MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

Oleh: Siti Jamilah, MSI

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

         Dalam sistem kalender Hijriyah perhitungan tanggal, bulan dan tahun didasarkan pada peredaran bulan. Maka ia sering disebut sebagai kalender qamariyah. Sementara kalender Masehi didasarkan pada peredaran matahari, sehingga ia disebut kalender syamsiyah. Secara resmi, Islam menggunakan kalender Hijriyah, karena ia juga berkaitan dengan banyak ritual peribadatan umat Islam, seperti puasa dan ibadah haji. Allah ﷻ berfirman: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Ia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.“ (Q.S. Yunus [10]: 5).

Pada masa Nabi ﷺ, perhitungan tahun masih menggunakan tahun bi’tsah atau tahun nubuwwah (tahun kenabian) yang dihitung sejak Muhammad ﷺ diangkat sebagai Nabi. Baru pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab diinisiasi sistem kalender baru yang menjadi identitas umat Islam dengan mendasarkan pada hitungan hijrahnya Nabi ﷺ ke Madinah yang kemudian dikenal dengan kalender hijriyah. Kalender hijriyah diawali dengan bulan Muharram. Bulan yang memiliki arti tersendiri. Karena nama Muharram langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu. Sehingga ia disebut dengan syahrullah (bulannya Allah). Sebelum itu Muharram bernama Shafar Awwal. Dan bulan Shafar yang kita kenal, dahulu disebut dengan Shafar Tsani.[1]

Beberapa Keutamaan Bulan Muharram

  1. Bulan haram adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Nabi n bersabda: ”Zaman berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).[2]
  2. Muharram disebut dalam hadits dengan sebutan syahrullah (bulannya Allah). Muharram merupakan bulan yang dinisbatkan kepada dzat-Nya yang Maha Mulia. Ia disebut sebagai syahrullah (bulannya Allah) sebagaimana sabda Nabi; “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim).[3]
  3. Di dalamnya terdapat hari Tanggal 10 Muharram dikenal dengan sebutan hari asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyara yang bermakna hari kesepuluh bulan Muharram. Ia merupakan waktu yang agung dan mulia.
  4. Banyak peristiwa besar terjadi dalam sejarah di bulan Muharram, terutama pada hari asyura. Menurut beberapa sumber riwayat diceritakan bahwa hari asyura diselamatkanlah Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun, mendaratnya kapal Nabi Nuh di bukit Juud setelah sekian lama berlayar di tengah banjir, juga diselamatkannya Nabi Yunus dari perut ikan Nun raksasa yang menelannya.

Tathoyyur seputar Muharram

            Bulan Muharram yang disebut orang Jawa dengan bulan Suro adalah bulan yang sering dihubung-hubungkan dengan mitos dan hal-hal yang berbau klenik/mistis. Bahkan banyak orang menganggapnya sebagai bulan keramat yang dipercaya dapat membawa kesialan jika melanggar pantangan-pantangannya. Banyak orang meyakini, tidak boleh melangsungkan hajat tertentu di bulan Suro, seperti menikah (mantu), membangun rumah dan seterusnya. Hal itu diyakini akan membawa pada kesialan.

Sesungguhnya menghubungkan kesialan dengan bulan atau waktu tertentu merupakan hal yang keliru dan bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memberikan madharat kecuali atas izin-Nya. Apalagi Muharram sendiri artinya adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Mengapa lalu dianggap sebagai bulan yang sial? Hal semacam ini dalam kajian ilmu tauhid sering disebut dengan tathoyyur.

            Tathoyyur secara bahasa artinya berita burung. Tathoyyur maksudnya adalah mengkait-kaitkan sesuatu dengan hal yang tidak memiliki hubungan logis. Termasuk menganggap diri akan terkena sial jika melakukan hal-hal tertentu. Contohnya menganggap diri akan celaka jika melangsungkan hajat di bulan Suro. Hal ini dapat mengotori kemurnian aqidah. Nabiﷺ  melarang seseorang mencela masa atau waktu.

Larangan Mencela Waktu atau Bulan

            Menganggap bulan Suro atau Muharram sebagai bulan yang membawa sial adalah bentuk tindakan mencela waktu. Apalagi yang dicela adalah bulan yang istimewa, yang disebut sebagai bulannya Allah. Orang yang mencela waktu pada hakikatnya telah mencela Allah yang Maha mengatur waktu. Di dalam hadits qudsi disebutkan; “Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela waktu, padahal Aku adalah (pencipta) waktu. Di tangan-Ku segala perkara. Aku memutar malam dan siang.” (HR. Bukhari).[4]

Termasuk perbuatan mencela waktu adalah menganggap adanya hari naas, hari jelek, bulan sial dan yang semisalnya. Nabi juga melarang kita mencela sesuatu yang merupakan bagian dari sunnatullah dan fenomena alam ciptaan-Nya. Misalnya mengumpat, “dasar batu sial”, “hujan sialan”, “dasar pembawa sial” dan sejenisnya. Nabi n mengajarkan jika kita bertemu hal yang tidak menyenangkan pun tetap memuji Allah l dengan dzikir. Misalnya dengan mengucapkan alhamdulillâh ‘alâ kulli hâl, astaghfirullâh, subhânallâh, dan sebagainya.

Dasar prinsip tauhid adalah membangun sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat mendatangkan manfaat dan madharat, melainkan atas izin dan kehendak Allah ﷻ. Dan juga mengikis hal-hal yang menciderai logika akal sehat. Manusia dimuliakan Allah ﷻ karena kemampuan menalar dan menggunakan akal fikirnya yang sehat dan lurus. Al-Qur’an berulangkali menegaskan hal tersebut dalam ayat-ayatnya.

Beberapa Amalan di bulan Muharram

Secara umum di bulan-bulan haram, termasuk Muharram, kita dianjurkan untuk lebih meningkatkan amal ibadah di dalamnya. Misalnya dengan memperbanyak tilawah, sedekah dan seterusnya. Amal ibadah di bulan-bulan haram akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang lebih besar. Selain itu ada beberapa ibadah yang dituntunkan secara khusus oleh Nabi ﷺ di bulan Muharram. Di antaranya adalah menunaikan puasa sunnah pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Rasûlullâh berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: ”Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu (juga) diagungkan oleh orang-orang Yahudi.” Maka beliau bersabda: “Pada tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga  pada tanggal sembilan.” Tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah telah wafat.” (HR. Muslim). Secara khusus, Nabi mengabarkan agungnya pahala menunaikan puasa sunnah pada hari asyura. Beliau bersabda; “Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).[5]

Marâji’:

[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh Shahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t. Juz 3 hal. 252.

[2] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[3] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[4] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[5] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *