Kemuliaan Muharram dan Momentum Muhasabah

Kemuliaan Muharram dan Momentum Muhasabah

Jaenal Sarifudin*

 

Bismillâh walhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ Rasûlillâh, waba’du.

Kita telah memasuki bulan Muharram yang juga menandai masuknya tahun 1445 hijriyah. Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam perhitungan kalender hijriyah dan merupakan salah satu bulan yang mulia. Nama bulan Muharram sendiri salah satu maknanya adalah bulan yang dimuliakan. Sebelum diutusnya Rasulullah, nama bulan Muharram belum dikenal oleh masyarakat di jazirah Arab. Dahulu bulan ini disebut orang Arab dengan nama bulan Shafar Awal. Kemudian ketika Islam datang, nama Shafar Awal ini diganti oleh Rasulullah ﷺ menjadi Muharram. Demikian Imam Jalaluddin as-Suyuti mengemukakan di dalam kitab Syarah Sahih Muslim susunannya.[1]

Sehingga dapat dikatakan bahwa nama Muharram adalah bagian dari wahyu, sebab Rasulullah ﷺ yang langsung memberi nama itu. Tentu beliau melakukan segala sesuatu atas bimbingan dan petunjuk wahyu dari Allah ﷻ. Apalagi di dalam sebuah riwayat hadits, bulan Muharram juga disebut sebagai syahrullah, bulannya Allah. Ia dinisbatkan kepada lafzhul jalalah Allah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (syahrullah), yakni Muharam …. (H.R. Muslim, no. 1163).[2]

Salah Satu Bulan Haram

Muharram juga termasuk salah satu dari empat bulan-bulan haram yang disebutkan di dalam al-Quran dan hadits. Bulan haram merupakan bulan yang memilki keistimewaan dan nilai tersendiri dalam pandangan Islam. Bulan-bulan haram juga merupakan waktu yang mulia. Bahkan karena kemuliaannnya, sejak zaman sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ, masyarakat Arab telah berpantang melakukan pertikaian dan peperangan pada bulan-bulan tersebut.

Ketika Islam datang, kemuliaan bulan-bulan haram ini dilestarikan dalam ajaran syariat. Ia merupakan bulan-bulan yang dimuliakan. Amal ibadah yang dilakukan di dalamnya pun akan dilipatgandakan pahalanya. Sebaliknya, kemaksiatan dan kezhaliman yang dilakukan seseorang di bulan-bulan haram ini juga memilki konsekuensi dosa yang lebih besar.

Hal ini diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Larangan menganiaya diri pada bulan haram diantaranya mengandung maksud agar kita lebih menjaga diri kita dari melakukan kemaksiatan pada bulan-bulan haram, sebab dosa yang ditanggung akan menjadi lebih besar. Demikian menurut Ibnu Abbas.[3]

Hari ‘Asyura

Bulan Muharram juga memiliki satu hari yang sangat agung, yaitu hari ‘asyura. Hari ‘asyura merupakan hari kesepuluh di bulan Muharram. Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada hari ‘asyura banyak peristiwa besar yang terjadi. Di antaranya diselamatkannya Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun dan perahu Nabi Nuh diselamatkan Allah ﷻ lalu mendarat di bukit Juud.[4]

Kaum muslimin dianjurkan untuk menunaikan puasa sunnah ‘asyura yang fadhilahnya akan dihapuskan dosa-dosanya setahun yang lalu. Dari Abu Qotadah Al Anshariy, berkata, Nabi ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa Asyura? Beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (H.R. Muslim no. 1162).[5]

Nabi juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram agar menyelisihi dengan orang Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram tersebut. Di dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan,

صَامَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau ` bersabda, “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal sembilan.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah ` telah wafat.” (H.R. Muslim).[6]

Momentum untuk Muhasabah

Bulan Muharram sebagai tahun baru Islam juga sering dijadikan sebagai momentum untuk muhasabah oleh kaum muslimin. Banyak kalangan mengadakan acara menyambut tahun baru hijriyah dengan format pengajian dan muhasabah. Muhasabah memiliki makna menghitung-hitung diri, mengevaluasi diri atau berintrospeksi diri.

Umar bin Khattab pernah berpesan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal[7]

Muhasabah merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Dengan sering bermuhasabah niscaya seseorang akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Sebab dengan bermuhasabah ia akan mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dirinya. Sebab pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pasti memiliki kekurangan. Hal yang tidak selalu dimiliki manusia adalah kesadaran diri akan kekurangannya. Di sinilah urgensi dari muhasabah, yaitu membangun kesadaran dan kepekaan atas kekurangan diri sendiri. Tentu setelah itu diharapkan ia akan berupaya memperbaiki diri dan mengambil pelajaran dari kekeliruan yang telah ia perbuat di masa lalu.

Allah ﷻ berfirman;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Dengan muhasabah di awal tahun baru hijriyah ini, harapannya mudah-mudahan kita akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.[]

 

Marâji’:

* Mahasiswa FIAI UII

[1]  Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sahih Muslim, Juz 3, Beirut: Darul Fikr, t.t., h. 252

[2]  Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[3]  Abdul Ghani an-Nablusi, Fadhail al-Ayyam wa asy-Syuhur, terj. Muzammal Noer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004, h. 24.

[4] ibid, h. 158-159.

[5]  Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[6]  ibid. Hadits shahih riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391.

[7]  Muhammad Fuad  Syakir, Laisa min Qaul an-Nabi, Kairo: Maktabah Aulad asy-Syeikh, 2001, h. 74.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *