Kehalalan Makanan sebagai Kunci Ibadah Berkualitas

Kehalalan Makanan sebagai Kunci Ibadah Berkualitas

Oleh: Uun Zahrotunnisa

*Mahasiswi Ahwal Syakhsiyyah UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Manusia dapat bertahan hidup salah satunya dipengaruhi oleh adanya suplay makanan. Untuk kemudian makanan yang dikonsumsi akan diolah tubuh melalui proses metabolisme dan menghasilkan energi. Manfaat energi dalam tubuh manusia tentu sangat beragam khususnya untuk menunjang aktifitas manusia seperti berpikir, berbicara, berjalan, beribadah dan masih banyak lagi. Aktifitas tubuh yang tinggi pasti akan membutuhkan sumber makanan yang sepadan supaya dapat memaksimalkan kegiatan dengan baik. Pun ketika bangun tidur biasanya seseorang akan merasa letih bahkan kehausan, karena ketika istirahat atau tidur manusia juga memerlukan energi, sekecil aktifitas apapun itu tentu memerlukan energi.

Kualitas Ibadah.

Berbicara tentang aktifitas manusia, ibadah sejatinya adalah hal yang utama dilakukan oleh manusia. Tidak semua ibadah menguras banyak energi seperti contohnya puasa dan berkunjung ke tanah suci untuk melaksanakan haji ataupun umroh, shalat dan iktikaf misalnya. Dua jenis ibadah terakhir merupakan ibadah yang biasa dilakukan seorang muslim. Semua orang mukin mudah untuk melakukannya, namun sedikit yang hanya memperhatikan kualitas nya.

Allah ﷻ telah berfirman dalam al-Qur’an surat Adz Dzariyat ayat 56 bahwa hakikat penciptaaan manusia adalah semata-mata agar selalu beribadah kepada-Nya. Berbicara mengenai ibadah khususnya shalat, aktifitas tersebut merupakan salah satu wasilah berkomunikasi, bermunajat dan berdo’a kepada Allah ﷻ. Wujud dari hubungan spiritual antara hamba dengan Tuhan-Nya secara khusyu’ atau sungguh-sungguh dan bermakna dari setiap gerakan yang tuma’ninah. Maksud dari kalimat sebelumnya adalah, jika seorang hamba memiliki permintaan kepada Rabb-Nya tentu akan berusaha memperbaiki diri dan cara memohonkan permintaan tersebut agar mendapatkan ridha Allah ﷻ, misalnya meningkatkan kekhusyu’an dalam beribadah.

Shalat yang sempurna adalah shalat yang melibatkan keserasian dzohir dan batin, dimana terlihat dari gerakan yang seirama dengan bacaan shalat.[1] Kualitas ibadah yang baik adalah dimana seorang hamba benar-benar melakukan komunikasi dengan Allah ﷻ pikirannya tidak melalang buana dengan hal-hal yang sifatnya keduniawian. Kualitas ibadah seseorang selain dari tingkat keimanan yang dimiliki serta kekhusyu’annya, makanan juga dapat menjadi sebab dari perilaku dalam melakukan ibadah.

Makanan yang Halalan Thayyiban.

Dalam Islam, kita diajarkan untuk senantiasa mengonsumsi makanan yang halalan thayyiban yang artinya halal dan baik. Makna halalan adalah makanan yang boleh dikonsumsi karena zat yang dikandung di dalamnya tidak terdapat unsur-unsur mudharat (yang merugikan). Makna thayyiban artinya baik, yang mana baik dari apa yang sudah dikonsumsi, maupun baik dari cara mendapatkannya agar tubuh manusia mengolah makanan atau asupan yang memiliki sumber halal yang jelas.[2]

Allah ﷻ telah memberikan kepada hamba-Nya berupa nikmat yang melimpah halal lagi baik, dan sebagai hamba yang ta’at terhadap perintah dan larangan-Nya, hendaknya seorang muslim makan dari makanan yang halal lagi baik tersebut.[3]

Adapun makanan yang tidak baik adalah makanan yang haram, yang dijelaskan dalam al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3, Allah ﷻ berfirman: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih) (diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala. (Demikian pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah),199) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini 200) orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3)

Pengaruh Makanan Terhadap Tubuh.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengaruh pada zat makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia, ketika makanan masuk ke dalam tubuh manusia tentu akan melewati beberapa organ pencernaan. Dimulai dari mulut, kerongkongan, kemudian menuju lambung dan kemudian melewati usus besar dan berakhir di anus. Proses pencernaan makanan yang akan menyerap seluruh zat makanan yang masuk ke tubuh manusia akan dilakukan di usus halus, sebagai organ inti dari proses absorbsi (penyerapan).[4] Setelah makanan mengalami proses penyerapan air dan nutrisi, maka selanjutnya zat hasil pencernaan tersebut akan di transfer menuju darah.[5] Jika sudah demikian maka telah sempurna proses menyatunya sel-sel tubuh manusia melalui darah dengan makanan yang telah melalui penyerapan dalam organ pencernaan manusia.

Adapun gizi yang memberikan pengaruh besar terhadap fungsi tubuh yaitu mineral. Selain itu mineral juga memiliki fungsi sebagai pemelihara sel, jaringan, organ dan fungsi tubuh secara keseluruhan. Zat gizi lainnya disamping mineral adalah vitamin yang diperoleh dari buah-buahan sampai sayur mayur.[6]

Perintah untuk mengonsumsi buah-buahan terdapat pada al Qur’an surah Al-Mu’minun ayat 19, Allah ﷻ berfirman: “Lalu dengan (air) itu, Kami tumbuhkan untukmu kebun-kebun kurma dan anggur; di sana kamu memperoleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari (buah-buahan) itu kamu makan.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 19)

Sementara perintah untuk mengonsumsi sayur mayur terdapat pada al Qur’an surah Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), diantaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), ditanganlah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanamannya) seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikian Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepaa orang yang berfikir.” (Q.S. Yunus [10]: 24)

Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menambahkan bahwa pengaruh dari makanan yang dikonsumsi terhadap watak manusia adalah dilihat dari jenis hewan atau kandungan zat apakah yang telah dikonsumsi. Jika hewan yang dimakan memiliki perilaku buas, membahayakan, dan agresif maka sel-sel dari sifat bawaan yang ada pada hewan akan memengaruhi sel-sel manusia. Cerminan akhlak dan watak dari manusia adalah dari apa yang biasa dikonsumsi, you are what you eat.[7]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq, ia berkata,

مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (H.R. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih kata Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)

 

[1] S. Nasihin, “Menejemen Shalat Menuju Hakikat Penciptaan Manusia,” Nucl. Phys., vol. 13, no. 1, hal. 104–116, 1959.

[2] M. N. Huda, “Makanan Halal dan Kualitas Ibadah Kita,” Islamic.co, 2021. https://islami.co/makanan-halal-dan-kualitas-ibadah-kita/ (diakses Feb 13, 2021).

[3] QS Al-Maidah [5]: 88.

[4] Siswanto, “Diktat Fisiologi Veteriner Ii: Pencernaan,” Udayana Univ. Press, hal. 1–69, 2017.

[5] Kevin Andrian, “Ketahui Proses Pencernaan Makanan dan Penyerapan Nutrisi di Dalam Tubuh,” Alodokter, 2021. https://www.alodokter.com/seperti-apa-proses-pencernaan-dan-penyerapan-makanan-di-dalam-tubuh (diakses Feb 13, 2023).

[6] S. Dinanti, L. Oktavia, dan Q. Hasanah, “Kajian Islam Pada Proses Metabolisme Vitamin Dan Mineral Dalam Tubuh,” vol. 3, no. 1, hal. 24–30, 2022

[7] Choirunnisa Nadha, “Makanan Berdampak terhadap Watak dan Akhlak,” LPPOM MUI, 2021. https://halalmui.org/makanan-berdampak-terhadap-watak-dan-akhlak/ (diakses Feb 13, 2023).

Download Buletin klik disini

Dampak Riba Terhadap Diri Sendiri, Masyarakat dan Ekonomi

Dampak Riba Terhadap Diri Sendiri, Masyarakat dan Ekonomi

Muhammad Raihan Akbar

*Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Seorang muslim meyakini bahwa segala sesuatu yang diharamkan Allah ﷻ pasti berdampak buruk pada manusia. Karena Allah ﷻ Maha bijaksana dan tidak mungkin melarang sesuatu yang berguna bagi hamba-Nya.

Dampak Buruk Riba bagi Pribadi

Tak bisa dipungkiri, riba yang diharamkan oleh Allah ﷻ yang merupakan salah satu dosa besar pasti berakibat buruk terhadap pribadi, masyarakat dan ekonomi. Dr. Abdul Aziz Ismail dalam bukunya “Islam dan Kedokteran Modern” menyatakan bahwa riba merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit gangguan jantung1.

Dikarenakan seorang murabi (pelaku riba/rentenir) memiliki sifat tamak dan kikir terhadap harta bahkan sampai pada tahap sebagai pemuja harta. Padahal roda ekonomi berputar tidak selamanya searah dan teratur. Maka tatkala terjadi gunjang-ganjing ekonomi tidak jarang penyakit jantung berjangkit, melanda para pelaku riba dengan gejala tekanan darah tinggi, bahkan berakibat stroke, pendarahan di otak dan mati mendadak.

Seorang pelaku riba sebagai pemuja harta tidak memiliki sifat belas kasih. Padahal sifat belas kasih sangat dibutuhkan oleh setiap pribadi. Karena sifat ini merupakan ciri khas manusia maka orang yang tidak memilikinya dikatakan tidak berperikemanusiaan. Dalam kenyataannya, rentenir dikenal dengan julukan lintah darat, dimana dia menghisap darah orang yang diberi kredit tanpa belas kasih. Dia tidak memperdulikan isak tangis dan rintihan orang yang diberinya kredit untuk diberi kesempatan agar dapat membayar hutang dan bunganya. Dia serta merta menyita rumah dan tanah penerima kredit untuk menutupi hutang dan bunga tanpa memikirkan kondisi si miskin. Sifat perikemanusiaan tersebut bukan saja dicabut dari hati pelaku riba perorangan, termasuk juga pelaku riba dalam sebuah institusi.

Dampak Buruk bagi Kehidupan Masyarakat

Selanjutnya dampak riba terhadap kehidupan masyarakat. Ciri khas masyarakat madani ditandai dengan hubungan saling mencintai diantara individu anggota masyarakat, bagaikan satu tubuh. Bila salah satu oragannya sakit maka organ yang lain juga merasakan perihnya. Kondisi ini tidak mungkin tercipta, jika terdapat seorang anggota masyarakat yang melakukan praktik riba. Karena ia tanpa perikemanusiaan selalu berusaha menghisap harta setiap anggota masyarakat yang lainnya.

Dalam kitab “Mausu’ah iqtishadiyyah” (ensiklopedi ekonomi) disebutkan yang artinya, “Riba memainkan peranan penting dalam kehancuran masyarakat terdahulu, dimana pemberi pinjaman tanpa belas kasih menyita kebun para penerima pinjaman ketika mereka tidak mampu membayar hutang yang menjadi berlipat ganda karena ditambah bunga. Jika harga kebun belum mencukupi untuk menutup hutang yang sudah belipat ganda itu maka mereka merampas hak kemerdekaannya para peminjam dan menjadikan mereka para budak yang diperjual-belikan”2.

Bila para penerima pinjaman tersebut sudah tidak lagi memiliki rumah tempat tinggal dan lahan bercocok tanam untuk menutupi kebutuhan pokok mereka dan keluarganya, sangat mungkin mereka akan menempuh jalan pintas yang tidak terhormat guna menyambung hidup mereka dan anak-anak mereka. Maka bermunculanlah berbagai tindakan kejahatan: pencurian, penodongan, perampokan, dan lain sebagainya. Dengan demikian hilanglah rasa aman dan ketentraman dalam masyarakat tersebut berganti menjadi: ketakutan, penindasan dan tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.

Dampak Buruk Riba bagi Perkembangan Ekonomi

Banyak akibat buruk riba yang dijelaskan oleh para ekonom muslim dan non muslim terhadap ekonomi, diantaranya merusak sumber daya manusia dan juga penyebab terjadinya inflasi. Sumber daya manusia merupakan penggerak utama roda ekonomi. Maka rusaknya sumber daya manusia berarti rusaknya ekonomi negara tersebut.

Ar-Razy (wafat 606H) dalam tafsirnya menjelaskan bagaimana peranan riba menciptakan manusia yang malas bekerja dan takut mengambil risiko untuk mengembangkan hartanya. Ia berkata, “Allah telah mengharamkan riba, karena riba menghalangi manusia untuk giat berusaha. Seorang pemilik dirham bila yakin akan meraih laba dari akad riba dengan cara meminjamkan uang ke pihak lain tanpa harus mengeluarkan keringat dan tanpa menuai kerugian, tentu dia tidak akan mau bekerja yang belum tentu akan mendapatkan laba dan mungkin yang terjadi sebaliknya, ia malah menderita kerugian.

Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan terhalanginya kemaslahatan umat manusia. Karena kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan baik tanpa perdagangan, kerja dan pembangunan”3.

Selanjutnya yaitu riba menjadi penyebab utama terjadinya inflasi, secara pengertian inflasi yaitu keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli sebuah mata uang.

Penyebab utama terjadinya inflasi adalah riba, karena produsen yang mendapatkan modal dari pinjaman berbunga berarti akan menambah bunga yang harus dibayarnya kepada debitur ke dalam harga barang produksinya. Jadi harga jual barang yang diproduksi sama dengan biaya produksi ditambah bunga.4

Jika suku bunga naik, secara langsung harga barang dan jasa menjadi naik sehingga daya beli mata uang menjadi turun. Ini yang dinamakan cost-push inflation (inflasi yang disebabkan oleh dorongan biaya produksi).

Jika suku bunga turun maka permintaan kredit menjadi tinggi. Bank-bank pemberi kredit memberikan kredit jauh lebih besar dari fisik uang yang mereka miliki. Maka bila jumlah uang lebih banyak dari yang semestinya terjadilah inflasi yang dinamakan demand-pull inflation (inflasi karena mengikuti permintaan)5.

Ini membuktikan bahwa suku bunga yang hakikatnya adalah riba merupakan penyebab utama turunnya daya beli mata uang terhadap barang. Dengan turunnya daya beli mata uang maka seluruh uang negara tersebut akan berkurang nilai tukarnya. Misalnya, seseorang yang memiliki uang 5 juta rupiah dalam rentan waktu beberapa tahun ke depan, nilai tukarnya terhadap barang akan turun. Bisa jadi menjadi senilai 4 juta rupiah walaupun nominalnya masih tetap 5 juta rupiah.

Mungkin ini makna firman Allah ﷻ, “Allah memusnahkan harta riba (secara berangsur-angsur)”. (QS. Al-Baqarah [2]: 276). Kondisi harta riba lenyap secara berangsur tepat sekali untuk gambaran inflasi, dimana daya beli uang berkurang secara berangsur disebabkan oleh riba.

Bisa dibayangkan betapa besar dosa berbuat riba. Memang tampak luarnya pihak bank menarik riba (bunga) dari seorang pengusaha yang dianggap kaya, tapi pada hakikatnya bank tidak menarik bunga dari pengusaha tersebut, melainkan dari pengguna akhir barang atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha tersebut. Dengan demikian yang membayar (bunga) atau riba adalah jutaan manusia yang kebanyakan mereka dari rakyat jelata.

Dapat dibayangkan betapa besar kezaliman yang diakibatkan oleh riba yang merupakan penyebab utama inflasi. Dimana lebih dari 200 juta penduduk Indonesia akan merasakan dampaknya, yaitu berkurangnya daya beli uang yang mereka dapatkan dari hasil jerih payah yang dikumpulkan dalam waktu yang tidak sebentar. Lalu daya beli uang yang terkumpul mendadak turun dalam sekejap mata karena terjadinya hyperinflasi. Wa Allâhu a’alam.[]

Maraji’:

1 Sulaiman Al Asyqar. Qodhaya fiqhiyyah Muashirah. Jilid II, h. 61.

2 Ar Razy. Mafatih al ghaib. Jilid II. h.358.

3 Sulaiman Al Asyqar. Qodhaya fiqhiyyah Muashirah. jilid II, h.61.

4 Abdullah Al Umrani. Al Manfa’atu fil Qardh. h.449.

5 Sulaiman Al Asyqar. Qodhaya… h. 65. dan Erwandi Tarmizi, MA Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cet.Ke-22. h.396-398

Download Buletin klik disini

Ikhtibar Fear of Missing Out Latto-latto dan Perjanjian Hudaibiyah

Ikhtibar Fear of Missing Out  Latto-latto dan Perjanjian Hudaibiyah

Uun Zahrotunnisa

*Mahasiswi Ahwal Syakhsiyyah UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Latto- latto, tidak asing dengan permainan satu ini yang saat ini digemari tidak hanya oleh anak-anak saja,  bahkan remaja, hingga dewasa. Latto-latto adalah suatu permaninan yang terdiri dari sepasang pendulum yang bergantung pada seutas tali yang tengahnya diikatkan pada cincin yang menjadi tumpuan. Cara bermainnya kelihatannya cukup mudah, tapi ternyata butuh ketelatenan. Dengan mengayun-ayunkan bandul sampai terpantul antar kedua sisi tersebut hingga menimbulkan bunyi tok-tok-tok. Fenomena permainan latto-latto yang sedang hype ini tidak hanya terjadi akhir tahun 2022 melainkan sebelumnya pada tahun 1990-an.[1]

Popularitas benda yang sering kita lihat lewat di media sosial saat scrolling, atau ketika sedang naik motor melihat sekumpulan anak memainkan benda tersebut nampaknya menyentuh perhatian seseorang untuk kemudian mengundang rasa penasaran dan ujungnya antusias untuk memainkan bahkan sampai membelinya. Respon seperti itu yang bisa kita sebut sebagai Fear of Missing Out atau akrab disebut “Fomo”.

Selayang Pandang Fear of Missing Out (Fomo)

Dalam sebuah tulisan dijelaskan bahwa Fear of Missing Out (FOMO) atau takut ketinggalan trend adalah sebuah gejala yang dominan dirasakan ketika seseorang khawatir bahwa dirinya kurang update. Presepsi demikian membawa dampak yang cukup serius bagi kondisi psikis seseorang. Menjadi minder, dan tidak percaya diri dalam lingkup pergaulan. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Zhoufan Zhang, Fernando R. Jimenez, dan Jhon E. Cicala menyatakan bahwa “Fomo mengacu pada kecemasan yang dirasakan pengguna media sosial ketika mereka menganggap rekan mereka melakukan mengalami, atau memiliki sesuatu yang bermanfaat, padahal sebenarnya tidak”.[2]

Tidak semua yang populer dan yang sedang tren dapat memberikan implikasi positif, tidak serta merta juga memandang bahwa hal tersebut memberikan konsekuensi negatif. Melainkan, alangkah baiknya sebagai muslim yang bijak seseorang dapat memilah mana yang dapat diikuti dan tidak. Fear of Missing Out (Fomo) juga pernah terjadi pada umat Islam jauh sebelum adanya globalisasi yang berkembang pesat. Kejadian tersebut adalah ketika banyak orang kemudian berbondong-bondong memutuskan untuk memeluk agama Islam pada masa Rasulullah ﷺ. Peristiwa perjanjian Hudaibiyah adalah saat dimana Allah ﷻ, menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ merupakan sosok diplomat ulung yang patut diteladani dalam menyebarluaskan Islam.

Perjanjian Hudaibiyah: Pengaruh Fear of Missing Out, hingga Orang Berbondong-Bondong Masuk Islam

Pasca Rasulullah n hijrah dari Makkah ke Madinah, pada tahun 6 H/ 628 M melaksanakan umrah ke Makkah, namun justru sesampainya di daerah Hudaibiyah mendapatkan penolakan dari kaum Quraisy untuk dapat menyentuh tanah Makkah, khawatir bahwa Nabi ﷺ akan melakukan penyerangan terhadap kaum Pagan Quraisy.[3] Namun, ketika beberapa kali mata-mata yang dikirim kepada Nabi ﷺ untuk menanyakan maksud keadatangan rombongannya dengan para pengikutnya di Madinah, jawabannya tetap sama yakni tak lain adalah melakukan ibadah umrah. Lalu, dikarenakan, masyarakat Makkah merasa terancam dengan kedatangan rombongan dari Madinah, akhirnya kaum Quraisy menawarkan sebuah perundingan kepada Rasulullah ﷺ, demi mencapai kesepakatan untuk kebaikan dan ketenangan bersama. Isi Perjanjian Hudaibiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, gencatan senjata dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun, begitu juga dengan tindakan buruk yang dilakukan antar pihak.

Kedua, masyarakat bebas untuk memilih untuk bergabung bersama Quraisy di Makkah, atau bersama Rasulullah ﷺ di Madinah.

Ketiga, kaum musyrik yang datang kepada nabi di Madinah tanpa seizin walinya di Makkah, maka akan dikembalikan ke Makkah. Demikian hal nya dengan penduduk Madinah yang keluar dari Madinah menuju Makkah, maka tidak akan diterima kembali ke Madinah.

Kempat, tahun ini Rasulullah ﷺ bersama rombongan dari Madinah tidak diperkenankan memasuki Makkah, dan dapat kembali ke Makkah tahun depan selama 3 (tiga) hari dan tidak membawa senjata kecuali pedang untuk menyembelih hewan.

Kelima, dalam pelaksanaan perjanjian ini harus dilaksanakan dengan hati yang tulus, penuh kesediaan dan tidak boleh adanya penyelewengan.[4]

Sepintas dalam poin-poin tersebut terdapat satu poin yang tidak menguntungkan Umat Islam, yaitu perjanjian keempat. Namun, secara keseluruhan perjanjian tersebut sesungguhnya menjadi pintu utama sekaligus menunjukkan siasat diplomasi Rasulullah ﷺ yang akhirnya membawa pada kesepakatan Perjanjian Hudaibiyah. Pada Poin pertama, dengan adanya gencatan senjata maka, aktifitas dakwah Rasulullah ﷺ bersama romobongan berlangsung aman. Poin kedua, mencerminkan fleksibelitas Rasulullah ﷺ memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk menilai kaum manakah yang menurut mereka aman. Poin ketiga, jika salah satu pihak dari masing-masing wilayah mengeluarkan diri dari daerahnya dan menuju antara ke Madinah atau Makkah, sudah dapat dipastikan tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena dikhawatirkan akan membahayakan kaumnya.

Khalid bin Walid, sosok panglima perang kaum Quraisy pada tahun 8 H/ 629 M akhirnya memeluk Islam dengan mendatangi Rasulullah ﷺ di Madinah. Karakter Islam sebagai agama yang dibawa Rasullah ﷺ menjungjung tinggi humanisme, menghargai harkat dan martabat manusia khususnya perempuan serta karakteristik nabi yang taktis, lemah lembut, memiliki daya tarik (uswah hasanah) menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk akhirnya berbondong-bondong masuk agama Islam.[5]

Perjanjian Hudaibiyah membawa implikasi serius untuk kemajuan agama Islam saat itu, sebab pasca adanya perjanjian tersebut jumlah orang yang masuk agama Islam bertambah pesat, selain itu Kota Makkah menjadi mudah ditaklukkan oleh pasukan muslim yang berjumlah 10.000 orang dengan tanpa perlawanan sekalipun dari penduduk setempat. Allah ﷻ berfirman: “Sungguh kami telah memberikan kemenangan yang nyata kepadamu. Supaya Allah memberikan pengampunan atas kesalahanmu yang lalu dan kemudian, dan menyempurnakan nikmat-Nya, dan membimbing engkau ke jalan yang lurus” (QS. Al-Fath [48]: 1-2).

Seorang penulis terkenal asal Inggris, Karen Armstrong bahkan mengakui kemenangan Islam saat itu dengan banyaknya orang-orang yang kemudian memeluk agama Islam. Mengutip dari tulisannya “Tiada suatu kemenangan dalam Islam sebelumnya. Selama dua tahun, berbondong-bondong manusia masuk Islam, lebih banyak dari tahun sebelumnya”.[6] Dari pernyataan yang diulang-ulang yaitu ketika manusia “berbondong-bondong masuk Islam” merupakan refleksi dari fenomena saat ini, yaitu ketika orang di zaman tersebut telah mengalami Fear of Missing Out (FOMO). Banyak manusia memeluk Islam karena melihat bukti konkrit bahwa agama Islam yang di wahyukan kepada Rasulullah ﷺ merupakan cerminan dari segala kebaikan yang akan membawa manusia menuju pintu keselamatan dari pada kepercayaan yang dianut oleh kaum Pagan Quraisy yang tentunya sangat bertolak belakang dengan naluri kemanusiaan.

Kalam Hikmah

Sirah nabi diatas harapannya dapat memberikan kaum muslimin sebuah pemahaman bahwa, ambisi untuk selalu mengikuti tren nampaknya perlu ditinjau dari aspek kemanfaatan yang timbul setelahnya. Fokus terhadap tujuan yang akan diraih, menyibukkan diri dengan sesuatu yang menguntungkan, dan konsisten dalam melalui setiap proses dalam mencapai target, mengurangi kegiatan scrolling media sosial yang berlebihan, hal tersebut dapat menjadi tips untuk menghindarkan diri dari gejala Fear of Missing Out. Critical Thinking atau kemampuan berfikir kritis terhadap sesuatu yang sedang hype dimasyarakat juga perlu ditingkatkan Tidak semua harus diikuti, cukup melihat dan memaknai dari segala hal yang hadir atau datang kembali karena dunia hanyalah fana, seperti roda yang berputar, semua akan kembali ke masanya.Wa-Allahu a’lam

[1] C. Indonesia, “Asal-usul Latto-latto, Mainan Dua Bandul “Berisik” yang Sedang Viral,” CNN Indonesia, 22 Desember 2022. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20221229131709-277-893572/asal-usul-latto-latto-mainan-dua-bandul-berisik-yang-sedang-viral. [Accessed 1 Januari 2023].

[2] Zhoufan Zhang, Fernando R. Jimenez, John E. Cicala, “Fear of Missing Out Scale: A Self-Concept Perspective,” Wiley: Psychology & Marketing, Vols. -, no. -, p. 1622, 2020.

[3] M. A. Parinduri, “Perjanjian Hudaibiyah sebagai Pilar Pemersatu,” Buletin Taqwa Universitas Medan Area , p. 2, 18 Oktober 2019.

[4] A. Haif, “Perjanjian Hudaibiyah (Cerminan Kepiawaian Nabi Muhammad SAW. dalam Berdiplomasi),” Jurnal Rihlah, vol. 1, no. 2, p. 126, 2014.

[5] A. Iskandar, “Hikmah Dibalik Perjanjian Hudaibiyah,” Jurnal Studi Hadis Nusantara, vol. 1, no. 1, p. 45, 2019.

[6] K. Armstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet. Terj. Sirikit Syah. Muhammad Sang Nabi, sebuah Biografi Kritis, Surabaya: -, 2001.

Download Buletin klik disini