HUTANG DAN PENTINGNYA DICATAT

HUTANG DAN PENTINGNYA DICATAT

Oleh:  Uyu Fauziah, SH.

Alumnus Program Studi Hukum Islam FIAI UII

 

Pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah l. Zaman yang semakin desruptif  memang menandakan keberadaban yang semakin maju. Kebutuhan sekunder sekalipun pada  zaman saat ini menjadi hal yang tidak bisa dilewatkan juga, nyaris seperti kebutuhan primer,  sehingga menuntut orang-orang yang berkemampuan rendah juga harus memiliki kebutuhan  yang sekunder tersebut.

Penggunaan handphone misalnya. Di masa pandemi Covid-19  penggunaan handphone apalagi bagi anak-anak sekolah daring sangat diharuskan. Padahal  handphone adalah kebutuhan sekunder. Sehingga orang yang tidak mampu beli handphone  harus berhutang dan yang tidak mampu beli paket internet juga harus hutang. Maka dengan  demikian walaupun kebutuhannya sekunder, tetapi harus tetap terpenuhi, yaitu dengan cara  berhutang.

Hukum hutang-piutang sendiri adalah mubah, meminjamkan hukumnya sunah  mu’akad, bisa wajib apabila yang meminjam dalam keadaan amat terdesak. Dan haram  hukumnya apabila yang memberikan hutang meminta tambahan syarat-syarat tertentu dalam  mengembalikan hutang. Namun perlu diingat, hutang sedikit maupun banyak penting untuk  dicatat, karena sifat manusia yang sering lalai dan tidak mau ada kerugian antara pihak yang  berhutang maka penting untuk dicatat.

 

Apa Itu Hutang? 

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah l.Apabila ditanya apa itu hutang  pasti sudah tidak asing lagi dengan kata tersebut. Ada yang bilang bahwa janji adalah termasuk  hutang, kemudian ada yang memahami hutang adalah pemotongan sebagian hartanya kepada  orang lain yang membutuhkan agar dapat dikembalikan.

Menurut terminologi, hutang adalah memberikan sebagian harta yang dimiliki dan terdapat  klausula untuk dikembalikan serta dapat ditagih[1]. Dalam Islam hutang itu sendiri memiliki  dasar hukum dalam al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 245,.

Allah l berfirman, “Barangsiapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik.  Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan pelipatan yang banyak.  Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”  (Q.S. al-Baqarah [2]:245)

Menilik dari hukum positif, hutang merupakan sesuatu yang muncul dari sebuah  perikatan atau perjanjian. Oleh sebab itu Soedewi Sofwan menyebutkan istilah Belanda  verbiteniss sebagai perutangan, sebab menurutnya verbiteniss adalah suatu hubungan hukum  yang seseorang mengharapkan sesuatu prestasi (sikap berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,  memberikan sesuatu) dari orang lain.[2]

 

Rasulullah Memandang Utang 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hukum berhutang tergantung kondisi yang  memberikan hutang dan yang berhutang. Dari Abu Hurairah a, dari Nabi Muhammad  n bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta seseorang (berhutang) yang  bermaksud untuk membayarnya maka Allah akan melaksanakan pembayarannya tersebut. Dan  barangsiapa yang mengambilnya (berhutang) dengan maksud merusak (tidak mau membayar  dengan sengaja) maka Allah akan merusak orang itu” (H.R. Bukhari)

Rasulullah n memulai misi kesuksesan dalam dunia bisnis adalah dengan berhutang  terlebih dahulu kepada Khadijah x yang kelak menjadi istrinya[3] . Beliau  membawa beban barang-barang dagangan yang dipinjamkan dari Khadijah x untuk diperjualkan kemudian hasil penjualan dibagikan sesuai dengan akad.

Walaupun demikian Rasulullah n melarang para sahabatnya untuk memelihara hutang  ketika ingin berjihad. Sehingga sering kali Rasulullah n menyuruh para sahabatnya untuk  membayar hutang-hutangnya sebelum melakukan jihad. Hal ini tidak terlepas dari sabda  Rasulullah n dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah n bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (H.R. Muslim no. 1886). Juga Rasulullah n tidak mau men-shalatkan jenazah yang diketahui memiliki hutang.

Sehingga sebisa mungkin apabila memiliki kemampuan membayar atau apabila memiliki  kemampuan untuk menahan diri dari hutang sebaiknya menjauhi diri dari hutang. Karena  hutang membuat seseorang banyak pikiran di malam hari dan membuatnya hina di siang hari.

 

Pencatatan Utang 

Allah l berfirman,“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu melakukan hutang-piutang untuk  waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di  antara kamu menuliskan dengan benar. Janganlah penulis menolak menulisnya sebagaimana  Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)

Ayat ini berbicara mengenai pencatatan hutang-piutang baik kecil maupun besar  hendaknya dicatat. Guna dari pencatatan hutang ini adalah untuk menghindari perselisihan,  keadilan dan sebagai bukti apabila dari salah satu pihak telah ada yang berdusta.

Hendaknya dalam pencatatan hutang ini menunjuk seorang penulis diantara yang  berhutang dan penulis ini harus bertakwa kepada Allah l dan bersikap adil. Dan janganlah  orang yang ditunjuk tersebut menolak untuk menulis karena pandai menulis adalah anugrah  dari Allah l.Dalam tafsir jalalayn menyebutkan bahwa orang yang diberikan ilmu lebih oleh Allah l untuk menulis hutang-piutang tersebut jangan kikir untuk menuliskannya karena tidak semua  orang diberikan kemampuan untuk menulis khususnya dibidang hutang-piutang.[4]

Dalam hal hutang-piutang juga membutuhkan saksi-saksi agar apabila ada kecurangan  dalam hal pencatatan maka keterangan para saksi bisa menjadi alat bukti yang mendukung alat bukti catatan hutang. Hendaknya saksi-saksi lebih dari satu orang yang fungsinya menurut Quraish Shihab adalah untuk saling mengingatkan apabila salah satu saksi lupa. Betapa pentingnya pencatatan hutang ini untuk keberlangsungan baik dalam hubungan  baik selanjutnya antara yang berhutang dan menghutangkan juga menjalankan bentuk syariat  Allah l. Pencatatan hutang hendaknya dilakukan baik hutang tersebut memiliki besaran yang  kecil atau besar, baik dalam bentuk benda atau perbuatan janji.

Apabila ditilik dari surat al-Baqarah ayat 282 tersebut juga sudah jarang yang  mengimplementasikan kegiatan tersebut, walaupun demikian penulis memiliki saran agar  apabila memiliki hutang dan mencari petugas pencatat hutang maka datangi saja Notaris. Selain  memiliki ilmu yang lebih, Notaris juga adalah pejabat yang dituntut adil oleh negara. Apabila  tidak memiliki cukup uang untuk membayar Notaris maka Notaris juga harus memberikan bantuan cuma-cuma sesuai dengan pasal 37 ayat 1 UUJN. Dan carilah Notaris yang taat kepada  Allah  l karena pasti melakukan hal yang dikutip oleh surat al-Baqarah ayat 282 tersebut. Wa Allâhu a’lam.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Shuhaib al Khair, Rasulullah n bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (H.R. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

 

Marâji’:

[1] Isnaini Nurkomariah. Konsep Hutang Menurut Ibnu Taimiyah dan Muhammad Syarif  Chaudry. Bengkulu: Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi  Islam IAIN Bengkulu. 2015. Hal. 16.

[2] Marthasia Kusumaningrum. Perkembangan Pengertian Utang Menurut Undang-Undang  Kepailitan Indonesia. Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program  Pascasarjana Universitas Diponegoro. 2011. Hal. 50.

[3] Ady Cahyadi. Mengelola Hutang Dalam Prespektif Islam. Jakarta: Jurnal Bisnis dan  Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah. Vol.4, No. 1, April  2014. Hal. 70.

[4] tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-282#tafsir-jalalayn (diakses 17 Oktober 2021 Pukul 19.21)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *