Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci

Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci

Siti Amarah*

 

Sebagai seorang muslim, niat adalah fondasi terpenting dari segala amal perbuatan yang kita lakukan. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Hadits ini diriwayatkan berkenaan dengan peristiwa hijrah, yaitu saat sebagian sahabat Nabi ﷺ meninggalkan Makkah menuju Madinah demi mempertahankan iman dan menegakkan Islam. Hadits ini merupakan sebuah teguran dan peringatan karena diantara para muhajirin ada seorang laki-laki yang ikut berhijrah tidak dengan niat ikhlas karena Allāh ﷻ dan Rasul-Nya, namun karena ingin menikahi wanita bernama Ummu Qais. Maka, ia pun dikenal dengan julukan “Muhajir Ummu Qais”.[1]

Hal ini menunjukkan bahwa nilai sebuah amal tidak hanya dinilai dari bentuk lahiriah, tapi terutama dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Dua orang bisa melakukan perbuatan yang sama, namun pahalanya bisa sangat berbeda, tergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.

Lalu Apa saja Hikmah yang Bisa Kita Ambil?

Hijrah adalah Simbol Perubahan

Di zaman ini, kita dapat memaknai hijrah dengan berbagai macam bentuk. Hijrah tidak hanya melulu mengenai perpindahan secara fisik, namun juga mengandung makna simbolis yang sangat dalam, yaitu perubahan total menuju kebaikan dan ketundukan kepada Allāh ﷻ. Jika tempat kerja kita sekarang berkaitan dengan kemaksiatan yang tidak diridhoi oleh Allāh ﷻ, maka pindah pekerjaan dengan segala resiko dan tantangannya pun dapat dikategorikan sebagai bentuk Hijrah.

Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (HR. Bukhari no. 10)[2]

Hijrah mengajarkan bahwa perubahan itu perlu pengorbanan, seperti yang dilakukan para sahabat. Hijrah butuh tekad dan niat yang ikhlas, karena niat adalah fondasi perubahan. Perubahan harus dibarengi iman dan tindakan nyata, bukan hanya niat kosong.

Luruskan Niat dalam Segala Amal

Momen hijrah ini pun hendaknya selalu kita jadikan sebagai pengingat bagi kita untuk memperbaharui niat sebagai penentu utama kualitas amal. Bahkan amal sebesar hijrah pun, jika niatnya duniawi, maka hanya dunia yang ia dapat.

Tiga hal pokok amal perbuatan itu mencakup hati (niat), lisan (ucapan), perbuatan (anggota tubuh). Dalam buku “Syarh Arba’in An-Nawawiyyah” ketika menjelaskan hadits pertama tentang niat mengutip pernyataan imam Syafi’i “Hadits ini (Innamal a’malu binniyyat) mencakup sepertiga ilmu, dan termasuk 70 bab dalam fikih.”[3]

Sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tanpa fondasi, demikian pula amal tidak akan bermakna tanpa niat karena menentukan sah atau tidaknya amal, menentukan besar atau kecilnya pahala, menjadikan amal biasa bernilai ibadah (seperti makan, tidur, bekerja jika diniatkan karena Allāh), serta membedakan amal duniawi dan ukhrawi.

Sebagai gambaran tentang seberapa besar pentingnya niat, disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasūlullāh ﷺ bersabda, tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Tabaraka wa Ta’ala. Beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،

Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna,” (HR. Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131 di kitab sahih keduanya dengan lafaz ini).[4]

Niat Baik Sudah Diganjar, Meskipun Belum Dilakukan

Niat yang tulus karena Allāh ﷻ meskipun amal belum dikerjakan ia sudah mendapatkan pahala disisi Allāh ﷻ. Ketika perang tabuk terjadi, ada beberapa sahabat yang tidak dapat ikut berperang. Mereka sangat ingin ikut, tapi tidak mampu secara fisik atau materi. Disebutkan dalam suatu riwayat dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda,

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ

Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.” (HR. Muslim no. 1911).

Juga ada hadits dari Anas bin Malik, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata,

إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ

Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari no. 2839).[5]

Nilai amal tidak hanya dinilai dari aksi fisik, tapi dari keikhlasan hati dan niat tulus dengan keinginan yang kuat.

Keikhlasan adalah Fondasi Ibadah

Allāh ﷻ hanya menerima amal yang dilakukan dengan tulus karena-Nya. Allāh ﷻ berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan (juga) agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa inti ajaran semua nabi adalah tauhid dan ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allāh ﷻ, tanpa syirik sedikit pun. Kata “mukhlishīna lahud dīn” menunjukkan bahwa amal tidak diterima kecuali jika dilakukan dengan ikhlas. Kata “Hunafā-a” bermakna menyimpang dari kebatilan menuju kebenaran, yaitu meninggalkan penyembahan berhala menuju mentauhidkan Allāh ﷻ.[6]

Penutup

Hijrah adalah tonggak berdirinya peradaban Islam di Madinah. Dan hadits tentang niat adalah fondasi bagi setiap amal Muslim. Semoga setiap langkah kita hari ini, besar atau kecil, senantiasa dibimbing dengan niat yang lurus, ikhlas karena Allāh ﷻ.

* Kepala Urusan Pelayanan Pusat Bantuan Sosial & Kesehatan DSDM UII

Maraji’ :

[1] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Buku 1) Gudang Bacaan. 2015 M. h. 12.

[2] Ibnu Hajar al-Ashqalani. Fath al-Bari, jilid 11, bab “Maa Haajara Maa Naha-Allahu ‘Anhu”.

[3] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah. h. 19.

[4] Muhammad Nashiruddin al-Albany. Tarjamah Riyadus Shalihin. Surabaya: Duta Ilmu. 2005 M. Cet.k-2. h. 40.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Sudah Berniat Beramal Namun Terhalang Udzur” https://rumaysho.com/3423-sudah-berniat-beramal-namun-terhalang-uzur.html. Diakses pada 17 Juni 2025.

[6] Surat Al-Bayyinah Ayat 5 https://tafsirweb.com/12921-surat-al-bayyinah-ayat-5.html. Diakses pada 17 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Kilas Balik Kalender Umat Islam

Kilas Balik Kalender Umat Islam

Isna Yunita*

 

Sejarah Kelender Hijriah

Sejarah munculnya Kalender hijriah berasal dari masyarakat Arab, dimana sebelumnya masyarakat Arab memberi nama berdasarkan peristiwa tertentu, akhirnya pada masa gubernur Abu Musa di wilayah Basrah yang pada saat itu beliau sering mendapatkan surat perintah yang berkaitan dengan waktu dari Umar bin Khattab sedangkan pada waktu itu belum ada acuan waktu, dan menyebabkan surat perintah yang diberikan Umar Bin Khattab sulit untuk dipahami, karena kejadian yang terus berulang diadakan suatu konferensi untuk menetapkan bilangan tahun. Berdasarkan konferensi yang diadakan oleh para sahabat di putuskan bahwa tahun pertama Hijriah dimulai sejak Nabi Muhammad ﷺ berhijrah ke Madinah, ketetapan ini berdasarkan usulan yang diajukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan 3 filosofi diantaranya,

  1. Masa Nabi hijrah ke Madinah adalah masa pembeda antara fase jahiliyah dan haq
  2. Allah memberikan penghargaan bagi orang-orang yang berhijrah sebagaimana banyaknya ayat Al-Qur’an mengenai hal tersebut
  3. Umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu zaman keadaan dan ingin berhijrah pada kondisi yang lebih baik.[1]

Keputusan ini ditetapkan pada tanggal 20 Jumadil Awal Akhir tahun 17 H pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Selain itu para sahabat juga bersepakat bahwa tahun hijriah dimulai dari bulan Muharram, pendapat mereka bahwa bulan Dzulhijjah menjadi bulan terakhir, karena selesai melaksanakan ibadah haji manusia kembali mengerjakan urusan masing-masing.

Kalender Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis

Sejak awal ayat Al-Qur’an Allah ﷻ telah menetapkan jumlah bilangan bulan dalam Al-Qur’an sebanyak 12 bulan, sebagaimana kandungan Al-Qur’an dalam surah at-Taubah ayat 36,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhulmahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. At Taubah [9]: 36).

Hal ini juga diperkuat dengan hadis nabi. Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa dalil dalam menentukan jumlah bilangan 12 bulan dalam setahun merupakan ketentuan dan ketetapan Allah ﷻ,. Adapun urutan dan nama-nama bulan yang telah disepakati sebagai berikut; Muharram, Safar, Rabi’ al-Awwal, Rabi’ ats-Tsani, Jumada al-Awwal, Jumada ats-Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah.[2]

Pada penetapan kalender Hijriah, bulan menjadi objek utama dalam penetapannya, hal ini sebagaimana ayat Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman,

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (QS. Al Baqarah [2]: 189).

Proses penetapan ini  berdasarkan munculnya hilal, hilal sendiri merupakan bulan sabit yang pertama kali muncul atau terlihat yang selanjutnya semakin membesar membentuk bulan purnama, dan kemudian kembali menipis dan pada akhirnya menghilang.[3]

Urgensi Kalender Hijriah bagi Umat Islam

Setiap muslim yang baik sudah seharusnya kita memanajemen waktu dengan baik, hal ini sejalan dengan pemaknaan secara tersirat ayat pada surah Al Ashr ayat 1-3. Allah ﷻ berfirman,

وَٱلْعَصْرِ. إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3).

Ayat di atas merupakan ayat yang dijadikan landasan terkait urgensi dari adanya kalender yang dapat dijadikan acuan dalam mengatur waktu, karena Allah ﷻ menyeru pada setiap hambanya untuk memanajamen waktu dengan baik dan akurat serta mengisinya dengan perbuatan yang baik berupa amal shalih.

Peran kalender hijriah yang paling fundamental ialah dalam menetapkan waktu ibadah, mislnya ibadah Haji, puasa Ramadhan, hari raya Idul Adha, dan waktu-waktu puasa yang telah di sunnahkan oleh Rasulullah n, sehingga dengan adanya kalender hijriah umat Islam dapat melaksanakan ibadah amal shalih sebagaimana ketentuan hari yang telah ditentukan kalender hijriah.

Manfaat lain jika seorang muslim mengacu pada kalender hijriah ialah dapat mengingat berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, dan dapat menghayati waktu waktu atau peristiwa besar seperti malam turunnya Al-Qur’an dan peristiwa Isra’ Mi’raj. Dari kedua peristiwa penting tersebut seorang muslim dapat menjadikan keduanya sebagai sarana memperkuat iman, dan memperbanyak amal saleh, serta mengambil hikmah dari kedua peristiwa tersebut, mengingat bahwa kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa turunnya Al-Qur’an menandai awal turunnya ajaran Islam dan penyebarannya keseluruh dunia, serta Isra’ Mi’raj yang merupakan perjalanan Rasulullah n, dan menerima perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari, tentunya waktu-waktu tersebut dapat terlihat jika seorang muslim mengacu pada kalender hijriah.[4]

* Alumni FIAI UII

Maraji’ :

[1] Musa Al Azhar. ”Kalender Hijriah dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Al Marshad (Astronomi Islam dan Ilmu-Ilmu berkaitan, Vol. 4 No. 2, Tahun 2018. h.234.

[2] Muhajir. “Sejarah Kalender Hijriah, Jurnal Cendikia Ilmiah” dalam Jurnal Cendikia Ilmiah, Vol. 3 No. 5, 2024. h. 4603.

[3] Masesyaroh. “Kalender Hijriyah Global Turki Upaya Mewujudkan Kepastian Transaksi Ekonomi Pada Lembaga Keuangan Syari’ah, Jurnal Al Hikmah” dalam Jurnal Al-Hikmah, Vol.3 No.1, 2017. h. 74.

[4] Ahmad Fauzan dkk. “Penetapan Awal Bulan Hijriyah dan Integritasinya dengan Perhitungan Matematika” dalam Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, Vol. 2, No 1, 2023. h. 115.

Download Buletin klik di sini

Ketika Do`a Belum Dikabulkan

Ketika Do`a Belum Dikabulkan

Nabila Mumtazah Priyatna*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Di usia kita sekarang ini, tentu tak jarang kita menemui kesulitan dalam hidup. Barangkali, ada yang sedang diberikan cobaan yang membuatnya lelah. Ada yang sedang ditimpa masalah, skripsinya belum lanjut, tugasnya numpuk, belum lagi program kerja organisasi. Dengan segala hal yang membatasi diri itu kemudian kita memanjatkan doa. Karena manusia tidak pernah mampu memikul bebannya di Dunia sendirian. Kita butuh Allâh ﷻ. Kita minta pertolongan pada Allâh ﷻ. Tapi, pernahkah kita sadari, ternyata doa-doa yang senantiasa kita panjatkan itu tak kunjung dikabulkan oleh Allâh ﷻ?

Bahkan, kita menangis sambil memanjatkan doa. Tapi sekarang? Nihil. Tugas-tugas tidak juga terasa ringan, masalah belum juga selesai. Seolah Allâh ﷻ tidak menjawab apa yang kita minta dalam do`a. Sehingga muncul su`udzhan, “Sepertinya Allâh ﷻ tidak mau mengabulkan do`aku”. Na`udzubillah. Bukan karena Allah tidak sayang. Bukan karena Allah tidak mau mengabulkan do`a-do`a kita. Namun, kita yang tidak mengetahui apa yang baik untuk kita.

Allâh ﷻ berfirman,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Husnudzhan kepada Allah

Allâh ﷻ maha mengetahui apa yang ada di diri kita, diri orang lain, bahkan diri kita di masa depan. Sedangkan kita tidak mengetahui diri kita sendiri. Ada yang meminta agar masalahnya segera diangkat, ternyata memang seperti itu cara Allah mencintainya. Ada yang meminta agar tugas-tugasnya diringankan, ternyata Allâh ﷻ ingin kita lebih banyak belajar. Maka, yang harus kita lakukan adalah husnudzhan dengan Allâh ﷻ. Karena dengan berbaik sangka kepada Allah merupakan tanda kuatnya iman kita. Sebagian ulama bersandar pada sabda Nabi ﷺ, yang diriwayatkan dari Wasilah bin Asqa’, dia berkata bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda,

قال اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka, berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendakinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16.016)[1]

Cara Allah Mengabulkan Do`a

Setelah berbaik sangka, kita perlu mengetahui 3 cara Allah mengabulkan doa hamba-Nya. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَا عَلَى الأرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو الله تَعَالَى بِدَعْوَةٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ إيَّاها، أَوْ صَرفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدْعُ بإثْمٍ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَومِ: إِذاً نُكْثِرُ قَالَ: اللهُ أكْثَرُ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. وَرَوَاهُ الحَاكِمُ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي سَعِيْدٍ وَزَادَ فِيهِ: أَوْ يَدْخِرَ لَهُ مَِن الأَجْرِ مِثْلَهَا.

“Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, melainkan pasti Allah memberikannya kepadanya, atau Allah menghindarkannya dari kejelekan yang sebanding dengan doanya, selama ia tidak mendoakan dosa atau memutuskan silaturahim.” Lalu seseorang berkata, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak doa.” Beliau bersabda, “Allah lebih banyak memberi (dari apa yang kalian minta).” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih)[2]

Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dari Abu Sa’id, dan ia menambahkan, “Atau Allah menyimpan untuknya berupa pahala yang sebanding dengan doa tersebut.” (HR. Ahmad, 3:18; Al-Hakim, 1:493)[3].[4]

Waktu Dikabulkannya Do`a

Selain mengetahui bagaimana Allâh ﷻ mengabulkan do`a kita, hendaknya kita berdo`a di waktu-waktu mustajab sehingga do`a kita bisa segera dikabulkan. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya yang berjudul “Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa” menyebutkan bahwa do`a akan dikabulkan jika di dalamnya terkumpul kehadiran hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari enam waktu dikabulkannya doa, yaitu (1) sepertiga malam terakhir, (2) saat adzan, (3) antara adzan dan iqamah, (4) setelah melaksanakan shalat wajib, (5) saat imam naik mimbar di hari Jum`at, dan (6) hari Jum`at setelah waktu Ashar.[5]

Adab-Adab dalam Berdoa

Berikut beberapa adab yang harus diperhatikan ketika berdoa:[6]

  1. Berdoa dengan nama-nama Allâh ﷻ yang indah. Allâh ﷻ berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

  1. Menghadap kiblat dan mengangkat tangan. Dari Salman, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (tidak dikabulkan)” (HR. Abu Daud no. 1488 dan at-Tirmidzi no. 3556 dan beliau mengatakan, hasan gharib)[7]

  1. Memulai doa dengan memuji Allâh ﷻ dan bershalawat kepada Nabi ﷺ. Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ، وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ

“Apabila kalian berdoa, hendaknya dia memulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi ﷺ. Kemudian berdoalah sesuai kehendaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, no. 1481 dan dishahihkan Al-Albani)

  1. Memantapkan hati dalam berdoa dan berkeyakinan untuk dikabulkan. Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Berdo’alah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Tetap Terus Berdoa

Doa adalah senjata orang beriman. Ketika Dunia diam, doa melambung ke langit. Ia dipanjatkan dengan sembunyi dan datang dari arah yang tidak disangka. Doa itu menjadikan yang tidak ada menjadi ada dan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka, jangan berputus asa pada Allâh ﷻ. Teruslah meminta karena tidak ada sedikitpun yang dapat memberatkan Allâh ﷻ dan dengan berdoa itulah tanda cinta kita kepada Allâh ﷻ. Sebagaimana yang Nabi Zakariya katakan ketika beliau agar diberikan keturunan,

رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah melemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, sedang aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu.” (QS. Maryam [19]: 4).

 

* Mahasiswi Ahwal Syakhshiyah IP ‘23

Maraji’ :

[1] Adika Mianoki, “Berprasangka Baik Kepada Allah” https://muslim.or.id/95196-berperasangka-baik-kepada-allah.html. Diakses pada 3 Juni 2025.

[2]  HR. Tirmidzi, no. 3573 dan Al-Hakim, 1:493. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, hadits no. 1501. https://rumaysho.com/23398-tiga-cara-allah-kabulkan-doa.html. Diakses pada 3 Juni 2025.

[3] Hadits ini disahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly katakan bahwa sanad hadits ini hasan, perawinya tsiqqah selain ‘Ali bin ‘Ali yang dinilai shaduq.

[4] Imam An-Nawawi. Riyadhush Shalihin. Jakarta: Darul Haq. 2017 M. Cet.ke-4. h. 887-888.

[5] Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i. 2016 M. Cet.ke-7. h. 20.

[6] Ammi Nur Baits, ”13 Adab dalam Berdoa” https://konsultasisyariah.com/9561-13-ada-dalam-berdoa.html. Diakses pada 3 Juni 2025.

[7] Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih at-Tirmidzi.

Download Buletin klik di sini

Muslimah, Glow Up Aja Nggak Cukup!

Muslimah, Glow Up Aja Nggak Cukup!

Frihastama

 

Di tengah gempuran arus digital dan budaya populer yang semakin deras, istilah glow up menjadi tren yang banyak disukai. Ia identik dengan perubahan penampilan fisik menjadi lebih menarik, lebih cantik, dan lebih modis. Banyak perempuan berlomba-lomba memoles wajah, memperindah busana, dan menampilkan citra sempurna di media sosial. Namun ada hal yang kerap luput dari perhatian yaitu pertumbuhan diri secara utuh sebagai insan yang beriman. Glow up yang hanya fokus pada fisik akan menjadi kosong jika tidak diiringi dengan grow up yakni kedewasaan dalam berpikir, bersikap, dan beragama.

Kualitas Dibangun dari Hati

Islam merupakan agama yang mencintai keindahan, dan memperhatikan penampilan adalah bagian dari adab. Akan tetapi kecantikan sejati bukan hanya terletak pada wajah dan pakaian, melainkan pada hati yang bersih dan akhlak yang mulia.

Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada lahiriyah. Karena baiknya hati, baik pula amalan lainnya. Karena hati yang bersih, amalan yang lain bisa diterima. Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang tercampur noda syirik. Karena itu perhatikanlah hatimu! [1]

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).

Inilah yang menjadi pengingat bahwa menjadi muslimah yang baik bukanlah soal penampilan luar semata, melainkan tentang bagaimana kualitas diri dibangun dari dalam.

Tumbuh Secara Spiritual dan Intelektual

Pertumbuhan yang sesungguhnya mencakup banyak dimensi. Seorang muslimah harus bertumbuh secara spiritual dengan memperdalam pemahaman ilmu agama dan memperkuat hubungan dengan Allah. Ia juga perlu bertumbuh secara intelektual, karena Islam adalah agama yang memuliakan ilmu. Muslimah yang grow up akan memiliki semangat belajar, mampu berpikir kritis, dan tidak mudah terjebak dalam tren yang menyesatkan.[2] Namun, dalam prosesnya sering kali dihadapkan dengan pengaruh media sosial yang kerap mengaburkan nilai-nilai sejati dalam memaknai diri.

Fenomena media sosial saat ini menjadikan standar kecantikan sebagai tolok ukur harga diri. Banyak muslimah merasa tidak cukup cantik hanya karena tidak sesuai dengan standar dunia maya. Mereka sibuk mempercantik foto menggunakan filter, membeli produk kecantikan, dan memoles penampilan agar terlihat sempurna di layar ponsel. Namun di balik itu semua, sering kali hati merasa hampa. Validasi dari manusia tidak akan pernah cukup jika hati belum merasa cukup di hadapan Allah ﷻ. Oleh karena itu, penting bagi muslimah untuk menyadari bahwa hidup bukanlah hanya tentang mencari pujian manusia, melainkan meraih ridha Allah ﷻ.[3]

Berani Menghadapi Kenyataan Hidup

Tumbuh dewasa berarti berani menghadapi kenyataan hidup, berani menerima kritik, dan tidak terus-menerus hidup dalam bayang-bayang citra palsu. Seorang muslimah yang telah grow up tidak hanya menjaga penampilan luar, tetapi juga menjaga integritas dan kejujuran. Ia memahami bahwa dunia adalah tempat ujian, bukan panggung pertunjukan. Maka setiap hari harus menjadi ruang belajar dan perbaikan diri. Allah ﷻ berfirman,

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Ayat ini menjadi penegas bahwa nilai utama seorang manusia terletak pada amal dan ketakwaannya, bukan sekedar pada penampilan dan popularitasnya.

Menjadi muslimah yang bertumbuh adalah bentuk rasa syukur atas nikmat iman dan hidayah. Dalam dunia yang penuh distraksi dan tuntutan, muslimah harus mampu berdiri tegak sebagai pribadi yang tangguh dan visioner. Ia tidak mudah terbawa arus, tidak menjadikan tren sebagai kiblat, dan tetap menjaga prinsip meski berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Ia juga aktif memberi manfaat di tengah masyarakat, bukan hanya tampil di media sosial tetapi juga hadir nyata dalam kehidupan sosial.

Hidup ini terlalu singkat jika hanya digunakan untuk tampil cantik di layar. Kecantikan yang hanya sebatas visual tidak akan bertahan lama, sedangkan kedewasaan dan keimanan akan membimbing langkah hingga akhir hayat. Muslimah yang sejati adalah ia yang mampu menjadi cahaya, bukan hanya sekedar kilauan. Cahaya itu berasal dari hati yang jernih, ilmu yang benar, dan akhlak yang lembut. Tampil rapi dan menarik adalah anjuran Islam, tetapi jauh lebih utama jika dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba yang beriman dan bertanggung jawab atas kehidupannya.[4]

Glow Up Aja Nggak Cukup!

Muslimah harus sadar bahwa setiap fase kehidupan adalah kesempatan untuk tumbuh. Jangan habiskan waktu hanya untuk glow up, sebab itu hanya satu sisi kecil dari keindahan diri. Berusahalah untuk grow up, menjadi perempuan yang matang secara spiritual, kuat secara mental, dan bijak dalam menghadapi realitas dunia. Dunia memerlukan lebih banyak muslimah yang berpikir besar, berjiwa pemimpin, dan menjadi teladan kebaikan. Karena pada akhirnya, bukan kecantikan yang akan ditanyakan oleh Allah ﷻ kelak, tetapi keikhlasan, ketekunan, dan kontribusi nyata dalam kebaikan.

Sehingga pertumbuhan sejati seorang muslimah bukan hanya soal pencapaian diri sendiri, melainkan juga tentang memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan dan petunjuk oleh Allah ﷻ untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam iman, ilmu, dan amal. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Perhatikanlah Hatimu!”  https://rumaysho.com/3373-perhatikanlah-hatimu.html. Diakses pada 14 Mei 2025.

[2] Al-Hashimi, M. A. Pribadi Muslimah Ideal. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002 M.

[3] Septiyani. A.  Menjadi Muslimah yang Dirindukan Surga. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia. 2024 M.

[4] Umi Azizah Khalil, SP. Muslimah Yang Dirindukan Surga. Yogyakarta: Araska Publisher. 2019 M.

Download Buletin klik di sini

3 Maksud Agung Disyariatkannya Ibadah Kurban

3 Maksud Agung Disyariatkannya Ibadah Kurban

 Yanayir Ahmad, S.T.*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Kurban Syiar Agama Allah

Kurban adalah salah satu syiar agama yang agung. Allāh ﷻ berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ فَلَهُۥٓ أَسْلِمُوا۟ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-Hajj [22]: 34)

Disyariatkannya ibadah kurban telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, Sunnah Nabi ﷺ, serta ijma’ (kesepakatan) para ulama. Ia termasuk amalan paling utama yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

Tujuan Ibadah Kurban

Allāh ﷻ mensyariatkan ibadah kurban dengan tujuan yang agung dan hikmah-hikmah yang mulia. Di antara tujuan-tujuan agung itu adalah:

Pertama, Ibadah kurban adalah untuk mentauhidkan Allāh ﷻ semata serta mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya.

Allāh ﷻ berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar [102]: 2)

Ketika shalat dan menyembelih kurban menjadi amal ibadah yang paling banyak dipersembahkan oleh orang-orang musyrik kepada berhala-berhala mereka, maka Allāh ﷻ khususkan dalam surat ini perintah kedua ibadah tersebut (shalat dan menyembelih kurban) dengan menyebutkan, “shalatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban (juga untuk Tuhanmu),” karena maksud dan tujuan yang paling penting dari keduanya adalah, “Li Rabbika -untuk Tuhanmu”.

Oleh karena itu,  al-Qur’an tidak hanya menyebutkan, “Shalatlah dan sembelihlah kurban,” tanpa menisbatkan keduanya kepada Allāh ﷻ, yakni agar makna dan maksud utama dari perintah itu menjadi lebih jelas, yaitu, “Maka dirikanlah shalat hanya untuk Tuhanmu dan berkurbanlah juga hanya untuk tuhanmu, tanpa menyekutukannya dengan yang lain, sebagai pembeda atas keangkuhan orang-orang musyrik yang menjadikan shalat dan kurban mereka kepada selain Allah.”[1]

Sehingga shalat dan Kurban ini merupakan bukti tauhid kita kepada Allāh ﷻ. Dalam ayat lain Allāh ﷻ memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik yang mereka menyembah selain Allāh ﷻ dan menyembelih kurban untuk selain Allāh ﷻ dengan berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).

Untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ berada di atas tauhid dan jauh berbeda keadaannya dengan mereka orang-orang musyrik.

Nabi Muhammad ﷺ pun ketika menyembelih hewan kurban, Beliau membaca basmalah dan bertakbir. Hal ini juga menunjukkan bahwa menyembelih adalah bentuk ibadah yang agung dan harus diiringi keikhlasan hanya untuk Allāh ﷻ.[2]

Sehingga, ketika kita memahami bahwa menyembelih merupakan bentuk ibadah, dan ibadah tidak boleh ditujukan untuk selain Allāh ﷻ, maka kita juga bisa memahami bahwa orang yang menyembelih hewan untuk selain Allāh ﷻ, berarti dia telah terjerumus ke dalam kesyirikan. Sama saja baik sembelihan itu ditujukan untuk jin, wali, penunggu laut, siluman, ataupun yang lainnya selain Allah, maka itu merupakan perbuatan syirik. Karena penyembelihan hanya boleh ditujukan untuk Allah semata.

Kedua, ibadah kurban adalah bentuk syukur atas nikmat Allāh ﷻ dan kebaikan-Nya kepada hamba-Nya.

Ketika Allah menyebutkan karunia-Nya kepada Nabi Muhammad  ﷺ, Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ

“Sesunnguhnya kami telah memberikanmu nikmat yang banyak,” (QS. Al-Kautsar [108]: 1)

Allāh ﷻ menyuruh Nabi-Nya untuk bersyukur kepada Allāh ﷻ atas setiap rezeki yang telah Allāh ﷻ karuniakan kepada para hamba-Nya. Sebagaimana firman Allāh ﷻ pada surah Al-Kautsar ayat 2. Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa diantara bentuk bersyukur yang paling besar adalah dengan beramal shalih -baik amalan hati maupun anggota badan-.[3]

Allāh ﷻ berfirman,

ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ

Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’ [34]: 13).

Ketiga, tujuan besar dari kurban adalah memahamkan kita bahwa yang dinilai oleh Allāh ﷻ bukanlah rupa dan bentuk lahiriah, tapi hati dan amal perbuatan.

Allāh ﷻ berfirman,

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj [22]: 37).

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).

Sesungguhnya tujuan utama dari ibadah kurban adalah untuk menanamkan ketakwaan dalam hati dan mengagungkan Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Tuhan kita, Allāh ﷻ, adalah Dzat Yang Maha Kaya dari seluruh makhluk. Dia tidak membutuhkan apapun dari hewan-hewan kurban itu, tidak pula mendapatkan manfaat sedikit pun darinya. Yang Dia inginkan dari hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka bertakwa kepada-Nya, mentauhidkan-Nya, dan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya ibadah. Agar kehidupan mereka menjadi baik di dunia, dan mereka dimuliakan di akhirat. Sungguh, Allah Maha Kaya. Dia tidak butuh kepada mereka, tidak pula kepada sembelihan dan hewan kurban mereka.[4]

Terakhir, semoga setiap dari kita dimudahkan untuk menghadirkan makna-makna itu dalam hati, meski mungkin belum semua bisa berkurban secara fisik tahun ini. Bagi yang telah Allāh ﷻ beri kelapangan dan bisa berkurban, semoga Allāh ﷻ terima amalnya dan jadikan sebagai jalan mendekat diri kepada-Nya. Dan bagi yang belum mampu, semoga Allah bukakan jalan rezekinya, dan pertemukan dengan Hari Raya Idul Adha tahun depan dalam keadaan mampu dan lapang untuk berkurban, baik lahir dan batin. Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn. Hanya Allah yang memberi taufiq. Washallāhu ‘alā muhammadin wa a’lā ālihi washahbihi wasallam.

* Alumni Teknik Elektro UII ’17

Maraji’ :

[1] Al-Muqbil, Umar bin Abdullah. Li Yaddabbaru Ayatih. Majmu’ah ke-2, Hal. 286, no. 572. https://archive.org/details/1_20200322/ليدبروا%20آياته/ليدبروا%20آياته%202/

[2] Islam Web. “ولكن-يناله-التقوى-منكم”. https://www.islamweb.net/ar/article/136641/ Diakses pada 5 Juni 2025.

[3] Al-Muqbil, Umar bin Abdullah. Li Yaddabbaru Ayatih. Majmu’ah ke-2, Hal. 285, no. 570. https://archive.org/details/1_20200322/ليدبروا%20آياته/ليدبروا%20آياته%202/

[4] Islam Web. “ولكن-يناله-التقوى-منكم”. https://www.islamweb.net/ar/article/136641/ Diakses pada 5 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini

Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini

Winarno Budi Setyawan A.Ma., Pust*

 

Tinggal hitungan jam, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Idul Adha, sebuah momen sakral yang kaya akan makna. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern dan beragam tantangan yang kita hadapi, kisah pengorbanan Nabi Ibrāhīm p kembali menjadi mercusuar yang relevan, mengajarkan kita tentang nilai-nilai tauhid, keikhlasan, dan kepatuhan. Nabi Ibrāhīm p terpilih menjadi hamba Allāh ﷻ yang menghapus kesyirikan dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Beliau diangkat menjadi Rasul, dan Allāh ﷻ memilihnya sebagai kekasih Allāh ﷻ pada masa berikutnya.

Namun lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, esensi Idul Adha menyimpan pelajaran yang mendalam dan sangat relevan dengan tantangan kehidupan modern.

Dakwah Tauhid Dilakukan dengan Santun

Nabi Ibrāhīm p dalam mendakwahkan tauhid kepada kaumnya dilakukan dengan sabar dan santun. Awal dakwah tauhid yang ia tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya, karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat.[1]

Allāh ﷻ berfirman,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. (QS. Maryam [19]: 42).

Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrāhīm p mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan syirik yang dilakukannya?![2] Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allāh ﷻ. Disebutkan dalam firman-Nya,

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. at-Taubah [9]: 114).

Kemudahan dakwah di era digital dalam menyampaikan nilai-nilai tauhid jangan dianggap sebelah mata, tetap mengedapankan kesabaran dan santun dalam berucap, berkomentar dan memberikan yang baik distatus media sosial, agar berdampak positif untuk generasi selanjutnya.

Pengorbanan di Tengah Godaan Konsumerisme

Kisah Nabi Ibrāhīm p yang rela mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allāh ﷻ adalah bentuk kepatuhan mutlak terhadap Tuhan. Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. ash-Shaffat [37]: 106).

Di era modern, tantangan kita bukan lagi menyembelih anak, melainkan menyembelih ego dan nafsu duniawi yang dipertuhankan. Dunia hari ini dipenuhi konsumerisme, individualisme, dan budaya instan, di mana nilai-nilai pengorbanan dan kesederhanaan mulai tergerus.

Keteguhan Iman dalam Ujian Hidup

Ada enam sikap utama yang dapat dijadikan pijakan saat menghadapi berbagai ujian kehidupan: bersabar sebagai fondasi ketahanan jiwa, memperkuat iman sebagai sumber kekuatan spiritual, senantiasa mengingat Allāh ﷻ sebagai penenteram hati, menerima dengan ikhlas setiap ketetapan Ilahi, melakukan introspeksi sebagai bentuk evaluasi diri, serta berikhtiar mencari jalan keluar secara bijak.[3]

Pemahaman ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan perjalanan spiritual Nabi Ibrāhīm p. Ia adalah teladan keteguhan iman dalam menghadapi beragam ujian berat: terusir dari kaumnya, menanti keturunan hingga usia senja, bahkan diperintahkan untuk menyembelih putra yang sangat dicintainya. Tidak ada pemberontakan dalam dirinya, yang ada hanyalah ketaatan total terhadap perintah Allāh ﷻ. Di sinilah pesan Idul Adha menemukan aktualisasinya bagi manusia modern.

Di tengah krisis ekonomi, tekanan sosial, maupun konflik batin akibat kondisi hidup, semangat Nabi Ibrāhīm p menegaskan bahwa iman yang kokoh adalah pelindung utama. Keimanan yang stabil akan menahan seseorang dari keputusasaan, memeliharanya dari kesombongan saat senang, dan menjaganya agar tetap berpijak di jalan yang lurus. Allāh ﷻ berfirman,

لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ

“…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj [22]: 28).

Relevansi Sosial: Solidaritas dan Kepedulian

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa praktik ibadah kurban tidak semata-mata berorientasi pada aspek spiritual atau ritual keagamaan, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang mendalam. Pelaksanaan kurban mampu menciptakan ruang interaksi lintas kelas dan kelompok dalam masyarakat, yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial. Momentum ini menjadi ajang penguatan nilai gotong royong, kerja sama, serta rasa kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi kurang beruntung.[4]

Lebih jauh, kegiatan kurban berfungsi sebagai mekanisme nyata dalam mereduksi kesenjangan sosial dan membangun solidaritas kolektif. Pembagian daging kurban memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mampu untuk berkontribusi secara langsung dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Melalui kegiatan ini, nilai persaudaraan dan penghargaan antarindividu kian tumbuh, yang berdampak pada meningkatnya daya tahan sosial dan terciptanya lingkungan masyarakat yang inklusif serta harmonis.

Membebaskan Diri dari Ikatan Duniawi

Kehidupan yang kita jalani di dunia ini sejatinya hanyalah sebuah persinggahan fana, meskipun sering terasa panjang, melelahkan, dan bahkan menyesakkan. Ia tak lebih dari panggung permainan dan senda gurau semata, yang sangat berpotensi melalaikan kita dari kehidupan akhirat yang kekal abadi.[5]

Keterkaitan ini begitu kuat terrefleksikan dalam kisah agung Nabi Ibrāhīm p ketika ia bersiap mengorbankan Ismail. Tindakan tersebut bukan sekadar ritual, melainkan sebuah manifestasi radikal dari pembebasan diri dari belenggu ikatan duniawi. Ibrāhīm p menunjukkan bagaimana melepaskan diri dari keterikatan emosional terhadap apa pun yang bersifat materialistik baik itu harta, jabatan, bahkan figur-figur tercinta demi mencapai ketaatan mutlak kepada Allāh ﷻ.

Melalui pengorbanan ini, kita diajarkan bahwa ketulusan dalam mengikuti perintah Ilahi akan senantiasa berbuah kebaikan, sejalan dengan firman-Nya,

هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ

Tidak ada balasan bagi kebaikan selain kebaikan.” (QS. ar-Rahman [55]: 60).

Penutup

Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ini adalah waktu untuk menyembelih keakuan, menajamkan iman, dan menumbuhkan solidaritas sosial. Kisah Nabi Ibrāhīm p hidup bukan di masa lalu, tetapi terus menginspirasi hari ini, saat kita diuji oleh gaya hidup yang penuh distraksi, egoisme, dan kehilangan makna spiritual. Mari jadikan semangat kurban sebagai jalan untuk memperkuat keimanan, ketaqwaan, jiwa, menyucikan hati, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati.

* Pustakawan Direktorat Perpustakaan UII E-mail: [email protected]

Maraji’ :

[1] Al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz 1, h. 326. https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html. Diakses pada 28 Mei 2025.

[2] Tafsir as-Sa`di, h. 444.  https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html.

[3] A. Subagyo, “Enam Sikap Menghadapi Ujian,” Tadabbur Republika, 18 Mei 2023, https://tadabbur.republika.co.id/posts/110963/enam-sikap-menghadapi-ujian. Diakses pada 28 Mei 2025.

[4] E. Insani, L. U. Barakah, & S. R. Lubis, “Kurban Sebagai Sarana Penguatan Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Masyarakat,” dalam Jurnal ARIPAFI, Vol. 02 No. 01 (2025), h. 107.

[5] Nuratika, Jadikan Allah sebagai Sandaran: Motivasi Hidup dalam Perspektif Islam Berdasarkan Filosofi Kehidupan (CV. DOTPLUS Publisher, 2020), cet. ke-1, h. 7.

Download Buletin klik di sini

Perempuan sebagai Madrasahtul ‘Ula

Perempuan sebagai Madrasahtul ‘Ula

Annas Hanifan Fitriansyah*

 

Perempuan adalah tombak bagi cemerlangnya generasi penerus yang akan datang, tidak heran jika kita pernah mendengar bahwa, kalau ingin menghancurkan suatu kaum maka hancurkan perempuannya dulu, begitu juga jika ingin membangun kehidupan yang cemerlang atau cerdas, maka bangunan itu bermula dari seorang perempuan. Yang biasa kita sebut dengan kata ibu. Seperti yang telah kita ketahui bahwa kodrat seorang perempuan adalah hamil, melahirkan dan menyusui. Tetapi bukan hanya itu, bagi seorang anak yang baru lahir di dunia tentu belum bisa melakukan apa-apa, layaknya seorang bayi yang Allāh ﷻ titipkan kepada orang tua untuk diasuhnya. Perkembangan dan pertumbuhan serta pengetahuan yang diperolehnya yang menentukan kehidupannya nanti.

Seseorang yang paling kuat di muka bumi inipun terlahir dari seorang rahim perempuan. Jika sebelumnya perempuan dianggap sebagai seseorang yang lemah maka itu salah. Sosok yang kita panggil sebagai seorang ibu itu senantiasa untuk selalu dihormati dan berbakti kepadanya.  karena kasih sayang seorang ibu itu jumlahnya tidak terbatas tak bisa kita balas dengan apapun itu, Sosok malaikat yang mengandung dan menyusui kita adalah seseorang yang berhati malaikat.[1]

Oleh karena itu, jagalah kita dari hal-hal yang membuat hati ibu kita sakit. Ada kalanya jika kalian menemui sesuatu yang membuat kalian sakit hati oleh ibumu sendiri atau perbedaan pendapat atau menurut kalian ibu kalian kurang adanya pengetahuan sehingga berselisih dan membuat kalian marah, maka sabarlah dan tetap berkata tutur yang baik-baik karena jika bukan karena beliau kita tidak bisa apa-apa dan tidak tahu akan sesuatu itu. Maka dengan hal tersebut lebih baik diam atau mencoba pelan-pelan untuk berbicara dengannya sebab kita tidak tahu bagaimana beratnya bagi mereka dan entah apa mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud demi untuk kita sendiri.

Allāh ﷻ berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engaku mengatakan kepada keduannya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”  (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

Madrasah Pertama Seorang Anak

Madrasah berasal dari bahasa Arab yang berarti sekolah. Sedangkan madrasah pertama bagi seorang anak adalah di rumah yang mana guru atau pendidik dalam sekolah tersebut adalah orangtuanya. Ibu adalah madrasah yang pertama, jika kamu menyiapkannya, berarti kamu menyiapkan lahirnya sebuah generasi yang baik budi pekertinya.[2]

Jika pendidikan anak di lingkungan keluarganya dilakukan dengan baik, maka tumbuh kembang anak akan optimal dan dapat melahirkan generasi berkualitas. Ketahuilah, bahwa setiap anak memiliki sifat yang berbeda-beda oleh karena itu jangan pernah membandingkan anak satu dengan yang lainnya hal itu akan berdampak buruk pada kondisi anak.

Anak adalah Cerminan Orang Tua

Mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama kedua orang tua yang menjadi prioritas utama yang sangat penting diantara urusan yang lainnya. Jika anak dididik dengan baik, penuh kasih sayang, dan diberikan contoh yang positif, maka dia akan tumbuh menjadi anak yang baik, saleh/salehah, dan akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Begitu juga sebaliknya, jika anak dididik dalam lingkungan keluarga yang keras dan penuh kekerasan, maka anak akan memiliki sifat apa yang ia alami dalam kehidupannya.

Anak-anak memiliki sifat peniru ulang, mereka akan meniru serta belajar dari apa yang ada disekitarnya, karena mereka berfikir bahwa apa yang dilakukan orang lain adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dengan begitu keteladanan dari kedua orangtua menjadi sangat penting, termasuk perkembangan moral bagi anak,[3] karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama orangtuanya, mereka akan menganggap setiap perilaku orangtua menjadi role model atau sosok peran yang mereka hormati dan sayangi sehingga akan menjadi contoh dan panutan baginya seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Peran Ibu Bagi Anaknya

Kita sebagai Perempuan Muslimah memiliki peran yang sangat besar sebagai seorang ibu dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan anaknya, ibu mempunyai tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik kepada anaknya terutama dalam hal membentuk pribadi dan karakternya, karena anak merupakan amanah dan anugerah yang diberikan oleh Allāh ﷻ, sehingga apapun yang ibu lakukan terhadap anaknya, maka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Seperti yang pernah disinggung sebelumnya bahwa orang tua adalah peniru bagi anaknya, namun bagi seorang ibu itu memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan seorang ayah dalam memberikan bekal pendidikan dan pengetahuan, karena ibu dan anak memiliki suatu keterikatan batin yang bahkan sudah ada sejak dalam kandungan, sehingga anak merasakan kedekatan dan kepercayaan khusus kepada seorang ibu. Untuk itu kualitas yang dimiliki seorang ibu dalam Pendidikan dan pengetahuan sangat berpengaruh dalam pembentukan yang diajarkan kepada anaknya.  Terutama dalam membangun karakter anak yang dapat kita lihat dalam nilai-nilai ajaran Agama bahwa seorang ibu dapat mengajarkan anaknya untuk memiliki sikap yang moderat (at-tawassuth), seimbang dalam segala hal (at-tawazun), berani menegakkan keadilan (al-itidal), dan toleransi (at-tasamuh) dalam melaksanakan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).[4]

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Nu Online Jateng, “Ibu Sebagai Madrasah Pertama”, dikutip dari https://jateng.nu.or.id/opini/ibu-sebagai-madrasah-pertama-Uwg0s diakses pada tanggal 15 Maret 2025

[2] Moh. Rivaldi Abdul, “Ibu Sebagai Madrasah Bagi Anaknya: Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini,” Journal of Islamic Education Policy 5, no. 2 (2020): 1350, https://doi.org/10.30984/jiep.v5i2.1350

[3] Fitri Nuraeni dan Maesaroh Lubis, “Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Karakter Anak,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Undiksha 10, no. 1 (2022): 45–56, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPAUD/article/view/46054.

[4] Direktur Bima KUA dan Keluarga Sakinah. Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin. Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah.2017

Download Buletin klik di sini

Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim

Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim

Willi Ashadi*

 

Dua diantara banyak keistimewaan Nabi Ibrāhīm adalah Nabi Ibrāhīm p merupakan salah satu Nabi utusan Allāh ﷻ yang mendapat julukan bapak para Nabi dan Rasul. Dari keturunan Nabi Ibrāhīm lahirlah banyak para nabi menjadi utusan Allāh ﷻ. Selain itu Nabi Ibrāhīm adalah seorang good father yang pantas di tauladani, dimana nabi Ibrāhīm sosok figur gemar memohon doa kepada Allāh ﷻ. Salah satu doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrāhīm yaitu

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

(Rabbī Hablī Minashashālihīn). “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ash Shafat [37]: 100)

Geneologi Emas Nabi Ibrahim

Ibrahim, Sarah dan Ishaq

Nabi Ibrāhīm p adalah seorang nabi besar yang dijuluki Khalilullāh (kekasih Allah). Ia menikah dengan Sarah seorang perempuan salehah dan setia yang berasal dari suku bangsawan. Sarah dan Nabi Ibrāhīm hidup lama tanpa memiliki anak. Karena sangat ingin memiliki keturunan, Sarah merelakan Hajar untuk dinikahi oleh Nabi Ibrāhīm. Dari Hajar, lahirlah Nabi Ismāil.

Setelah bertahun-tahun, karena kesabaran dan keimanan yang kuat, ketika usia Sarah sudah sangat tua, Allāh ﷻ mengabarkan bahwa ia akan hamil. Meskipun sempat terkejut, Sarah menerima kabar itu dengan bahagia. Ia kemudian melahirkan Ishaq dan dari keturunannya lahirlah Ya’kub. Nabi Ishaq lahir saat Nabi Ibrāhīm dan Sarah sudah sangat tua. Ketika malaikat memberi kabar bahwa Sarah akan melahirkan, ia terkejut sekaligus bahagia karena merasa usianya sudah terlalu lanjut.[1]

Nabi Ishaq p dikenal sebagai sosok yang lembut, cerdas, dan penuh hikmah. Ia melanjutkan dakwah ayahnya, menyeru kaumnya untuk menyembah Allah dan menjauhi kemusyrikan. Dari keturunan Nabi Ishaq lahir para nabi Bani Israil, termasuk Ya’kub, Yusuf, Musa, Dawud, Sulaiman p, dan ‘Īsā, Ia merupakan mata rantai penting dalam silsilah para nabi samawi.

Ibrahim, Hajar dan Ismail

Siti Hajar adalah istri kedua Nabi Ibrāhīm yang diberikan oleh Raja Mesir sebagai hadiah kepada Sarah, istri pertama Nabi Ibrāhīm. Sarah kemudian merelakan Hajar untuk dinikahi oleh Nabi Ibrāhīm karena ia belum juga dikaruniai anak. Dari pernikahan itu, lahirlah Nabi Ismāil p yang kelak menjadi nenek moyang bangsa Arab dan Nabi Muhammad ﷺ. Nabi Ibrāhīm p memberi nama anaknya bernama Ismāil. Ismāil diambil dari Bahasa Hebrew (Ibrani) yang terdiri dari 2 kata yaitu Isma dan il. Isma artinya mendengar sedangkan il artinya tuhan. Jadi, Ismail bisa diartikan Tuhan mendengar doa dan permohonan Nabi Ibrāhīm p dikarenakan Nabi Ibrāhīm senantiasa berdoa Rabbī Hablī Minashashālihīn. Allāh ﷻ mengabulkan permohonan Nabi Ibrāhīm p dengan mengkaruniakan seorang anak dari rahim Hajar.[2]

Nabi Ibrāhīm p sangat senang akan kelahiran Ismāil. Ismāil merupakan seorang anak yang taat kepada Allāh ﷻ dan pribadi yang santun dan penyabar serta berbakti kepada orang tua.[3] Hal ini membuat Nabi Ibrāhīm p sangat mencintai Ismāil. Sampai pada akhirnya kecintaan Nabi Ibrāhīm p diuji oleh Allāh ﷻ, dimana Nabi Ibrāhīm p di perintahkan untuk berkorban (menyembelih) terhadap Ismāil. Allāh ﷻ berfirman,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insha Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang orang yang sabar.” (QS Ash Shafat [37]: 102)

Menarik dari ayat ini adalah ada penyebutan kata fanzhur dan mādza tarā, dimana kedua kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu melihat. Namun menurut ulama sekalipun artinya melihat, kata tarā memiliki makna lebih dalam lagi yaitu melihat dengan mata kepala dan mata batin. Sementara makna nazhara hanya diartikan melihat dengan mata kepala saja. Dalam dialog antara Nabi Ibrāhīm p dan Nabi Ismāil p terkait perintah kurban, Nabi Ismāil diminta untuk berpikir apa pendapatnya dengan perintah kurban tersebut dengan menggunakan mata kepala dan mata batin-nya (hati).

Mimpi yang dialami Nabi Ibrāhīm p selama 2 kali, yaitu pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Peristiwa mimpi pertama pada tanggal 8 dzulhijjah disebut dengan yaumul tarwiyah sedangkan mimpi yang terjadi tanggal 9 Dzulhijjah disebut yaumul arafah dan tanggal 10 Dzulhijjah disebut dengan yaumul anhar. Oleh karena itu umat Islam dianjurkan untuk melakukan puasa sunnah tarwiyah dan puasa sunnah arafah tanggal 8-9 Dzulhijjah.

Yaumul Anhar

Pada tanggal 10 merupakan puncak berkurban dalam peristiwa Nabi Ibrāhīm p, dimana Nabi Ibrāhīm p melakukan penyembelihan. Allāh ﷻ berfirman,

وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. (QS. As-shafat [37]: 107)

Pada ayat ini ditegaskan bahwa apa yang dialami Nabi Ibrāhīm p dan puteranya itu merupakan batu ujian yang amat berat. Memang hak Allāh ﷻ untuk menguji hamba yang dikehendaki-Nya dengan bentuk ujian yang dipilih-Nya berupa beban dan kewajiban yang berat. Bila ujian itu telah ditetapkan, tidak seorang pun yang dapat menolak dan menghindarinya. Di balik cobaan-cobaan yang berat itu, tentu terdapat hikmah dan rahasia yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia. Nabi Ismāil p yang semula dijadikan kurban untuk menguji ketaatan Nabi Ibrāhīm, diganti Allāh ﷻ dengan seekor domba besar yang putih bersih dan tidak ada cacatnya. Peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi Ibrāhīm ini yang menjadi dasar ibadah kurban untuk mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ, dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad ﷺ.

Hikmah Pungkasan

Kisah Nabi Ibrāhīm p dan keluarganya merupakan simbol keteguhan iman dan pengorbanan dalam sejarah Islam. Nabi Ibrāhīm dan keluarganya juga mengisnpirasi bagi umat Islam bahwa puncak dari kecintaan kita kepada Allāh ﷻ adalah Keikhlasan dan Kesabaran. Hal ini tertuang dalam kisah ibadah qurban (Idul Adha). Dimana Nabi Ibrāhīm sangat mencintai Nabi Ismāil, namun Allāh ﷻ menguji kecintaannya dengan keluarga Nabi Ibrāhīm p dan Nabi Ibrāhīm p membuktikan bahwa cintanya kepada Allāh ﷻ melebihi segala sesuatu yang ada di dunia termasuk keluarganya. Hal ini tercermin dari pengorbanan Nabi Ibrāhīm menyembelih Nabi Ismāil .

Selain itu ada hikmah dalam proses penyembelihan dimana seorang penyembelih diharuskan untuk memotong 2 saluran urat nadi hewan kurban yaitu urat nadi yang mengalir ke makanan dan urat nadi yang mengalir ke pernafasan. Urat nadi yang mengalir ke makanan merupakan symbol manusia harus mengendalikan nafsu duniawi (nafsullawwamah) sementara urat nadi yang mengalir ke pernafasan merupakan symbol manusia harus mengendalikan nafsu syaitan (nafsu imaratu bis su’). Jika kedua nafsu tersebut dapat dikendalikan maka akan terwujudlah nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang dan terkendali).[4]

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah Nabi Ibrāhīm p dan keluarganya.

Maraji’ :

* Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII Mahasiswa S3 departemen Ilmu Politik IIUM

[1] QS. Hud [11]: 71. Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Universitas Islam Indonesia.

[2] QS. Ash Shafat [37]: 101. Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Universitas Islam Indonesia.

[3] QS. Ash Shafat [37]: 102. Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Universitas Islam Indonesia.

[4] Willi Ashadi Youtube Channel: kelas di mata kuliah Ulumul Qur’an bagi Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Program Pesantren UII Yogyakarta-Indonesia.

Download Buletin klik di sini

Muslimah Harus Grow Up, Jangan Cuma Glow Up!

Muslimah Harus Grow Up, Jangan Cuma Glow Up!

Giriani Ayu Sabilla*

 

Di era digital saat ini, media sosial dipenuhi dengan tren kecantikan dan penampilan fisik yang menonjolkan istilah “glow up”—sebuah transformasi penampilan yang lebih menarik, modis, dan memesona. Banyak muslimah yang turut ambil bagian dalam tren ini dengan memperhatikan penampilan mereka, mulai dari gaya berhijab, perawatan kulit, hingga pakaian yang sedang populer. Tentu tidak salah jika seorang muslimah ingin tampil menarik dan rapi. Namun, menjadi cantik saja tidak cukup. Ada hal yang jauh lebih penting dan mendalam yang harus diupayakan oleh seorang muslimah, yaitu grow up—bertumbuh secara mental, spiritual, dan intelektual.

Apa Itu Grow Up?

Grow up bukan sekadar menjadi dewasa secara usia, tapi juga menunjukkan kedewasaana dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Seorang muslimah yang grow up adalah dia yang terus memperbaiki diri, memperluas ilmu, memperdalam iman, dan memperkuat peran sosialnya sebagai hamba Allāh ﷻ, anak, istri, ibu, maupun bagian dari masyarakat.

Di dalam Islam, pertumbuhan spiritual dan intelektual memiliki tempat yang tinggi. Allāh ﷻ berfirman,

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”[1] (QS. al-Mujadilah [58]: 11).

Ayat ini menegaskan bahwa keimanan dan ilmu adalah dua pilar penting dalam membentuk pribadi muslimah yang matang dan berkontribusi.

Glow Up Tanpa Grow Up: Sebuah Kekosongan

Jika seorang muslimah terlalu memusatkan perhatian pada aspek fisik semata dan mengabaikan pengembangan diri dari dalam, maka hal itu bisa menimbulkan kehampaan dalam batinnya. Banyak muslimah yang mungkin tampak anggun di luar, tapi mudah emosi, insecure, tidak percaya diri, atau bahkan kehilangan arah hidup. Kemungkinan besar, kondisi ini disebabkan oleh tidak berlangsungnya proses pertumbuhan batiniah secara konsisten.

Media sosial seringkali menjadi panggung pencitraan, sehingga fokus utama hanya pada “apa yang dilihat orang” bukan “apa yang dilihat Allah”. Amalan yang dibalas oleh Allāh ﷻ adalah amalan yang disertai niat yang ikhlas dan benar, bukan rupa atau apa yang nampak.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).[2]

Glow up tanpa grow up bisa melahirkan kepribadian yang rapuh dan mudah goyah ketika menghadapi ujian hidup. Oleh karena itu, setiap muslimah perlu menjaga keseimbangan antara penampilan fisik dan pengembangan kepribadian dari dalam.

Tanda-tanda Muslimah yang Grow Up

Berikut beberapa ciri seorang muslimah yang sedang dalam proses grow up:

  1. Mau belajar dan terbuka terhadap nasihat

Seorang muslimah yang dewasa secara mental akan selalu haus ilmu. Ia membaca, mendengar kajian, dan memperbaiki pemahamannya terhadap agama dan kehidupan. Ia tidak mudah tersinggung, tetapi justru menjadikan masukan sebagai bahan evaluasi diri.

  1. Mampu mengelola emosi dan konflik

Ia tidak mudah marah, tetapi mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan santun. Ia menunjukkan kedewasaan emosional dengan tidak langsung bereaksi, tetapi berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.

  1. Punya tujuan hidup yang jelas

Ia tahu bahwa hidup bukan hanya untuk mengejar popularitas, tapi untuk beribadah dan memberi manfaat kepada sesama.

  1. Tidak bergantung pada validasi orang lain

Ia memahami bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh jumlah likes atau komentar, tapi oleh akhlak dan amalnya.

  1. Aktif dalam peran sosial

Ia tidak hanya mempercantik diri, tapi juga menyibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat—baik sebagai pelajar, professional, istri, ibu, atau relawan sosial.

  1. Lebih sadar akan tanggung jawab

Ia mulai menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba Allāh ﷻ, anak, saudara, atau bagian dari masyarakat.

  1. Mengutamakan akhlak daripada penampilan

Penampilan tetap dijaga, tetapi akhlak dan etika menjadi prioritas utama dalam bersikap dan berinteraksi.

  1. Memilih lingkungan yang mendorong kebaikan

Ia lebih selektif dalam bergaul, mendekat kepada orang-orang yang membantunya menjadi pribadi yang lebih baik.[3]

Mengapa Grow Up itu Mendesak?

Muslimah hari ini adalah generasi masa depan. Jika ia tidak bertumbuh secara utuh, maka akan sulit melahirkan generasi yang kuat. Dunia yang semakin kompleks menuntut muslimah untuk tidak hanya tampil cantik, tapi juga tangguh secara mental, spiritual, dan intelektual.

Apalagi tantangan terhadap identitas muslimah semakin besar. Sekularisme, feminisme liberal, dan arus materialisme terus mengikis nilai-nilai Islam.[4] Tanpa proses grow up, seorang muslimah bisa mudah terseret arus dan kehilangan jati dirinya.

Glow Up dan Grow Up: Harus Seimbang

Glow up bukanlah hal yang salah. Bahkan dalam Islam, menjaga kebersihan dan penampilan adalah bagian dari keimanan. Namun, semua itu harus dikembalikan kepada niat dan tujuan yang benar. Glow up yang hanya untuk pamer atau menarik perhatian manusia bisa membawa kepada kehampaan. Tapi jika dilakukan sebagai bentuk syukur, menjaga amanah tubuh, dan membahagiakan pasangan (dalam pernikahan), maka bisa bernilai ibadah.

Sementara grow up adalah proses seumur hidup. Tidak ada kata berhenti untuk belajar dan memperbaiki diri. Muslimah yang terus grow up akan memiliki inner beauty yang memancar dan membuatnya dihormati, bukan sekadar dikagumi.

Jadi, wahai para muslimah, jangan hanya mengejar glow up—keindahan luar yang sementara. Tapi kejarlah grow up—pertumbuhan jiwa yang abadi. Tampil menarik itu baik, tapi menjadi pribadi Tangguh, cerdas, dan bertakwa jauh lebih utama. Karena sejatinya, nilai kita tidak ditentukan oleh seberapa cantik kita di mata manusia, tapi seberapa taat kita di mata Allāh ﷻ.

* Pengajar, Alumni Biologi UGM (Yogyakarta)

Maraji’ :

[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2019.

[2] Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi. 2007.

[3] Sri Mulyati. Pendidikan Akhlak dalam Islam. Jakarta: Kencana. 2018.

[4] Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan. 1995.

Download Buletin klik di sini

Riya` Yang Tak Terhindarkan

Riya` Yang Tak Terhindarkan

Nabila Mumtazah Priyatna*

 

Hakikat Manusia

Pada asalnya, manusia itu sangat senang dipuji. Manusia tentu akan sangat senang ketika dia mendapatkan pujian atas hal-hal yang dia lakukan tidak terkecuali atas ibadah yang dijalankan. Tanpa kita sadari, hal tersebut adalah perbuatan riya` yang pernah nabi sebutkan dalam haditsnya. Dari Mahmud bin Labid, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ.

Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka” (HR. Ahmad 5: 429. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).[1]

Yang Termasuk Dalam Riya` dan Hukumnya

Syekh Al-`Utsaimin dalam Kitabnya “Qaulul Mufid `ala Kitabi at-Tauhid” menuliskan bahwa makna dari riya` adalah melakukan agar dilihat oleh manusia. Riya` merupakan syirik asghar sebagaimana yang dikatakan oleh nabi pada hadits di atas tadi. Ini karena dalam ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah namun seseorang menujukannya kepada pujian dari manusia atau hanya sekedar ingin dilihat oleh manusia bahwa ia telah melakukan suatu amal ibadah.

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam riya` adalah:

  1. Amal perbuatannya adalah ibadah, maka bukan riya` apabila seseorang membeli mobil baru kemudian dia memamerkannya kepada manusia.
  2. Berniat agar manusia memujinya, bukan riya` pula jika seseorang melakukan ibadah agar anaknya ikut melakukan ibadah tersebut.

Meninggalkan ibadah karena takut riya` juga merupakan riya`, Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata dalam Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah v,

تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ

Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.”[2]

Riya` pada asalnya adalah syirik asghar, apabila dilakukan sedikit dan jarang namun bisa menjadi syirik akbar jika dilakukan terus menerus. Apabila melakukan amalan memang  hanya untuk mendapat pujian dari manusia dan tidak mengharapkan wajah Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat syirik akbar dan ibadahnya tidak diterima oleh Allah .[3]

Bahayanya Riya`

  1. Riya` adalah syirik asghar yang mana syirik adalah dosa terbesar meskipun kecil dan jarang dilakukan. Dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata Rasûlullâhﷺ bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، قَالَ قُلْنَا بَلَى، فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,“Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu ia menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya”.(HR. Ibnu Majah, no. 4204, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389).

  1. Pelaku Riya` tidak akan mendapat ganjaran apa-apa entah di Dunia maupun di Akhirat sebab pujian manusia bukanlah sesuatu yang berharga yang akan memberinya manfaat maupun mudharat. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Rasûlullâhﷺ bersabda,

بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّيْنِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الأَخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الأَخِرَةِ نَصِيْبٌ

Sampaikan kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, kedudukan yang tinggi (keunggulan), agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi. Barangsiapa di antara mereka melakukan amal akhirat untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat”. (HR. Ahmad, V/134; dan Hakim, IV/318. Shahih, lihat Shahih Jami’ush Shaghiir, no. 2825).[4]

Dari Mana Datangnya Riya`?

Syekh Shalil Al-Fauzan berkata dalam kitab I`anatul Mustafid bi syarhi kitabi at-Tauhid bahwa riya` bisa datang dalam 3 kondisi:

  1. Riya` menjadi awal pendorong dalam melakukan ibadah yakni agar dipuji orang lain dari awal hingga akhir maka ibadahnya batil dan tidak diterima.
  2. Dari awal melakukan ibadah ikhlas mengharap wajah Allah namun di pertengahannya datang riya`, disini ada 2 keadaan:
  • Melawan riya` tersebut dan meniatkan kembali ibadahnya ikhlas kepada Allah maka riya` tersebut tidak membahayakan amal ibadahnya.
  • Tidak berusaha melawan riya` dan tetap muncul sampai akhir ibadahnya maka disini ada khilaf diantara ulama, sebagian mengatakan ibadahnya batal dan yang sebagiannya mengatakan sesuai kadar niatnya apakah lebih banyak ikhlas atau riya`.

Apabila muncul riya` setelah selesai ibadah, maka ini tidak mempengaruhi ibadahnya kecuali terus mengungkit-ungkitnya karena dosanya bisa sebanding dengan pahalanya. Tidak termasuk riya` orang yang mendengar pujian atas dirinya karena itu adalah kabar gembira dari ketaatan yang dia lakukan.[5]

Agar Kita Tidak Riya`

Terus mengingat keutamaan ikhlas dan keagungan Allah serta pahala yang Allah janjikan dari ibadah yang dilakukan. Hendaknya mengetahui bahwa manusia tidak memiliki manfaat atau mudharat dan berdoa kepada Allah agar hatinya terus ikhlas.

Kita perlu hati-hati ketika dipuji orang karena pujian ini bisa membuat diri kita semakin ujub dan sombong. Oleh karenanya, sahabat yang mulia Abu Bakr Ash Shiddiq, yang terbaik setelah Rasûlullâh ﷺ pun berdo’a pada Allah agar dirinya lebih baik dari pujian tersebut. Ia pun meminta pada Allah agar tidak disiksa karena sebab pujian tersebut. Karena Allah lebih tahu isi hati kita, juga diri kita lebih tahu lemahnya diri kita dibanding orang lain. Jadi jangan terlalu merasa takjub dengan sanjungan orang apalagi diucapkan di hadapan kita.

Ketika dipuji, Abu Bakr berdo’a,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228, no.4876).[6]

Terdapat doa lain,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.” (HR. Bukhari, no. 716).[7]

* Mahasiswi Prodi Ahwal Syakhshiyah IP FIAI angkatan 2023

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Riya’, Yang Paling Nabi Khawatirkan” https://rumaysho.com/2946-riya-yang-paling-nabi-khawatirkan.html. Diakses pada 2 Mei 2025.

[2] Syekh Shalih Al-Fauzan. I`anatul Mustafid bi Syarhi Kitabi At-Tauhid. Juz 2, Maktabah Syamilah, (2002), h. 90-91.

[3] Syekh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin. Qaulul Mufid `Ala Kitabi At-Tauhid. Juz 2, Maktabah Syamilah, (2003), h. 124.

[4] Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Bahaya Riya” https://almanhaj.or.id/11969-bahaya-riya-2.html. Diakses padaa 2 Mei 2025.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Meninggalkan Amalan Karena Manusia Termasuk Riya” https://muslim.or.id/19718-meninggalkan-amalan-karena-manusia-termasuk-riya.html. Diakses pada 2 Mei 2025.

[6] Jâmi’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah. https://yufid.tv/51270-cara-terhindar-dari-riya-ustadz-dr-firanda-andirja-m-a-silsilah-amalan-hati-25.html. Diakses pada 2 Mei 2025.

[7] Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani. https://bimbinganislam.com/doa-doa-agar-terhindar-dari-riya/. Diakses pada 2 Mei 2025.

Download Buletin klik di sini