Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Resdiyanti Permata Putri,

Alumni Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

 

Istilah golput selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.[1] Alasan masyarakat untuk golput saat ini semakin beragam. Pertama, munculnya sikap apatis terhadap politik sehingga tidak mencari tahu dan tidak ingin mengetahui visi-misi serta kandidat-kandidat yang mencalonkan diri. Kedua, tidak memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan pemilu.[2]

Apa Dampak Ketika Memilih untuk Golput?

Setidaknya terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pasangan calon dan partai dengan pendukung terbanyak yang visi misinya mungkin tidak relevan dengan kemajuan Indonesia dapat memenangkan pemilu. Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat karena ketika kita tidak menggunakan hak suara dengan baik, maka sama saja kita membiarkan pemimpin zalim dan tidak amanah memimpin negeri. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang diambil dapat bertentangan dengan syari’ah dan aspirasi-aspirasi masyarakat tidak dapat tersalurkan dengan baik.

Kedua, memberikan lampu hijau kepada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan dalam politik. Jika masyarakat sudah terlanjur apatis terhadap politik, maka pejabat-pejabat yang terpilih untuk menduduki kursi legislatif dan eksekutif bisa saja menganggap bahwa tidak akan ada yang peduli apabila mereka merencanakan agenda tertentu. Alhasil, pemilu semakin terkesan negatif di kalangan masyarakat karena melahirkan pejabat-pejabat yang tidak amanah, yang padahal akar dari permasalahan itu sendiri adalah masyarakat yang acuh terhadap riwayat kepemimpinan dan kinerja para pejabat dan partai pengusungnya.[3]

Sebaiknya Seorang Muslim Menyikapi Pemilu

Meski Islam sendiri tidak mengatur secara pasti tentang pelaksanaan pemilu karena sejarah mencatat bahwa pemilihan-pemilihan khulafaurrasyidin dipilih melalui berbagai metode yang berbeda dan tidak sama dengan sistem yang saat ini dipraktikkan di Indonesia, namun sejatinya sejarah pun menyiratkan umat Islam untuk tidak apatis dan acuh dalam urusan pemilihan pemimpin. Dalam surat An-nisa ayat 58 Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….”. (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58).

Secara tidak langsung, ayat tersebut menegaskan kita untuk wajib memilih pemimpin yang amanah. Jika dikaitkan dengan konteks pemilu, maka sebagai muslim sudah seharusnya kita tidak hanya berpikir bahwa kita berhak untuk memilih paslon yang menurut kita baik dari segi visi-misi hingga program-program kerjanya, namun kita juga berkewajiban untuk memberikan suara kepada paslon yang terbaik menurut kita. Menurut Tafsir Al-Nasafi, ayat tersebut bermakna perintah Allah bagi para hamba-Nya untuk dapat menjalankan amanah yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya, termasuk amanah untuk memilih pemimpin[4].

Selain itu,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Masa’il Asasiyah Wathaniyah atau masalah strategis kebangsaan yang diputuskan pada 26 Januari 2009 dengan judul Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum. Dalam ijtima’ tersebut salah satunya menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan usaha untuk memilih pemimpin yang dapat merealisasikan cita-cita bangsa sesuai aspirasi masyarakat. Kemudian isi fatwa juga  menyebutkan hukum bagi masyarakat yang tidak memilih pemimpin sesuai syarat-syarat syar’i atau tidak menggunakan hak pilih hukumnya haram. Meski terdapat pro-kontra pada kalangan ulama terkait fatwa ini, MUI sebetulnya hanya berupaya untuk menghindarkan masyarakat muslim dari golput dan mendorong masyarakat muslim untuk memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan syar’i. Sebab adanya seorang pemimpin atau kepala negara menurut Ibnu Khaldun dapat diartikan sebagai khalifah, yang menggantikan peran Nabi dalam menjaga agama dan kesejahteraan rakyat[5].

Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa keberadaan seorang pemimpin sangatlah penting. Al-Ghazali berpendapat memilih pemimpin atau kepala negara merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh terlupakan. Lebih lanjut Ibn Taimiyyah menganalogikan urgensi keberadaan sosok pemimpin bagi suatu negara dengan ungkapan “enam puluh tahun di bawah Sultan yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa Sultan”[6].

Dalam tingkatan kelompok terkecil sekalipun Islam sangat mewajibkan adanya seorang pemimpin. Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang artinya “jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.

Kriteria Pemimpin

Para ilmuwan terdahulu, seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan Abdul Qadim Zalum telah menjabarkan kriteria calon pemimpin ideal diantaranya muslim, berakal, sehat jasmani, adil, merdeka, memiliki integritas pribadi, bersih dari sifat tercela, serta memiliki kemampuan manajerial dalam mengatur dan mengelola kepentingan umum[7].

Sedangkan MUI menyatakan pemimpin yang baik diantaranya adalah beriman dan bertakwa, jujur/siddiq, terpercaya/amanah, aktif dan inspiratif/tabligh, mempunyai kemampuan/fathanah, serta memperjuangkan kepentingan umat Islam. Meskipun pada praktiknya tidak ada calon pemimpin yang seratus persen sesuai dengan kriteria ideal, Ibn Taimiyyah menganjurkan kita untuk memperhatikan dua syarat paling utama, yaitu kemampuan memimpin rakyat yang berpedoman pada keadilan dan ketaatan hukum serta amanah yang diwujudkan dengan adanya rasa takut kepada Allah, bukan kepada manusia.

Penutup

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan upaya untuk memilih pemimpin negara dan kepala daerah. Dalam setiap pemilu, selalu ada sebagian masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak suara atau golput. Sebagai muslim yang baik, kita tidak seharusnya masuk dalam kelompok ini karena ajang pemilu dapat menentukan pemimpin seperti apa yang akan kita taati selama 5 tahun ke depan. Jika kita memilih pemimpin yang zalim atau memilih tidak menggunakan hak suara dan membiarkannya digunakan untuk pihak-pihak tertentu, sama saja kita mengkhianati amanah Allah terhadap kita. Jadi, apakah Anda yakin masih ingin menjadi kaum golput?

Marâji’:

[1] Anonim. “Apa Itu Golput dan Pengaruhnya Terhadap Politik Berintegritas” https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230809-apa-itu-golput-dan-pengaruhnya-terhadap-politik-berintegritas. Diakses pada 1 Februari 2024.

[2] Sodikin. “Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam” dalam Jurnal AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 01 No.15, Tahun 2015. h. 59.

[3] Ibid.

[4] AM Mahmud. “Golput dalam Perspektif Islam” https://www.uin-suska.ac.id/blog/2017/02/14/golput-dalam-perspektif-islam-am-mahmud/. Diakses pada 1 Februari 2024.

[5] Munawir Syadzali. Islam dan Masalah Ketatanegaraan. Jakarta : UI Press. 1993. h. 102.

[6] Agus Halimi. “Pemilu dan Partisipasi Umat Islam” dalam Jurnal MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. 1 No.19, Tahun 2003. h.48-57.

[7] Ibid.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *