Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci
Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci
Siti Amarah*
Sebagai seorang muslim, niat adalah fondasi terpenting dari segala amal perbuatan yang kita lakukan. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)
Hadits ini diriwayatkan berkenaan dengan peristiwa hijrah, yaitu saat sebagian sahabat Nabi ﷺ meninggalkan Makkah menuju Madinah demi mempertahankan iman dan menegakkan Islam. Hadits ini merupakan sebuah teguran dan peringatan karena diantara para muhajirin ada seorang laki-laki yang ikut berhijrah tidak dengan niat ikhlas karena Allāh ﷻ dan Rasul-Nya, namun karena ingin menikahi wanita bernama Ummu Qais. Maka, ia pun dikenal dengan julukan “Muhajir Ummu Qais”.[1]
Hal ini menunjukkan bahwa nilai sebuah amal tidak hanya dinilai dari bentuk lahiriah, tapi terutama dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Dua orang bisa melakukan perbuatan yang sama, namun pahalanya bisa sangat berbeda, tergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
Lalu Apa saja Hikmah yang Bisa Kita Ambil?
Hijrah adalah Simbol Perubahan
Di zaman ini, kita dapat memaknai hijrah dengan berbagai macam bentuk. Hijrah tidak hanya melulu mengenai perpindahan secara fisik, namun juga mengandung makna simbolis yang sangat dalam, yaitu perubahan total menuju kebaikan dan ketundukan kepada Allāh ﷻ. Jika tempat kerja kita sekarang berkaitan dengan kemaksiatan yang tidak diridhoi oleh Allāh ﷻ, maka pindah pekerjaan dengan segala resiko dan tantangannya pun dapat dikategorikan sebagai bentuk Hijrah.
Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,
وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (HR. Bukhari no. 10)[2]
Hijrah mengajarkan bahwa perubahan itu perlu pengorbanan, seperti yang dilakukan para sahabat. Hijrah butuh tekad dan niat yang ikhlas, karena niat adalah fondasi perubahan. Perubahan harus dibarengi iman dan tindakan nyata, bukan hanya niat kosong.
Luruskan Niat dalam Segala Amal
Momen hijrah ini pun hendaknya selalu kita jadikan sebagai pengingat bagi kita untuk memperbaharui niat sebagai penentu utama kualitas amal. Bahkan amal sebesar hijrah pun, jika niatnya duniawi, maka hanya dunia yang ia dapat.
Tiga hal pokok amal perbuatan itu mencakup hati (niat), lisan (ucapan), perbuatan (anggota tubuh). Dalam buku “Syarh Arba’in An-Nawawiyyah” ketika menjelaskan hadits pertama tentang niat mengutip pernyataan imam Syafi’i “Hadits ini (Innamal a’malu binniyyat) mencakup sepertiga ilmu, dan termasuk 70 bab dalam fikih.”[3]
Sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tanpa fondasi, demikian pula amal tidak akan bermakna tanpa niat karena menentukan sah atau tidaknya amal, menentukan besar atau kecilnya pahala, menjadikan amal biasa bernilai ibadah (seperti makan, tidur, bekerja jika diniatkan karena Allāh), serta membedakan amal duniawi dan ukhrawi.
Sebagai gambaran tentang seberapa besar pentingnya niat, disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasūlullāh ﷺ bersabda, tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Tabaraka wa Ta’ala. Beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،
“Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna,” (HR. Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131 di kitab sahih keduanya dengan lafaz ini).[4]
Niat Baik Sudah Diganjar, Meskipun Belum Dilakukan
Niat yang tulus karena Allāh ﷻ meskipun amal belum dikerjakan ia sudah mendapatkan pahala disisi Allāh ﷻ. Ketika perang tabuk terjadi, ada beberapa sahabat yang tidak dapat ikut berperang. Mereka sangat ingin ikut, tapi tidak mampu secara fisik atau materi. Disebutkan dalam suatu riwayat dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ
“Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.” (HR. Muslim no. 1911).
Juga ada hadits dari Anas bin Malik, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata,
إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari no. 2839).[5]
Nilai amal tidak hanya dinilai dari aksi fisik, tapi dari keikhlasan hati dan niat tulus dengan keinginan yang kuat.
Keikhlasan adalah Fondasi Ibadah
Allāh ﷻ hanya menerima amal yang dilakukan dengan tulus karena-Nya. Allāh ﷻ berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan (juga) agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa inti ajaran semua nabi adalah tauhid dan ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allāh ﷻ, tanpa syirik sedikit pun. Kata “mukhlishīna lahud dīn” menunjukkan bahwa amal tidak diterima kecuali jika dilakukan dengan ikhlas. Kata “Hunafā-a” bermakna menyimpang dari kebatilan menuju kebenaran, yaitu meninggalkan penyembahan berhala menuju mentauhidkan Allāh ﷻ.[6]
Penutup
Hijrah adalah tonggak berdirinya peradaban Islam di Madinah. Dan hadits tentang niat adalah fondasi bagi setiap amal Muslim. Semoga setiap langkah kita hari ini, besar atau kecil, senantiasa dibimbing dengan niat yang lurus, ikhlas karena Allāh ﷻ.
* Kepala Urusan Pelayanan Pusat Bantuan Sosial & Kesehatan DSDM UII
Maraji’ :
[1] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Buku 1) Gudang Bacaan. 2015 M. h. 12.
[2] Ibnu Hajar al-Ashqalani. Fath al-Bari, jilid 11, bab “Maa Haajara Maa Naha-Allahu ‘Anhu”.
[3] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah. h. 19.
[4] Muhammad Nashiruddin al-Albany. Tarjamah Riyadus Shalihin. Surabaya: Duta Ilmu. 2005 M. Cet.k-2. h. 40.
[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Sudah Berniat Beramal Namun Terhalang Udzur” https://rumaysho.com/3423-sudah-berniat-beramal-namun-terhalang-uzur.html. Diakses pada 17 Juni 2025.
[6] Surat Al-Bayyinah Ayat 5 https://tafsirweb.com/12921-surat-al-bayyinah-ayat-5.html. Diakses pada 17 Juni 2025.