembalilah wahai manusia…

Tundukkan wajahmu pada yang Maha Kuasa

Tengadahkan tanganmu dan mulailah berdoa

Niscaya nikmat-Nya selalu kan turun selamanya

(K.H. Hasan Abdullah Sahal)[1]

 

Dampak Makasiat

Sepetik syair yang di tulis oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal memiliki makna sedalam lautan, seluas langit. Seolah menjawab segenap keresahan dan kegelisahan yang barangkali sering kita alami dalam menjalani hidup sebagai seorang manusia. Segala kesusahan dalam setiap urusan, segala kesempitan dalam setiap apa yang diikhtiarkan juga segala kegelisahan yang tidak pernah tahu dari mana datangnya. Tidak lain dan tidak bukan hal itu terlahir dari hati yang tidak pada pada tempatnya. Hati yang telah terisi kedurhakaan pada Allah semesta alam.

Sebagaimana nasehat Ibnu Qayyim  rahimahullah bahwa kemaksiatan akan menyebabkan sulitnya segala urusan, sehingga tidaklah seorang manusia menuju sebuah urusan kecuali ia dapati dalam keadaan buntu. Memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati.[2]

Maksiat akan menjadi hijab bagi doa-doa kita, Ibnu Rajab berkata, “Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.”[3] Maksiat akan menjadi penghalang dari segala kebaikan, sehingga seseorang yang sering melakukan maksiat akan semakin jauh dari hidayah Allahﷻ.

Ustadz kami di Pondok pernah menasehati yang bunyinya seperti ini, “Cara merayu Allah agar doa diijabah adalah dengan melaksanakan amal ibadah. Jika seandainya doa ibarat paket yang dikirim, maka maksiat adalah penghalang dan pelambat paket itu datang ke tujuan”. Kondisi hati orang-orang yang bermaksiat pada Allah. Hati yang bermaksiat akan Allah sempitkan di tengah kelapangan yang ia miliki. Hati yang bermaksiat akan Allah gelisahkan di tengah kemudahan hidupnya. Hati yang bermaksiat akan Allah buntukan urusannya ditengah banyaknya jalan yang seolah terlihat.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Q.S Thâhâ [20]: 124). Maksudnya, dia akan mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan. Dalam tafsirnya Ibnu Katsir berkata, “Di dunia, dia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Hatinya gelisah yang diakibatkan kesesatannya. Meskipun dhahirnya nampak begitu enak, bisa mengenakan pakaian yang ia kehendaki, bisa mengkonsumsi jenis makanan apa saja yang ia inginkan, dan bisa tinggal dimana saja yang ia kehendaki; selama ia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk, maka hatinya akan senantiasa gelisah, bingung, ragu dan masih terus saja ragu. Inilah bagian dari kehidupan yang sempit”.[4]

Tidakkah kita ingin punya hati yang setenang Ibnu Taimiyah seabagaimana yang disampaikan oleh Ibn Qayyim “ia adalah orang paling bahagia yang pernah saya temui”. Padahal kita tahu bahwa beliau tidak tinggal di istana atau bangunan megah melainkan di dalam penjara sempit nan kumuh. Tidakkah kita ingin punya urusan seajaib Yusuf? Yang meskipun banyak sekali kesusahan yang dihadapi namun berakhir dengan indah. Tidakkah kita ingin punya urusan yang dimudahkan sebagaimana Yunus? Yang meskipun terhimpit masalah namun keluar darinya dengan sebaik baik keadaan. Tidakkah kita ingin punya kisah seindah Zakaria? Yang selepas 80 tahun berdoa, ditengah kemustahilan akhirnya cita-citanya ingin punya keturunan Allah mudahkan.

 

Kembalilah Wahai Hati!

Untuk kita yang sering bertanya mengapa segala urusan menjadi buntu. Mengapa sangat susah mengerjakan sesuatu yang dengan mudah dikerjakan oleh kebanyakan orang. Mengapa begitu susah mendapatkan apa yang terlihat mudah bagi orang lain. Maka kembalilah agar semua mudah dalam mengerjakan kebaikan.

Tidak ada hari yang paling mengkhawatirkan selain hari dimana kita berbuat maksiat kepada Allahﷻ sedang kita melakukannya tanpa ada rasa bersalah, dan tidak ada hari yang paling membahagiakan melainkan kita sungkurkan hati kita kepada Allahﷻ untuk bertaubat.  Maka kembalilah kepada Allah, Maha Pemilik segenap urusan. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.”  (H.R. at-Tirmidzi)

 

Jangan Pernah Lelah Untuk Kembali

Sebanyak apa kita berbuat salah maka sebanyak itu pula Allahﷻ akan tetap membuka pintu taubat. Oleh karena itu, jangan pernah lelah untuk kembali kepada Allah dengan beristighfar dan bertaubat.

Allah sungguh mencintai orang-orang yang kembali kepada-Nya, dalam salah satu hadits riwayat disebutkan dari Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari, pembatu Rasulullah, beliau berkata bahwa beliau n bersabda, “Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang luas.” (H.R. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).

Mari kita teladani Ibnu Taimiyah yang setiap kali mengalami kebuntuan dalam berfikir dan urusan maka beliau beristighfar 1000 kali. Seolah memahami tidak lain yang menyebabkan kerunyaman urusan adalah jauhnya hati kita pada pemilik-Nya. Maka kembalilah!.[]

 

MARÂJI’:

* Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Nur Baiturrahman Yogyakarta

[1] K.H Hasan Abdul  Sahal. Kembalillah. 2020. https://www.youtube.com/watch?v=4HNCAxn9Bqo

[2] Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com yang dikutip dari https://muslim.or.id/307-10-nasihat-ibnul-qayyim-untuk-bersabar-agar-tidak-terjerumus-dalam-lembah-maksiat.html https://muslim.or.id/307-10-nasihat-ibnul-qayyim-untuk-bersabar-agar-tidak-terjerumus-dalam-lembah-maksiat.html

[3] Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, 1: 275-276

[4] al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002.

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah bersabda:

مَنْ دَعَا إِلىَ هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذِلكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آَثاَمِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلكَ مِنْ آثَاِمهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala sebagaimana pahala setiap orang yang mengikutinya, dan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia menanggung dosa sebagaimana dosa setiap orang yang mengikutinya, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim).

 

Download Buletin klik disini

 

MENGAMALKAN KEBIASAAN MASYARAKAT DALAM KACAMATA ISLAM

Oleh:  Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Pembaca yang budiman, setiap manusia tentunya hidup dalam lingkungan yang memiliki kebiasaan berbeda-beda. Sebagai agama yang sempurna, syariat Islam telah mengatur hal tersebut. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah (non-ibadah). Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum asal semua perkara selain ibadah. Mengapa hal ini penting? Karena hal tersebut memiliki konsekuensi hukum halal dan haram. Sebuah hadits menyebutkan, “Kemudian Allah Ta’ala  mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya, serta menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan maka hukumnya dimaafkan.” (H.R. Abu Daud).

Sehingga hukum asal semua perkara selain ibadah (seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan muamalat) adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya dalam masalah pakaian, hukum asalnya mubah, seperti bolehnya memakai baju kemeja karena tidak ada larangannya di dalam syariat. Tetapi menjadi terlarang jika laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra karena ada dalil yang melarangnya, Nabi bersabda, “Sutra ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku dan halal bagi kaum wanitanya” (H.R. Ahmad).

Setiap pakaian yang terbuat dari sutra, baik baju, celana, kaos kaki, topi, dan lain sebagainya, hukumnya haram bagi laki-laki. Namun, Nabi mengizinkan memakai sutra bagi laki-laki yang sedang menderita sakit gatal-gatal, kudis, dan sebagainya. Dibolehkan juga memakai sutra bagi laki-laki yang berperang ketika sedang menghadapi musuh.[1]

 

Hukum Asal Ibadah adalah Haram

Hal ini berbeda dengan hukum asal ibadah. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya. Suatu perkataan atau perbuatan tidak bisa disebut sebagai ibadah sampai mendapatkan label ibadah dari Allah dan rasul-Nya. Hal ini sebagaimana di dalam firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad) ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’” (Q.S. Yunus [10]: 59).

Ibadah adalah jalan menuju Allah. Manusia tidak mungkin sampai ke tujuan kecuali dengan menempuh jalan yang telah Allah tetapkan. Tanpa keterangan dari Allah dan rasul-Nya, itu bukanlah ibadah yang disyariatkan.[2] Ibadah yang dilakukan tanpa niat hanya akan mendatangkan kelelahan. Niat tanpa keikhlasan tak lebih dari perbuatan riya’. Sedangkan ikhlas tanpa mengikuti petunjuk Nabi juga akan percuma.[3] Maka, seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dituntut untuk meluruskan niatnya, menumbuhkan rasa ikhlas, dan beribadah mengikuti petunjuk Nabi.

Jadi, kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Jika kebiasaan yang berlaku di masyarakat bertentangan dengan syariat, maka wajib meninggalkan kebiasaan tersebut. Contoh kebiasaan yang bertentangan dengan syariat adalah menyembelih hewan kepada selain Allah. Misalnya menyembelih hewan untuk sesajen. Ini termasuk kesyirikan.

Syirik adalah mempersembahkan sebagian ibadah kepada selain Allahﷻ, dengan menjadikan sebagian diantaranya untuk Allah, dan sebagian lainnya untuk selain Allah, seperti jin, manusia, malaikat, patung, pohon, bintang, batu, atau makhluk-makhluk lainnya, termasuk juga menyembelih hewan untuk mereka. Siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia telah menyekutukan Allah, menyembah selain Allah, dan membatalkan keislamannya.[4]

Janganlah kita mempertahankan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat ini walaupun kebiasaan tersebut sudah dilakukan dari dulu bahkan sudah dilakukan dari generasi-generasi sebelumnya”. Allah telah memberitahukan di dalam firman-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 170).

Ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang yang bandel dan mempertahankan keyakinan bathil mereka dengan dalih mempertahankan apa yang selama ini mereka terima dari nenek moyang mereka.[5] Kita hidup di dunia ini wajib mematuhi aturan yang Allah atur di dalam syariat-Nya. Sebagaimana hadis dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nashir a dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum. Maka janganlah kalian melampauinya. Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya…” (H.R. Daruquthni).

Maksud hadits ini adalah bahwa Allahﷻ mewajibkan berbagai macam kewajiban berupa ketaatan dan ibadah seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua dan sebagainya dari berbagai kewajiban.[6] Hendaknya sikap seorang muslim mencukupkan diri dengan perkara yang halal dan meninggalkan perkara yang haram. Jangan pula mendekati perantara-perantara yang mengantarkan kepada hal yang Allah haramkan. Perhatikanlah batasan-batasan Allahﷻ dengan tidak melampaui dan juga tidak melanggarnya.[7]

 

Faidah Ilmu

Dari penjelasan di atas, ada beberapa faidah ilmu yang dapat kita ambil:

  1. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah.
  2. Hukum asal semua perkara selain ibadah adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
  3. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya
  4. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

Pembaca yang budiman, hal seperti ini penting untuk diketahui agar kita tidak terombang-ambing dalam mengamalkan agama dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita mengetahui batasan-batasan halal dan haram dalam berinteraksi dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan juga tidak terjerumus dalam melakukan hal yang dianggap ibadah padahal bukan termasuk ibadah yang mengakibatkan amal yang kita lakukan menjadi sia-sia bahkan menjadi dosa karena membuat sesuatu yang baru dalam agama.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam mempelajari ilmu syar’i sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allahﷻ tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu Abbas RA berkata:

 

فَكُلُّ خُلَّةٍ هِيَ عَدَاوَةٌ إِلَّا خُلَّةُ الْمُتَّقِيْنَ

Maka setiap persahabatan akan menjadi permusuhan kecuali persahabatan orang-orang yang bertaqwa

(Tafsir Ath-Thabari 21/638)

 

[1] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

[2] Muhammad Abu Rivai. Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Bandung: Ellunar. 2017 M. Cet.k-1. hal. 74.

[3] Salim bin ‘Ied al-Hilali. Mubthilatul A’mal fi Dhau’il Qur’an al-Karim was Sunnah ash-Shahihah al-Muthahharah. Alih bahasa Badrusalam. Penyebab Rusaknya Amal Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2015 M. hal. 3.

[4] Abdul Aziz bin Baz. Subulus Salam – Syarh Nawaqidhil Islam. Alih bahasa Umar Mujtahid. Syarah Nawaqidhul Islam – Penjelasan Pembatal-pembatal Keislaman. Bekasi: Pustaka Dhiya’ul Ilmi. 2019 M. Cet.k-1. hal. 20.

[5] Supriyanto Pasir. Tafsir Is’af  al-Qashirin Surat al-Fatihah dan al-Baqarah. Sleman: Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI UII). 2019 M. Cet.k-1. hal. 288.

[6] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 471.

[7] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

 

Download Buletin klik disini

MEMETIK MAKNA KEPEDULIAN DI HARI RAYA IDUL ADHA

Oleh: Aisyah Amalia Putri*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Memaknai hari raya Idul Adha berawal dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim A.S atas kerelaan mengorbankan putra yang dicintainya. Tatkala Nabi Ibrahim bermimpi diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail A.S. Hal tersebut sesuai firman Allahﷻ, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 102).

 

Ikhlas dalam Beramal

Hikmah dari kisah diatas adalah meneladani sikap ketakwaan terhadap perintah Allahﷻ. Ketakwaan hadir dengan adanya keikhlasan berupa kejernihan hati yang mendorong kepada kepedulian. Ikhlas merupakan amalan hati untuk memperbaiki niat ketika  hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sesudah beramal semata-mata karena Allahﷻ. Sehingga rasa ikhlas membawa manusia pada amal kebaikan dengan penuh ketulusan. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 2)

 

Kepedulian Sosial

Dalam pembahasan diatas, ada keterkaitan antara keikhlasan dengan kepedulian. Menurut salah satu teori, kepedulian adalah salah satu bentuk tindakan nyata, yang dilakukan oleh masyarakat dalam merespon suatu permasalahan. Dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kepedulian juga merupakan partisipasi yakni keikutsertaan. Kepedulian sosial  merupakan  sebuah sikap keterhubungan dengan manusia pada umumnya, sebuah empati bagi setiap  anggota manusia untuk membantu orang lain atau sesama.[1] Dengan seorang muslim berqurban di hari raya Idul Adha menjadi salah satu kontribusi kepedulian dalam menegakkan agama dan kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan pada kisah  perjuangan  Nabi Ibrahim A.S dan Nabi Ismail A.S.

Dapat disimpulkan, menurut W.J.S Poewadarmintra poin-poin dari nilai kepedulian diantaranya:

Pertama, memberi bantuan berupa sandang, pangan dan kesehatan. Memberi bantuan merupakan ibadah. Ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang diperintahkan melalui jalan wahyu. contohnya adalah shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhaadalah ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat  pelakunya. Contohnya  adalah aktivitas makan. Makan bukanlah suatu ibadah yang khusus, namun apabila makan tersebut diniatkan untuk ibadah agar kuat untuk menjalani ibadah shalat dan pergi ke masjid,  maka makan tersebut akan bernilai pahala.[2]

Begitupula berqurban di hari raya Idul Adha, apabila diniatkan tulus karena Allahﷻ akan bernilai pahala. Terlebih dalam situasi pandemi sekarang ini. Semakin seseorang meningkatkan kepedulian berbagi maka semakin Allahﷻ akan memberikan keselamatan bagi hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,”Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak pernah mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Obatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala bencana, dan yang paling ringan adalah penyakit kusta dan sopak (vitiligo).” (H.R.Thabrani).

Dengan demikian Allahﷻ menganjurkan untuk saling membantu dalam hal ketakwaan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan . Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 2).

Kedua, memberikan perhatian dan kasih sayang. Manusia diciptakan oleh Allahﷻ berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar saling menghargai. Sebagai seorang yang mukmin dianjurkan untuk saling mengenal dan berbuat baik kepada seluruh manusia agar menghadirkan rasa kasih sayang satu sama lain. Melalui berqurban di hari Raya Idul Adha, Islam mengajarkan kita untuk mendapatkan nilai tersebut sebagai pokok perhatian kita kepada umat muslim. Dalam al-Quran Allah l berfirman, “…Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Dalam syariat Islam, syarat-syarat yang berhak mendapatkan daging qurban menurut Badan  Amil Zakat Nasional adalah: orang yang berqurban, tetangga sekitar, teman dan kerabat, serta fakir miskin. Hal tersebut terdapat dalam firman Allahﷻ, “Makanlah sebagian dari daging qurban, dan berikanlah sebagiannya pada orang fakir yang tidak minta -minta, dan orang fakir yang minta-minta.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 36).[3]

Dengan memperbanyak menjalin kasih sayang melalui berqurban diantara umat muslim maka, akan ada banyak kepedulian  yang datang. Sebagaimana dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al- Hujurât [49]: 10).

Ketiga, membiayai pendidikan. Fenomena hari Raya Qurban Idul Adha memberikan pembelajaran terkait pendidikan moral dan  tauhid.  Melihat kisah berbaktinya Nabi Ismail A.S kepada ayahnya Nabi Ibrahim A.S untuk menjalankan perintah Allahﷻ. Jika dibayangkan betapa beratnya hati seorang ayah menyembelih anaknya sendiri. Atas karunia Allah semua kejadian itu berbalik menjadi hikmah yang dapat kita rasakan bersama dengan indahnya berqurban di setiap hari raya Idul Adha. Allahﷻ berfirman, ” Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Saffat [37]: 107-110).

Selain itu, nilai kepedulian yang dapat dipetik adalah rasa empati terhadap mereka yang kurang mampu untuk membeli hewan qurban. Hari Raya Idul Adha menjadi kesempatan umat muslim untuk berlomba-lomba berqurban sebagai wujud membiayai mereka yang kurang mampu dalam berqurban. Terutama bagi  mereka yang terdampak pandemi covid-19. Tak lain halnya mereka membutuhkan asupan yang bergizi untuk meningkatkan imunitas. Tidak ada yang merugi bagi seseorang yang berqurban. Selain mereka mendapatkan pahala, Allahﷻ menjanjikan kepada mereka kebaikan yang berlipat ganda. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Barangsiapa berbuat kebaikan maka mendapat (balasan) sepuluh kali lipat amalnya .” (Q.S. al-An’am [6]: 160).[4]

Demikianlah, ada banyak nilai kepedulian yang dapat kita  petik  di  dalam  Hari Raya Idul Adha, diantaranya; nilai pejuangan kisah Nabi Ibrahim A.S dan Ismail A.S kasih sayang, berbagi dan hal lainnya. Amal kebaikan tersebut mampu menjadikan acuan umat muslim untuk bersinergi, bersatu dan bahu membahu. Semoga Allah l melimpahkan rahmat dan keberkahan-Nya agar pandemi covid-19 segera berlalu melalui kebaikan serta pembelajaran indahnya berbagi di Hari Raya Idul Adha. Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

 

* Alumni UII

[1] W.J.S Poewadarmintra. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,1980)

[2] https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah- bag-1.html

[3] https://www.madaninews.id/3255/siapa-saja-yang-berhak-menerima-daging-qurban.html

[4] http://repository.uin-suska.ac.id/20227/7/7.%20BAB%20II.pdf

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah R.A, Rasulullah  bersabda,

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699).

 

Download Buletin klik disini

 

ADAB MENYEMBELIH HEWAN QURBAN

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah[1]

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, dalam proses penyembelihan hewan Qurban, ada teknik dan metode yang digunakan serta tidak sembarangan dalam menyembelih. Berdasarkan hadits dari Aisyah R.A, Rasulullah bersabda: “Wahai Aisyah, ambilkan pisau besar, kemudian beliau bersabda pertajamkan itu dengan batu, maka Aisyah melakukannya. Setelah pisau itu dibawakan, Nabi mengambilnya dan membaringkan kibasy, lalu (bersiapuntuk) menyembelihnya. Kemudian beliau berkata, “Dengannama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad”, kemudian beliau menyembelihnya. (H.R. Abu Dawud)[2]

Dalam melaksanakan penyembelihan qurban, harus sesuai dengan waktunya. Waktu pelaksanaanya itu mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Tepatnya setelah selesai shalat Idul Adha dari tanggal 10 Dzulhijjah sampai hari tasyrik (11,12, 13 Dzulhijjah)

 

Adab dalam Menyembelih

Berikut adab dalam menyembelih hewan Qurban:

  1. Menajamkan pisau, semakin tajam semakin baik

Seperti hadis dari ‘Urwah bin Zubaira , dia berkata, kemudian Rasulullah bersabda kepada ‘Aisyah R.A, “Wahai ‘Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan, “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban dengannya.”(H.R. Muslim, no.3637)[3]

Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa dalam menyembelih hewan qurban, memerlukan pisau yang tajam, sehingga hewan yang disembelih tidak terlalu lama merasakan sakit. Jika dilakukan dengan pisau yang tumpul, itu sama saja akan mengulur waktu. sehingga hewan yang disembelih akan merasakan sakit yang cukup lama.

 

  1. Menyembelih yang baik dan benar, sesuai aturan Islam

Dalam menyembelih hewan qurban, perlu tata cara yang benar dan terarah, prosesnya sendiri  perlu ketepatan dan cepat agar hewan yang disembelih tidak merasa kesakitan. Seperti hadis berikut: Syaddad bin Aus berkata, “Dua hal yang saya telah menghafalnya dari Rasulullahﷺ, ‘sesungguhnya Allahﷻ telah menetapkan kebaikan atas setiap sesuatu’, jika kalian membunuh maka perbaguslah cara membunuhnya dan jika kalian menyembelih maka perbaguslah cara menyembelihnya, tajamkanlah pisaunya dan haluskanlah sembelihannya.” (HR. Ibnu Majah no. 3161).[4]

Bisa disimpulkan dari hadis diatas, bahwa dalam menyembelih hewan itu perlu etika dan tidak tergesa-gesa dalam menyembelih apalagi sampai membuat hewan tersebut tersakiti.

 

  1. Menghadap ke arah kiblat hewan yang akan disembelih

Hewan qurban yang akan disembelih disunnahkan untuk dihadapkan ke arah kiblat, yang dihadapkan ke arah kiblat itu bagian leher yang akan di sembelih. Bukan bagian wajah.  Hal itu disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah, karenanya arah kiblat tersebut dimaksud hendak mendekatkan diri kepada Allah.[5]

Selain mendekatkan diri kepada Allahﷻ, kita akan selalu ingat tujuan menyembelih hewan ini untuk apa, dan senantiasa bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh Allahﷻ. Syaikh  Abu  Malik  menjelaskan  bahwa  menghadapkan  hewan  ke  arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan   menjelaskannya.   Namun   hal   ini  hanyalah mustahab (dianjurkan).

 

  1. Membaca BismillâhI Allâhu Akbar sebelum menyembelih

Dalam syariat Islam, hewan yang ketika disembelih dengan tidak mengucapkan kalimat Allahﷻ, maka tidak akan halal daging tersebut untuk dikonsumsi. Allahﷻ  berfirman dalam al-Qur’an: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang  yang  tidak  disebut  nama Allah  ketika  menyembelihnya.Sesungguhnya  perbuatan  yang  semacam  itu adalah  suatu  kefasikan.  Sesungguhnya  syaitan  itu  membisikkan  kepada kawan-kawannya  agar  mereka  membantah  kamu;  dan  jika  kamu  menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Q.S. al-An’am [6]: 121).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, sebelum menyembelih hewan qurban diwajibkan untuk mengucapkan kalimat Allah,  itu juga sebagai pembeda dari orang kafir dan muslim dalam menyembelih hewan. Kita sebagai seorang  muslim harus selalu menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, sesungguhnya aturan itu ada untuk kebaikan kita sendiri.

 

  1. Memastikan bahwa kerongkongan atau urat leher sudah terputus

Menurut   madzhab   Hanafi   dan   Maliki,   penyembelihan   adalah   tindakan memotong  urat-urat  kehidupan  yang  ada  pada  hewan  itu,  yaitu  empat  buah  urat: tenggorokan (al-hulqûm), kerongkongan (almarî), dan  dua  urat  besar  yang  terletak  di bagian  samping  leher  (al-wadjân).  Lokasi  penyembelihan  itu  sendiri  adalah  bagian  di antara labbah (bagian  bawah  leher)  dengan lahyain (tulang  rahang  bawah).

Sementara  penyembelihan  dalam  pandangan  madzhab  Syafi’i dan Hambali adalah  tindakan  menyembelih  hewan  tertentu  yang  boleh dimakan dengan cara memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Adapun posisi dan lokasi pemotongan itu bisa di bagian atas leher (al-halq) atau dibagian bawah leher (labbah), atau  dalam  situasi  yang tidak  memungkinkan  dilakukannya penyembelihan  di  leher, maka dilakukan penikaman yang mematikan dibagian mana saja dari tubuh hewan itu.

Sehingga  dapat  disimpulkan    penyembelihan  menurut  kesepakatan  ulama  adalah melakukan  penyembelihan  di  bagian  atas  leher,  bagian  bawah  leher  atau  melakukan penikaman pada hewan yang bermaksud untuk melepaskannya nyawanya dengan jalan yang  paling  mudah,yang  kiranya  tidak  menyiksa  atau  menyakiti  hewan  dengan  alat yang  tajam  selain  kuku, tulang dan  gigi sehingga  memenuhi  syarat  kehalalan  untuk mengkonsumsinya.[6]

 

Hikmah Dari Penyembelihan

Di antara hikmah penyembelihan adalah kita bisa membedakan   antara   binatang   yang bersih dengan sebab proses penyembelihan menurut aturan Islam. Menghindarkan dari binatang yang dianggap najis karena mati tanpa disembelih, oleh  karena itu  daging qurban itu  bersih dan halal dimakan sebaliknya binatang yang tanpa menyebutkan kalimat Allah atau telah menjadi bangkai haram dimakan. Penyembelihan merupakan salah satu cara mengeluarkan darah yang bercampur dengan daging dan bagian-bagian lain terdapat pada    binatang yang disembelih. Darah najis dan hukumnya haram apabila dikonsumsi. Selain itu hikmah dari penyembelihan adalah kita senantiasa mengharapkan keridhaan dari Allah karena menjalankan perintah-Nya. dan selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita . Selain itu berqurban itu juga memudahkan dan mempercepatkan hewan tersebut mati.[7] Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

Marâji:

[1] Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[2] Jayadi Yusuf Sukman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemberian Daging Kurban Kepada Panitia Sebagai Upah,” Skripsi 4 (2017): 9–15

[3] H.R. Muslim no.3637. Syarh Shahih Muslim: 1967

[4] H.R. Ibnu Majah no. 3161. Shahih menurut Nashiruddin Al Albani

[5] Tribun jabar id, “Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban, Ini 6 Hal yang Harus Diperhatikan Sesuai Sunnah Rasulullah”, dikutip dari https://jabar.tribunnews.com/2019/08/05/tata-cara-menyembelih-hewan-kurban-ini-6-hal-yang-harus-diperhatikan-sesuai-sunnah-rasulullah?page=all diakses pada hari minggu 11 juli 2021

[6] Yanti Roslina Naibo dkk , “Pelaksanaan Penyembelihan Hewan (Studi Di Rumah Pemotongan Hewan Oeba Kupang)” 4,  (2021): 5-10.

[7] Ibid, hal 13

 

Download Buletin klik disini

IDUL ADHA DI ERA SECOND-WAVE COVID-19

Oleh: Shofi Latifah Nuha Anfaresi*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Idul Adha atau yang kerap kali disebut sebagai hari raya lebaran haji merupakan perayaan yang dilakukan umat Muslim di belahan dunia manapun, tidak terkecuali Indonesia, negara dengan penganut agama Islam terbanyak di dunia. Di dalam agama Islam, setiap Muslim melaksanakan shalat Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Hal ini ditujukan sebagai bentuk ketakwaan, ketaatan dan kecintaan kepada Allahﷻ. Qurban secara bahasa, berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti dekat atau mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Qurban dapat pula disebut sebagai Udhhiyah atau Dhahiyyah yakni hewan sembelihan. Pelaksanaan ibadah  dilaksanakan oleh seluruh umat Islam pada bulan Dzulhijjah, yakni pada tanggal 10 (nahar), 11, 12 dan 13 (tasyrik).

 

Sejarah Ibadah Qurban

Sejarah munculnya ibadah qurban erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim a.s yang memiliki posisi yang dekat dengan Allahﷻ dan juga mulia di dalam agama Islam. Nabi Ibrahim mengorbankan putranya, yakni Ismail a.s, sang buah hati satu-satunya yang sangat ia cintai. Perintah yang disampaikan melalui mimpinya itu kemudian disetujui oleh anaknya dan dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim a.s dengan sepenuh hati. Ismail a.s melalui penyembelihan tersebut kemudian diganti oleh Allahﷻ dengan seekor domba. Hal ini merupakan petunjuk dari Allahﷻ kepada umat manusia bahwa praktik pengorbanan terhadap manusia tidak diperkenankan karena kasih sayang-Nya semata[1].

Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ibadah qurban merupakan suatu ibadah yang sangat disenangi Allahﷻ yang dilaksanakan tepat pada hari raya Idul Adha, “Amalan manusia pada saat hari raya Idul Adha yang paling dicintai Allah adalah menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat (sebagai saksi) dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban itu telah terletak di suatu tempat di sisi Allah sebelum mengalir ke tanah. Karena itu bahagiakanlah dirimu dengannya.” (Hakim, Ibn Majah, dan Tirmidzi; ia mengatakan hadits ini hasan gharib).

 

Ketentuan Penyembelihan Qurban

Dalam fiqih penyembelihan hewan, terdapat standar ataupun ketentuan yang perlu diperhatikan oleh umat muslim yang terlibat dalam prosesi penyembelihan,[2] yakni:

  1. Hewan yang disembelih haruslah dalam keadaan hidup saat akan disembelih dan telah memenuhi standar kesehatan hewan dari lembaga yang berwenang.
  2. Penyembelih haruslah beragama Islam, telah baligh, memahami cara penyembelihan syar’i, memiliki keterampilan dan kemampuan menyembelih.
  3. Alat penyembelihan yang digunakan khusus untuk penyembelihan halal, harus tajam, halus, tidak bergerigi, berlubang, retak atau kerusakan lainnya. Ukuran alat disesuaikan minimal 1,5x lebar leher hewan dan tersedia minimal 2 pisau untuk penyembelihan. Pisau harus dicuci dan diasah untuk memastikan ketajamannya setiap selesai menyembelih.
  4. Pada proses penyembelihan, hewan disunnahkan untuk dihadapkan kearah kiblat dengan niat menyembelih dan menyebut bismillahi Allahu akbar. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah hewan melalui pemotongan saluran makanan, pernafasan, dan dua pembuluh darah dalam satu kali proses secara cepat (< 10 detik), tanpa mengangkat pisau dan tidak memutus tulang leher hewan.
  5. Pasca penyembelihan, hewan yang telah mati dipindahkan ke ruang pemotongan dengan adanya karkas terpisah untuk ruang penanganan jeroan, kulit, kaki dan kepala. Proses pengeluaran jeroan ini harus hati-hati supaya saluran pencernaan, kantong kemih dan empedu tidak mencemari karkas.

Prosesi tersebut diatas tentu memerlukan tenaga dan keterlibatan masyarakat secara inklusif sehingga dapat terciptanya tujuan ibadah Idul Adha yang sesuai syari’at. Sayangnya, di Indonesia sendiri, wabah COVID-19 masih belum sepenuhnya terkendali. Belum lagi, adanya jenis virus COVID-19 baru, yaitu virus COVID-19 yaitu B.117 yang berasal dari Inggris, B.1351 dari Afrika Selatan dan varian mutasi ganda yang baru-baru ini diperoleh dari India, yakni B. 1617. Hal inilah yang kemudian mengundang kekhawatiran dan kewaspadaan masyarakat di Indonesia terkait peningkatan penularan virus COVID-19. Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan Idul Adha agar tetap sesuai dengan pedoman fiqih namun berusaha pula untuk tidak menambah kasus COVID-19?

 

Qurban Saat Wabah Covid 19

Fatwa MUI mengenai Shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah COVID-19 telah diterbitkan dan dapat dijadikan sebagai acuan masyarakat yang menganut agama Islam di Indonesia untuk menjalankan ibadah di hari raya Idul Adha (MUI, 2020). Beberapa fatwa yang perlu diketahui masyarakat pada pelaksanaan hari raya Idul Adha yaitu:[3]

  1. Melaksanakan ibadah qurban hukumnya sunnah muakkad, dilaksanakan dengan melakukan penyembelihan hewan ternak.
  2. Ibadah qurban tidak dapat diganti dengan uang ataupun barang lain yang senilai, meski ada hajat dan kemaslahatan yang dituju. Apabila hal itu dilakukan, maka hal ini dihukumi sebagai shadaqah.
  3. Ibadah qurban dapat dilakukan dengan cara taukil, yaitu pequrban menyerahkan sejumlah dana seharga hewan ternak kepada pihak lain, baik individu maupun lembaga sebagai wakil untuk membeli hewan qurban, merawat, meniatkan, menyembelih, dan membagikan daging qurban.
  4. Pelaksanaan penyembelihan qurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah dan meminimalisir potensi penularan
  5. Pemerintah memfasilitasi pelaksanaan protokol kesehatan dalam menjalankan ibadah qurban agar dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan terhindar dari potensi penularan Covid-19.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 114/Permentan/PD.410/9/2014 dan Surat Edaran Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor: 0008/SE/PK.320/F/06/2020[4] , maka;

  1. Masyarakat sangat dianjurkan untuk melakukan pembatasan jumlah petugas penyembelihan dan pendistribusian dengan mematuhi protokol kesehatan dan memastikan seluruh petugas terbukti sehat.
  2. Masyarakat direkomendasikan untuk tidak memaksakan pelaksanaan penyembelihan hanya pada tanggal 10 Dzulhijjah saja, namun dapat dilakukan pada hari tasyrik sehingga pada tanggal tersebut tidak terjadi penumpukan jumlah petugas dan sibuknya golongan masyarakat yang ikut terlibat dalam penerimaan. Hal ini akan menjamin pula produk hewan yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
  3. Masyarakat harus melakukan perencanaan pengaturan desain lokasi, alur proses dan pembagian tugas personil yang tepat sehingga proses penyembelihan berjalan efektif dan efisien sehingga dapat meminimalisir potensi penularan virus COVID-19.

Masyarakat melalui acuan peraturan pemerintah diharapkan dapat saling bekerjasama dan berikhtiar semaksimal mungkin untuk melaksanakan ibadah qurban dengan menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan, yakni selalu menggunakan APD (alat pelindung diri) berupa masker, sabun cuci tangan/hand sanitizer dan menjaga jarak. Semoga Allahﷻ meridhai ikhtiar kita semua.Âmîn.[]

 

Marâji’:

 

* Alumni FTSP UII

[1] Jayusman. 2012. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Qurban Kolektif. Al-’Adalah 10(4), pp. 435-446

[2] Handoko, S., Satyadarma, W., Nugroho, W.S. 2020. Panduang Praktis  di Era New Normal. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Hal 65-67

[3] Fatwa MUI mengenai Shalat Idul Adha Dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah COVID-19 No. 36 Tahun 2020

[4] Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 114/Permentan/PD.410/9/2014

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Ayyub a yang mengatakan,

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” (H.R. Tirmidzi, ia menilainya shahih, Minhaajul Muslim, Hal. 264 dan 266).

 

Download Buletin klik disini

AYO BERQURBAN

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allahﷻ, berqurban merupakan salah satu amalan baik dan sunnah untuk dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allahﷻ, seperti hadits dari Asy-Sya’bi dari al-Barra’ dia berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (‘idul adha) adalah mengerjakan shalat kemudian pulang dan menyembelih binatang qurban, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia telah bertindak sesuai dengan sunnah kita, dan barang siapa menyembelih binatang qurban sebelum (shalat ied), maka sesembelihannya itu hanya berupa daging yang ia berikan kepada keluarganya, tidak ada hubunganya dengan ibadah qurban sedikitpun. Lalu Abu Burdah Bin Niyar berdiri seraya berkata;“sesungguhnya aku masih memiliki jad’ah, maka beliau bersabda, “sembelihlah namun hal itu tidak untuk orang lain setelahmu”. (H.R Bukhari no.5119).[1]

 

Manfaat Berqurban

Berqurban banyak memiliki manfaat, diantara manfaatnya adalah:

Bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah

Segala sesuatu di muka bumi ini merupakan titipan dari Allahﷻ, harta, tahta, jabatan semua bersifat  sementara dan akan hilang pada waktunya, dengan kita menyisihkan sebagian harta kita untuk berqurban, itu merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur kita kepada Allahﷻ, yang telah memberikan nikmat yang tidak terhitung banyaknya.selain itu kita akan menyadari bahwa dunia ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak saling memberi dan menerbarkan kebaikan sekaligus memberikan manfaat kepada orang lain.

Allahﷻ berfirman dalam al-Qur’an:“(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan salat dan orang yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka.” (Q.S. al-Hajj [22]:35).

Dari ayat di atas mengajarkan bahwa berapapun rezeki yang diberikan Allahﷻ kita sebagai manusia  patut untuk bersyukur dan terus berusaha untuk mencapai Ridha-Nya

 

Amalan yang dicintai oleh Allah

Qurban merupakan salah satu amalan yang lebih dicintai Allahﷻ, kenapa begitu? Karena orang yang melakukan qurban itu sangat jarang apalagi di hadapkan di masa sekarang. Sekarang ini banyak orang mampu secara finansial untuk bisa berqurban tetapi enggan untuk melaksanakan, tetapi sebaliknya orang yang dianggap tidak mampu secara finansial malahan berusaha untuk menabung untuk membeli hewan qurban untuk diserahkan ke masjid sekitar. Selain di cintai Allahﷻ orang yang berqurban juga akan di hormati dan akan dicintai oleh orang-orang sekitar.

Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah: “Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adhha) yang lebih dicintai oleh Allah selain dari pada mengucurkan darah (hewan qurban). Karena sesungguhnya ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berqurban.” Ia berkata; “Dalam bab ini ada hadits serupa dari Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam.” Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan gharib, kami tidak mengetahui hadits ini dari Hisyam bin Urwah selain dari jalur ini. Dan Abul Mutsanna namanya adalah Sulaiman bin Yazid. Dan Abu Fudaik telah meriwayatkan hadits darinya.” Abu Isa berkata; “Telah diriwayatkan dari Rasulullahﷺ, Bahwasanya beliau pernah bersabda tentang qurban; “Pemiliknya akan mendapat satu kebaikan dari setiap bulunya.” Dalam riwayat lain, “Dengan setiap tanduknya.” (H.R.Tirmidzi Nomor 1413).[2]

 

Sebagai bentuk rasa cinta kepada saudara kita yang kurang mampu

Sebagai seorang muslim kita senantiasa untuk berbuat baik dan membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu, berqurban merupakaan salah satu bentuk wujud kita mencintai atau mengungkapkan rasa kasih sayang kita kepada saudara  muslim. Allahﷻ berfirman, “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”. (Q.S. al-Hajj [22]:34).

Dari ayat diatas bisa kita ambil hikmahnya bahwa semua orang mempunyai rezeki yang telah diatur, dan setiap kebaikan pasti akan dibalas oleh Allah berkali-kali lipat, termasuk berqurban

 

Pahala yang begitu besar, dari 1 tetes darah mulai di hitung pahala yang mengalir

Semua yang ada dunia ini akan menjadi saksi tentang apa yang kita perbuat, mulai dari anggota badan seperti: tangan, kaki, mata kecuali mulut yang akan terkunci dan juga  benda yang tidak bergerak seperti batu ,daun dan lain-lain yang ada bersama kita.  pahalanya orang yang berqurban itu semuanya di hitung bahkan dari satu tetes darah sekalipun ikut di hitung sebagai pahala yang telah di kerjakan, berqurban itu hukumnya sunnah dan hanya untuk orang yang mampu untuk berqurban. Tidak ada paksaan dalam berqurban.

Rasulullah bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai oleh Allah dari Bani Adam ketika hari raya Idul Adha selain menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat (sebagai saksi) dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban telah terletak di suatu tempat di sisi Allah sebelum mengalir di tanah. Karena itu, bahagiakan dirimu dengannya.” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim).[3]

 

Menjaga silaturrahim

Berqurban  memberikan manfaat yang sangat besar salah satunya menyambung silaturrahim. dengan  berqurban akan terbentuk nilai kekeluargaan antar tetangga, kerabat dan orang-orang sekitar. Mulai dari proses penyembelihan hewan ternak yang butuh ekstra untuk mengangkat dan menjaga agar hewan yang baru disembelih tidak kabur atau lari, kerjasama tim juga sangat dibutuhkan dalam proses  pemotongan  daging, kulit, tulang. sampai mendata warga yang memang pantas untuk dibagi daging dan membagikan kepada orang-orang sekitar merupakan bentuk interaksi yang bisa memperkokoh silaturrahim agar terciptanya sebuah masyarakat yang aman, tertib dan saling gotong royong.

Allahﷻ berfirman, “Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” (Q.S. Muhammad [47]: 22-23).

Dari ayat diatas sudah jelas bahwa menjaga silaturrahim itu penting, dan bahkan ada ancaman sendiri jika memutuskan silaturrahim, dengan berqurban akan diharapkan tali silaturrahim semakin kuat dan semakin terjaga. Wa Allâhu a’lam.

 

 

Penyusun:

Nur Laelatul Qodariyah

Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam,

Universitas Islam Indonesia.

 

[1] H.R. Bukhari no. 5119. Shahih menurut ijma’ ulama.

[2] H.R.Tirmidzi no.1413. Shahih menurut ijma’ ulama.

[3] Tribun Timur, “Begitu Besar Pahala Berqurban, Mulai Tetes Darahnya Dihitung 10 Malaikat”, dikutip dari https://makassar.tribunnews.com/2015/09/23/begitu-besar-pahala-berqurban-mulai-tetes-darahnya-dihitung-10-malaikat, diakses pada hari minggu tanggal 4 juli 2021 jam 14.04

 

 

Mutiara Hikmah

 

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (Q.S. al-Haj [22]: 37)

 

 

Download Buletin klik disini

AMALAN UTAMA DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Diantara kasih sayang Allahﷻ terhadap hamba-Nya, Allahﷻ menjadikan untuk mereka (kaum muslim) bulan-bulan ketaatan, dimana di dalamnya dianjurkan untuk mereka memperbanyak amal shalih, salah satunya adalah amalan di bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah sendiri merupakan salah satu bulan yang dimuliakan di dalam ajaran agama Islam. Bahkan para ulama mengatakan, apabila ada bulan yang dapat menandingi keutamaan bulan Ramadhan, maka bulan itu adalah bulan Dzulhijjah.

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas R.A berikut, “Tidak ada satu amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shalih yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabiﷺ menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (H.R Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibu Majah)[1].

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allahﷻ, “Dan demi malam yang sepuluh.” (Q.S. al-Fajr [89]: 2). Di sini Allahﷻ menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat.

Karena keutamaan yang banyak inilah, maka disyari’atkan mengerjakan amal-amal shalih dan diberi ganjaran yang luar biasa. Di antara amal-amal tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Berpuasa pada 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi mengatakan, “Rasulullahﷺ biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya.” (H.R. Abu Dawud)[5]

Apabila kita tidak mampu mengerjakan puasa selama 9 hari berturut turut seperti bunyi hadits di atas, maka setidaknya kita dianjurkan untuk jangan melewatkan salah satu puasanya, yaitu puasa Arafah. Karena Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya” (H.R. Muslim)

 

  1. Memperbanyak Dzikir dan Takbir.

Sebagaimana firman Allahﷻ, “… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”. (Q.S. al-Hajj [22]: 28).

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar R.A. “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. (HR. Ahmad).

 

  1. Menunanikan Haji dan Umroh bagi yang mampu.

Allahﷻ berfirman, “Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu.” (Q.S. al Baqarah [2]: 197). Yang dimaksudkan dengan haji dalam ayat di atas adalah ihram untuk haji bisa dilaksanakan dalam bulan-bulan yang sudah ditentukan, yaitu: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Selain bulan-bulan tersebut, maka ihram seseorang untuk haji tidak sah. Bahkan hampir sebagian semua prosesi manasik haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah.

 

  1. Memperbanyak amalan shali

Amal shalih yang dapat dilakukan dapat berupa sedekah, memperbanyak membaca al-Qur’an, dan berbagai macam amal shalih lainnya yang dapat meningkatkan iman kita dan juga pahala yang berlipat ganda.

Allahﷻ berfirman menceritakan saat-saat seseorang menjelang ajalnya, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (Q.S. al Munâfiqûn [63]: 10)

Begitupula dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, Rasulullâh bersabda, “Al Qur’an adalah sebaik-baik dzikir.” (H.R. Ibnu Khuzaimah, Shahih)

 

  1. Berqurban

Qurban adalah ibadah yang disyari’atkan setahun sekali dan dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. Allahﷻ berfirman, “Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berqurbanlah!” (Q.S. al-Kautsar [108]: 2)

Hal ini juga merupakan sunnah Nabi Ibrahim A.S, yakni ketika Allahﷻ menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu“. (H.R. Bukhori no. 5558, Muslim no. 1966 ).

Rasulullaah bersabda, Dari Anas bin Malik R.A, ia berkata bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (H.R. Bukhari no. 5546).

Dari Hadits dan juga ayat Al-Qur’an di atas, menunjukkan bahwa ibadah qurban itu merupakan kekhususan dan syi’ar yang hanya terdapat pada bulan Dzulhijjah. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hendaknya kita sebagai umat muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allahﷻ, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan, memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allahﷻ agar mendapat ridha-Nya. Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allahﷻ, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allahﷻ. Wallâhu a’lam.[]

 

Marâji’:

[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

[2] Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.

[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.

[4] Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.

[5] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

 

Penyusun:

Haritsa Taqiyya Majid

Alumni Fakultas Teknologi Industri

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullâh bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (H.R. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

 

Download Buletin klik disini