Memetik Manfaat Waktu Sahar ketika Ramadhan

Memetik Manfaat Waktu Sahar ketika Ramadhan

Erry Satya Panunggal, S.IP.

*Kaur Data Akademik Fakultas Teknologi Industri UII

 

Bulan Ramadhan identik dengan aktivitas makan sahur guna mempersiapkan diri menjalani ibadah puasa hingga adzan maghrib. Selain bersantap sahur, sebenarnya banyak aktivitas lain yang tidak kalah mengandung keberkahan pada waktu tersebut. Hal ini utamanya banyak berhubungan dengan waktu sahar yang diyakini para ulama adalah waktu yang sangat baik untuk bermunajat dan memohon ampunan kepada Allah ﷻ.

Kapan Waktu Sahar itu?

Waktu sahar merujuk pada sesaat sebelum fajar shadiq tiba. Sedangkan kata “sahar” di dalam kamus bahasa bermakna akhir malam, sebelum terbit fajar, sedikit sebelum waktu subuh, dan ketika kegelapan malam bercampur dengan cahaya siang.[1]

Ustaz Adi Hidayat, dalam salah satu ceramahnya menyebut waktu sahar berlangsung pada 15-30 menit sebelum fajar.[2] Sedangkan Ustaz drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D. dalam laman Universitas Islam Indonesia, berpendapat waktu sahar berlangsung sekitar 10-20 menit sebelum adzan subuh.[3]

Sebagaimana difirmankan Allah ﷻ dalam surah Ali ‘Imran ayat 17 yang berbunyi,

ٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْمُنفِقِينَ وَٱلْمُسْتَغْفِرِينَ بِٱلْأَسْحَارِ

“(Juga) orang-orang yang sabar, benar, taat, dan berinfak, serta memohon ampunan pada akhir malam” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 17).

Keutamaan Waktu Sahar dan Amalan yang Dianjurkan

Ibnu Katsir ketika menafsirkan surah Ali Ali ‘Imran ayat 17 berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristighfar di waktu sahur. [4] Menurut sebuah riwayat, Nabi Ya’qub pada suatu waktu diminta oleh anak-anaknya untuk memohonkan ampun kepada Allah ﷻ atas kesalahan yang pernah mereka perbuat dalam kisah Nabi Yusuf u. Beliau menangguhkan memintakan pengampunan sampai waktu sahar. Sebab doa dan permohonan ampun terkabul pada waktu sahar.[5]

Di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ

Rabb kami Tabaaraka wa Ta’aalaa turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’anya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.” (HR Al-Bukhari No. 1145 dan Muslim No. 758)

Di kalangan sahabat, Abdullah ibnu Umar memberikan teladan bahwa setelah menjalankan shalat sunnah di malam hari, ia bertanya kepada pembantunya, Nafi Maula Ibnu Umar, apakah sudah masuk waktu sahur. Jika dijawab belum, Ibnu Umar akan melanjutkan shalatnya. Ketika dijawab sudah, Ibnu Umar pun kemudian menutup ibadah shalat sunnahnya dengan berdoa dan memohon ampun kepada Allah ﷻ hingga waktu Shubuh.

Dalam riwayat lain, kita menemukan salah seorang Assabiqunal Awwalun, yakni sahabat Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) yang melantunkan doa dalam sebuah sudut masjid, “Ya Tuhanku, Engkau telah memerintahkan kepadaku, maka aku taati perintah-Mu; dan ini adalah waktu sahur, maka berikanlah ampunan untukku.”

Sementara itu, Imam Nawawi berpendapat bahwa bentuk keberkahan makan sahur adalah umat muslim banyak yang berzikir maupun berdoa di waktu tersebut. Pada momen itulah, saat diturunkannya rahmat serta diterimanya doa dan istighfar.[6]

Berkaca pada uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah ﷻ, serta memanjatkan doa-doa terbaik kita di waktu sahar hingga azan subuh berkumandang.

Tidak mengherankan jika pada waktu tersebut dinilai sangat baik bagi kita untuk memohon ampun pada-Nya. Selain berkaitan dengan aspek spiritualitas, kondisi jiwa individu secara umum masih tenang dan belum banyak memikirkan hal-hal keduniawian. Terlebih dengan suasana malam yang hening, batin kita menjadi lebih terbuka untuk merenung dan bermuhasabah atas kesalahan yang pernah diperbuat sehingga meningkatkan ikatan penghambaan kepada Allah ﷻ.

Tantangan Memanfaatkan Waktu Sahar dan Kiat Mengatasinya

Meski telah menyadari besarnya manfaat dan keberkahan waktu sahar, tidak jarang diri kita dihinggapi rasa malas yang hebat untuk mengejar berbagai amalan utama di dalamnya. Salah satu tantangan adalah melawan rasa kantuk yang menghinggapi setelah santap sahur. Memang secara biologis, tubuh akan melepaskan hormon tertentu seperti serotonin dan melatonin ketika mencerna makanan. Peningkatan kedua hormon tersebut bisa menimbulkan rasa kantuk.[7]

Oleh karena itu, ada baiknya kita pandai-pandai mengatur asupan makanan yang masuk ke tubuh ketika sahur. Hindarilah makan secara berlebihan. Agar tidak mengantuk usai sahur, batasi diri dari menyantap makanan berat, berlemak, atau terlalu manis karena dapat membuat tubuh bekerja lebih keras untuk mencerna.[8]

Menyantap porsi asupan makanan secara proporsional juga akan memudahkan kita mengendalikan rasa kantuk yang datang setelahnya. Selain itu, minum air putih dengan baik juga membantu tubuh kita terhindar dari dehidrasi dan menghilangkan rasa kantuk usai sahur.

Selanjutnya, sejenak meletakkan gawai atau smartphone setelah sahur. Pascasahur, sering kita tertarik membuka gawai untuk mengakses update terkini pada kanal media sosial. Tidak kita sadari, aktivitas itu begitu mengasyikkan sehingga waktu sahur pun berlalu begitu saja tanpa amalan utama.

Terakhir adalah mempersiapkan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya. Memiliki waktu tidur yang terjadwal dan berkualitas akan sangat membantu tubuh kita bangun dengan kondisi segar sehingga tidak berat dalam menjalankan berbagai amalan yang menunggu di waktu sahar.

Marâji’:

[1] Farahidi, Kitāb al-‘Ain, kata Sahr, jilid. 3, h. 136.

[2] Sri Malahayati. “Keajaiban Waktu Sahar, Ustadz Adi Hidayat: Sekitar 20 Menit Menjelang Waktu Subuh”. https://www.jabartranding.com/khazanah/pr-6304581896/keajaiban-waktu-sahar-ustadz-adi-hidayat-sekitar-20-menit-menjelang-waktu-subuh. Diakses pada 4 Maret 2024.

[3] Lulu Yahdini. “Keutamaan Memperbanyak Amalan di Waktu Sahar”. https://www.uii.ac.id/keutamaan-memperbanyak-amalan-di-waktu-sahar. Diakses pada 4 Maret 2024.

[4] “Tafsir Surah Ali Imran, ayat 16-17”. http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-16-17.html. Diakses pada 4 Maret 2024.

[5] https://quran.nu.or.id/yusuf/98. Diakses pada 4 Maret 2024.

[6] Aya Ummu Najwa. “Mustajabnya Doa di Waktu Sahur”. https://narasipost.com/syiar/06/2021/mustajabnya-doa-di-waktu-sahur/. Diakses pada 4 Maret 2024.

[7] Nuriel Shiami Indiraphasa. “Sering Mengantuk setelah Sahur? Ahli Gizi Ungkap Penyebabnya”. https://www.nu.or.id/kesehatan/sering-mengantuk-setelah-sahur-ahli-gizi-ungkap-penyebabnya-ltP6J.  Diakses pada 4 Maret 2024.

[8] Nurul Faradila. “5 Tips Ampuh Usir Kantuk Setelah Santap Sahur, Dijamin Langsung Melek”. https://health.grid.id/read/353225328/5-tips-ampuh-usir-kantuk-setelah-santap-sahur-dijamin-langsung-melek. Diakses pada 4 Maret 2024.

Download Buletin klik disini

8 Hikmah Disyariatkannya Puasa

8 Hikmah Disyariatkannya Puasa

Yanayir Ahmad, S.T.

Alumni UII Teknik Elektro 2017

 

Alhamdulillāh washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillah, waba’du.

Allah memiliki nama-nama yang Husna, dan diantara Nama Allah k adalah Al-Hakim. Dan “Al-Hakim” merupakan pecahan kata dari “Al-Hukm” dan “Al-Hikmah”, bahwasannya hanya milik Allah ﷻ hukum-Nya, dan hukum-hukum Allah ﷻ penuh dengan hikmah, kesempurnaan, dan ketelitian.[1]

Sehingga kita paham kalau Allahﷻ tidaklah mensyariatkan suatu hukum melainkan pasti di dalamnya terdapat hikmah-hikmah yang besar. Yang mana bisa jadi kita mengetahui apa hikmah tersebut, namun bisa jadi pula mungkin akal kita tidak mampu mencerna dan menjangkau apa hikmahnya, dan bisa jadi pula kita tahu sebagian hikmahnya namun banyak hikmah lainnya yang samar bagi kita.

Allah ﷻ menyebutkan hikmah dari disyariatkannya puasa dan mewajibkannya atas kita pada firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana hal itu juga telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 183).

Puasa adalah Wasilah Taqwa

Adapun Taqwa secara sederhana adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Thalq bin Habib, seorang tabi’in yang masyhur, yakni (taqwa adalah) engkau mengerjakan ketaan kepada Allah di atas ilmu dan karena mengharap pahala-Nya, serta engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah di atas ilmu serta karena takut hukuman-Nya.[2] Dan puasa merupakan salah satu diantara sebab utama ketaqwaan, karena di dalamnya ada perbuatan melaksanakan perintah Allah k dan menjauhi larangan-larangan Allah.

Para ulama telah menyebutkan sebagian hikmah-hikmah disyariatkannya puasa, dan keseluruhan dari apa yang disebutkan merupakan perwujudan perilaku taqwa. Contohnya dalam tafsir As-Si’di saat menafsirkan ayat di atas (al-Baqarah ayat 183), disebutkan beberapa hikmah dari puasa (yang akan disebutkan juga setelah ini), setiap menyebutkan masing-masing hikmah tersebut, dijelaskan bahwa hal itu adalah bagian dari ketaqwaan. Maka, Puasa merupakan wasilah atau sarana untuk merealisasikan ketaqwaan.

Akan tetapi tentu tidaklah mengapa jika kita sebutkan kembali hikmah-hikmah tersebut untuk mengingatkan orang-orang tentangnya serta menambah semangat dalam melaksanakannya.

Diantara Hikmah-Hikmah Puasa

Diantara hikmah puasa adalah sebagai berikut:

  1. Puasa merupakan sarana untuk mensyukuri nikmat. Hal ini karena puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan jimak, dan semua itu termasuk diantara nikmat-nikmat yang tertingginya. Dengan menahan diri dari suatu nikmat dalam beberapa waktu, maka bisa membuat seseorang mengetahui kadar nilai nikmat tersebut. Dimana ketika nikmat itu tidak diketahui atau tidak dirasakan kadar nilainya, maka ketika nikmat tersebut sedang tidak ada, barulah bisa diketahui atau dirasakan kadar nilainya, betapa besar nikmat tersebut sebenarnya. Sehingga dengan dia mengetahui kadar nilai suatu nikmat, maka bisa membantunya untuk bersyukur atas kenikmatan tersebut.
  2. Puasa merupakan sarana untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Karena ketika jiwanya bisa tunduk dan patuh untuk menahan diri dari perkara-perkara yang halal (seperti makan dan minum) karena mengharap ridha dari Allah k dan takut akan adzab ketika berpuasa, maka harusnya ia lebih bisa untuk menahan diri dari perkara-perkara yang haram. Maka puasa menjadi sebab untuk menjauhi perbuatan-perbuatan haram.
  3. Bahwasannya di dalam puasa ada proses mengalahkan hawa nafsu. Karena jiwa itu kalau kenyang kecondongannya itu mengangankan ini itu (condong ke syahwatnya), berbeda halnya kalau kondisi lapar, maka dia akan lebih menahan diri dari syahwat. Makanya dalam sebuah riwayat disebutkan dari Ibnu Mas’ud berkata, kami para pemuda bersama Nabi ﷺ tidak mempunyai harta apapun maka Rasulullah ﷺ mengatakan kepada kami,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda! Barangsiapa dari kalian yang sudah mampu (secara biologis maupun secara materi) untuk menikah, maka hendaklah segera menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, tapi bagi yang belum mampu nikah, maka puasa, karena itu bisa jadi benteng untuknya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

  1. Bahwasannya puasa itu mendatangkan rasa kasih sayang dan empati kepada orang-orang miskin. Karena orang yang berpuasa ketika ia merasakan tidak enaknya lapar selama beberapa jam misal, maka ia akan ingat dan bisa merasakan bagaimana halnya dengan orang-orang yang keadaan laparnya itu tidak cuma beberapa jam, tapi seharian atau bahkan lebih dari itu, maka ia akan menjadi empati, mengasihi orang-orang miskin, yakni dengan berbuat baik kepada mereka. Sehingga puasa adalah sebab lembutnya hati kepada orang-orang miskin.
  2. Dalam puasa itu ada proses mengalahkan setan dan melemahkannya. Karena bisikan-bisikan kejelekan dari setan kepada menusia melemah, maka potensi untuk berbuat maksiat juga ikut melemah. Hal ini karena setan itu masuk menyusup ke tubuh manusia melalui aliran darah, maka dengan puasa aliran darah akan menyempit sehingga setan akan lemah dan berkurang pergerakannya dalam mengganggu manusia.
  3. Puasa itu melatih seorang untuk punya rasa selalu diawasi oleh Allah k. Pada saat puasa dia meninggalkan apa yang diinginkannya seperti makan dan minum, yang mana bersamaan dengan itu sebenarnya ia mampu untuk melakukannya, akan tetapi ia tinggalkan itu semua karena ia sadar betul kalau Allah melihatnya.
  4. Puasa itu akan menumbuhkan sifat zuhud terhadap dunia dan syahwat, serta menumbuhkan rasa harap dengan kebaikan-kebaikan yang ada di sisi Allah k.
  5. Puasa itu membuat orang terbiasa berbuat banyak ketaatan, hal ini karena umumnya orang yang berpuasa itu banyak melakukan ketaatan dan akhirnya menjadi terbiasa dengan ketaatan tersebut.[3]

Itulah beberapa hikmah puasa yang bisa kita sebutkan, kita meminta kepada Allah k agar Dia memberikan taufiqnya kepada kita serta membantu kita untuk bisa beribadah dengan baik kepada-Nya.

Marâji’:

[1] Shalih Al-Munajjid. “الحكمة من مشروعية الصيام”. https://islamqa.info/ar/answers/26862. Diakses pada 5 Maret 2024.

[2] Ibnu Baz. “التقوى سبب كل خير”. https://binbaz.org.sa/articles/61/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%82%D9%88%D9%89-%D8%B3%D8%A8%D8%A8-%D9%83%D9%84-%D8%AE%D9%8A%D8%B1. Diakses pada 6 Maret 2024.

[3] Shalih Al-Munajjid. “الحكمة من مشروعية الصيام”. https://islamqa.info/ar/answers/26862. Diakses pada 5 Maret 2024.

Download Buletin klik disini

Beginilah Rasulullah ﷺ Berbuka Puasa

Beginilah Rasulullah Berbuka Puasa

Nur Laelatul Qodariyah

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, tinggal hitungan hari Ramadhan 1445 H menyapa kaum muslimin di seluruh dunia. Berbagai persiapan sudah dirancang dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah. Disamping persiapan ilmu tentang fikih Ramadhan, penting juga menjaga fisik agar kuat dalam beraktifitas di bulan Ramadhan.

Jangan sampai fisik kita kalah, jangan sampai tubuh kita lemah sehingga tumbang di tengah-tengah menjalani puasa wajib, karena kesempatan datang ketika kita berani untuk mengambilnya. Sehingga Terjaganya tubuh dari macam-macam penyakit adalah kenikmatan utama yang tidak bisa kita beli dengan uang. Sayangi dirimu sebagaimana Allah ﷻ menghidupkanmu dengan nafas yang panjang sampai saat ini. Sehingga menjaga diri juga termasuk dalam mensyukuri nikmat dari Allah ﷻ.

Badan yang sehat, aktivitas yang lancar akan membuat kita semakin bergembira untuk melakukan amalan-amalan sunnah di bulan Ramadhan. Dengan hal begitu jika badan kita sehat dengan puasa wajib yang akan kita jalankan maka kemungkinan besar sunnah-sunnahnya pun akan terlaksanakan dengan lancar.

Semakin khidmat orang yang menjaga diri entah itu dari hal sebab makanan atau minuman, maka orang tersebut juga akan merasakan manisnya menjaga amalan-amalan rohaninya agar tetap istiqamah menjalani kehidupan yang sementara ini.

Memilih makanan untuk berbuka puasa sama halnya dengan memilah resiko masalah kesehatan dalam tubuh. Jika makanan yang awal masuk salah Ketika sedang berbuka, maka tubuh akan bereaksi dengan apa yang kita cerna. Coba bayangkan jika pembaca berbuka puasa dengan sambal yang teramat pedas. Maka apa yang akan terjadi kemudian? Tentu saja lambung akan kaget dengan masuknya zat makanan yang pedas tersebut.  Dalam Islam Rasulullah ﷺ, telah mengajarkan kepada kita untuk berbuka puasa yang baik. Lalu seperti apakah Rasulullah ﷺ berbuka puasa?

Berbuka Puasa dengan Kurma atau air putih

Setelah berpuasa kurang lebih 13 jam di Indonesia, pasti kita akan mengalami rasa haus yang terasa amat tajam, perut seolah seraya berkata untuk segera memanggil-manggil makanan untuk di santap. Serba-serbi macam lauk telah dimasak untuk membatalkan puasa diwaktu berbuka. Saat itu pasti tidak sabar untuk segera menyantapnya. Namun perlu di ingat bahwa tergesa-gesa dalam mengambil makanan dalam satu lahapan akan membuat sistem pencernaan kaget. Bayangkan saja Ketika kamu berbuka puasa langsung minum 1 gelas es buah dalam satu tegukan ditambah makan satu penuh piring. Belum lagi cemilan-cemilan lainnya yang belum sempat dimakan di mulut. Gimana sumpeknya pencernaan di dalam sana berdesak-desakan dengan makanan yang tiba-tiba datang dengan sangat banyaknya.

Makanan yang dianjurkan untuk awal berbuka. Sahabat yang mulia Anas bin Malik berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Dahulu Rasulullah berbuka puasa dengan kurma muda, sebelum sholat Maghrib. Jika tidak ada kurma muda, maka dengan kurma matang. Jika tidak ada, maka beliau meminum beberapa teguk air.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 2650)[1]

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan, bahwa jika tidak ada kurma, hendaklah air sebagai gantinya, bukan kue yang manis-manis atau buah-buahan lainnya kecuali jika tidak dapati dari keduanya. Seperti halnya yang diajarkan Rasulullah ﷺ, beliau jika berbuka puasa langkah pertama adalah memasukan kurma ke mulut, kemudian mengunyah secara perlahan-lahan kurma tersebut agar membangunkan bagian sistem pencernaan satu persatu mulai dari mulut, tenggorokan, kemudian pembentukan air liur agar dapat memproses makanan tersebut sampai ke lambung dengan lancar.

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan, bahwa waktu berbuka sebelum shalat Maghrib. Namun tidak boleh dengan alasan berbuka, kemudian melalaikan shalat Maghrib berjamaah di awal waktu. Maka yang lebih baik adalah menunda makan malam, sampai setelah shalat Maghrib, agar tidak terlambat. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/33, no. 18372]

Gizi Seimbang

Seperti yang telah kita ketahui bahwa, puasa Ramadhan merupakan puasa wajib bagi umat muslim. Sehingga yang puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah ﷻ. Selama puasa juga ada penurunan asupan gizi yang kita makan dikarenakan jumlah makanan yang dikonsumsi berkurang. Meskipun jumlah makanan yang dikonsumsi berkurang, kualitas dari makanan tersebut harus di tingkatkan kebutuhan zat gizi sehari-hari.

Menurut Kemenkes,[2] pola makan dengan menu seimbang adalah pola makan dengan menu makanan yang memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Anjuran yang dikonsumsi dari Kemenkes RI adalah “Isi Piringku” dengan pembagian seperti hal berikut:

½ piring terdiri dari:

  • 2/3 makanan pokok seperti nasi, kentang ubi
  • 1/3 lauk pauk atau protein (nabati dan hewani) seperti daging, ayam, ikan, tahu atau tempe

½ piring lagi terdiri dari:

  • 2/3 sayuran seperti bayam, kangkung, wortel atau sawi
  • 1/3 buah seperti pisang, jeruk, alpukat, apel.

Manfaat Puasa dalam Perspektif Islam

Manusia adalah tempatnya salah, semakin manusia menuruti keinginan nafsunya maka manusia akan terdorong jauh dalam jurang kesesatan. Untuk hal tersebut puasa adalah pelindung bagi manusia agar terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat. disaat puasa kita harus mengontrol lisan, mengontrol hati, mengontrol perbuatan yang tercela.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 4: 115).[3] Berdasarkan hadits ini juga menerangkan bahwa puasa dengan mengharapkan pahala dari Allahﷻ, maka Allahﷻ juga akan mengangkat derajat yang tinggi bagi orang-orang yang senantiasa mengharapkan sesuatu hanya kepada Allah ﷻ.[4]

Marâji’:

[1] Anonim. “Adab Sunnah Saat Berbuka.” https://nasihatsahabat.com/adab-sunnah-saat-berbuka-puasa-2/. Diakses pada tanggal 24 Febuari 2024.

[2] Norhasanah, “penyuluhan Gizi Online dengan Media Video Audio Visual , Tetap Fit saat Puasa dan pasca puasa dengan gizi seimbang”, Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK),  Vol 3, No 1 (2021)

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. “Kajian Ramadhan 3: Puasa Karena Iman dan Mengharap Pahala.” https://muslim.or.id/17294-kajian-ramadhan-3-puasa-karena-iman-dan-mengharap-pahala.html. Diakses pada tanggal 24 Febuari 2024.

[4] Anita Widiasari, Agus Fakhruddin, “Manfaat Puasa dalam Perspektif Islam dan Sains” Al-Hikmah, Vol.7, No, 1 (2021)

Download Buletin klik disini

Bekal Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Bekal Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Nizar Sadat

(Mahasiswa FIAI)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Tinggal menghitung hari, seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia akan menyambut datangnya bulan yang suci Ramadhan. Semua umat muslim diseluruh dunia akan melaksanakan ibadah rukun Islam yang ke-3 yaitu puasa Ramadhan. Ketahuilah bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang banyak memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, dan ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadr. Perhatikan hadits dari Abu Hurairah z, dia berkata, ‘Tatkala Ramadhan tiba, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنَ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Telah datang kepada kalian,[1] (bulan) Ramadhan. Bulan berberkah yang Allah wajibkan puasa terhadap kalian. Di dalamnya, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahîm ditutup, dan para syaithan dibelenggu. Padanya, terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang kebaikan (bulan tersebut) diharamkan terhadapnya, berarti ia telah (betul-betul) diharamkan.” (HR. Ahmad no. 8631 dan an-Nasai’no. 2079)[2]

Hadits diatas menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan ini banyak sekali keistimewaan didalamnya, keistimewaan yang bisa diambil hanya setiap satu tahun sekali. Maka sebagai umat muslim sudah seharusnya bergembira untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Lantas, sebagai seorang muslim bagaimana bekal ilmu menyambut bulan suci Ramadhan?

Menyambutnya Dengan Senang Hati

Kaum muslimin di seluruh dunia ini pantas untuk menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan dengan senang hati dan gembira, karena disetiap kebaikan yang dilakukannya pasti akan dilipatgandakan oleh Allah U dengan kelipatan yang berlipat-lipat ganda. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Berdasarkan hadits ini, rasa senang gembira ini pastinya akan menuntun kita agar bisa memaksimalkan dan menjadikan bulan Ramadhan sebagai ajang kompetisi diri untuk mengambil segala bentuk pahala disetiap kebaikan yang kita kerjakan.

Mempersiapkan Fisik

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664) [3]

Fisik yang kuat akan menjadi peluang besar untuk melakukan ketaatan kepada Allah U. Sehingga muslim yang kuat akan semakin banyak melakukan kebaikan pada bulan Ramadhan, dan semakin banyak juga pahala yang akan didapat oleh dirinya. Maka dari itu, mempersiapkan fisik untuk menyambut bulan suci Ramadhan adalah salah satu yang kita perlu lakukan, karena umat muslim akan melaksanakan puasa selama 1 bulan. Selain mempersiapkan fisik, sebagai manusia yang berakal kita juga perlu menahan hawa nafsu ketika berpuasa, baik hawa nafsu untuk makan, minum, dan menahan hawa nafsu (tidak berhubungan suami istri ketika berpuasa).

Membekali Diri dengan Ilmu

Membekali diri dengan fiqih puasa sebelum Ramadhan akan menjadikan amalan di bulan Ramadhan akan semakin sempurna. Karena Islam mengajarkan agar setiap muslim berbekal ilmu sebelum berkata dan beramal. Memahami panduannya, sebelum beramal. Allah ﷻ berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu. (QS. Muhammad [47]: 19).

Kata imam Bukhari ketika beliau menjelaskan ayat ini,

باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ

Penjelasan, bahwa ilmu harus didahulukan sebelum berbicara dan beramal.” (Shahih Bukhari, 1/130).

Beramal dengan ilmu, dalam arti berdasarkan dalil, akan membuat amal kita semakin meyakinkan. Sebagai seorang muslim, berpuasa saja tidak cukup dengan menahan lapar dan haus, ada faktor lain yang harus dipelajari. Dari Abu Hurairah z berkata, “Rasûlullâh ﷺ bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. Ahmad no. 8693)[4]

Penting memahami fiqih puasa agar puasa kita berkualitas disisi Allah ﷻ dan menjadi wasilah diampuninya dosa-dosa kita. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah ﷻ. (Lihat Fathul Bari, 4: 115).[5]

Semoga kita bisa menyambut datangnya bulan suci Ramadhan ini dengan gembira dan segala bentuk niat, ikhtiar kita untuk menyambut bulan suci Ramadhan ini menjadi nilai ibadah di mata Allah ﷻ, dan semoga kita bisa di pertemukan di bulan suci Ramadhan tahun ini.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan” (HR. Ahmad 1/259) [6]

Marâji’:

[1] Dalam riwayat lain dengan redaksi أَتَاكُمْ (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad 225/9-Al-Fath Ar-Rabbani dan An-Nasa’i 129/4 dan dishahihkan oleh Al-AlBani dalam At-Targhib 490/1). https://pesantrenalirsyad.org/majelis-ramadhan-ke-2-keutamaan-ramadhan-dan-puasa/. Diakses pada 19 Februari 2024.

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasâ`iy, dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Tamâmul Minnah hal. 395 lantaran beberapa jalurnya.

[3] Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 5228). https://almanhaj.or.id/12492-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-allah-subhanahu-wa-taala-2.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

[4] HR. Ahmad no. 8693 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban: 8/257 dan Syeikh Albani dalam Shahih Targhib: 1/262. https://islamqa.info/id/answers/93723/bagaimana-menjaga-puasa-di-tengah-banyaknya-kemaksiatan-dimana-mana. Diakses pada 19 Februari 2024.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal “Kajian Ramadhan 3: Puasa Karena Iman dan Mengharap Pahala.” https://muslim.or.id/17294-kajian-ramadhan-3-puasa-karena-iman-dan-mengharap-pahala.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

[6] Muhyidin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar, Daarul Hadits, Kairo, Mesir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (1/259), Ibnu Suniy dalam ’Amalul Yaum wal Lailah, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/1399), An Nawawi dalam Al Adzkar (245). Hadits ini dinilai dho’if oleh; Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (2/65), Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Tabyinul ‘Ajb (19), Syu’aib Al Arnauth menilai sanadnya dho’if dalam tahqiq musnad Imam Ahmad (1/259). Ringkasnya, riwayat yang menyebutkan do’a bulan Rajab tersebut adalah riwayat yang dho’if. Sehingga sikap kita terhadap do’a tersebut adalah tidak menganggapnya sebagai sabda Nabi n. https://muslim.or.id/21263-ya-allah-berkahilah-kami-di-bulan-rajab.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

Download Buletin klik disini

Hukum Nazar Ketika Pemilu, Ingat Ada Kafaratnya

Hukum Nazar Ketika Pemilu, Ingat Ada Kafaratnya

Much Diki Mualimin

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Beberapa hari terakhir, sedang riuh-riuhnya tahun politik dimana sebagian masyarakat yang menjadi pendukung calon yang akan maju menjadi anggota parlemen melakukan berbagai bentuk aksi agar calon yang didukungnya bisa menang dalam pemilihan umum, salah satu bentuk aksi yang dilakukannya adalah dengan melakukan nazar. Perlu diketahui bahwasanya nazar itu tergolong ke dalam beberapa bentuk, mulai dari perkara-perkara yang sifatnya ibadah, mubah, atau bahkan yang bentuknya maksiat, dan tentunya semua hal itu ada konsekuensi di dalamnya.

Hukum Nazar

Nazar ialah mewajibkan pelakunya untuk melakukan suatu hal tertentu yang sebenarnya tidak wajib. Jumhur ulama mengatakan nazar hukumnya makruh, bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya haram karena Nabi ﷺ melarangnya, hal ini berdasarkan penjelasan dari hadits Nabi ﷺ.

Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

نَهَى النَّبِىُّ ﷺ عَنِ النَّذْرِ قَالَ: إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Nabi ﷺ melarang untuk bernazar, beliau bersabda, ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (H.R. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)

Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda,

لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (H.R. Muslim no. 1640)

Di dalam hadits orang yang bernazar dikatakan bakhil (kikir/pelit—ed) dikarenakan biasanya seseorang akan mau melakukan ketaatan kepada Allah jika dirinya telah memperoleh manfaat[1]. Kenapa disebut bakhil (kikir/pelit—ed) bagi orang yang bernazar? Karena jika ia tidak bakhil harusnya ia tetap melaksanakan amalan tersebut tanpa nazar. Dan dia bakhil, karena seakan-akan ia ingin melakukan transaksi tukar menukar dengan Allah l.[2]

Tetapi jika seseorang sudah mengucapkan nazar maka ia wajib memenuhinya, berdasarkan firman Allah ﷻ,

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (Q.S. Al Hajj [22]: 29)

Dari ‘Aisyah x, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (H.R. Bukhari no. 6696)

Kafarat Nazar

Perlu diketahui ketika seseorang telah mengucapkan nazar, maka nazar tersebut wajib ia tunaikan, jika ada suatu hal dimana dia tidak dapat menunaikan nazar maka ada kewajiban bagi dirinya untuk menebus nazar yang dinamakan kafarat. Sebagaimana dalam sabda Nabi ﷺ, dari Ibnu Abbas c berkata,

وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ

Siapa yang bernazar dan tidak mampu (menunaikannya), maka menebus dengan tebusan (kaffarah) sumpah.” (H.R. Abu Dawud)[3]

Adapun kafarat sumpah dijelasakan pada firman Allah d dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 yaitu, 1) Membebaskan budak, 2) Memberikan makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau 3) Puasa tiga hari.

Adapun nazar yang sifatnya perbuatan maksiat maka ia tidak boleh melaksanakanya tetapi wajib menebus kafarat. Serupa juga nazar yang bentuknya perbuatan ekstrim atau diluar kemampuannya, maka hal itu harus dilihat dari kondisinya. Maka dari itu tidak bisa seseorang bermudah-mudahan dalam bernazar.

Bentuk Nazar

  • Nazar dalam bentuk ketaatan.

Jika nazarnya dalam bentuk ketaatan kepada Allah d seperti puasa sunnah, shalat sunnah, sedekah, i’tikaf, dan semisalnya maka harus ditunaikan. Sebagai contoh pernyataan “Demi Allah jika saya diangkat jabatan menjadi begini, maka saya akan menyedekahkan sebagian gaji saya untuk panti asuhan”. Namun jika hal itu terjadi tetapi terkendala suatu hal atau dia tidak mau menunaikannya maka dia harus membayar kafarat seperti kafarat sumpah.

  • Nazar dalam bentuk maksiat.

Nazar ini tidak boleh ditunaikan tetapi sebagai gantinya dia harus menebus kafarat, sebagai contoh “Jika si A yang menduduki jabatan begini saya akan mengajak teman-teman saya traktir ke diskotik”, atau dalam bentuk hal yang ekstrim contohnya “kalau si A yang menduduki jabatan ini maka saya berani akan menyayat pergelangan tangan saya!”. Maka nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan.

  • Nazar yang berkontradiksi dengan nash.

Seperti contoh sebagaimana keterangan hadits Nabi ﷺ, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar dia mengatakan bahwa dia berpuasa namun bertepatan pada hari nahr (hari raya Idul Adha), dari Ziyad bin Jubair dia berkata, “Saya bersama dengan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya kepadanya seraya mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu selama saya masih hidup. Ternyata hari itu bertepatan dengan hari nahr (hari raya idul adha)” maka beliau menjawab, “Allah telah memerintahkan untuk memenuhi nazar dan melarang kita berpuasa pada hari nahr (Hari raya idul adha)”. Dia mengulanginya dan beliau mengatakan yang sama tanpa ada tambahan.” (H.R. Bukhori no. 6212)

Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan berpuasa sunnah ataupun nazar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka dari itu dia harus menebusnya dengan kafarat sebagaimana kafarat sumpah.

Semoga dengan penjelasan ini dapat menyadarkan kita untuk tidak menyepelekan dalam perkara nazar dan bisa menjadi nasihat bagi kita ketika melakukan amalan benar-benar ikhlas untuk Allah ﷻ.

Marâji’:

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hukum Seputar Nazar” https://rumaysho.com/1731-seputar-hukum-nazar.html. Diakses pada 19 Februari 2024.

[2] Ratno Abu Muhammad. “Hukum Bernazar dan Cara Membayar Kafarat” https://bimbinganislam.com/hukum-bernazar-dan-cara-membayar-kafarat/. Diakses pada 19 Februari 2024.

[3] Hafidz Ibnu Hajar berkomentar dalam Bulugul Maram sanadnya shahih dan Hafidz menguatkan status sampai sahabat Nabi (waqf).

Download Buletin klik disini

Spirit Islami Menakar Kualitas Pemimpin Negeri

Spirit Islami Menakar Kualitas Pemimpin Negeri

Agus Fadilla Sandi

Mahasiswa Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‘an (IIQ) Jakarta

 

Urgensi Pemimpin

Pemimpin memiliki peran yang sangat krusial dalam suatu negeri. Pemimpin dengan kualitas yang baik akan berpotensi mengeluarkan kebijakan yang baik, sedangkan pemimpin yang buruk bisa jadi melahirkan kebijakan yang buruk pula. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 58)

Saking pentingnya eksistensi seorang pemimpin, hingga Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Lantas Fudhail ditanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”[1]

Pernyataan di atas mencerminkan sebuah kesadaran akan dampak luas yang dapat dihasilkan oleh kepemimpinan yang baik. Pemimpin bukan hanya figur otoritatif, tetapi juga pilar utama dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat dan negara. Terkhusus bagi Indonesia —negara mayoritas berpenduduk muslim[2]– yang kini akan memasuki momentum pemilihan pemimpin negeri, maka penting untuk mengetahui bagaimana spirit Islami dalam menakar kualitas pemimpin negeri?

Pemimpin Terbaik

Menghadirkan pemimpin dengan kualitas terbaik merupakan keharusan yang mendasar. Spirit Islami telah memberikan gambaran pemimpin terbaik melalui Hadis Rasulullah berikut. Dari ‘Auf bin Malik, Nabi ﷺ bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ،

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka….” (H.R. Muslim No. 1855)

Nabi ṣallāllāhu ʿalayhi wa sallam menjelaskan bahwa pemimpin terbaik bagi suatu negeri adalah mereka yang adil dalam pemerintahannya. Hubungan di antara mereka dan yang dipimpinnya diwarnai oleh kasih sayang dan rasa cinta. Sebagaimana disebutkan, “Dan kalian mendoakan untuk mereka dan mereka pun mendoakan untuk kalian.” Doa di sini mencakup arti permohonan, yaitu kita berdoa untuk kebaikan pemimpin kita dan sebaliknya, sehingga terjalinlah hubungan saling mencintai dan mendukung antara keduanya.[3]

Pemimpin terbaik berdasarkan hadis di atas adalah; Pertama, Kalian mencintai dan mendoakan Pemimpin. Artinya, orang-orang yang dipimpin mencintai pemimpin mereka dan bukti cinta itu salah satunya diwujudkan melalui doa kepada pemimpinnya. Kedua, Pemimpin yang mencintai dan mendoakan kalian. Pemimpin mencintai orang-orang yang ia pimpin. Pemimpin mengupayakan kemaslahan bagi rakyatnya dan senantiasa mendoakan mereka. Pada akhirnya, mencintai pemimpin dan mencintai yang dipimpin simultan menciptakan hubungan timbal balik yang memperkuat ikatan antara pemimpin dan rakyat.

Pemimpin Terburuk

Pemimpin di suatu negeri memegang peranan penting dalam menentukan arah dan nasib bangsa. Lalu bagaimana jadinya jika kualitas pemimpinnya buruk? Dalam lanjutan hadis sebelumnya disebutkan pula perihal pemimpin yang buruk. Nabi ﷺ bersabda,

وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ، قَالُوا: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ؟ قَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“…Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”   Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (H.R. Muslim No. 1855)

Nabi ﷺ menyebutkan dalam hadis di atas bahwa pemimpin dan penguasa yang paling buruk adalah mereka yang dibenci oleh rakyat dan rakyat tidak suka pada mereka. Di saat yang sama, pemimpin tersebut juga membenci rakyat dan tidak suka pada rakyat. Selanjutnya rakyat melaknat mereka dan mereka pun melaknat rakyat. Hubungan saling benci dan saling melaknat merupakan hubungan terburuk antara para penguasa dan yang dipimpin.[4]

Tentunya ini menjadi peringatan keras tentang bahayanya pemimpin yang buruk bagi suatu negeri. Pemimpin dengan kualitas yang buruk lambat laun akan menjadi ancaman yang luar biasa bagi kehidupan bersama. Hal demikian disebabkan oleh adanya kutukan yang dapat menghambat kemajuan dan keberkahan suatu negeri.

Bagaimana Kualitas Pemimpin Pilihanmu?

Pilihlah pemimpin yang kaucintai dan dekat dalam doa di hati! Pemimpin yang dicintai dan didoakan oleh rakyatnya cenderung menciptakan hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara pemerintah dan rakyat. Sebaliknya, pemimpin yang tidak dicintai dan tidak didoakan rakyatnya dapat menyebabkan ketidakstabilan perjalanan suatu bangsa. Oleh karenanya, penting untuk memilih dan mendukung pemimpin dengan kualitas terbaik, seiring doa semoga tercapai kemajuan dan kebahagiaan bersama.

Spirit Islami telah menekankan pentingnya eksistensi pemimpin bagi suatu negeri. Firman Allah menegaskan akan urgensi memberikan amanah kepada yang berhak dan keharusan berlaku adil. Pun Hadis Rasulullah memberikan gambaran utuh tentang pemimpin terbaik dan terburuk. Ini semua menjadi landasan Islami bagi setiap muslim dalam menakar kualitas pemimpin negeri. Semoga Allah karuniakan kita pemimpin terbaik bagi negeri ini, pemimpin yang di antara kita terjadi relasi saling mencintai dan mendoakan setulus hati.

Marâji’:

[1] Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Asbahani, Hilyat al-Awliya’ wa Ṭabaqat al-Asfiya’, vol. 8 (Mesir: Al-Sa’adah, 1996), h. 77.

[2] Ahmad Sarwat, Lc., MA., Negara Islam Dilema dan Pro Kontra (Jakarta: Lentera Islam, 2019); Data Indonesia, “Jumlah Penduduk Muslim Indonesia Terbesar di Dunia pada 2022,” Dataindonesia.id, diakses 4 Februari 2024, https://dataindonesia.id/ragam/detail/populasi-muslim-indonesia-terbesar-di-dunia-pada-2022.

[3] “Ad-Durar As-Saniyyah – Al-Mawsu’ah Al-Hadithiyyah – Sharuh Al-Ahadith,” dorar.net, diakses 4 Februari 2024, https://dorar.net/hadith/sharh/152215.

[4] “Ad-Durar As-Saniyyah – Al-Mawsu’ah Al-Hadithiyyah – Sharuh Al-Ahadith.”

Download Buletin klik disini

Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Resdiyanti Permata Putri,

Alumni Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

 

Istilah golput selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.[1] Alasan masyarakat untuk golput saat ini semakin beragam. Pertama, munculnya sikap apatis terhadap politik sehingga tidak mencari tahu dan tidak ingin mengetahui visi-misi serta kandidat-kandidat yang mencalonkan diri. Kedua, tidak memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan pemilu.[2]

Apa Dampak Ketika Memilih untuk Golput?

Setidaknya terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pasangan calon dan partai dengan pendukung terbanyak yang visi misinya mungkin tidak relevan dengan kemajuan Indonesia dapat memenangkan pemilu. Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat karena ketika kita tidak menggunakan hak suara dengan baik, maka sama saja kita membiarkan pemimpin zalim dan tidak amanah memimpin negeri. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang diambil dapat bertentangan dengan syari’ah dan aspirasi-aspirasi masyarakat tidak dapat tersalurkan dengan baik.

Kedua, memberikan lampu hijau kepada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan dalam politik. Jika masyarakat sudah terlanjur apatis terhadap politik, maka pejabat-pejabat yang terpilih untuk menduduki kursi legislatif dan eksekutif bisa saja menganggap bahwa tidak akan ada yang peduli apabila mereka merencanakan agenda tertentu. Alhasil, pemilu semakin terkesan negatif di kalangan masyarakat karena melahirkan pejabat-pejabat yang tidak amanah, yang padahal akar dari permasalahan itu sendiri adalah masyarakat yang acuh terhadap riwayat kepemimpinan dan kinerja para pejabat dan partai pengusungnya.[3]

Sebaiknya Seorang Muslim Menyikapi Pemilu

Meski Islam sendiri tidak mengatur secara pasti tentang pelaksanaan pemilu karena sejarah mencatat bahwa pemilihan-pemilihan khulafaurrasyidin dipilih melalui berbagai metode yang berbeda dan tidak sama dengan sistem yang saat ini dipraktikkan di Indonesia, namun sejatinya sejarah pun menyiratkan umat Islam untuk tidak apatis dan acuh dalam urusan pemilihan pemimpin. Dalam surat An-nisa ayat 58 Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….”. (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58).

Secara tidak langsung, ayat tersebut menegaskan kita untuk wajib memilih pemimpin yang amanah. Jika dikaitkan dengan konteks pemilu, maka sebagai muslim sudah seharusnya kita tidak hanya berpikir bahwa kita berhak untuk memilih paslon yang menurut kita baik dari segi visi-misi hingga program-program kerjanya, namun kita juga berkewajiban untuk memberikan suara kepada paslon yang terbaik menurut kita. Menurut Tafsir Al-Nasafi, ayat tersebut bermakna perintah Allah bagi para hamba-Nya untuk dapat menjalankan amanah yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya, termasuk amanah untuk memilih pemimpin[4].

Selain itu,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Masa’il Asasiyah Wathaniyah atau masalah strategis kebangsaan yang diputuskan pada 26 Januari 2009 dengan judul Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum. Dalam ijtima’ tersebut salah satunya menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan usaha untuk memilih pemimpin yang dapat merealisasikan cita-cita bangsa sesuai aspirasi masyarakat. Kemudian isi fatwa juga  menyebutkan hukum bagi masyarakat yang tidak memilih pemimpin sesuai syarat-syarat syar’i atau tidak menggunakan hak pilih hukumnya haram. Meski terdapat pro-kontra pada kalangan ulama terkait fatwa ini, MUI sebetulnya hanya berupaya untuk menghindarkan masyarakat muslim dari golput dan mendorong masyarakat muslim untuk memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan syar’i. Sebab adanya seorang pemimpin atau kepala negara menurut Ibnu Khaldun dapat diartikan sebagai khalifah, yang menggantikan peran Nabi dalam menjaga agama dan kesejahteraan rakyat[5].

Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa keberadaan seorang pemimpin sangatlah penting. Al-Ghazali berpendapat memilih pemimpin atau kepala negara merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh terlupakan. Lebih lanjut Ibn Taimiyyah menganalogikan urgensi keberadaan sosok pemimpin bagi suatu negara dengan ungkapan “enam puluh tahun di bawah Sultan yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa Sultan”[6].

Dalam tingkatan kelompok terkecil sekalipun Islam sangat mewajibkan adanya seorang pemimpin. Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang artinya “jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.

Kriteria Pemimpin

Para ilmuwan terdahulu, seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan Abdul Qadim Zalum telah menjabarkan kriteria calon pemimpin ideal diantaranya muslim, berakal, sehat jasmani, adil, merdeka, memiliki integritas pribadi, bersih dari sifat tercela, serta memiliki kemampuan manajerial dalam mengatur dan mengelola kepentingan umum[7].

Sedangkan MUI menyatakan pemimpin yang baik diantaranya adalah beriman dan bertakwa, jujur/siddiq, terpercaya/amanah, aktif dan inspiratif/tabligh, mempunyai kemampuan/fathanah, serta memperjuangkan kepentingan umat Islam. Meskipun pada praktiknya tidak ada calon pemimpin yang seratus persen sesuai dengan kriteria ideal, Ibn Taimiyyah menganjurkan kita untuk memperhatikan dua syarat paling utama, yaitu kemampuan memimpin rakyat yang berpedoman pada keadilan dan ketaatan hukum serta amanah yang diwujudkan dengan adanya rasa takut kepada Allah, bukan kepada manusia.

Penutup

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan upaya untuk memilih pemimpin negara dan kepala daerah. Dalam setiap pemilu, selalu ada sebagian masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak suara atau golput. Sebagai muslim yang baik, kita tidak seharusnya masuk dalam kelompok ini karena ajang pemilu dapat menentukan pemimpin seperti apa yang akan kita taati selama 5 tahun ke depan. Jika kita memilih pemimpin yang zalim atau memilih tidak menggunakan hak suara dan membiarkannya digunakan untuk pihak-pihak tertentu, sama saja kita mengkhianati amanah Allah terhadap kita. Jadi, apakah Anda yakin masih ingin menjadi kaum golput?

Marâji’:

[1] Anonim. “Apa Itu Golput dan Pengaruhnya Terhadap Politik Berintegritas” https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230809-apa-itu-golput-dan-pengaruhnya-terhadap-politik-berintegritas. Diakses pada 1 Februari 2024.

[2] Sodikin. “Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam” dalam Jurnal AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 01 No.15, Tahun 2015. h. 59.

[3] Ibid.

[4] AM Mahmud. “Golput dalam Perspektif Islam” https://www.uin-suska.ac.id/blog/2017/02/14/golput-dalam-perspektif-islam-am-mahmud/. Diakses pada 1 Februari 2024.

[5] Munawir Syadzali. Islam dan Masalah Ketatanegaraan. Jakarta : UI Press. 1993. h. 102.

[6] Agus Halimi. “Pemilu dan Partisipasi Umat Islam” dalam Jurnal MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. 1 No.19, Tahun 2003. h.48-57.

[7] Ibid.

Download Buletin klik disini

Sikap Seorang Muslim Menghadapi Pemilu

Sikap Seorang Muslim Menghadapi Pemilu

Hamim Hasan Muslim

(Teknik Elektro 2023 FTI UII)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Landasan Negara

Semenjak keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani, kaum muslimin terpecah menjadi negara-negara yang mayoritas muslim seperti saat ini. Negara-negara kecil yang tersebut kemudian memilih untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Ironisnya, kebanyakan dari negara negara tersebut sudah terdoktrin oleh kolonialisme yang dibawa oleh negara-negara eropa. Sistem pemerintahan yang akhirnya mereka jalankan tidak lagi berkiblat kearah Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi mengadopsi pemikiran pemikiran yang mereka anggap lebih modern seperti sosialisme, liberalisme, bahkan sekuler.

Negara tercinta kita Indonesia menganut sistem yang sama. Namun dengan landasan berupa Pancasila dan UUD 1945. Dimana setiap kegiatan dan program yang dijalankan oleh pemerintahan dan rakyat harus berlandasakan dua hal tersebut. Hal ini diperkuat dengan dekrit kepresidenan pada tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terpimpin yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai seorang muslim percaya bahwa landasan sistem pemerintahan yang terbaik berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti pemerintahan Islam yang pertama kali dibangun dan didirikan oleh Rasulullah ﷺ adalah tatkala beliau menetap di kota Yasrib, yang dikenal dengan negara atau pemerintahan Madinah. Sistem pemerintahan yang telah dirintis oleh Rasulullah ﷺ adalah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sikap Dalam Pemilu

Yusuf Qardhawi v menyebutkan dalam bukunya yang berjudul fiqih negara bahwa terdapat beberapa kubu dalam kaum muslimin dalam menyikapi masalah ini. Ada kubu yang menganggap bahwa sistem selain kekhalifahan tidak boleh diikuti oleh seorang muslim. Ada yang memilih untuk berjuang demi kaum muslimin. Bahkan terdapat kubu extrem yang mengharamkan dan menentang sistem selain khilafah dibawah Al-Qur’an dan Sunnah.[1]

Sikap dari kubu-kubu tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak dapat dijatuhi sebagai sikap paling benar. Alasan utama yang membenarkan pemikiran tersebut antara lain adalah dalam sistem demokrasi Pancasila ini, suara seorang ulama yang disamakan dengan seseorang ahli maksiat. Padahal bobot suaranya seharusnya berbeda sekali. Jika kita melihat kebelakang pada zaman kekhalifahan Utsman, memang pada akhirnya dilakukan sebuah voting untuk menentukan pemimpin. Namun voting dan musyawarah tersebut hanya dilakukan oleh para sahabat yang dijamin masuk surga. Lewat pembenaran tersebutlah beberapa orang diantara kaum muslimin masih memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu.

Sebuah kaidah dalam ilmu fiqih berbunyi

إِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَفَاسِدُ قُدِّمَ اْلأَخَفُّ مِنْهَا

Jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan.”[2]

Sistem pemilu memang tidak menggunakan sumber utama Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan. Namun ketika hak memilih digunakan lalu terpilih pemimpin yang berintegritas, maka yang akan hadir adalah kemaslahatan. Sebaliknya, ketika hak suara kaum muslimin tidak digunakan, maka yang terjadi adalah terpilihnya pemimpin yang dapat merugikan kaum muslimin sendiri.

Dalam sebuah hadits juga dijelaskan tentang urgensi kepemimpinan dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu di antaranya sebagai ketua rombongan.” (H.R. Abu Daud, no. 2609).[3]

Artinya terlepas dari sistem yang tidak sesuai dengan syariat Islam, tetap diperlukan sosok pemimpin bagi ummat ini. Bahkan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam fiqih Negara juga menyebutkan bahwa taat pada pemimpin yang dzalim lebih dianjurkan daripada terjadi perpecahan dalam ummat.[4]

Pendapat Syaikh Yusuf Qarhawi tersebut berlandaskan pada kisah Nabi Harun yang memimpin Bani Israil ketika Nabi Musa pergi untuk menerima wahyu selama 40 hari. Dimana Samiri yang berada di tengah tengah Bani Israil mengajak mereka untuk menyembah patung sapi. Nabi Harun menentang hal tersebut, namun terjadi sebuah penolakan dari kalangan Bani Israil. Pada akhirnya, dengan berat hati Nabi Harun memutuskan untuk membiarkan Samiri melakukan kemusyrikannya di tengah tengah Bani Israil. Keputusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa jika kemaksiatan tersebut dibiarkan, maka Bani Israil akan tetap bersatu. Namun jika dilarang dengan paksa, maka akan terpecah belah. Dalam kondisi tersebut, persatuan jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan perpecahan. Meskipun kondisi ummat tidak sesuai dengan standar keimanan.

Selain itu, sahabat Rasulullah ﷺ yang dijamin masuk surga Umar bin Al-Khattab juga pernah menyebutkan tentang hubungan antara ummat dengan pemimpin. Umar bin Al-Khattab berkata,

فَلَا دِينَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَامَةٍ، وَلَا إِمَامَةَ إِلَّا بِسَمْعٍ وَطَاعَةٍ

Tidak ada Islam melainkan jamaah (Bersatu), dan tidak ada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan keta’atan”. (H.R. Ad Darami, no. 257)[5]

Maknanya keislaman dalam diri seorang muslim tidak akan sempurna sampai dia ikut berjamaah Bersama kaum muslimin. Selanjutnya, dalam jamaah tersebut pastilah harus dimiliki seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam ummat pun diperlukan dengan adanya keta’atan. Maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang taat ditengah tengah ummat Islam adalah hal yang sangat penting terlepas dari sistem yang tidak sesuai syariat.

Islam adalah agama yang berlandasakan ilmu dan akal pikiran. Dalam konteks pemilu dengan sistem demokrasi pancasila ini, diperlukan sebuah pemikiran yang rasional dan membandingkan sikap mana yang paling baik.

Marâji’:

[1] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Perss. 2014 M. cet. ke-1.

[2] Admin. “Kaidah Ke-33: Jika Ada Kemaslahatan Bertabrakan, Maka Maslahat yang Lebih Besar Harus Didahulukan” https://almanhaj.or.id/4072-kaidah-ke-33-jika-ada-kemaslahatan-bertabrakan-maka-maslahat-yang-lebih-besar-harus-didahulukan.html. Diakses pada 27 Januari 2024.

[3] Admin Hidcom “Enam Dalil Memilih Pemimpin dalam Islam” https://hidayatullah.com/none/2016/03/22/91574/fiqh-kepemimpinan.html.Diakses pada 27 Januari 2024.

[4] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Perss. 2014 M. Cet. ke-1.

[5] Husein bin Muhammad bin Ali Jabir, M.A. Menuju Jama’atul Muslimin. Jakarta: Rabbani Perss. 2001 M. cet.ke-1.

Download Buletin klik disini

Hijrah Nan Berkah: Perbaikan Diri Dengan Spirit Qur‘ani

Hijrah Nan Berkah: Perbaikan Diri Dengan Spirit Qur‘ani

Agus Fadilla Sandi

Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Wadi Mubarak Bogor

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Pendahuluan

Sejatinya setiap orang mendambakan kehidupan yang berkah; kehidupan yang mendatangkan kebaikan dan kebermanfaatan.[1] Hanya saja tidak semua orang mengetahui upaya yang tepat dalam mewujudkan dambaannya tersebut. Kini, kita telah memasuki tahun baru, tentu semangat perubahan ke arah yang lebih baik kian menggebu. Tahun baru sering dinilai sebagai momen yang tepat untuk mengevaluasi pengalaman selama setahun yang lalu, sembari merencanakan hal yang lebih baik ke depan.

Islam senantiasa mendorong agar setiap orang memiliki semangat perbaikan dan mempersiapkan untuk masa depan. Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Sayyid Quṭb dalam kitab Fi Ẓilāl al-Qur’ān menyatakan ayat di atas sebagai ungkapan yang luas, jauh melampaui kata-katanya. Tujuannya adalah agar setiap orang melihat apa yang telah dia lakukan untuk masa depannya.[2] Menyadari pentingnya akan hidup yang berkah dengan melakukan persiapan akan masa depan, maka hijrah termasuk amalan yang patut dilakukan. Sebab, berhijrah dapat menjadi bentuk refleksi dan kesempatan melakukan pembaruan diri.

Spiritualitas Qur’ani Memaknai Hijrah

Hijrah (الهجرة) dalam Al-Qur’an memiliki makna linguistik, yaitu meninggalkan dan berpisah; baik itu dengan tubuh, lisan, atau hati.[3] Terminologi hijrah juga sepadan dengan pengertian meninggalkan (الترك), memutus (القطيعة), dan atau keluar (الخروج). Meninggalkan berarti meninggalkan sesuatu di tempatnya tanpa kembali, atau pergi dari sesuatu. Memutus merupakan lawan dari menyambung, yaitu memisahkan diri dari sesuatu. Sedangkan keluar bermakna pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain.[4]

Dalam Al-Qur’an terdapat dua pokok pikiran tentang hijrah; hijrah berpindah tempat dan hijrah mengubah amal. Pertama, hijrah tempat, yakni hijrah yang dilakukan seseorang untuk meninggalkan tempatnya yang semula berpindah ke tempat yang baru. Hijrah tempat ini lazim dilakukan dalam konteks, seperti: meninggalkan negeri kafir berpindah ke negeri muslim, meninggalkan tempat yang penuh praktik bid’ah beralih ke tempat yang dekat dengan amalan sunnah, dan berangkat ke suatu tempat untuk mencari karunia Allah ﷻ berupa ilmu maupun harta benda. Berkaitan hijrah tempat ini, Allah ﷻ berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 15)

Kedua, hijrah perbuatan, yaitu hijrah dengan memutuskan suatu amalan dan beralih melakukan amal yang baru. Hijrah perbuatan ini penting untuk perkara, sebagai berikut: memutuskan perbuatan dosa dan beralih kepada amal saleh yang berpahala, memutuskan hubungan dengan orang-orang yang membawa mudarat dan beralih kepada orang-orang yang mendatangkan manfaat. Sekaitan hijrah perbuatan tersebut, Allah ﷻ berfirman,

وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا

“Bersabarlah (Nabi Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Muzammil [73]: 10)

Strategi Hijrah Agar Hidup Berkah

Hidup yang berkah patut untuk diperjuangkan sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur‘an. Hijrah membutuhkan strategi khusus supaya ikhtiar maju terus dan tidak terputus. Di antara inspirasi yang dapat diambil dalam mengatur strategi hijrah, antara lain: (1) senantiasa mengevaluasi diri (muhasabah) dengan bertanya, “Apakah amalanku bermanfaat untuk kehidupan akhirat?” (2) lakukan identifikasi hambatan yang selama ini mengganjal diri menjadi lebih baik! (3) tentukan target hijrah dalam makna tempat maupun perbuatan yang berpotensi menjadikan diri ini lebih baik di masa depan! (4) tata niat berbuat karena Allah, sesuaikan dengan amalan sunnah Rasulullah, seraya berharap menggapai rida Allah bukan justru mencari rida manusia.

Hijrah adalah perbuatan yang penuh tantangan. Dalam Al-Qur’an dikisahkan bagaimana beratnya hijrah Nabi Ibrahim yang harus meninggalkan ayah dan kaumnya karena menyekutukan Allah. Belum lagi lelahnya hijrah Nabi Musa dalam pengembaraan menuntut ilmu. Selain itu, bagaimana sulitnya perjalanan hijrah kaum muhajirin dan anshar. Kesemuanya itu membutuhkan pengorbanan yang besar, niat yang kuat, dan strategi yang tepat. Di balik beratnya cobaan berhijrah, selalulah berkeyakinan bahwa tidaklah Allah memberikan beban kehidupan pada seorang hamba, kecuali sesuai batas kemampuannya.

Penutup

Hijrah adalah sebuah tindakan besar yang penuh dengan kesulitan, kelelahan, dan pengorbanan. Tidak seorang pun dapat menjalankannya dengan benar kecuali mereka yang memiliki iman yang mengakar dalam hati mereka, dan keyakinan yang memenuhi jiwa mereka. Berhijrah penting dilakukan untuk menggapai hidup yang berkah. Tindakan ini dapat dengan mudah dilakukan ketika sesorang mengambil spirit dari Al-Qur’an.

Awal tahun baru ini hendaknya menjadi momentum perbaikan diri. Perbaikan dengan berhijrah agar kehidupan kita makin berkah. Hijrah dengan makna perpindahan ke tempat yang lebih baik maupun penggantian amal perbuatan yang lebih bermanfaat untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Semoga Allah ﷻ memudahkan setiap ikhtiar kita dalam menunaikan hijrah nan berkah sebagai bentuk perbaikan diri dengan spirit Qur’ani. Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji’:

[1] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/berkah. Diakses pada Ahad, 7 Januari 2024.

[2] Sayyid Quṭb. Fi Ẓilāl al-Qur’ān. Al-Qāhira: Dār al-Shurūq – Bayrūt, 1992. h. 3531.

[3] Markaz Tafsīr lil-Dirāsāt al-Qur’āniyyah, Mawsū’at al-Tafsīr al-Mawḍū’ī li al-Qur’ān al-Karīm, Al-Ṭab’ah al-Ūlā. Ar-Riyāḍ: Markaz Tafsīr lil-Dirāsāt al-Qur’āniyyah, 2019. h. 87.

[4] Dirāsāt al-Qur’āniyyah. Mawsū’at al-Tafsīr al-Mawḍū’ī li al-Qur’ān al-Karīm. h. 88–89.

Download Buletin klik disini

Menjadi Lebih Baik dengan Resolusi 2024

Menjadi Lebih Baik dengan Resolusi 2024

Nizar Sadat

(Mahasiswa Pendidikan Agama Islam FIAI UII)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Akhir tahun sering dikaitkan dengan resolusi untuk tahun yang akan datang dan refleksi yang dikaitkan dengan akhir tahun. Padahal sejatinya, refleksi dan resolusi bisa dilakukan di ujung malam sebeum tidur untuk refleksi, dan bangun tidur untuk resolusi di hari itu. Sebuah artikel yang ditulis oleh Hersfield berjudul future self-continuity: how conceptions of the future self transform intertemporal choice[1] di dalam artikel ini tertulis bahwa seseorang yang dapat melihat dan merencanakan sesuatu tentang dirinya di masa depan bisa dibayangkan seperti sedang melihat orang asing dan berjalan semakin jauh. Maka dari itu, jika kita memiliki tujuan yang telah direncakana dari jauh hari, maka kita juga yang perlu menanamkan hal itu pada diri kita agar tetap konsisten melakukan aksi untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan.

Lantas apakah resolusi ini perlu?

Sebagai manusia penting memiliki resolusi untuk menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya merupakan suatu tujuan yang perlu dilakukan, dan bukan suatu kerugian. Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam al-Qur’an, 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. ar Ra’d [13]: 11)

Dari firman diatas, Allah ﷻ sudah memberikan kunci bahwa jika ingin merubah maka harus dari diri sendiri yang bisa merubah itu. Awal tahun adalah momentum untuk seseorang memulai hari dengan harapan yang lebih baik dari tahun yang sudah dilalui, sering kali manusia sudah memikirkan apa saja yang akan dilakukan di tahun yang akan datang.

Cobalah untuk membuat resolusi di awal tahun 2024 dengan hal-hal yang sudah dilakukan sebelumnya agar semakin berkembang dengan baik. Maka dari itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang muslim yang bermanfaat untuk dunia akhirat sehingga dapat menjalankan tahun 2024 menjadi lebih baik dari tahun tahun sebelumnya.

  1. Memperdalam Iman dan Taqwa

Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah Al-Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal Al-Anshari c bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,  

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (H.R. at-Tirmidzi, no.1987)[2]

Jadikanlah tahun ini sebagai momentum untuk memperbaiki diri, memperdalam iman dan taqwa, karena keimanan dan ketaqwaan adalah identitas sejati seorang muslim dan sebaik-baiknya bekal di dunia dan akhirat.

  1. Meningkatkan Kualitas Ibadah

Sebagai seorang hamba tentu harus memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas ibadah, dimulai dari shalat, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. Mulailah dengan target harian yang bisa dilakukan dan tidak berat, karena yang terpenting adalah istiqamah.

Dari ’Aisyah x, beliau mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.” (H.R. Muslim, no. 783)[3]

  1. Bersedekah

Dari Abu Dzar, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (H.R. at-Tirmidzi, no. 1956)[4]

Jika pada tahun sebelumnya merasa kurang dalam hal bersedekah, maka mulailah dengan bersedekah di tahun ini dengan sedekah yang paling sederhana, bisa dimulai dengan berbuat baik kepada manusia, tersenyum kepada sesama manusia, sisihkan sebagian harta untuk sedekah dan lain-lain.

  1. Menjauhi Larangan Allah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.

Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda, “Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (H.R. al-Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337)

Dari hadits diatas, sudah seharusnya sebagai manusia meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah ﷻ dan Nabi ﷺ, jika ditahun sebelumnya masih banyak mengerjakaln hal yang menyebabkan dosa, maka di tahun ini perlu memiliki tekad untuk meninggalkan dan tidak mendekatinya.

  1. Menjadi Pribadi yang Baik

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah ﷺ bersabda,

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (H.R. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949).[5]

  1. Lebih Bertanggung Jawab Terhadap Lisan dan Perbuatan

Allah ﷻ berfirman,

لَا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 114)

Dari firman Allah ﷻ diatas, menjaga lisan adalah suatu kewajiban bagi setiap manusia, jadikan tahun ini menjadi tahun nol dalam ingkar janji, dan lengkapi dengan segala perbuatan baik.

Dari beberapa poin yang sudah disebutkan diatas, semoga bisa menjadi langkah awal untuk menjadi lebih baik di tahun 2024. Jadikan resolusi di tahun 2024 ini menjadi semangat dan istiqamah kita menjadi muslim yang lebih baik dan berguna bagi banyak orang.

Marâji’:

[1] Hersfield.  “Future self-continuity: how conceptions of the future self transform intertemporal choice.” 2011. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3764505/. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[2] Hadits Arba’in ke 18, hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ia mengatakan haditsnya ini hasan dalam sebagian naskah disebutkan bahwa hadits ini hasan shahih. (at-Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Muhammad Abduh Tuasikal. “Takwa, Mengikutkan Kejelekan dengan Kebaikan, dan Berakhlak Mulia” https://rumaysho.com/19209-hadits-arbain-18-takwa-mengikutkan-kejelekan-dengan-kebaikan-dan-berakhlak-mulia.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 783, kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya. Sumber https://rumaysho.com/550-di-balik-amalan-yang-sedikit-namun-kontinu.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[4] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1956, Ibnu Hibban, no. 474 dan 529, dll, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “ash-Shahihah”, no. 572. Abdullah Taslim. “Keutamaan Tersenyum di Hadapan Seorang Muslim” https://muslim.or.id/3421-keutamaan-tersenyum-di-hadapan-seorang-muslim.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[5] Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426). Sumber https://rumaysho.com/21196-raihlah-pahala-besar-dalam-amalan-mutaaddi.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

Download Buletin klik disini