Sikap Seorang Muslim Menghadapi Pemilu

Sikap Seorang Muslim Menghadapi Pemilu

Hamim Hasan Muslim

(Teknik Elektro 2023 FTI UII)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Landasan Negara

Semenjak keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani, kaum muslimin terpecah menjadi negara-negara yang mayoritas muslim seperti saat ini. Negara-negara kecil yang tersebut kemudian memilih untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Ironisnya, kebanyakan dari negara negara tersebut sudah terdoktrin oleh kolonialisme yang dibawa oleh negara-negara eropa. Sistem pemerintahan yang akhirnya mereka jalankan tidak lagi berkiblat kearah Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi mengadopsi pemikiran pemikiran yang mereka anggap lebih modern seperti sosialisme, liberalisme, bahkan sekuler.

Negara tercinta kita Indonesia menganut sistem yang sama. Namun dengan landasan berupa Pancasila dan UUD 1945. Dimana setiap kegiatan dan program yang dijalankan oleh pemerintahan dan rakyat harus berlandasakan dua hal tersebut. Hal ini diperkuat dengan dekrit kepresidenan pada tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terpimpin yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai seorang muslim percaya bahwa landasan sistem pemerintahan yang terbaik berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti pemerintahan Islam yang pertama kali dibangun dan didirikan oleh Rasulullah ﷺ adalah tatkala beliau menetap di kota Yasrib, yang dikenal dengan negara atau pemerintahan Madinah. Sistem pemerintahan yang telah dirintis oleh Rasulullah ﷺ adalah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sikap Dalam Pemilu

Yusuf Qardhawi v menyebutkan dalam bukunya yang berjudul fiqih negara bahwa terdapat beberapa kubu dalam kaum muslimin dalam menyikapi masalah ini. Ada kubu yang menganggap bahwa sistem selain kekhalifahan tidak boleh diikuti oleh seorang muslim. Ada yang memilih untuk berjuang demi kaum muslimin. Bahkan terdapat kubu extrem yang mengharamkan dan menentang sistem selain khilafah dibawah Al-Qur’an dan Sunnah.[1]

Sikap dari kubu-kubu tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak dapat dijatuhi sebagai sikap paling benar. Alasan utama yang membenarkan pemikiran tersebut antara lain adalah dalam sistem demokrasi Pancasila ini, suara seorang ulama yang disamakan dengan seseorang ahli maksiat. Padahal bobot suaranya seharusnya berbeda sekali. Jika kita melihat kebelakang pada zaman kekhalifahan Utsman, memang pada akhirnya dilakukan sebuah voting untuk menentukan pemimpin. Namun voting dan musyawarah tersebut hanya dilakukan oleh para sahabat yang dijamin masuk surga. Lewat pembenaran tersebutlah beberapa orang diantara kaum muslimin masih memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu.

Sebuah kaidah dalam ilmu fiqih berbunyi

إِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَفَاسِدُ قُدِّمَ اْلأَخَفُّ مِنْهَا

Jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan.”[2]

Sistem pemilu memang tidak menggunakan sumber utama Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan. Namun ketika hak memilih digunakan lalu terpilih pemimpin yang berintegritas, maka yang akan hadir adalah kemaslahatan. Sebaliknya, ketika hak suara kaum muslimin tidak digunakan, maka yang terjadi adalah terpilihnya pemimpin yang dapat merugikan kaum muslimin sendiri.

Dalam sebuah hadits juga dijelaskan tentang urgensi kepemimpinan dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu di antaranya sebagai ketua rombongan.” (H.R. Abu Daud, no. 2609).[3]

Artinya terlepas dari sistem yang tidak sesuai dengan syariat Islam, tetap diperlukan sosok pemimpin bagi ummat ini. Bahkan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam fiqih Negara juga menyebutkan bahwa taat pada pemimpin yang dzalim lebih dianjurkan daripada terjadi perpecahan dalam ummat.[4]

Pendapat Syaikh Yusuf Qarhawi tersebut berlandaskan pada kisah Nabi Harun yang memimpin Bani Israil ketika Nabi Musa pergi untuk menerima wahyu selama 40 hari. Dimana Samiri yang berada di tengah tengah Bani Israil mengajak mereka untuk menyembah patung sapi. Nabi Harun menentang hal tersebut, namun terjadi sebuah penolakan dari kalangan Bani Israil. Pada akhirnya, dengan berat hati Nabi Harun memutuskan untuk membiarkan Samiri melakukan kemusyrikannya di tengah tengah Bani Israil. Keputusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa jika kemaksiatan tersebut dibiarkan, maka Bani Israil akan tetap bersatu. Namun jika dilarang dengan paksa, maka akan terpecah belah. Dalam kondisi tersebut, persatuan jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan perpecahan. Meskipun kondisi ummat tidak sesuai dengan standar keimanan.

Selain itu, sahabat Rasulullah ﷺ yang dijamin masuk surga Umar bin Al-Khattab juga pernah menyebutkan tentang hubungan antara ummat dengan pemimpin. Umar bin Al-Khattab berkata,

فَلَا دِينَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَامَةٍ، وَلَا إِمَامَةَ إِلَّا بِسَمْعٍ وَطَاعَةٍ

Tidak ada Islam melainkan jamaah (Bersatu), dan tidak ada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan keta’atan”. (H.R. Ad Darami, no. 257)[5]

Maknanya keislaman dalam diri seorang muslim tidak akan sempurna sampai dia ikut berjamaah Bersama kaum muslimin. Selanjutnya, dalam jamaah tersebut pastilah harus dimiliki seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam ummat pun diperlukan dengan adanya keta’atan. Maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang taat ditengah tengah ummat Islam adalah hal yang sangat penting terlepas dari sistem yang tidak sesuai syariat.

Islam adalah agama yang berlandasakan ilmu dan akal pikiran. Dalam konteks pemilu dengan sistem demokrasi pancasila ini, diperlukan sebuah pemikiran yang rasional dan membandingkan sikap mana yang paling baik.

Marâji’:

[1] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Perss. 2014 M. cet. ke-1.

[2] Admin. “Kaidah Ke-33: Jika Ada Kemaslahatan Bertabrakan, Maka Maslahat yang Lebih Besar Harus Didahulukan” https://almanhaj.or.id/4072-kaidah-ke-33-jika-ada-kemaslahatan-bertabrakan-maka-maslahat-yang-lebih-besar-harus-didahulukan.html. Diakses pada 27 Januari 2024.

[3] Admin Hidcom “Enam Dalil Memilih Pemimpin dalam Islam” https://hidayatullah.com/none/2016/03/22/91574/fiqh-kepemimpinan.html.Diakses pada 27 Januari 2024.

[4] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Perss. 2014 M. Cet. ke-1.

[5] Husein bin Muhammad bin Ali Jabir, M.A. Menuju Jama’atul Muslimin. Jakarta: Rabbani Perss. 2001 M. cet.ke-1.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *