Hukum Nazar Ketika Pemilu, Ingat Ada Kafaratnya
Hukum Nazar Ketika Pemilu, Ingat Ada Kafaratnya
Much Diki Mualimin
Alumni FIAI UII
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.
Beberapa hari terakhir, sedang riuh-riuhnya tahun politik dimana sebagian masyarakat yang menjadi pendukung calon yang akan maju menjadi anggota parlemen melakukan berbagai bentuk aksi agar calon yang didukungnya bisa menang dalam pemilihan umum, salah satu bentuk aksi yang dilakukannya adalah dengan melakukan nazar. Perlu diketahui bahwasanya nazar itu tergolong ke dalam beberapa bentuk, mulai dari perkara-perkara yang sifatnya ibadah, mubah, atau bahkan yang bentuknya maksiat, dan tentunya semua hal itu ada konsekuensi di dalamnya.
Hukum Nazar
Nazar ialah mewajibkan pelakunya untuk melakukan suatu hal tertentu yang sebenarnya tidak wajib. Jumhur ulama mengatakan nazar hukumnya makruh, bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya haram karena Nabi ﷺ melarangnya, hal ini berdasarkan penjelasan dari hadits Nabi ﷺ.
Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ ﷺ عَنِ النَّذْرِ قَالَ: إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nabi ﷺ melarang untuk bernazar, beliau bersabda, ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (H.R. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (H.R. Muslim no. 1640)
Di dalam hadits orang yang bernazar dikatakan bakhil (kikir/pelit—ed) dikarenakan biasanya seseorang akan mau melakukan ketaatan kepada Allah jika dirinya telah memperoleh manfaat[1]. Kenapa disebut bakhil (kikir/pelit—ed) bagi orang yang bernazar? Karena jika ia tidak bakhil harusnya ia tetap melaksanakan amalan tersebut tanpa nazar. Dan dia bakhil, karena seakan-akan ia ingin melakukan transaksi tukar menukar dengan Allah l.[2]
Tetapi jika seseorang sudah mengucapkan nazar maka ia wajib memenuhinya, berdasarkan firman Allah ﷻ,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (Q.S. Al Hajj [22]: 29)
Dari ‘Aisyah x, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (H.R. Bukhari no. 6696)
Kafarat Nazar
Perlu diketahui ketika seseorang telah mengucapkan nazar, maka nazar tersebut wajib ia tunaikan, jika ada suatu hal dimana dia tidak dapat menunaikan nazar maka ada kewajiban bagi dirinya untuk menebus nazar yang dinamakan kafarat. Sebagaimana dalam sabda Nabi ﷺ, dari Ibnu Abbas c berkata,
وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ
“Siapa yang bernazar dan tidak mampu (menunaikannya), maka menebus dengan tebusan (kaffarah) sumpah.” (H.R. Abu Dawud)[3]
Adapun kafarat sumpah dijelasakan pada firman Allah d dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 yaitu, 1) Membebaskan budak, 2) Memberikan makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau 3) Puasa tiga hari.
Adapun nazar yang sifatnya perbuatan maksiat maka ia tidak boleh melaksanakanya tetapi wajib menebus kafarat. Serupa juga nazar yang bentuknya perbuatan ekstrim atau diluar kemampuannya, maka hal itu harus dilihat dari kondisinya. Maka dari itu tidak bisa seseorang bermudah-mudahan dalam bernazar.
Bentuk Nazar
- Nazar dalam bentuk ketaatan.
Jika nazarnya dalam bentuk ketaatan kepada Allah d seperti puasa sunnah, shalat sunnah, sedekah, i’tikaf, dan semisalnya maka harus ditunaikan. Sebagai contoh pernyataan “Demi Allah jika saya diangkat jabatan menjadi begini, maka saya akan menyedekahkan sebagian gaji saya untuk panti asuhan”. Namun jika hal itu terjadi tetapi terkendala suatu hal atau dia tidak mau menunaikannya maka dia harus membayar kafarat seperti kafarat sumpah.
- Nazar dalam bentuk maksiat.
Nazar ini tidak boleh ditunaikan tetapi sebagai gantinya dia harus menebus kafarat, sebagai contoh “Jika si A yang menduduki jabatan begini saya akan mengajak teman-teman saya traktir ke diskotik”, atau dalam bentuk hal yang ekstrim contohnya “kalau si A yang menduduki jabatan ini maka saya berani akan menyayat pergelangan tangan saya!”. Maka nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan.
- Nazar yang berkontradiksi dengan nash.
Seperti contoh sebagaimana keterangan hadits Nabi ﷺ, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar dia mengatakan bahwa dia berpuasa namun bertepatan pada hari nahr (hari raya Idul Adha), dari Ziyad bin Jubair dia berkata, “Saya bersama dengan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya kepadanya seraya mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu selama saya masih hidup. Ternyata hari itu bertepatan dengan hari nahr (hari raya idul adha)” maka beliau menjawab, “Allah telah memerintahkan untuk memenuhi nazar dan melarang kita berpuasa pada hari nahr (Hari raya idul adha)”. Dia mengulanginya dan beliau mengatakan yang sama tanpa ada tambahan.” (H.R. Bukhori no. 6212)
Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan berpuasa sunnah ataupun nazar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka dari itu dia harus menebusnya dengan kafarat sebagaimana kafarat sumpah.
Semoga dengan penjelasan ini dapat menyadarkan kita untuk tidak menyepelekan dalam perkara nazar dan bisa menjadi nasihat bagi kita ketika melakukan amalan benar-benar ikhlas untuk Allah ﷻ.
Marâji’:
[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hukum Seputar Nazar” https://rumaysho.com/1731-seputar-hukum-nazar.html. Diakses pada 19 Februari 2024.
[2] Ratno Abu Muhammad. “Hukum Bernazar dan Cara Membayar Kafarat” https://bimbinganislam.com/hukum-bernazar-dan-cara-membayar-kafarat/. Diakses pada 19 Februari 2024.
[3] Hafidz Ibnu Hajar berkomentar dalam Bulugul Maram sanadnya shahih dan Hafidz menguatkan status sampai sahabat Nabi (waqf).