IDUL FITRI, SILATURAHMI DAN BERBAGI DI TENGAH PANDEMI

IDUL FITRI, SILATURAHMI DAN BERBAGI DI TENGAH PANDEMI

Oleh: Jaenal Sarifudin*

 

Setelah kaum muslimin menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh, tibalah saatnya merayakan kegembiraan berhari raya idul fitri. Kaum muslimin berbondong-bondong menuju ke tanah lapang dan masjid-masjid untuk menunaikan shalat ‘id. Memanjatkan rasa syukur, mengagungkan Allah ﷻ dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Tuntas sudah kita menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan tahun ini. Tentu harapannya ibadah puasa yang ditunaikan berikut ibadah-ibadah yang mengiringinya seperti shalat tarawih, tadarus, sedekah dan iktikaf diterima oleh Allah ﷻ.

Ramadhan adalah madrasah ruhani, saat dimana spiritualitas dan keimanan kita ditempa. Idealnya setelah Ramadhan usai, keberagamaan kita pun akan semakin tercerahkan. Semakin meningkat ketaatan dan kualitas ibadah kita kepada Allah ﷻ. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, Idul fitri bukanlah milik mereka yang mengenakan baju baru, tetapi (kemenangan) Idul fitri adalah milik mereka yang ketaatannya bertambah”.

Merekatkan Silaturrahim dan Persaudaraan

Pada hakikatnya sesama manusia adalah bersaudara. Mereka dipersaudarakan dari asal-usul nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa. Allah ﷻ mengingatkan hal tersebut dalam firman-Nya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) daripadanya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan periharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 1).

Ini adalah salah satu ayat al-Qur’an yang di antara kandungannya memerintahkan manusia untuk menjaga hubungan tali silaturrahim. Silaturrahim atau silaturrahmi berasal dari bahasa Arab silah yang berarti menyambung dan rahim atau rahmi yang bermakna kekeluargaan dan kasih sayang. Maka silaturrahim dapat dimaknai dengan menyambung hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam bingkai kasih sayang. Silaturrahim merupakan salah satu ajaran agama yang sangat penting kedudukan dan maknanya. Ia merekatkan persaudaraan, kasih sayang dan menumbuhkan solidaritas sesama. Dengan tali silaturrahim manusia juga disatukan dalam ikatan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah) yang dengannya akan terbangun kepekaan sosial dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Terlebih persaudaraan yang dibangun di atas pondasi keimanan dan agama (ukhuwwah Islamiyah), maka semestinya akan menjadi lebih rekat dan lebih kuat lagi. Nabi ﷺ bersabda; ”Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah laksana suatu bangunan yang (setiap bagiannya) menguatkan satu sama lain.” (H.R. Muslim no. 4684).

Dalam suasana ‘idul fitri, silaturrahim dan halal bihalal menjadi bagian dari budaya luhur yang telah mengakar dalam tradisi keagamaan Islam di Indonesia dari masa ke masa. Hal ini dibangun atas sebuah pemahaman bahwa setelah ibadah puasa usai ditunaikan, harapannya dosa-dosa kita diampuni Allah ﷻ, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari no. 38)[1].

Maka hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menghapuskan dosa-dosa yang bersifat sosial, dosa-dosa kepada sesama manusia (haqqul adami). Menurut ajaran agama, dosa kepada sesama baru terhapus apabila kita meminta maaf dan menyelesaikan urusan tersebut dengan yang bersangkutan. Sehingga untuk tertunaikannya tujuan tersebut, sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim di negeri ini untuk mengadakan acara halal bihalal atau syawalan.  Nabi ﷺ bersabda: ”Barangsiapa merasa berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau sesuatu yang lain, hendaklah ia meminta halalnya (maafnya) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan dirham (akhirat).” (H.R. Bukhari no. 2449).[2]

Isi acara syawalan sendiri tidak lain adalah silaturrahim dan berikrar untuk saling maaf memaafkan atas segenap kesalahan. Juga biasanya disertai pula dengan pengajian yang disampaikan oleh ustadz atau penceramah. Tentu hal ini merupakan sebuah tradisi yang baik. Meski untuk kondisi saat ini, di tengah situasi pandemi yang belum berakhir, barangkali belum sepenuhnya bisa dilaksanakan secara maksimal sebagaimana kondisi normal. Masih ada pembatasan-pembatasan tertentu yang ditetapkan pemerintah dan para ahli kesehatan, seperti keharusan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, utamanya memakai masker, untuk saling menjaga dari hal yang tidak diinginkan.

Dalam keadaan tertentu, silaturrahim secara fisik dengan bertatap muka mungkin juga belum bisa dilakukan sebagaimana mestinya karena berbagai kondisi dan keterbatasan. Misalnya karena kendala jarak yang jauh, belum bisa mudik atau ada halangan yang lain. Namun bukan berarti esensi, makna dan keutamaan silaturahmi tidak bisa didapatkan. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa al-kitabu ka al-khithabi, “tulisan itu berkedudukan seperti ucapan”. Kemudian juga kaidah li al-wasail hukm al-maqashid, “sarana menempati hukum tujuan”.[3] Dengan berdasarkan dua kaidah ini maka sesungguhnya tetap ada cara yang bisa ditempuh untuk tetap bersilaturrahim. Ucapan yang dikirim oleh seseorang melalui tulisan berupa surat, pesan melalui media sosial atau pun dengan bertelepon, video call, zoom meeting dan sarana lainnya pada hakikatnya adalah bentuk silaturahmi juga. Sehingga silaturahmi, halal bihalal dan syawalan tetap bisa dilakukan dengan banyak cara melalui fasilitas dan sarana yang ada, tidak harus selalu dengan perjumpaan fisik.

Empati Sosial

Di antara sabda Rasulullah ﷺ yang menekankan arti penting silaturrahim adalah,  “Sebarkanlah salam, sambunglah silaturrahim, berikanlah makan kepada orang yang kekurangan dan bangunlah untuk beribadah di waktu malam, niscaya engkau akan masuk surga dengan damai.” (H.R. Tirmidzi no. 2485). Dalam hadis ini, terdapat pesan Nabi yang dapat dipahami bahwa seharusnya silaturrahim juga dilanjutkan dengan kepedulian untuk berbagi pada sesama bagi mereka yang mampu. Sosok muslim ideal adalah yang shalih secara ritual dan shalih pula secara sosial. Pesan Nabi tersebut semestinya menjadi motivasi bagi siapapun yang berkecukupan untuk melanjutkan aktivitas silaturrahim pada kesadaran untuk berempati. Kesalehan sosial seseorang diuji dalam situasi seperti sekarang ini. Saat dimana banyak saudara-saudara kita terhimpit kesulitan secara ekonomi.

Diisyaratkan dalam kandungan hadits di atas bahwa barangsiapa yang menyempurnakan kesalehan pribadinya dengan kesalehan sosial, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan penuh kedamaian. Dalam sabdanya yang lain, Nabi juga menyampaikan bahwa mereka yang memelihara tali silaturrahim maka akan dipanjangkan usianya dan diberkahi rezekinya. Tentu akan semakin bertambah keberkahan rezeki seseorang manakala ia rajin bersedekah membantu sesama. Bagi mereka yang tidak berlebih secara materi pun sesungguhnya tetap memiliki kesempatan untuk bersedekah, karena pada hakikatnya, sebagaimana sabda Nabi bahwa “setiap perbuatan baik adalah sedekah”. (H.R. Bukhari, no. 6021). Sehingga setiap kontribusi yang dilakukan berupa kebaikan dan bantuan dalam bentuk apapun pada hakikatnya adalah juga bernilai sedekah.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ‏.‏

Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Maraji:

* Mahasiswa FIAI UII

[1] Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut, Darul Fikr, t.t.

[2] ibid

[3] Asjmuni Abdurrahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *