KEUTAMAAN BULAN HARAM (ASYHURUL HURUM)

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, sudah diketahui bahwa kita sudah memasuki bulan Dzulqa’dah. Artinya tiga bulan berturut-turut mulai Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan satu bulan lagi terpisah yaitu bulan Rajab, menjadi bagian dari bulan haram (bulan yang dimuliakan). Bulan-bulan ini dinamakan bulan haram karena kemuliaannya. Segala amal shalih yang dikerjakan akan mendapatkan pahala lebih besar dari pada di bulan lainnya. Begitupun sebaliknya segala perbuatan dosa yang dikerjakan akan mendapat siksaan yang lebih besar dari pada bulan lainnya.

Hal ini sesuai degan firman Allahﷻ dalam surah At-Taubah ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah, di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan yang haram, itulah ketetapan agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Q.S. at Taubah [9]: 36)

Bulan-bulan haram sangat dimuliakan, sehingga tidak boleh berbuat kezhaliman, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Bentuk kezhaliman dapat berupa meninggalkan apa yang diwajibkan Allahﷻ dan melakukan apa yang dilarang Allahﷻ. Di luar bulan-bulan haram, tentu saja ketentuan tersebut juga berlaku.

Hanya saja ketika bulan haram lebih ditekankan, karena pahala dan dosa yang didapat lebih besar dari pada bulan lainnya. Sehingga umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Selain keutamaan tersebut, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalan bulan haram menambah kelengkapan dari keistimewaan bulan-bulan ini.

 

  1. Dzulqa’dah.

Secara bahasa, Dzulqa’dah terdiri dari dua kata: Dzul, yang artinya: Sesuatu yang memiliki dan al Qa’dah, yang artinya tempat yang diduduki. Bulan ini disebut Dzulqa’dah, karena pada bulan ini, kebiasaan masyarakat arab duduk (tidak bepergian) di daerahnya dan tidak melakukan perjalanan atau peperangan. (al-Mu’jam al-Wasith, kata: al-Qa’dah)[1]

Begitu juga orang-orang Arab dulu tidak melakukan peperangan (qu’ud ‘anil qitaal). Bulan ini juga menjadi salah satu rangkaian dari bulan haji, yaitu Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, tidak sah ihram untuk haji apabila dilakukan selain waktu tersebut. Keistimewaan bulan ini adalah 30 malam dari bulan Dzulqa’dah telah disebutkan oleh Allahﷻ dalam  surah al-A’raf ayat 142, “Dan kami telah menjanjikan kepada Musa untuk memberikan kepadanya kitab Taurat setelah berlalu tiga puluh malam (bulan Dzulqa’dah), dan kami sempurnakan jumlah itu dengan sepuluh malam lagi (sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya menjadi empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam memimpin kaummu, dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-A’râf [7]: 142)[2]

 

  1. Dzulhijjah.

Bulan Dzulhijjah menjadi bulan berkumpulnya ibadah-ibadah utama, seperti shalat, puasa, haji dan qurban. Maka wajar jika bulan ini termasuk bulan yang dimuliakan. Bulan Dzulhijjah memiliki banyak keutamaan, salah satunya terletak pada sepuluh hari pertama.

Selain itu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah juga dijadikan sebagai salah satu media bersumpah oleh Allahﷻ. Hal ini termaktub dalam surah al-Fajr ayat ke-2, “Dan (demi) malam-malam yang sepuluh.” Kemuliaan bulan ini juga selaras dengan banyaknya peristiwa penting yang menyertainya, seperti kisah Nabi Ibrahim yang diperintahakan Allahﷻ untuk menyembelih Nabi Ismail. Kemudian pada tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Pada bulan ini juga Allahﷻ memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji, dan qurban.[3]

 

  1. Muharram

Bulan ini dinamakan muharram karena bangsa Arab dulu telah sepakat untuk mengharamkan peperangan pada bulan ini. Di bulan Muharram terdapat hari Asyura yang merupakan hari kesepuluh dari bulan ini dan mempunyai keutamaan yang sangat besar. Sehingga umat Islam sangat dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana hadits dari Abu Qatadah, beliau mengatakan, “Nabiﷺ ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (H.R. Muslim 1162). Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abu Hurairah, Nabiﷺ bersabda,  “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (H.R. Muslim)

Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan, “Rasulullahﷺ menuju kota Madinah ketika orang-orang Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, kemudian Nabiﷺ bersabda,”Hari apa ini, hingga membuat kalian berpuasa? Mereka menjawab, “Hari ini hari mulia, hari dimana Allahﷻ telah menyelamatkan Musa dari kejaran Fir’aun bersama kaumnya dan menenggelamkan mereka. Mereka berpuasa di hari ni sebagai tanda syukur.” Rasulullahﷺ pun bersabda, “Kita lebih berhak atas Musa dari pada kalian”. Kemudian Rasullullah pun berpuasa seketika itu dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa (H.R. Bukhari).[4]

 

  1. Rajab.

Dinamakan bulan Rajab, dari kata rajjaba – yurajjibu yang artinya mengagungkan. Bulan ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab.[5] Seperti yang disebutkan dalam hadits, Nabiﷺ bersabda, “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut: Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan sya’ban.” (H.R. al-Bukhari dan  Muslim)

Disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain. Kemudian, Nabiﷺ memberi batasan: antara Jumadil (tsaniyah) dan sya’ban, sebagai bentuk menguatkan makna. (Umdatul Qori, 26/305)[6]

Dengan demikian, masing-masing bulan haram memiliki keistimewaan yang telah dijamin oleh Allahﷻ. Oleh karena itu, hendaknya umat Islam memanfaatkan bulan-bulan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ dengan meningkatkan kualitas ibadahnya.

Marâji’

 

[1] Baca selengkapnya: https://konsultasisyariah.com/28225-mengenal-bulan-dzulqadah.html

[2] Rohmad, Nur. Keutamaan Bulan Dzulqa’dah dan Peristiwa Penting di Dalamnya. https://islam.nu.or.id/post/read/121402/khutbah-jumat-keutamaan-bulan-dzulqadah-dan-peristiwa-penting-di-dalamnya. 2020

[3] Luthfi, Hanif. Amalan Ibadah Bulan Dzulhijjah. Jakarta: Rumah Fiqih. 2020

[4] Sa’adah, Siti Zumratus. Menggapai Berkah di Bulan-Bulan Hijriyah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2015 (muharam)

[5]  Keterangan Al Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, hal. 210

[6] Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/2045-bulan-rajab.html

 

Penyusun:

Nailis Sa’dah, S.Hub.Int

Alumni FPSB UII

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah n, beliau mengatakan,

أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ: صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai kutinggalkan sampai aku mati: Puasa 3 hari setiap bulan, shalat dhuha, dan tidur setelah witir.” (H.R. Bukhari no.1178, dan Muslim no. 721).

Download Buletin klik disini

MANAJEMEN KEUANGAN UNTUK MELAKUKAN IBADAH QURBAN

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, Idul Adha merupakan salah satu hari besar umat Islam yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, lebaran ini juga dikenal dengan “Lebaran Qurban” sebab ketika pada hari tersebut umat Islam di syariatkan untuk melakukan Qurban. Hal ini tertuang dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 34, “Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira pada orang-orang yang tunduk (patuh) pada Allah.” (Q.S. al-Hajj [22]:34).

Dalam tafsir Jalalayn disebutkan bahwa syariat berqurban tidak hanya untuk umat Islam saat ini saja, umat terdahulu juga mendapatkan perintah yang sama. Oleh karena itu, berqurban merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan selain untuk menolong sesama dengan membagi hasil qurban kepada masyarakat khususnya masyarakat kuirang mampu, berqurban menjadi salah satu fasilitas bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Hal ini dapat dilihat dari cara menyembelih hewan qurban yang diharuskan menyebut nama Allah.

 

Hewan Qurban

Dari ayat di atas juga dapat diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa sesungguhnya hewan qurban itu tidak sah kecuali dari hewan ternak, yaitu: unta, sapi (termasuk kerbau), kambing (termasuk biri-biri) dan segala macamnya, baik jantan atau betina. Qurban tidak boleh dengan selain binatang ternak (bahimatul an’am) seperti sapi liar, kijang dan sebagainya.

 

Hukum Berqurban

Ulama berbeda pendapat terkait hukum dari berqurban bagi umat Islam, antara lain sebagai berikut;

  1. Dalam kitab al-Umm Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum melakkan Qurban adalah sunnah, kendati demikian beliau senantiasa berqurban setiap tahunnya.[1]
  2. Dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik menyataka bahwa hukum berqurban adalah sunnah, pendapat beliau selaras dengan pendapat Imam syafi’I yang sangat tidak menyukai umat Islam yang mampu berqurban tetapi memilih tidak berqurban karena hukumya sunnah.[2] 
  3. Menurut Imam Abu Hanifah hukum berqurban adalah wajib bagi yang mampu, sedangkan mazhab-mazhab selain Hanafiyyah seperti Hanabilah, Syafi’iyyah, Malikiyah, dan Zhahiriyyah mengatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakkad bagi yang mampu dan makruh bagi yang mampu tetapi tidak berqurban.[3]

 

Mengatur Keuangan Agar dapat Berqurban

Kondisi ekonomi negara yang mendapatkan dampak negatif dari pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada perekonomian masyarakat khususnya dari kalangan menengah ke bawah, bukanlah hal baru jika masyarakat beranggapan bahwa melakukan ibadah qurban tahun ini lebih sulit dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Terdapat beberapa cara untuk mengatur keuangan agar bisa melakukan ibadah qurban pada saat lebaran qurban, antara lain;

  1. Niat yang Kuat

Dalam Islam, tujuan atau niat setiap tindakan mukallaf menjadi tolak ukur untuk menghukumi, niat baik yang belum terlaksanan akan bernilai ibadah akan tetapi niat buruk tidak akan bernilai keburukan (dosa) jika belum dilasksanakan. Oleh karena itu, sudah seharusnya seseorang yang mempunyai keinginan untuk beribadah qurban menanamkan niat tersebut dan berusaha semaksimalkan mungkin untuk merealisasikannya, tanpa adanya keinginan yang kuat maka cukup sulit untuk mewujudkan hal tersebut, sebab keinginan yang kuat akan mendorong seseorang untuk berkomitmen dan mencari celah untuk merealisasikannya.

  1. Menjadikan Tujuan Keuangan

Seseorang yang ingin melakukan ibadah qurban harus menjadikan berqurban sebagai salah satu tujuan dari alokasi dana/keuangannya, niat seseorang untuk berqurban dapat terlaksana jika terdapat dana yang dialokasikan untuk berqurban.

  1. Menabung Mandiri atau Berinvestasi 

Dana yang hendak di alokasikan untuk berqurban bisa ditabung secara mandiri atau dengan membuka rekening baru yang khusus untuk dana qurban. Untuk keberhasilan menabung harus ditentukan terlebih dahulu kisaran dana yang akan disisihkan untuk menbaung biaya qurban, kisaran tersebut akan bergantung kepada estimasi harga hewan qurban.

Contohnya: jika di tahun depan harga kambing bisa mencapai Rp 2,5 juta dan untuk sapi bisa mencapai sekitar Rp16 juta. Jumlah tersebut dibagi menjadi 10 bulan agar dana terkumpul sebelum lebaran tiba, jadi setiap bulannya harus menyicil Rp 250 ribu untuk kambing dan 1,6 juta perbulannya untuk seekor sapi. Akan tetapi, dana ditabung secara mandiri berisiko akan sangat mudah diambil dan digunakan untuk keperluan lain dengan demikian menabung secara mandiri mempunyai peluang cukup besar untuk gagal berqurban.

Selain menabung secara mandiri, investasi salah satu cara yang efektif untuk bisa melakukan ibadah qurban, investasi yang paling aman adalah investasi emas sebab harga emas sangat jarang turun bahkan cenderung mengalami kenaikan,

  1. Arisan atau Patungan Qurban

Dalam hal ini setiap anggota arisan akan melakukan cicilan, setiap kelompok akan melakukan pembelian hewan qurban atas nama salah satu kelompok dan akan bergantian setiap tahunnya, Namun yang harus diperhatikan adalah memastikan anggota yang bergabung orang yang amanah agar tidak ada penipuan dan pihak yang merasa dirugikan, dan yang paling utama adalah transaksi yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

  1. Melalui pihak Ketiga

Jika menabung, investasi dan patungan qurban tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, maka menggunakan bantuan pihak ketiga. Cara ini cukup evektif untuk merealisasikan keinginan untuk berqurban, saat ini sudah banyak lembaga masyarakat atau lembaga keuangan yang menyediakan jasa tabungan untuk ibadah qurban yang berpaket sesuai dengan jangka waktu dan harga hewan qurban yang diinginkan.

 

Perhatikan Sebelum Diaplikasikan

Sebelum semua cara di atas diaplikasikan harus diperhatikan terlebih apakah kita sudah layak atau sudah memenuhi syarat untuk berqurban, jika dengan melakukan ibadah qurban yakni menyisihkan dana untuk menyicil atau membeli hewan qurban tidak memberi pengaruh yang negatif terhadap pemenuhan kebutuhan primer maka kita sudah layak untuk berqurban. Dana yang bisa kita gunakan untuk dialokasikan atau disisihkan untuk berqurban bisa diambil dari bonus, berbagai tunjangan khususnya tunjangan hari raya.

Ketika hari raya Idul Fitri masyarakat cenderung menggunakan dana tunjangannya untuk membeli pakaian baru, menghias rumah atau keperluan sekunder lainnya untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Untuk mengurangi biaya cicilan atau besarnya dana yang harus disisihkan bisa mengalokasikan sebagian dana Hari Raya Idul Fitri untuk berqurban di hari raya Idul Adha. Dengan demikian kita tidak hanya memeriahkan hari raya Idul Fitri tetapi juga memeriahkan Idul Adha sekaligus melakukan ibadah qurban.[]

 

[1] Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Daral-Fikri, tt) Jilid I, hal. 243.

[2] Imam Malik bin Annas, al-Muwattha’, (Beirut: DarAl-Fikri, tt), h. 304

[3] Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyi al-Khatani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. ke-2, h.

 

 

Penyusun:

Nafilatur Rohmah

 

Mutiara Hikmah

Allahﷻ berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Q.S. al-Hajj [22]: 37)

Download Buletin klik disini

JANGAN LUPA BAYAR HUTANG PUASAMU!

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.

Bapak/Ibu dan seluruh pembaca yang diberkahi Allahﷻ. Bulan Ramadhan telah berlalu dan kita juga sudah menyambut datangnya bulan Syawal dengan semangat Idul Fitri yang suci dan penuh suka cita. Meski Idul Fitri tahun ini masih dengan suasana duka corona namun kita tidak boleh berkecil hati karena pasti ada hikmah dibalik semua ujian yang ada. Allahﷻ berfirman dalam al-Qur’an “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S.At-Tagabun [64]:11)

Pembaca yang budiman, ada hal penting yang harus kita ingat selepas perginya bulan Ramadhan yaitu hutang puasa Ramadhan kita. Seperti kita ketahui bersama, hukum dari puasa Ramadhan ini wajib bagi orang Islam yang balig, berakal, sehat, mampu dan mukim. Berdasarkan hal ini jika kita termasuk kriteria tersebut dan sudah melaksanakan puasa Ramadhan maka kita harus ingat apakah kita memiliki hutang puasa atau tidak.

Penting bagi kita mengetahui hutang puasa kita karena sama seperti hukum disyariatkannya puasa Ramadhan yaitu wajib maka membayar hutang puasanya pun berarti wajib bagi kita yang berhalangan saat itu. Jangan sampai karena terlena dengan waktu, kita akhirnya lupa membayar hutang puasa Ramadhan kita. Hukum wajibnya kita berpuasa ini disebutkan Allahﷻ dalam al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

 

Hal yang Menyebabkan  Hutang Puasa

Ada banyak hal yang menyebabkan kita akhirnya memiliki hutang puasa dan wajib mengqadhanya atau membayarnya. Jika untuk perempuan lumrahnya  hutang puasa disebabkan karena haid bulanan dan nifas. Tapi tidak hanya itu saja, penyebab batalnya puasa atau hal yang menyebabkan kita tidak mampu berpuasa pada bulan ramadhan bisa saja terjadi baik pada perempuan maupun laki-laki seperti orang yang bermusafir saat Ramadhan, sakit, orangtua yang sudah tidak mampu berpuasa dan lain sebagianya. Sehingga hutang puasa ini bisa berlaku bagi siapa saja yang sudah mukallaf baik perempuan maupun laki-laki.

Pembayaran hutang puasa ini tentunya dengan kembali berpuasa setelah bulan Ramadhan berakhir, namun dalam beberapa kasus hutang puasa juga bisa dilakukan dengan cara membayar fidyah. Untuk pembayaran fidyah ini dikhususkan bagi mereka yang sudah tidak mampu mengqadha puasanya. Biasanya ini terjadi untuk para orangtua yang sudah sangat berumur atau orang yang sakit tapi sudah tidak mampu lagi berpuasa sepanjang umurnya. Kadang kita masih mendapati beberapa orang yang menyangka bahwa fidayah bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki hutang puasa. padahal tidak demikian hukumnya.

Sebagaimana dijelaskan diatas, ada penekanan bahwa yang boleh membayar hutang puasa dengan cara fidyah hanyalah mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa sepanjang usianya. Penegasan mengenai fidyah ini dijabarkan Allahﷻ dalam firmannya, “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah [2]:184)

Lalu bagaimana dengan perempuan yang memiliki hutang puasa karena haid, hamil, menyusui, dan nifas? atau bagaimana dengan mereka memiliki hutang puasa karena bermusafir atau sakit ? Nah untuk menjawab hal ini maka kita bisa merujuk pada firman Allahﷻ di surat yang sama yaitu “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (Q.S. al-Baqarah [2]:185)

 

Niat membayar hutang puasa

Niat menjadi hal pokok dalam melakukan suatu perbuatan apalagi ibadah. Dengan niat kita bisa membedakan suatu perbuatan apakah perbuatan itu merupakan  ibadah atau adat kebiasaan. Selain itu, kita juga bisa membedakan kualitas sebuah perbuatan apakah itu perbuatan baik atau perbuatan jahat. Terakhir, dengan niat kita juga bisa menilai sah dan tidaknya suatu ibadah serta membedakannya dari segi hukum apakah ibadah itu wajib atau sunnah.

Demikian pentingnya niat dalam ibadah yang kita lakukan, maka hal itu juga sangat penting ketika kita ingin membayar hutang puasa kita. Sebelum melakukannya kita harus berniat agar puasa yang kita lakukan bernilai ibadah dalam rangka membayar hutang puasa kita.  Adapun niat puasa qadha Ramadhan  adalah “Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhaa’i  fardhi syahri Ramadhaana lillaahi ta‘aalaa”.  artinya “Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadan esok hari karena Allah Ta’ala.”

Adapun niat membayar fidyah atas hutang puasa kita adalah “Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata’an ifthori shaumi ramadlana fardha lillahi ta’ala”. Artinya “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan fardlu karena Allah.”

 

Pentingnya menyegerakan membayar hutang puasa

Allahﷻ berfirman dalam QS. Al-Mu’minun ayat 61 bahwa “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Q.S. al-Mu’minun [23]: 61). Berdasarkan firman Allahﷻ tersebut kita bisa memahami bahwa menyegerakan membayar hutang itu sangat dianjurkan karena hutang puasa adalah hal yang wajib dipenuhi untuk mendapatkan kebaikan bagi diri kita sendiri. Jangan sampai kita terlena oleh waktu dan menunda-nunda membayarnya hingga akhirnya lupa dan mendapat dosa. Na’ûdzu Billahi Min Dzâlik.

Selain itu,  hal yang perlu kita ketahui bersama bahwa hutang bisa menjadi penghalang bagi  diterimanya amal seseorang, termasuk orang yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, Mari bersegera membayar hutang-hutang kita termasuk hutang puasa kita.

Akhirnya dengan adanya tulisan ini semoga kita semua bisa memetik hikmah dari kewajiban berpuasa dan membayar hutang puasa agar amal kita bisa sampai kepada-Nya dan bisa mendapatkan ampunan dan kemudahan dari Allahﷻ serta syafaat nabi Muhammadﷺ. Semoga kita termasuk umatnya yang beriman dan beramal shalih. Âmînyâ rabbal ‘âlamîn.

 

Penyusun :

Eva Fadhilaha

Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Rasulullah ﷺ bersabda,

 

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

 

Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi(Musnad Ahmad II/440, 475, 508; Sunan at-Tirmidzi no. 1078-1079; Sunan ad-Darimi II/262; Sunan Ibnu Mâjah no. 2413).

 

Download Buletin klik disini

MEMBANTU PERJUANGAN PALESTINA DARI JAUH

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâhﷺ,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, kita ketahui bersama bahwa tanah al-Quds atau juga disebut Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) adalah tanah yang diwariskan Allahﷻ kepada seluruh kaum muslimin. Ia adalah kota dan tanah kelahiran para anbiyâ. Bahkan 2/3 dalam al-Qur’an banyak mengisahkan tentang Baitul Maqdis.

Al-Qur`an dalam banyak ayatnya menggambarkan Baitul Maqdis dan Masjidnya dengan barakah, yaitu berupa kebaikan-kebaikan yang selalu bertambah. Allahﷻ berfirman,  “Maha suci Allahﷻ yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami barakahi sekelilingnya.” (Q.S al-Isrâ`[17]: 1).

Beberapa diantaranya alasan mengapa umat Islam wajib membela Baitul Maqdis

Pertama, Baitul Maqdis merupakan kiblat pertama umat Islam. Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) dan Masjidil Haram memiliki hubungan dalam hal sebagai kiblat beribadah bagi kaum muslimin, yaitu dalam hal arah ibadah dalam shalat.

Kedua, Baitul Maqdis merupakan masjid kedua yang dibangun di muka bumi setelah masjid Nabawi.

Ketiga, menjadi tempat paling bersejarah bagi umat Islam mengenai peristiwa Isra’-Mi’raj.

Keempat, Baitul Maqdis merupakan tanah yang penuh dengan keberkahan.

Kelima, Tempat manusia akan dibangkitkan. Dalam sebuah hadits, “Maimunah binti Sa’ad, bertanya kepada Rasulullahﷺ tentang Baitul Maqdis. Nabiﷺ menjawab bahwa Baitul Maqdis adalah tempat manusia dibangkitkan (mansyar) dan manusia dikumpulkan (mahsyar).” (Didhoifkan oleh Syaikh Albani)[1]

Akhir abad ke-19 menjadi awal mula terjadinya konflik antara Israel dan Palestina. Dalam sebuah deklarasi, yaitu deklarasi Balfour, Dijanjikan kepada kaum Yahudi untuk mendirikan tanah air di Palestina. Tahun demi tahun Zionis Israel menggencarkan serangannya kepada warga Palestina. Tidak memandang usia dan kelamin, ibu dan anak-anak pun menjadi korban kebiadaban mereka. Fasilitas-fasilitas kesehatan dan peribadatan, Masjid, Gereja, juga rumah sakit tidak segan mereka hancurkan.

Berita terbaru, terhitung sejak 10 Mei 2021 kembali terjadi bentrok antara polisi Israel dengan warga Palestina. Bentrok yang terjadi antara kedua belah pihak menjadi awal mula pertempuran 11 hari antara Israel dan Hamas.[2] Saudara-saudara Muslim kembali harus mengepalkan tangan, mengencangkan sabuk, menggelegarkan semangat takbir, dan menggempurkan roket-roket sebagai pembalasan kebiadaban penjajah Zionis Israel yang kembali berulah mengganggu kekhusyuan ibadah umat Islam di Masjid al-Aqsa ditengah bulan suci Ramadhan.

Korban-korban pun kembali berjatuhan, info terakhir dari salah satu media berita pertempuran selama 11 hari menewaskan 248 jiwa termasuk 66 anak-anak.[3] Sebagai saudara seiman yang berada jauh dari tanah perjuangan Baitul Maqdis, jarak tidak boleh menjadikan semangat kita surut untuk tidak turut berkontribusi membantu perjuangan para saudara Muslim yang sedang berjuang di Palestina. Adapun beberapa bentuk kontribusi yang lain yang bisa kita lakukan meski berada jauh dari tanah perjuangan Palestina, diantaranya:

 

  1. Membantu perjuangan saudara Muslim Palestina dengan doa,

Dalam sebuah hadits Rasulullahﷺ bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (H.R. Muslim).

Selain itu juga dikatakan dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, beliau berkata, “Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang. Hal ini karena Nabiﷺ bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 6: 54).

 

  1. Mendukung perjuangan saudara Muslim Palestina melalui media massa,

Media massa diantaranya yaitu media-media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, bahkan Tiktok menjadi aplikasi-aplikasi yang paling mudah dan efektif untuk menyebarkan berbagai jenis pemberitaan. Bahkan, berita-berita bohong pun sangat mudah tersebar hanya dengan bantuan media sosial. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam yang mengetahui fakta dan kebenaran apa yang terjadi di Baitul Maqdis dan jauh dari jauh dari tanah perjuangan Baitul Maqdis hendaklah turut memanfaatkan media sosial yang ada untuk menyebarkan kebenaran tersebut, seperti Siapa itu Zionis Israel, kenapa umat Islam harus membela Baitul Maqdis, persitiwa besar apa saja yang terjadi di BaituL Maqdis, dsb.dengan begitu kita semua berharap akan lebih banyak masyarakat diluar sana yang mengerti dan faham tentang kebenaran mengenai tanah Baitul Maqdis.

 

  1. Memberikan donasi terbaik untuk saudara Muslim Palestina,

Memberikan donasi terbaik yang kita punya bukan berarti donasi dengan jumlah yang besar dan mahal melainkan donasi terbaik adalah donasi yang menurut diri kita donasi tersebut adalah donasi terbaik yang bisa kita berikan kepada saudara kita yang sedang berjuang di Palestina.

Allahﷻ menjanjikan banyak hal kepada hamba-hamba-Nya yang mau menginfakkan hartanya untuk saudaranya di jalan Allahﷻ salah satu diantaranya, Allahﷻ akan melipat gandakan balasan dari infaq yang ia berikan kepada saudaranya. Sebagaimana firman Allahﷻ yang berbunyi “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allahﷻ seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allahﷻ melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allahﷻ Mahaluas, Maha Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 261)

Baitul Maqdis bukan hanya tanggung jawab umat muslim Palestina saja, tetapi ia menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat muslim diseluruh dunia. Sebab ia adalah tanah warisan dari Allahﷻ untuk seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudara seiman, tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda kebaikan dalam hal membantu perjuangan saudara muslim kita di Palestina. Dalam sebuah kutipan ayat Allahﷻ telah memerintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan “Fastabiqul Khairaat” maka marilah kita saling berlomba untuk meraih setiap keutamaan yang Allahﷻ janjikan kepada seluruh hamba-Nya tanpa terkecuali. Wallâhu’alam bish shawâb.

 

 

 

[1] Suara Muhammadiyyah. 11 Keutamaan Maqdis. https://suaramuhammadiyah.id/2021/01/13/11-keutamaan-baitul-maqdis/ (dikutip pada tanggal 2 Mei 2021)

[2] BBC.com. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57195416 (dikutip pada tanggal 02 Juni 2021)

[3] BBC.com. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57195416 (dikutip pada tanggal 02 Juni 2021)

 

Penyusun:

Wafa Amatullah, S.Ars.

Alumni Arsitektur UII 2015

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu ‘Umar h, Nabi n bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.”

(H.R. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).

Download Buletin klik disini

 

Mengharap Istiqomah Setelah Ramadhan Usai

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan sangat dirindukan oleh orang-orang beriman telah pergi meninggalkan kita. Setelah Ramadhan berlalu, tentu kita perlu untuk memperbanyak amal dan menjaga semangat beribadah di bulan Ramadhan secara kontinyu. Jangan sampai setelah Ramadhan usai, kita menjadi tidak bergairah lagi dalam melakukan amal shalih. Seorang mukmin sudah sepatutnya terus meminta keistiqomahan kepada Allah ﷻ, itulah yang kita minta dalam sholat minimal 17 kali dalam sehari lewat doa “ihdinâ ash-shirâthal mustaqîm” yang artinya “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” (Q.S. al-Fatihah [1]: 6)

Ketika bulan Ramadhan telah usai, kondisi tentu berubah. Yang semula gembong-gembong setan dipenjara oleh Allah ﷻ, sekarang dilepaskan kembali. Inilah ujian bagi kita semua agar senantiasa menjaga ketaqwaan serta istiqamah dalam menjalankan ibadah. Di bawah ini merupakan kiat-kiat menjaga amalan ibadah agar kita senantiasa tetap istiqomah walaupun Ramadlan telah usai,

  1. Selalu berdoa kepada Allah ﷻ karena istiqomah adalah hidayah dari-Nya

Ummu Salamah a pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau lebih sering berdoa dengan doa ‘yâ muqallibal qulûb tsabbit qolbî ‘alaa diinika’ (Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu)? Nabi ` menjawab, “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada diantara jari jemari Allah ﷻ. Siapa saja yang Allah ﷻ kehendaki, maka Allah ﷻ akan memberikan keteguhan dalam iman, namun siapa saja yang dikehendaki, Allah ﷻ pun bisa menyesatkannya.” Setelah itu Mu’adz bin Mu’adz yang meriwayatkan hadits tersebut membacakan ayat ke-8 Surat Ali Imrân yang artinya “Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

  1. Senantiasa menjaga ketaqwaan dalam diri

Secara spesifik  taqwa artinya meninggalkan kemaksiatan, karena kalau seseorang  melakukan kemaksiatan, berarti ia  telah menghilangkan penghalangnya dengan neraka. Lalu siapakah orang bertaqwa itu? Yaitu ia yang senantiasa menunaikan hak-hak Allah ﷻ dan hak manusia. Adapun hak Allah ﷻ yang perlu diperhatikan terdapat dua poin, pertama, seseorang yang sudah menjalankan ketaatan dan kewajiban, seperti shalat, zakat, puasa, naik haji. Kedua, seseorang yang sudah meninggalkan segala bentuk larangan-Nya.

Adapun yang berkaitan dengan hak manusia juga memiliki dua poin, pertama, seseorang yang sudah menunaikan hak orang-orang disekitarnya seperti ibu, bapak, anak, suami, istri, tetangga dan kerabat lainnya. Kedua, yaitu tidak berbuat dzolim kepada orang lain. Jika anda mampu menjalankan keempat poin diatas, maka anda adalah orang yang bertakwa kepada Allah ﷻ.

  1. Berusaha menjaga keikhlasan dalam beribadah

Amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah ﷻ itulah yang diperintahkan sebagaimana disebutkan dalam ayat yang artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5). Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan membutuhkan kesungguhan yang tinggi hingga seorang hamba meraihnya dengan sempurna.

  1. Rutin beramal walau sedikit

Amal yang dilakukan secara kontinyu walaupun sedikit itu lebih dicintai Allah ﷻ dibanding amalan yang langsung banyak tetapi tidak konsisten. Disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ. bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu walaupun sedikit.” (H.R. Bukhori no. 6465; Muslim, no. 783)

  1. Rajin koreksi diri atau muhasabah

Ketika kita rajin bermuhasabah, maka diri kita akan selalu berusaha menjadi lebih baik, bahkan Allah ﷻ memerintahkan kepada kita untuk rajin bermuhasabah atau introspeksi diri. Ibnu Katsir berkata, “Hisablah atau koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab. Siapkanlah amalan shalih kalian sebelum berjumpa dengan hari kiamat dimana harus berhadapan dengan Allah  subhanahu wata’ala[1] .” Barometer keimanan seorang mukmin sangat ditentukan oleh sejauh mana ia menerapkan muhasabah dalam kehidupannya. Keimanan tanpa muhasabah adalah hampa, bahkan dapat berbuah nestapa.

  1. Memilih teman bergaul yang baik

Manfaat bergaul dengan teman yang baik yaitu kita akan terus termotivasi untuk melakukan ketaatan bersamanya dan bisa saling ber-amar makruf nahi mungkar. Sehingga kita bisa terus beristiqomah untuk senantiasa melakukan amal shalih. Diriwayatkan dari Abu Musa, Nabi ﷺ bersabda, “Seseorang yang duduk atau berteman dengan orang shalih dan orang yang buruk, bagaikan bertemen dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi, pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli minyak wangi darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat bau asapnya yang tidak sedap. (H.R. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

  1. Selalu mengingat bahwa ajal tidak tahu kapan akan datang

Ibnu Umar berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paing utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paing baik akhlaknya.’ Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paing cerdas?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paing baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paing cerdas.” (H.R. Ibnu Majah, Thabrani, dan al-Haitsamy)

Orang yang cerdas adalah orang yang tahu persis tujuan hidupnya. Kemudian mempersiapkan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan tersebut. Tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah ﷻ hingga akhir hayatnya. Seseorang dituntut untuk selalu memperbaiki amalannya, sehingga ketika ajal itu datang di waktu kapanpun dia sedang berada dalam kondisi yang baik.

Akhirnya kita memohon kepada Allah ﷻ agar senantiasa memberi kita petunjuk dan taufik untuk tetap beramal saleh selepas Ramadhan ini. Semoga amalan kita di bulan Ramadhan, seperti amalan puasa, sholat malam, tilawah al-Qur’an, bersedekah, dan lainnya diterima oleh Allah l dan semoga kita diberi keistiqomahan serta diberi keistimewaan untuk bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Wa Allahu a’lam bish Shawwâb.[]

 

Marâji’

[1] Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Vol. 7, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004, hal. 123

 

Penyusun:

Ulfa Indriani, S.Pd

 

Mutiara Hikmah

 

Rasulullah  ﷺ bersabda,

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (H.R. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

Download Buletin klik disini

 

Berbuat Baiklah Karena Allah Menyukai Orang Yang Berbuat Baik

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, ibadah kepada Allah ﷻ tidak akan sempurna apabila kita tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap makhluk Allah ﷻ (terkhusus kepada manusia) baik yang besar maupun yang kecil karena sejatinya export dari penghambaan kita kepada Allah minimal lima waktu sehari adalah supaya manusia tercegah dari perbuatan keji dan mungkar (Q.S. al-Ankabut [29]: 45) pada akhirnya manusia berakhlak mulia dalam bergaul.

Berbuat baik terhadap makhluk Allah ﷻ wajib bagi setiap muslim. Ada banyak ayat al-Qur’an yang selain manusia dituntut untuk mengingat Allah ﷻ juga untuk berbuat baik terhadap makhluk lainnya. Perbuatan baik tersebut dapat berupa pemisahan harta yang telah kita kumpulkan maupun dalam bentuk toleransi. Allah ﷻ memerintahkan membayar zakat, berinfaq dan bershadaqah agar supaya saudara kita yang tidak memiliki kecukupan dalam hidupnya dapat melangsungkan hidup dan tenang beribadah kepada Tuhannya. Itu menjadi salah satu bentuk hubungan dengan sesama makhluk.

 

Amal Shalih

Percaya atau tidak, manusia cenderung kepada sifat yang tidak pernah puas akan pendapatannya dalam suatu hal. Manusia akan mencari lembah lain apabila lembah miliknya sudah penuh. Beruntungnya kita memeluk agama Islam yang mengatur mengenai kepemilikan.

Allah ﷻ tidak melarang manusia mengumpulkan harta benda akan tetapi Allah ﷻ melarang kita tamak terhadap harta benda yang dimiliki. Oleh karena itu agama Islam memberikan syariat mengeluarkan harta benda yang dimiliki di jalan Allah ﷻ. Ganjarannya bukan hanya di akhirat akan tetapi juga di dunia ini, Allah ﷻ telah berjanji harta yang dikeluarkan di jalan Allah ﷻ tidak akan berkurang.

Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang beramal shalih dari laki-laki dan perempuan, sedang dia beriman, maka akan Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik…”(An-Nahl [16]: 97). Maksud ‘hidup yang baik’ banyak mufassir yang menjelaskan bahwa kehidupan tersebut akan tenang dan tentram (jiwa dan hartanya) walaupun banyak datang ujian.[1]

Percayalah apa-apa saja yang dikeluarkan di jalan Allah ﷻ berbeda dengan apa-apa saja yang hanya untuk kepentingan sendiri. Hal ini disebut juga sebagai amal shalih, di mana amalan inilah yang akan menemani kita di liang lahat nanti, bukan apa-apa saja yang kita sayangi saat ini. Rasulullah bersabda, “Apabila anak adam wafat, maka terputuslah pahalanya kecuali tiga yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim)

Mungkin kita bisa korelasikan hadits di atas dengan amal shalih (perbuatan baik) kita yang bisa menjadi bekal untuk melangsungkan kehidupan setelah kematian kita yang perantaranya adalah perbuatan baik terhadap makhluk Allah ﷻ.

Seperti seorang hamba yang mendedikasikan sedikit waktu luangnya untuk memberikan pelajaran Agama. Ketika ajaran Agama yang diajarkannya diamalkan oleh muridnya, maka bukan tidak mungkin amalan itu akan memberikan kita pahala yang terus mengalir sehingga perbuatan baik kita menjadi sedikit bermanfaat untuk kehidupan setelah kematian kita.

 

Panduan Allah Dalam Hubungan Dengan Manusia.[2]

Di dalam Al-Quran setidaknya Allah ﷻ telah memberikan tiga panduan dalam mencari keridhaan-Nya melalui perantara makhluk.

Pertama, menafkahkan harta yang dicintai di jalan Allah ﷻ kepada orang-orang yang membutuhkan. Bahwa sudah dijelaskan sebelumnya, sifat dasar manusia adalah tidak rela untuk mengeluarkan harta yang sudah dikumpulkannya susah payah (bakhil). Akan tetapi Allah ﷻ memberikan kita sebuah tuntutan agar mengeluarkan harta yang telah susah payah dicari siang dan malam tersebut. Tentu saja ini berat bukan? Namun inilah ujian Iman yang mana untuk menyempurnakan kebajikan.

Allah ﷻ mensyaratkan ini adalah agar manusia dapat merasakan indahnya berbagi, merasakan kebahagiaan dalam berbagi, dan merasakan kebahagiaan orang lain yang mendapatkan rezeki dari kita. Bukankah itu indah melihat seseorang yang kita berikan sebagian dari rezeki kita tersenyum kepada kita dan tak jarang kita juga didoakan olehnya?

Karena sifat kita yang bakhil, dan Allah ﷻ Maha Tahu atas keadaan hati kita, maka Allah Yang Maha Rahmah memberikan kemudahan dalam mengeluarkan harta kita, yaitu berikanlah kepada keluarga dekat yang membutuhkan. Bahkan ulama berpendapat bahwa  keluargalah yang paling berhak atas shadaqah kita sebelum orang lain. Maha besar Allah ﷻ dengan segala kasih sayangnya. (Q.S Al-Baqarah [2]: 177)

Kedua, bersedekah diam-diam tanpa ada perasaan riya. Sebagai manusia setidaknya ada perasaan ingin dipuji oleh orang lain. Tidak masalah apabila kita mendapatkan pujian tetapi jangan dijadikan pujian tersebut sebagai alasan kita besar kepala dan jangan mencari cara agar dapat pujian.

Berbeda apabila shadaqah yang dikeluarkan secara terang-terangan agar orang lain berlomba-lomba juga dapat bershadaqah. Hal demikian diperbolehkan, biasanya perbuatan demikian adalah cara berbuat baik untuk membantu memajukan lembaga sosial dan mengajak lainnya untuk mengikutinya seperti kita memberikan wakaf terhadap pembangunan sekolah Islam, dll.

Ada perbuatan yang lebih mulia lagi dari shadaqah secara terang-terangan tersebut. Yaitu secara diam-diam. Biasanya shadaqah ini diperuntukan apabila kita memberi kepada seseorang yang fakir dan miskin (shadaqah pribadi). Selain cara ini mulia, cara ini juga menjaga perasaan yang diberikan santunan, karena kadang walaupun niat kita ingin mengajak orang lain untuk bershadaqah dengan menunjukan kegiatan kita yang sedang bershadaqah tapi ada beberapa fakir miskin yang tersinggung apabila dirinya diposting. [3]

Dari berbuat baik tersebut di atas, hendaknya tinggalkan rasa riya karena akan menghilangkan pahalanya dan malahan bisa menyebabkan renggangnya hubungan bersosial.

Ketiga, mengubah struktural dan sistematis menuju tatanan kehidupan yang lebih baik demi kebaikan bersama. Amal ini juga bisa dijadikan patokan orang-orang memiliki jiwa kepemimpinan. Panduan ini terdapat pada Surat Al-Balad ayat 11-16. Dalam tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, di mana orang-orang yang menempuh jalan yang sukar ketika senantiasa kesukaran tersebut ditempuh dengan penuh ketabahan maka selamatlah jiwanya. Jalan kesukaran dalam surat tersebut adalah memerdekakan budak, memberi makan pada musim kelaparan, dan memberi makan anak yatim. [4]

Banyak Yayasan untuk membantu anak-anak yatim yang didirikan agar anak-anak yatim tersebut tidak sengsara di masa kedepannya. Inilah amal yang derajatnya tinggi, orang-orang ini menuju kedalam kesukaran dengan susah payah untuk membantu mengeluarkan orang lain dari kesengsaraan.

Barangkali akhir dari sebuah tulisan ini adalah muhasabah kita, sudah sejauh apa perbuatan kita untuk orang-orang sekitar, untuk lingkungan sekitar. Umat Nabi Muhammad ﷺ berumur paling pendek, selain itu umur juga tidak ada yang tahu, sehingga hendaknya mari manfaatkan kehidupan ini untuk banyak-banyak mencari investasi akhirat.

 

Marâji’:

[1] Buya Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz 5. Depok: Gema Insani. 2020 M. Cet.k-3. hal. 214.

[2]Imam Jamal Rahman. Al-Hikam Al-Islamiyyah. 2013. Terj. Satrio Wahono,  Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.2016 M. Cet.k-1. hal.190.

[3] Buya Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz 1…hal. 542.

[4] Buya Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz 9…hal. 584.

           

Penyusun:

Arviyan Wisnu Wijanarko

Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah

 

لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Jangan kalian mengira itu buruk bagi kalian, padahal itu baik bagi kalian” (Q.S. an Nûr [24]: 11).

Download Buletin klik disini

Keutamaan Puasa Syawal

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Keutamaan puasa Syawwal disebutkan dari hadits Abû Ayyub al-Anshari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Barang siapa mengerjakan puasa Ramadhan, lalu dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka bagaikan berpuasa setahun penuh” (HR Muslim 3/169)[1]

Imâm Ahmad dan al-Nasâ’i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi ﷺ bersabda, “Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawwal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka bagaikan berpuasa selama setahun penuh.” (H.R. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hubban dalam “Shahih” mereka).

Dari Abû Hurairah radhiyallahu’anhu Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawwal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun.” (HR al-Bazzar).

Salah satu keutamaan puasa Syawwal yaitu dihitung seperti puasa setahun penuh, karena karena setiap hasanah (kebaikan) berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x 10 = 10 bulan, dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan = 1 tahun. Hal ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.

Para ulama menguraikan rahasia di balik ganjaran tersebut dengan menyampaikan analog bahwa setiap amalan kebaikan manusia akan diganjari sebanyak 10 kali lipat. Puasa 30 hari di bulan Ramadhan diganjari sebanyak 300 hari, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawwal juga diganjari dengan 60 hari. Jika diperkirakan jumlahnya 360 hari, jumlah ini hampir menyamai jumlah hari di dalam setahun sebanyak 360-365! Subhânallâh. Sungguh Allâh-lah yang berhak untuk memberikan ganjaran sebanyak yang dikehendaki-Nya.

 

Cara Puasa Syawwal

Berdasarkan Fatâwa al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts wa al-Ifta’ 10/391, bahwa puasa Syawwal tidak harus dilaksanakan berturut-turut, “Hari-hari ini (berpuasa Syawwal) tidak harus dilakukan langsung setelah Ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawwal, dan ini (hukumnya) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”

Sedangkan menurut Imâm Ahmad, puasa 6 hari pada bulan Syawwal itu dapat dilakukan berturut-turut atau tidak berturut-turut dan tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain. Sedangkan menurut golongan Hanafî dan Syâfi’î lebih utama melakukannya berturut-turut yaitu setelah hari raya idul fitri.

Di sisi lain tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan, hal ini berdasarkan pada Fatâwa al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts wa al-Ifta’ 10/392, “Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawwal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawwal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”

Ada pendapat lain yaitu ‘bagi perempuan sah-sah saja jika hendak puasa Syawwal terlebih dahulu, baru melunasi hutang Ramadhan dengan pertimbangan karena waktu Syawwal hanya sebentar (hanya 1 bulan). Khawatirnya tidak cukup waktunya untuk puasa Syawwal karena perempuan tiap bulannya pasti akan kedatangan tamu (haid) rata-rata 7 sampai dengan 15 hari. Pendapat yang menyatakan bolehnya puasa sunah sebelum qadha karena waktu meng-qadha cukup longgar, dan mengatakan tidak boleh puasa sunnah sebelum qadha itu butuh dalil. Sementara, tidak ada dalil yang bisa dijadikan acuan dalam hal ini.”[2]

6 Hari Mencari Kesempurnaan 

Di dalam Risalah Ramadhan, buah karya Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah memberikan rincian keutamaan puasa di bulan Syawwal dan 6 hari mencari kesempurnaan pahala dari Allah ﷻ, di antaranya,[3]

Pertama, puasa enam hari di bulan Syawwal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh. Bisa dikatakan puasa Ramadhan adalah modal dan untungnya adalah puasa sunnah.

Kedua, puasa Syawwal dan puasa sunnah lainnya bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah.

Ketiga, membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allâh ﷻ menerima amal seseorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan, “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.”

Keempat, puasa Ramadhan dapat mendatangkan maghfirahNya atas dosa-dosa masa lalu. Sesungguhnya tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa, karena termasuk ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampuan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia justru mengggantinya dengan perbuatan maksiat, maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran.

Kelima, di antara keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawwal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fî sabilillâh lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Keenam, -berdasarkan sumber lain- Puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan antaranya menyebabkan sistem percernaan di dalam badan beristirahat seketika di waktu siang selama sebulan. Kedatangan bulan Syawwal menyebabkan seolah-olah ia mengalami kejutan dengan diberikan tugas mencerna pelbagai makanan pada hari raya dan hari-hari sesudahnya, Pada hari raya, ia mencerna pelbagai jenis makanan mulai dari ketupat rendang sampai nasi yang mengandung minyak. Oleh karena itulah, puasa enam ini memberikan ruang kembali kepada sistem pencernaan badan untuk beristirahat dan bertugas secara berangsur-angsur untuk kebaikan jasmani manusia itu sendiri.

Ketujuh, selain dari itu, sebagai manusia yang menjadi hamba Allâh ﷻ, alangkah baiknya apabila amalan puasa yang diwajibkan kepada kita di bulan Ramadhan itu kita teruskan juga di bulan Syawwal walaupun hanya enam hari. Ini seolah-olah menunjukkan bahwa kita tidak melakukan ibadah puasa semata-mata karena ia menjadi satu kewajiban tetapi karena rasa diri kita sebagai seorang hamba yang benar-benar bersungguh-sungguh untuk taqarrub kepada Tuhannya. Bukankah ibadah puasa ini menurut hadits sebenarnya mengekang nafsu syahwat?  Wa Allâhu A’lam bi al-Shawwâb.[]

Marâji:

[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Bani, Mukhtashar Shahih Muslim, no. 39/ 622.

[2] https://konsultasisyariah.com/7313-tuntunan-puasa-syawal.html di kutip dari http://www.saaid.net/mktarat/12/10-2.htm

[3] http://belajarislam.com/fiqh/892-keutamaan-puasa-enam-hari-Syawwal.htm dari sumber Risalah Ramadhan, Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah. http://alsofwah.or.id/

 

Penyusun:

Aisyah Qosim

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah rahdiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعك وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَلَا تَعْجِز

Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah.” (H.R. Muslim, no: 6716)

Download Buletin klik disini

Mengambil Faidah Agung dari Hadist Puasa Ramadhan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (H.R. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Dari hadis tersebut, terdapat beberapa mutiara hikmah yang sangat agung yang bisa kita ambil faidahnya.

Pertama, berpuasa di bulan Ramadhan karena iman. Allah ﷻ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

Ayat ini dimulai dengan menyeru orang beriman untuk mengingatkan supaya memasang telinga karena akan disebut suatu beban hukum. Hukum yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ditunjukkan pada orang mukmin secara khusus. “Kutiba ‘alaikum” dalam ayat tersebut menunjukkan akan wajibnya puasa Ramadhan [1].

Iman disebutkan dalam hadits ini memiliki makna yang luar biasa bagi ibadah puasa yang kita lakukan. Iman menjadi kunci utama agar semua ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah ﷻ. Iman adalah pembenaran dengan hati, perkataan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota tubuh [2].

Amal perbuatan merupakan bagian dari iman. Orang yang tidak beriman (kafir) tidak diterima amal kebaikan yang mereka lakukan karena tidak memenuhi dua syarat diterimanya amalan yaitu, (1) Semata-mata ikhlas kepada Allah ﷻ. Syarat ini adalah realisasi dari makna syahadat “Tidak ada sesembahan yang disembah selain Allah”. (2) Mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Syarat ini adalah realisasi makna syahadat “Bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Orang kafir tidak memenuhi dua syarat tersebut sehingga amalan mereka bathil dan tertolak [3].

Jangan sampai kita terjerumus dalam hal-hal yang dapat merusak bahkan membatalkan keimanan sehingga ibadah puasa dan ibadah kita yang lainnya menjadi sia-sia. Hal ini menjadi penting karena di negeri yang kita
cintai ini sudah ada yang berani menyampaikan hal-hal yang dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan seperti meyakini bahwa “semua agama itu sama dan masuk surga”. Meyakini hal tersebut adalah kekufuran yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Seorang muslim yang tidak menghukumi kafir orang-orang Yahudi, Nasrani, para penyembah berhala, dan dari kalangan orang-orang musyrik lainnya, atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan mazhab mereka, maka ia kafir karena telah menafikan, menentang, dan mendustakan hukum dalam kitab-Nya [4].

Allah ﷻ menghukumi kafir bagi orang-orang Yahudi, Nasrani, para penyembah berhala, dan dari kalangan orang-orang musyrik lainnya sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni
ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya…” (Q.S. al-Bayyinah [98]:6). Jagalah diri dan keluarga kita dari hal-hal yang dapat merusak dan membatalkan keimanan, karena Allah ﷻ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Q.S. AtTahrim [66]: 6).

Kedua, mengharap pahala dari Allah ﷻ. Ini termasuk dalam raja’ (berharap). Ketahuilah bahwa raja’ yang terpuji itu hanya dimiliki oleh orang yang melakukan ketaatan kepada Allah c dan selalu mengharap pahala dari-Nya, atau hanya dimiliki oleh orang yang bertaubat dari kemaksiatan kepada Allah ﷻ dan mengharap taubatnya diterima oleh-Nya [5].

Ketiga, diampuni dosanya yang telah berlalu. Ini adalah bentuk kemurahan Allah ﷻ terhadap orang-orang yang beriman dengan melakukan puasa Ramadhan dan mengharap pahala dari Allah ﷻ, maka diampuni dosa-dosa kita yang telah berlalu. Namun, An-Nawawi di dalam al-Minhaj mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan ulama ahli fikih  menyatakan bahwa dosa yang dimaksud dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa besar? Apakah bisa diampuni? Tentu saja bisa, karena semua hari di bulan Ramadhan dipenuhi rahmat, ampunan, dan pembebasan. Salah satu riwayat lemah yang tersebar luas di masyarakat adalah, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah
pembebasan dari neraka.” Padahal di setiap hari pada bulan Ramadhan pintu-pintu rahmat akan dibuka dan di setiap malam Allah akan membebaskan orang-orang dari neraka. Maka, di sepanjang bulan Ramadhan akan dipenuhi rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka, tidak terbatas pada beberapa fase [6].

Rasulullah ﷺ bersabda, “Pada awal malam bulan Ramadhan, setansetan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu
neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai  penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar
keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam.” (HR. Tirmidzi).

Selain bersungguh-sungguh menjalankan puasa dan giat melakukan ibadah lainnya, manfaatkan juga waktu pada bulan Ramadhan ini untuk memohon ampunan kepada Allah ﷻ agar semua dosa baik dosa besar maupun dosa kecil yang telah kita lakukan diampuni oleh Allah ﷻ. Setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan-kesalahan, pelanggaran-pelanggaran, danberbagai kemaksiatan. Akan tetapi, apabila dia senantiasa berbaik sangka kepada Allah ﷻ, diiringi dengan taubat dan tidak merasa putus asa dari rahmat-Nya kemudian senantiasa beristighfar dan memohon ampunan kepada-Nya, Maka Allah ﷻ akan mengampuni semua dosanya [7]. Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diridiri mereka, janganlah kalian merasa putus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa-dosa.” (Q.S. az-Zumar [39]: 53).

Semoga dengan mengamalkan hadis ini dosa-dosa kita yang telah berlalu diampuni oleh Allah ﷻ dan menjadi orang yang bertakwa sebagaimana dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

Marâji’

[1]. Muhammad Abduh Tuasikal. Untaian Faedah dari Ayat Puasa. Gunung Kidul: Rumaysho. 2020 M.Cet.k-1. hal. 9-10.
[2]. ‘Abdul ‘Aziz bin Fathil bin as-Sayyid ‘Aid Nada. al-Itmam Bisyarhi al-‘Aqidah ash-Shahihah wa
Nawaqid al-Islam, alih bahasa Ronny Mahmuddin. Syarah Aqidah ash-Shahihah. Jakarta: Pustaka
as-Sunnah. 2011 M. Cet.k-1. hal. 179
[3]. Ibid. 19.
[4]. Ibid. 294-295
[5]. Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah. alih bahasa Nur Rahman.
Syarah Ushul Tsalatsah (Mengenal Allah, Rasul dan Dienul Islam). Surakarta: Insan Kamil Solo.
2018 M. Cet.k-1. hal. 112.
[6]. Muhammad Shalih al-Munajjid. Alih bahasa Tim Belajar Tauhid. Buku Pintar Ramadhan Kumpulan Twit Seputar Ramadhan Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid. Yogyakarta: Pustaka Muslim. hal. 20.
[7]. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in anNawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 590.

Penyusun :

Hendi Oktohiba
Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,

ثَلاثَةٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (H.R. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Download Buletin klik disini

Amalan Amalan di Akhir Ramadhan

Bismillâh walhamdulillâh washalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Tidak seperti sebagian orang yang terlalu sibuk memikirkan hari raya, mudik dan baju lebaran, Rasulullâh ﷺ malah lebih giat lagi untuk beribadah di akhir-akhir bulan Ramadhan. Bahkan beliau sampai bersengaja meninggalkan istri-istrinya demi konsentrasi dalam ibadah. Beliau lebih semangat beramal di akhir-akhir Ramadhan. Ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, karena setiap amalan dinilai dari akhirnya. Kedua, supaya mendapati lailatul qadar. Simak selengkapnya disini dan juga alasan semangat ibadah kala itu yaitu untuk menggapai lailatul qadar.

Kita sebentar lagi akan menjelang akhir-akhir Ramadhan. Apa saja amalan yang mesti kita lakukan? Ada beberapa amalan yang bisa kita fokus untuk melakukannya di akhir-akhir Ramadhan nanti.

 

Pertama, Lebih serius lagi dalam ibadah di akhir Ramadhan 

Lihatlah keseriusan Rasulullah ﷺ,“Rasulullah ﷺ sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (H.R. Muslim, no. 1175)

Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila Nabi ﷺ memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (H.R. Bukhari, no. 2024; Muslim, no. 1174).

 

Kedua, Melakukan I’tikaf

I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah. Lihatlah contoh Nabi kita Muhammad ﷺ, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi ﷺ biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (H.R. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).

Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi ﷺ mengatakan, “Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.”Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (H.R. Bukhari, no. 2018; Muslim, no. 1167).

Jadi, beliau  melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.

Lalu berapa lama waktu i’tikaf? al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (al-Inshaf, [6]: 17)

Karena Allah hanyalah menetapkan, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187).  Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Lihat Al-Muhalla, 5: 180). Berarti beri’tikaf di siang atau malam hari dibolehkan walau hanya sesaat.

 

Ketiga, Qiyamul Lail 

Di antara amalan yang istimewa di 10 hari terakhir Ramadhan adalah bersungguh-sungguh dalam shalat malam, memperlama shalat dengan memperpanjang berdiri, ruku’, dan sujud. Demikian pula memperbanyak bacaan  al-Quran dan membangunkan keluarga dan anak-anak untuk bergabung melaksanakan shalat malam.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu.” (H.R. al-Bukhari no. 1901)

 

Keempat, Raih Lailatul Qadr

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

 

Pencuri di Akhir Ramadhan

Selain itu penulis juga mewanti-wanti para muslimah untuk mewaspadai Pencuri Ramadhan yang seringkali muncul di akhir Ramadhan. Diantara kegiatan yang semestinya diwaspadai oleh para muslimah adalah sebagai berikut:

  1. Sibuk Memasak di Dapur Menjelang lebaran

Umumnya wanita banyak pergi ke pasar dan berkutat di dapur untuk membuat kue dan menyiapkan hidangan untuk lebaran. Hal ini menyebabkan mereka lalai dari beribadah. Hendaknya seorang muslimah menyadari keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan sehingga ia tidak menghabiskan banyak waktu di pasar dan di dapur.

  1. Mengejar Diskon Lebaran Menjelang lebaran

Banyak toko, dan mall yang menawarkan potongan harga besar-besaran. Hal ini mendorong mayoritas kaum muslimin untuk berbondong-bondong belanja baju lebaran. Akibatnya, toko dan mall menjadi sangat ramai sebaliknya masjid menjadi sangat sepi. Sangat disayangkan ketika kaum muslimin lebih tergiur dengan diskon lebaran dibandingkan diskon pahala. Muslimah yang berakal tentu akan memilih untuk meraup pahala Ramadhan sehingga ia tidak akan sibuk memikirkan baju lebaran.

  1. Menghabiskan Waktu di Jalan

Di antara tradisi menjelang lebaran adalah mudik ke kampung halaman. Hendaknya seorang muslimah memilih waktu yang tepat dan transportasi yang efisien sehingga dapat menghemat waktu dan tidak berlama-lama di perjalanan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar seorang muslimah tetap dapat beribadah secara maksimal di 10 hari terakhir bulan Ramadhan sekaligus dapat menyambung tali silaturahim dengan keluarga.

Semoga Allah ﷻ memberikan kita taufik dan memudahkan kita bersemangat untuk menghidupkan hari-hari terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah, shalat malam dan menerima amal ibadah yang kita lakukan. Âmîn.

 

Penyusun:

Ardimas

Teknik Elektro 2019

 

Marâji’:

[1] https://muslim.or.id/17637-kajian-ramadhan-16-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan.html

[2] https://muslimah.or.id/10267-muslimah-menyambut-10-hari-terakhir-ramadhan.html

[3]https://rumaysho.com/3502-lebih-semangat-ibadah-di-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan.html

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.

(H.R. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Download Buletin klik disini

Penggunaan Obat Ketika Berpuasa

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ memberikan kesempatan untuk berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan  kenikmatan terbesar bagi orang mukmin. Namun, tak sedikit orang yang bertemu bulan Ramadhan dalam kondisi sakit. Berdasarkan kemampuan fisik seseorang untuk berpuasa maka ada 2 macam kondisi sakit seseorang yakni a) tidak bisa berpuasa karena kondisi sakitnya misalnya tipus, pasca operasi, diare-muntaber, dan semisalnya; b) seseorang yang mampu berpuasa dalam kondisi sakit namun dengan menjalani pengobatan misalnya asma, diabetes, hipertensi, asam urat, infeksi atau luka kulit, dan semisalnya.

Kondisi seseorang yang mampu berpuasa dalam kondisi sakit namun dengan menjalani pengobatan itulah yang menyebabkan sebagian muslimin butuh akan ilmu tentang hukum dan panduan berobat ketika berpuasa. Oleh karena itu simaklah penjelasan berikut ini,

 

Hukum Berpuasa bagi Orang Sakit

Orang tidak diwajibkan atasnya puasa ialah orang yang sakit dan dalam perjalanan (musafir), sebagaimana Allah ﷻ berfirman bahwasanya “… Dan barangsiapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. …” (Q.S. al-Baqarah [2]: 184).

Orang sakit yang tidak diwajibkan puasa pada ayat diatas ialah orang dengan sakit parah  yang apabila ia berpuasa akan memperparah kondisinya atau memperlama kesembuhannya. Pada pembahasan fikih, kewajiban puasa pada orang yang sakit ada dua macam yakni sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya atau lemahnya kondisi untuk berpuasa yang terus-menerus maka bagi mereka tidak wajib puasa qadha namun menggantinya dengan fidyah; adapun orang sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya, maka baginya wajib qadha pada hari lain[1],[2].

Pada pembahasan kali ini, penulis hanya akan merangkum hukum penggunaan sediaan obat pada orang sakit yang mampu berpuasa. Yuk kita simak penjelasanya,

 Sediaan Obat dan Hukum Menggunakannya

Hukum menggunakan sediaan obat saat berpuasa mengikuti keumuman dalil yakni tidak diperbolehkan makan dan minum saat berpuasa, karena hal tersebut termasuk pembatal puasa [1]. Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam , yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam” (Q.S. al-Baqarah [2]: 187).

Secara umum  sediaan obat terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan cara menggunakannya, yakni:

  1. Sediaan oral 

Sediaan obat yang dikonsumsi melalui saluran cerna dan sampai lambung. Misalnya tablet, kapsul, sirup, atau puyer/serbuk. Konsumsi obat sediaan oral pada saat berpuasa maka membatalkan puasanya karena sediaan obat ini sampai pada lambung dan diserupakan dengan makan atau minum sebagaimana dalil diatas.

Apabila anda ingin tetap berpuasa, maka penulis menyarankan yakni; pertama, konsultasikan pada dokter akan keinginan untuk tetap berpuasa. Kedua, anda dapat menyiasati penggunaan sediaan oral dengan jadwal sebagai berikut:

  1. Obat 1x dalam sehari dapat diminum antara waktu berbuka sampai sahur.
  2. Obat 2x dalam sehari dapat diminum saat anda berbuka dan saat sahur.
  3. Obat 3x dalam sehari dapat diminum segera setelah berbuka (±18.00 WIB), kedua pada pukul 23.00 WIB dan ketiga saat anda sahur ±04.00 WIB.
  4. Obat 4x dalam sehari dapat diminum segera setelah berbuka (±18.00 WIB), kedua pada pukul 22.00 WIB, ketiga pada pukul 01.00 WIB dan keempat saat anda sahur ±04.00 WIB.

Adapun obat yang dianjurkan diminum setelah makan, maka dapat anda siasati dengan berbuka terlebih dahulu menggunakan makanan atau minuman, kemudian setelah 5-10 menit anda minum obat.

  1. Sediaan Topikal 

Sediaan topikal ialah obat yang diaplikasikan pada permukaan luar tubuh, misalnya salep, krim, gel, param luka, atau sediaan transdermal. Sediaan topikal diaplikasikan pada kulit baik pada muka, kulit kepala, kulit tangan dan semisalnya. Para ulama berpendapat bahwa sediaan obat ini tidak dapat membatalkan puasa karena tidak dapat diserupakan dengan makan dan minum.

  1. Sediaan Inhaler dan Obat Tetes

Inhaler mengandung cairan obat yang disemprotkan menjadi partikel kecil dan diaplikasikan dengan dihirup melalui saluran nafas yang ditujukan untuk area paru-paru, misalnya inhaler untuk asma, dan inhaler untuk hidung tersumbat. Sedangkan obat tetes ialah obat yang diteteskan pada area tertentu misalnya mata, hidung atau telinga. Obat tetes umumnya diaplikasikan sebanyak 2-3 tetes.

Obat tetes yang diaplikasikan pada telinga dan mata tidak membatalkan puasa. Adapun sediaan inhaler dan tetes hidung maka para ulama berselisih pendapat karena adanya kemungkinan masuknya kedalam lambung.

Pendapat terkuat dalam hal ini ialah sediaan inhaler dan tetes hidung tidak membatalkan puasa[3], hal ini berdasarkan pada:

  1. Sediaan tersebut tidak dapat dianalogikan dengan makan dan minum, baik ditinjau dari bahasa maupun urf’, serta obat ditujukan pada  paru-paru, bukan lambung.
  2. Zat yang sampai kedalam perut sangatlah sedikit, itupun bukanlah makanan atau minuman yang menguatkan atau mengenyangkan. Adapun hadits “Masukkanlah air dengan benar-benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (H.R. Abu Daud no. 2366). Berkumur-kumur dan menghirup sedikit air ketika berwudhu diperbolehkan saat puasa namun tidak berlebihan. Begitu pula dengan siwak yang sering dilakukan oleh Nabi ﷺ saat puasa, padahal didalam siwak terdapat banyak sekali kandungan zat yang akan terlarut dalam air liur dan memungkinkan tertelan[4].

 

  1. Sediaan Obat Injeksi 

Sediaan injeksi diaplikasikan dengan memasukkan zat kedalam bagian tubuh (bawah kulit, otot, atau jaringan lemak) atau pembuluh darah. Semua jenis injeksi obat yang diaplikasikan pada area bawah kulit, otot, atau jaringan lemak tidaklah membatalkan puasa dan tidak terdapat khilaf dalam hal ini.

Adapun injeksi pada pembuluh darah umumnya adalah zat dextrose, NaCl 0.9%, glucose, dan semisalnya sebagai pengganti makanan dan minuman. Penggunaan injeksi tersebut membatalkan puasa karena dekatnya dengan aktivitas makan dan minum, dan diantara para ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin[5] [5].

Demikianlah sedikit pemaparan terkait penggunaan sediaan obat saat berpuasa, semoga menjadi hal yang bermanfaat dan bagi mereka yang sedang sakit menjadi penggugur dosanya dan diberikan kesembuhan atas penyakitnya.

 

Marâji’:

[1] Syaikh sholih Abdul aziz Ats-tsaighy. Al-fiqh-ul Muyassar fii Dhou-il Kitabi wa Sunnati. Beirut-libanon. Daar Nuurussunnah. 2017. Cetakan pertama. Hal. 154-155

[2] Syaikh Sholih ibn Fauzan ibn Abdl Fauzan. Al-mulakhos Al-fiqhy. Riyadh-Arab Saudi. Daar Ibnu Aljauzi. 2013. Cetakan kelima. Hal. 301

[3] Raehanul Bahraen.  Tetes Hidung dan Semprot Hidung Tidak Membatalkan Puasa. 2015. Muslim Afiyah. Dikutip dari laman: https://muslimafiyah.com/tetes-hidung-dan-semprot-hidung-tidak-membatalkan-puasa.html#_ftn1. Terakhir diakses pada 18 April 2021.

[4] Muhammad Abdul Tuasikal. Pembatal Puasa Kontemporer (4), Menggunakan Inhaler dan Obat Tetes pada Hidung. Rumaysho.Com. . Dikutip dari laman: https://rumaysho.com/2553-pembatal-puasa-kontemporer-4-menggunakan-inhaler-dan-obat-tetes-pada-hidung.html. Terakhir diakses pada 18 April 2021.

[5] Muhammad Abdul Tuasikal. Pembatal Puasa Kontemporer (8), Suntik Pengobatan. 2013. Dikutip dari laman: https://rumaysho.com/3410-pembatal-puasa-kontemporer-8-suntik-pengobatan.html. Terakhir diakses pada 18 April 2021.

 

Penyusun:

Rizki Awaludin, S.Farm., M.Biomed

Alumni FMIPA UII & Dosen UNIDA Gontor

 

Mutiara Hikmah

 Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلا يَرْفُثْ ، وَلا يَجْهَلْ ، فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ

“Barangsiapa salah satu di antara kalian di pagi hari dalam kondisi berpuasa, maka jangan berkata jorok dan jangan bersikap bodoh. Kalau ada seseorang yang menghardiknya atau menghinanya maka katakan kepadanya, sesungguhnya saya sedang puasa, sesungguhnya saya sedang puasa.”

(H.R. Bukhari, no. 1894 dan  Muslim, no. 1151)

 

Download Buletin klik disini