Kisah Isra Mi’raj dalam Perspektif Sains
Kisah Isra Mi’raj dalam Perspektif Sains
Oleh: Putri Jannatur Rahmah
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Peristiwa spektakuler yang dikenal dengan istilah Isra Mi’raj merupakan kejadian maha hebat yang datang dari perjalanan Nabi Muhammad ﷺ. Petualangan suci ini merupakan peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ dan dibersamai oleh Malaikat Jibril melalui perjalanan beliau dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan kenaikan Nabi Muhammad ﷺ dari bumi ke langit ketujuh atau sidratul muntaha.
Perjalanan dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsha dengan jarak 1500 KM tersebut hanya ditempuh setengah malam, atau bahkan lebih singkat lagi. Peristiwa tersebut terjadi dalam kisah terpuruknya Rasulullah ﷺ atas wafatnya istri tercinta Sayyidah Khadijah, kemudian Allah ﷻ mengundang Rasulullah melalui perjalanan Isra Mi’raj. Dimana dalam hal tersebut timbul perintah untuk melaksanakan salat 5 waktu bagi umat muslim.
Petualangan suci tersebut menuai perbedaan pendapat di kalangan cendekiawan Muslim. Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Nabi Muhammad ﷺ dengan ruhnya bukan jasadnya.
Dalam hal ini, penulis ingin mengelaborasi tentang bagaimana sains memandang fenomena ultra-ajaib ini, perjalanan dari Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, ke Baitul Maqdis, Masjid Al-Aqsa, Palestina. (Diistilahkan dengan sebutan Isra) dan peristiwa Mi’raj yakni ketika Nabi Muhammad ﷺ naik dari bumi langsung ke Sidraul muntaha di langit ke tujuh untuk menerima perintah shalat lima waktu. Satu entitas yang juga berperan penting dalam perjalanan Isra Mi’raj tersebut adalah Buraq, hewan bersayap yang secara harfiah berarti kilat. Selesai misi, ia kembali ke jazirah Arab dan menceritakan kejadian fantastis yang beliau alami yang sempat menggemparkan umat-Nya.
Benarkah sains dan kecerdasan manusia tidak bisa menjawab keajaiban ini? Secara timbal balik berbagai tanya jawab tentang apakah Nabi ﷺ melakukan perjalanan sekaligus jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Berbagai pendapat dikemukakan oleh para cendekiawan muslim, salah satunya Wahbah Zuhaily dalam tafsir Al-Munir, beliau mengatakan bahwa Muhammad melakukan perjalanan sebagai satu kesatuan jiwa dan raga, sebagai tafsir dari kata bi’abdihi, kata abdun memiliki arti kesatuan antara jasad dan ruh.
Sebagaimana konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia. Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme.
Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat indrawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulang buktikan oleh siapa pun. Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris. Jelaslah dari sini, jika peristiwa Isra Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).
Akan tetapi, jika dipandang dari perspektif keilmuan Islam, maka pembahasannya jadi lain, peristiwa Isra Mi’raj ini tetap dianggap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan. Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (Keberadaan Tuhan, malaikat, surga, neraka, dan lain sebagainya) merupakan rangkaian kepercayaan agama yang tidak memerlukan adanya bukti empiris, melainkan persoalan-persoalan metafisik tersebut eksis dan benar adanya (realistis). Hal yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab Al-Qur’an menyatakan:
وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“… Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 85).
Suatu hal yang ditegaskan oleh Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diamini oleh para ilmuwan abad 20. Salah satunya adalah Schwart -seorang pakar matematika yang tersohor di Perancis- ia menyebutkan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan. Sedangkan fisikawan abad 20 yakin sepenuhnya bahwa ia tidak mengetahui segalanya meski yang disebut materi sekalipun. Dalam teori Black Holes disebutkan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persen sisanya adalah ranah yang tidak dapat dijangkau akal kemampuan manusia. Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“.
Mengutip dari Prof. Drs. Agus Purwanto, M.Si, M.Sc., D.Sc. Guru Besar Fisika Teori ITS atau Pakar Ayat Semesta menyatakan, bahwa Isra Mi’raj tidak dapat dijelaskan dengan Teori Relativitas Khusus (di dalam sistem tata surya), tetapi bisa dijelaskan dengan Teori Relativitas Umum yaitu ada ruang dimensi tinggi, ruang immaterial atau ghaib di sekitar kita dengan menembus ruang dimensi tinggi. Immaterial atau ghaib ini tidak perlu ditempuh dengan waktu yang lama.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, mengungkapkan Isra Mi’raj ada kaitannya dengan perjalanan antar-dimensi. Menurutnya, Sidratul Muntaha ini lambang batas yang tidak seorang manusia atau makhluk lain bisa mengetahui lebih jauh. Manusia hidup dalam dimensi ruang-waktu. Dimensi manusia hanya dibatasi oleh ruang dan waktu tersebut.
Hal ini ditandai dengan adanya istilah jarak-jauh, masa lampau-sekarang, masa depan, serta waktu singkat dan lama. Thomas mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ mengendarai buroq. Rasulullah ﷺ sedang keluar dari dimensi tersebut. Jadi, pertanyaan mengenai di mana tempat pertemuan di langit ketujuh itu tidak lagi relevan, karena sudah keluar dari dimensi ruang waktu.
Menurut perspektif sains, dalam peristiwa Isra Mi’raj, tujuh lapis langit itu bermakna benda langit tidak berhingga. Thomas berpendapat bahwa tidak ada lapisan langit dan atmosfernya secara nyata di alam semesta. Atmosfer dibedakan berdasarkan derajat suhu dan lainnya, namun tidak berwujud lapisan. Struktur besar alam semesta yang tidak terhingga itu disebut tujuh langit, hal ini dapat dilihat dari analogi makna tujuh langit yang tidak terhingga pada surah Luqman ayat 27, Allah ﷻ berfirman,
وَلَوْ أَنَّمَا فِى ٱلْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَٰمٌ وَٱلْبَحْرُ يَمُدُّهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَٰتُ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Luqman [31]: 27)
Marâji’:
Dr. Hm. Zainuddin, Ma, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw: Dari Sains Modern Hingga Shalat, Https://Uin-Malang.Ac.Id/R/200301/Isra-Mi-Raj-Nabi-Muhammad-Saw-Dari-Sains-Modern-Hingga-Shalat.Html
Isra Mikraj: Perspektif Sains Dan Teknologi Serta Perspektif Fungsi Strategis Salat, Https://News.Uad.Ac.Id/Isra-Mikraj-Perspektif-Sains-Dan-Teknologi-Serta-Perspektif-Fungsi-Strategis-Salat/
Https://Www.Cnnindonesia.Com/Teknologi/20230218060159-199-914676/Bagaimana-Sains-Memandang-Isra-Miraj/2 (diakses Maret 19, 2023)
Rahmati, The Journey Of Isra’ And Mi’raj In Quran And Science Perspective, Https://Jurnal.Ar-Raniry.Ac.Id/Index.Php/Jar/Article/View/7587/4547
Mutiara Hikmah
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّالرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” (H.R. Muslim, no. 2594 dari Aisyah).
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!